Anda di halaman 1dari 8

1

Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan
untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat, maka
tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan
gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya, M.
Yahya Harahap Menjelaskan didalam bukunya yakni "Hukum Acara Perdata tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan".

Rekonvensi

Jadi Rekonvensi adalah gugatan kembali dari tergugat terhadap penggugat tanpa harus
mengajukan tuntutan baru, atau gugatan baru akan tetapi cukup dengan mengajukan
gugatan pembalasan bersama-sama dengan jawaban terhadap gugatan lawan. Dengan
demikian, maka gugatan awal atau gugatan asli dari Penggugat dapat pula disebut dengan
Konvensi.

Konvensi

Kata Konvensi ini memang jarang digunakan dibandingkan dengan istilah Gugatan, karena
istilah Konvensi baru akan dipakai apabila ada gugatan Rekonvensi yakni gugatan balik
tergugat terhadap penggugat. Yahya Harahap menjelaskan dalam bukunya, kita dapat
menemukan bahwa ketika penggugat asal (P) digugat balik oleh tergugat (T) maka gugatan
P disebut gugatan konvensi dan gugatan balik T disebut gugatan rekonvensi.

Eksepsi

Masih Menurut Yahya Harahap dalam bukunya "Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan", eksepsi secara umum
berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau
bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas
gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi
yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara.
Eksepsi diatur dalam Pasal 136 HIR.

Provisi

Juga masih menurut Yahya Harahap dalam bukunya menjelaskan bahwa gugatan provisi
merupakan permohonan kepada hakim, agar ada tindakan sementara mengenai hal yang
tidak termasuk pokok perkara, misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah
sengketa atau yang diperkarakan dengan ancaman membayar uang paksa. Apabila
dikabulkan, maka disebut dengan putusan provisionil. Dan putusan provisionil merupakan
salah satu jenis dari putusan sela.

Di dalam penjelasan Pasal 185 HIR disebutkan putusan provisionil yaitu keputusan atas
tuntutan supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok
perkara itu, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah
satu pihak atau ke dua belah pihak. Keputusan yang demikian itu banyak digunakan di dalam
pemeriksaan singkat.
2

Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Gugatan Rekonvensi


Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi
diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (HIR).

Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:

1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum yang menggariskan proses pemeriksaan dan
penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:

Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib
ber acara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan
eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan
rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan,
dengan sistematika:

Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi,
petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan
konvensi.
Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi
gugatan konvensi.
Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan
dalam rekonvensi.

Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi.
Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses
pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah
nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang
sama pula.

2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah


Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan
serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:

a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan.


- Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga
dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:

1. Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.


2. Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3. Cara proses pemeriksaan:

Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan


putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
3

4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara
yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.

b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda

Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode
konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan
putusan rekonvensi.

Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap


putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada
ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari
dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan
diberitahukan.

Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi
dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada
penilaian pertimbangan hakim.

Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak
terdapat keterkaitan yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang
terpisah.
1

JAWABAN GUGATAN

Biasanya jawaban diberikan oleh Tergugat kepada Majelis Hakim dan Penggugat pada
sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan. Namun
apabila Tergugat belum siap, maka Majelis Hakim akan memberikan kesempatan lagi pada
sidang berikutnya untuk menyertakan jawaban tersebut.

Isi dari jawaban tersebut tidak hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun
Tergugat juga boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession),
terhadap sebagian atau seluruh dalil gugatan Penggugat.[1]

Selain itu, jawaban yang disampaikan oleh Tergugat dapat sekaligus memuat eksepsi dan
bantahan terhadap pokok perkara. Jika jawaban sudah memuat eksepsi dan bantahan
terhadap pokok perkara, Tergugat harus menjawab secara sistematis agar lebih mudah
dibaca dan dipahami oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Cara yang dianggap sesuai dengan tuntutan teknis peradilan, dalam hal jawaban sekaligus
berisi eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, yaitu:[2]

a. Mendahulukan eksepsi pada bagian depan. Dalam jawaban dibuat suatu judul “Dalam
Eksepsi” yang ditempatkan pada bagian depan mendahului uraian bantahan pokok perkara.

b. Menyusul kemudian, uraian bantahan pokok perkara dengan judul “Dalam Pokok
Perkara”.

c. Bagian terakhir, berupa kesimpulan yang berisi pernyataan singkat eksepsi dan
bantahan pokok perkara.

Eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara di dalam konteks hukum acara memiliki
makna yang sama yaitu sebuah tangkisan atau bantahan (objection). Namun di dalam
eksepsi ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan,
yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang
mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima
(inadmissible).[3] Untuk lebih memudahkan, eksepsi sendiri dibagi menjadi tiga jenis yaitu,
Eksepsi Prosesual, Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi dan Eksepsi Hukum
Materil.

Eksepsi Prosesual adalah jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan.
Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak
sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard).[4]
Contohnya adalah eksepsi kewenangan absolut dan eksepsi kewenangan relatif. Eksepsi
kewenangan absolut adalah bantahan Tergugat mengenai Penggugat dinilai salah
2

mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang


bersangkutan. Ini berkaitan dengan pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus.
Misalnya dalam kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam
yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam
sebab itu berada dalam yurisdiksi pengadilan agama. Eksepsi kewenangan absolut dapat
diajukan kapanpun selama proses pemeriksaan dimulai sampai dengan sebelum putusan
dijatuhkan pada tingkat pertama (PN), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 HIR yang
berbunyi:

“Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak masuk kuasa pengadilan negeri, maka
pada sebarang waktu dalam pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim mengaku
dirinya tidak berkuasa dan hakim itupun wajib pula mengaku karena jabatannya bahwa ia
tidak berkuasa”.

Sedangkan eksepsi kewenangan relatif adalah bantahan Tergugat yang menyatakan


Penggugat salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili
perkara yang bersangkutan. Tetapi yang berwenang adalah pengadilan lain dalam
lingkungan pengadilan yang sama, misalnya Tergugat dalam hal ini berdomisli di Jakarta
Selatan, namun gugatan diajukan di Pengadilan Jakarta Pusat, yang seharusnya gugatan
tersebut diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Berbeda dengan eksepsi kewenangan absolut, eksepsi kewenangan relatif hanya dapat
diajukan di sidang pertama dan bersamaan dengan saat mengajukan jawaban pertama
terhadap materi pokok perkara[5], sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 HIR yang
berbunyi:

“Jika orang yang digugat dipanggil menghadap pengadilan negeri, sedang menurut
peraturan pada Pasal 118 ia tidak usah menghadap pengadilan negeri itu, maka bolehlah ia
meminta hakim supaya menerangkan bahwa hakim tidak berkuasa, asal saja permintaan itu
dimasukan dengan segera pada permulaan persidangan pertama; permintaan itu tidak akan
diperhatikan lagi jika orang yang digugat telah melahirkan suatu perlawanan lain”.

Selanjutnya, Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi[6] terdiri dari beberapa bentuk
yaitu Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah, Eksepsi Error in Persona, Eksepsi Ne Bis In
Idem, dan Eksepsi Obscuur Libel:

1. Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat
dalam hal surat kuasa bersifat umum; surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang atau
surat kuasa yang diajukan oleh kuasa Penggugat tidak sah karena tidak memenuhi syarat
formil yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971 jo. SEMA No. 6
Tahun 1994, yaitu:[7]
3

a. Tidak menyatakan secara spesifik kehendak untuk berperkara di PN tertentu sesuai


dengan kompetensi relatif;

b. Tidak menjelaskan identitas para pihak yang berperkara;

c. Tidak menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang
diperkarakan; serta

d. Tidak mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa.

2. Eksepsi error in persona adalah eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal
Penggugat tidak memiliki kapasitas atau hak untuk mengajukan perkara tersebut, atau pihak
yang digugat adalah tidak memiliki urusan dengan perkara tersebut, atau pihak yang digugat
tidak lengkap.[8]

3. Eksepsi ne bis in idem adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal perkara
yang digugat oleh Penggugat sudah pernah diajukan dan sudah dijatuhkan putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Dan yang terakhir adalah

4. Eksepsi Obscuur Libel, yaitu eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal gugatan
Penggugat tidak terang atau isinya tidak jelas, contohnya tidak jelas dasar hukumnya, tidak
jelas obyek sengketanya, petitum tidak rinci dijabarkan dan permasalahan antara posita
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Dan yang terakhir adalah Eksepsi Hukum Materil. Eksepsi hukum materil dibagi dalam 2
jenis, yaitu exceptio dilatoria dan exceptio peremptoria:

1. Exceptio dilatoria yaitu eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal gugatan
penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih
prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampau dini. Contohnya belum sampai
batas waktu untuk menggugat karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau
berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur.[9]

2. Exceptio peremptoria adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat kepada Penggugat
yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan.
[10] Contohnya perkara yang diajukan sudah lewat waktu atau daluarsa untuk digugat
(exceptio temporis), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur penipuan (exceptio doli
mali), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur paksaan atau dwang (exceptio metus), si
penggugat sendiri tidak melakukan prestasinya (exceptio non adimpleti

contractus) dan sengketa yang digugat sedang proses pemeriksaan juga di pengadilan
dengan nomor perkara yang berbeda (exceptio litis pendentis).

Telah dijelaskan secara rinci bahwa banyak sekali hal-hal yang dapat diajukan eksepsi, yaitu
hal-hal yang hanya menyinggung soal formalitas gugatan dan sama sekali tidak
menyinggung mengenai pokok perkara.

Bantahan Pokok Perkara

Lalu, setelah eksepsi, Tergugat dapat menyusun bantahan dalam pokok perkara. Bantahan
dalam pokok perkara adalah bantahan yang dilakukan oleh Tergugat yang menyinggung
mengenai pokok perkara atau pembuktian mengenai benar atau tidaknya dalil yang diajukan
oleh Penggugat dalam surat gugatannya.

Di dalam hukum acara tidak secara detail dijelaskan apa saja yang dapat dibantah dalam
pokok perkara tersebut. Namun bantahan dalam pokok perkara ini dapat ditinjau dari tiga
klasifikasi, yaitu pengakuan (bekentenis), membantah dalil gugatan dan tidak memberi
pengakuan maupun bantahan.

Pengakuan (bekentenis) adalah sebuah pernyataan yang dikatakan Tergugat dalam


jawabannya bahwa Tergugat mengakui benar adanya dalil yang diajukan oleh Penggugat
dalam surat gugatannya. Pengakuan tersebut merupakan alat bukti yang sempurna
(volledig). Nilai kekuatan pembuktian yang demikian ditegaskan kembali dalam Pasal 174
HIR, yang berbunyi:

“Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan
orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkannya sendiri maupun dengan
pertolongan orang lain yang istimewa dikuasakan untuk melakukan itu”

Selanjutnya adalah membantah dalil gugatan atau dapat disebut bantahan terhadap pokok
perkara (verweer ten principale). Tergugat dapat melumpuhkan dalil gugatan dengan cara
pembuktian berdasarkan alat-alat bukti yang dibenarkan dalam undang-undang. Atau
Tergugat dapat menampik dan mengingkari kejadian yang didalilkan berdasarkan alasan
rasional dan objektif.[11] Dan yang terakhir adalah Tergugat tidak memberi pengakuan
maupun bantahan. Jawaban hanya berisi pernyataan, menyerahkan sepenuhnya kebenaran
gugatan kepada hakim (referte aan het oordel des rechters).[12]

Demikian penjelasan mengenai cara-cara mengajukan jawaban dan materi yang dapat
dimasukkan dalam eksepsi dan pokok perkara, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai