Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang membuat


bagaimana caranya orang bertindak di depan pengadilan, bagaimana caranya
pihak yang terserang kepentinganya mempertahankan diri, bagaimana hakim
bertindak sekaligus memutus perkara dengan adil, bagaimana melaksanakan
keputusan hakim yang kesemuanya bertujuan agar hak dan kewajiban yang
telah diatur dalam hukum perdata materiil itu dapat berjalan dengan
semestinya, sehingga terwujud tegaknya hukum dan keadilan.

Dengan demikian kedudukan hukum acara perdata amat penting, karena


adanya hukum acara perdata, masyarakat merasa adanya kepastian hukum
bahwa setiap orang berhak mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-
baiknya dan setiap orang yang melakukan pelangaran terhadap hukum perdata
yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut melalui
pengadilan. Dengan hukum acara perdata diharapkan akan tercipta ketertiban
dan kepastian hukum dalam masyarakat.

Dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai fakta-fakta lain (


repliek dan dupliek ), eksepsi dan rekonvensi atau gugat balasan dalam
pemeriksaan pengadilan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari repliek dan dupliek ?

2. Apa pengertian dari eksepsi dan bagaimana cara pengajuannya dalam


hukum acara perdata ?

3. Bagaimana maksud dari gugat balasan (rekonvensi) dalam hukum acara


perdata ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fakta –Fakta Lain

Dalam persidangan pengadilan negeri pada umumnya untuk mempertahankan


hak-haknya terjadi perdebatan antara pihak penggugat dan tergugat yang dalam
praktiknya dikenal dengan repliek dan dupliek sebagaiman diatur dalam:

“Pasal 142 Rv. Dinyatakan bahwa dalam tenggang waktu sama para pihak
dapat saling menyampaikan surat-surat jawaban (repliek) dan jawaban balik
(depliek) yang dengan cara yang sama, bersama-sama dengan surat-surat yang
bersangkutan diserahkan kepada panitera”.

Jawab tegugat ada kemungkinan juga mengemukakan adanya fakta-fakta


lain yang dapat dipergunakan untuk membenarkan kedudukannya untuk melawan
adanya gugatan yang diajukan oleh penggugat.

Dalam proses persidangan seringkali terjadi jawaban untuk kedua kalinya


yang disertai dengan bukti-bukti atas jawaban tersebut. Jawaban ini dalm praktik
dikenal dengan :

1) Repliek

Yaitu jawaban balasan penggugat terhadap jawaban tergugat dalam suatu


perkara di sidang pengadilan.

Repliek pada umumnya berisi tentang hal-hal tambahan untuk


menguatkan dalil-dalil surat gugatan yang telah diajukan oleh penggugat.
Dalam repliek ini penggugat tinggal menyangkal atau membenarkan
jawaban tergugat yang disertai dengan alat bukti yang ada.1
2) Duplik

1 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.165.
Secara teknis duplik dapat diartikan jawaban ke dua.dalam common law
disebut rejoinder, berupa jawaban balik dari tergugat terhadap replik
penggugat. Dalam system peradilan Indonesia , duplik merupakan
jawaban replik penggugat. Hal ini di tegaskan pada pasal 142 Rv, yang
memberi hak kepada penggugat mengajukan replik atas jawabam tergugat
dan selanjutnya memberi hak kepada tergugat mengajukan duplik
terhadap replik tergugat.

Jadi, repliek dan dupliek yang terjadi dalam persidangan adalah jawaban
balasan yang dibuat oleh masing-masing pihak baik penggugat maupun tergugat
untuk menyangkal atau membenarkan yang disertai dengan dalil-dalil.

Dalam praktik setelah terjadi jawaban repliek dan dupliek, yang disertai
dengan pembuktian, maka masing-masing pihak membuat kesimpulan-
kesimpulan atau konklusi tentang kebenaran repliek dan dupliek. Tujuan dari
pada kesimpulan ini adalah untuk menyampaikan pendapat para pihak, baik
tergugat maupun penggugat kepada hakim tentang terbukti yang dihadapi kedua
belah pihak yang bersengketa menjadi jelas, sehingga dalam praktiknya dapat
mempermudah hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang sedang
diperiksa dipersidangkan. 2

B. Eksepsi

Berasal dari kata Exceptie (Belanda), Exeption (Inggris) yang secara


umum berarti pengecualian. Akan tetapi, dalam kontes Hukum Acara,bermakna
tangkisan atau bantahaan.

Tujuan pengajuan eksepsi sendiri yaitu agar pengadilan mengakhiri proses


pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara. Pengakhran
yang diminta melalui eksepsi bertujuan agar pengadilan menjatuhkan putusan
negative,yang menyatakan gugatan tidak di terima. Berdasarkan putusan negative

2 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.166.
itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung penyelesaian materi pokok
perkara.

Cara Pengajuan Eksepsi


a. cara pengajuan eksepsi kewenangan absolut
1. dapat diajukan setiap saat
dapat diajukan semenjak proses siding dimulai hingga putusan
dijatuhkan.
2. secara ex-officio Hakim harus menyatakan diri tidak berwenang
tentang hal ini, lebih jelas diatur dalam pasal 132 Rv.
3. dapat di ajukan tingkat Banding dan Kasasi
b. cara pengajuan eksepsi kompetensi relative
(1) bentuk pengajuan :
 berbentuk lisan
 berbentuk tulisan
(2) saat pengajuan kompetensi relative
memperhatikan ketentuan pasal 125 ayat (2) dan pasal 133 HIR,
pengajuan eksepsi ini harys di sampaikan :
 pada sidang pertama.
 bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama
terhadap materi pokok perkara.3

C. Rekonvensi ( Gugat Balasan )

Rekonvensi atau gugat balasan atau yang biasa disebut dengan gugat-menggugat
antara pihak penggugat dan tergugat diatur dalam:

a. Pasal 132 a HIR dinyatakan bahwa:

1) Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan


kecuali:

3 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika,2008), hlm.418-422.


1e. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang
gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya.
2e. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak
berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok
perselisihan.
3e. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan.
2) Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat
melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.

b. Pasal 132 b HIR ditentukan bahwa:

1) Tergugat wajib memajukan gugatan melawan bersama-sama degan


jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan.
2) Buat gugatan melawan berlaku peraturan pada bagian ini.
3) Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu
keputusan hakim, kecuali kalau pengadilan negeri berpendapat, bahwa
perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dahulu daripada yang lain;
dalam hal ini, kedua perkara itu boleh diperiksa satu per satu, tetapi
tuntutan asal dan tuntutan balik yang belum diputuskan itu tetap diperiksa
oleh hakim yang sama, sampai qatuhkan keputusan terakhir.
4) Orang boleh naik banding, jika banyaknya uang dalam tuntutan asal di.
tambah uang dalam tuntutan balik lebih daripada jumlah uang yang boleh
diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi.
5) Bila kedua perkara itu dipisahkan dan diputuskan sendiri-sendiri, maka
harus dituruti peraturan biasa tentang hak naik banding itu.

c. Pasal 157 RBg

1) Tergugat berwenang untuk mengajukan gugatan bank dalam segala hal,


kecuali bila penggugat dalam konvensi bertindak dalam suatu kedudukan,
sedangkan gugatan balik mengenai diri pribadinya dan sebaliknya
2) Apabila pengadilan negeri yang menangani gugatan asalnya tidak
berwenang mengadili persoalan yang menjadi inti gugatan balik yang
bersangkutan.
3) Tentang perselisihan mengenai pelaksanaan suatu keputusan hakim.
4) Jika dalam tingkat pertama tidak diajukan gugatan balik, maka hal itu
tidak dimungkinkan dalam tingkat banding.

d. Pasal 158 RBg ditentukan bahwa:

1) Tergugat dalam gugatan-asal wajib mengajukan gugatan-baliknya


bersama-sama dengan jawabannya yang tertulis atau lisan.
2) Peraturan-peraturan dalam bab ini berlaku untuk gugatan-balik.
3) Kedua perkara diperiksa bersama-sama dan diputus dengan satu
keputusan, kecuali bila hakim memandang perlu untuk memutus perkara
yang satu lebih dahulu daripada yang lain dengan ketentuan bahwa
gugatan-asal atau gugatan balik yang belum diputus harus diselesaikan
oleh hakim yang sama.
4) Diperbolehkan pemeriksaan tingkat banding bila tuntutan dalam gugatan
asal ditambah dengan nilai gugatan balik melebihi wewenang hakim
untuk memutus dalam tingkat akhir.
5) Akan tetapi jika kedua perkara dipisah dan diputus sendiri-sendiri, maka
harus diikuti ketentuanketentuan biasa mengenai pemeriksaan banding.

Dari bunyi beberapa pasal tersebut di atas dapat didefinisikan bahwa yang
dimaksud dengan rekonvensi atau gugat balasan atau gugat menggugat atau dapat
juga disebut dengan gugat dalam rekonvensi adalah gugatan balasan yang
diajukan oleh tergugat terhadap penggugat bersama-sama dengan jawaban
tergugat atas gugatan penggugat dalam sengketa yang sama. Gugatan balasan ini
dapat diajukan oleh tergugat baik dengan cara tertulis maupun lisan sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 132 b ayat (1) HIR jo. Pasal 158 ayat (1) RBg.4

4 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.175..
Dalam gugat balasan ini praktiknya tergugat tidak perlu membuat surat
permohonan pengajuan gugatan baru, tetapi tergugat cukup mengajukan gugat
balasan kepada penggugat yang pengajuannya dijadikansatu dengan jawaban
tergugat atas gugatan penggugat. Pengajuan gugat balasan ini pihak tergugat
tidak dikenakan biaya perkara oleh pengadilan negeri. Dengan adanya gugatan
balasan ini dalam praktiknya akan dapat memperlancar jalannya persidangan
karena dua gugatan dalam persoalan/sengketa yang sama dapat dijadikan satu
sekaligus dan diperiksa oleh hakim yang sama dalam waktu dan tempat yang
sama pula. Gugatan balasan yang dijadikan satu dengan jawaban tergugat dalam
praktiknya dapat diselesaikan sekaligus oleh hakim dalam satu keputusan, kecuali
apabila hakim memandang perlu bahwa untuk perkara yang pertama yaitu
gugatan penggugat terhadap tergugat harus diselesaikan terlebih dahulu daripada
gugatan kedua yang diajukan oleh tergugat (gugatan balasan), maka gugatan
balasan yang diajukan oleh tergugat yang belum diselesaikan oleh hakim dapat di
periksa dan diputus secara terpisah, tetapi harus diperiksa dan diputus oleh hakim
yang sama (Pasal 132b ayat (3) HIR jo. Pasal 158 ayat (3) RBg).5

Gugat balasan ini dalam praktik dapat diajukan upaya banding, jika
banyaknya uang pada gugatan asal ditambah dengan uang gugatan balasan
jumlah nilai nominalnya lebih tinggi daripada keputusan pengadilan tingkat
pertama (Pasal 132 b ayat (4) HIR jo. Pasal 158 ayat (4) RBg).

Dalam gugat balasan apabila penyelesaiannya dan keputusannya dipisahkan


dengan gugatan asal, diperbolehkan mengajukan upaya banding seperti
mengajukan upaya banding dalam acara biasa (Pasal 132 b ayat (5) HIR jo. Pasal
158 ayat (5) RBg).

5 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.176..
Apabila dalam pengadilan tingkat pertama tergugat tidak mengajukan gugatan
balasan, maka gugat balasan tidak diperbolehkan diajukan dalam tingkat banding
(Pasal 132 a ayat (2) HIR jo. Pasal 157 ayat (4) RBg).

Dalam persidangan gugatan balasan yang disertai dengan rekonvensi ini


praktiknya hakim dalam memberikan keputusan terhadap para pihak yang
bersengketa pertimbangan hukumnya ada 2 (dua) hal, yaitu:

a) Pertimbangan hukum dalam konvensi.


b) Pertimbangan hukum dalam rekonvensi.

Dalam praktik di persidangan pengadilan negeri gugatan balasan atau gugatan


dalam rekonvensi ini kedudukan antara penggugat dan tergugat semula posisinya
berubah, yang man kedudukan dari tergugat yang sebelumnya dalam gugatan
konvensi (gugatan asal) sebagai tergugat dan dalam gugatan rekonvensi (gugat
balasan) menjadi penggugat, sedangkan kedudukan penggugat yang sebelumnya
dalam gugatan konvensi sebagai penggugat, dalam gugatan rekonvensi berubah
menjadi tergugat.6

Gugatan balasan yang diajukan oleh tergugat ini merupakan suatu hak
istimewa yang diberikan oleh hukum acara perdata kepada tergugat yaitu hak
untuk mengajukan gugatan tanpa harus melalui prosedur dan membuat gugatan
baru, tetapi tergugat dapat mengajukan gugat balasan dan pengadilan yang sama
pula, sehingga keputusannya dapat dijadikan satu keputusan yang memuat 2
(dua) masalah.

Adapun manfaat dari gugatan balasan atau gugat dalam rekonvensi yang
diajukan oleh pihak tergugat antara lain sebagai berikut.

a) Dapat menghemat biaya perkara.

6 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.176..
b) Dapat memberikan kemudahan bagi hakim untuk mengadakan
pemeriksaan.
c) Dapat mempercepat penyelesaian suatu sengketa.
d) Dapat menghindari adanya keputusan yang bertentangan karena ditangani
oleh hakim yang sama.

Pengajuan gugat balasan pada asasnya hanya dapat ditujukan kepada pihak
yang berkepentingan di dalam setiap sengketa yang ditangani di pengadilan, jika
ternyata dalam praktik gugat balasan di tujukan kepada pihak yang mewakili
penggugat atau kuasa hukumnya yang tidak ada hubungan dengan pokok perkara,
maka gugat balasan akan dinyatakan oleh hakim tidak dapat diterima dengan
alasan tidak ada hubungannya dengan pokok perkara (Pasal 132a ayat (1) HIR jo.
Pasal 157 ayat (1) RBg jo. Pasal 244 Rv).7

Gugatan balasan ini pada asasnya dapat diajukan dalam setiap sengketa di
persidangan pengadilan negeri, kecuali:

a) Apabila penggugat bertindak untuk dan atasnama suatu badan hukum atau
badan usaha atau mewakili perorangan, sedangkan gugatan balasan
mengenai diri penggugat secara pribadi atau sebaliknya.
Misalnya:
Tuan Kardi, S.H., M. Hum, Advokad, sebagai penggugat bertindak untuk
dan atas nama PT Cardinal menggugat Tuan Panji. Tergugat dalam hal ini
tidak diperkenankan mengajukan gugatan balasan kepada Tuan Kardi,
S.H., M.Hum, secara pribadi, karena bertindak untuk dan atas nama PT
dan bukan untuk dirinya sendiri, sehingga tidak ada hubungan langsung
antara penggugat dan tergugat, tetapi gugatannya harus ditujukan kepada
direktur PT Cardinal.

7 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.177.
b) Apabila pengadilan negeri yang memeriksa surat permohonan gugatan
penggugat tidak berwenang dan atau tidak berkuasa memeriksa pokok
permasalahannya masuk dalam kompetensi absolut.
Misalnya:
Tuan Rohman, Anggota TNI menggugat Tuan Fatkhor dalam perkara
utang piutang. Tergugat Tuan Fatkhor mengajukan gugatan balasan
terhadap penggugat Tuan Rohman tentang permohonan ganti rugi atas
pemukulan terhadap dirinya. Gugatan balasan yang diajukan oleh Tuan
Fatkhor tidak dapat diterima karena telah melanggar kompetensi absolut
atau merupakan kewenangan pengadilan militer.
c) Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan.
Misalnya:
Perkara para pihak baik penggugat maupun tergugat telah sampai pada
pelaksanaan eksekusi terhadap barang-barang bergerak maupun tidak
bergerak atau telah dikeluarkan keputusan, maka gugatan balasan tidak
diperkenankan oleh pengadilan negeri karena perkara yang ditangani oleh
hakim telah selesai, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengajukan
gugatan balasan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Repliek jawaban balasan penggugat terhadap jawaban tergugat


dalam suatu perkara di sidang pengadilan. Duplik merupakan jawaban
replik penggugat. Hal ini di tegaskan pada pasal 142 Rv, yang memberi
hak kepada penggugat mengajukan replik atas jawabam tergugat dan
selanjutnya memberi hak kepada tergugat mengajukan duplik terhadap
replik tergugat. Rekonvensi atau gugat balasan atau yang biasa disebut
dengan gugat-menggugat antara pihak penggugat dan tergugat. Berasal
dari kata Exceptie (Belanda), Exeption (Inggris) yang secara umum
berarti pengecualian. Akan tetapi, dalam kontes Hukum Acara,bermakna
tangkisan atau bantahan.

B. SARAN
Dalam makalah ini kami masih terdapat banyak kekurangan baik
dari segi penulisan maupun pembahasan. Penulis berharap tulisan ini bisa
di lanjutkan sehingga hal hal yang belum terdapat di dalamnya bisa di
lengkapi.
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.


Sarwono, 2016. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai