PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
“Pasal 142 Rv. Dinyatakan bahwa dalam tenggang waktu sama para pihak
dapat saling menyampaikan surat-surat jawaban (repliek) dan jawaban balik
(depliek) yang dengan cara yang sama, bersama-sama dengan surat-surat yang
bersangkutan diserahkan kepada panitera”.
1) Repliek
1 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.165.
Secara teknis duplik dapat diartikan jawaban ke dua.dalam common law
disebut rejoinder, berupa jawaban balik dari tergugat terhadap replik
penggugat. Dalam system peradilan Indonesia , duplik merupakan
jawaban replik penggugat. Hal ini di tegaskan pada pasal 142 Rv, yang
memberi hak kepada penggugat mengajukan replik atas jawabam tergugat
dan selanjutnya memberi hak kepada tergugat mengajukan duplik
terhadap replik tergugat.
Jadi, repliek dan dupliek yang terjadi dalam persidangan adalah jawaban
balasan yang dibuat oleh masing-masing pihak baik penggugat maupun tergugat
untuk menyangkal atau membenarkan yang disertai dengan dalil-dalil.
Dalam praktik setelah terjadi jawaban repliek dan dupliek, yang disertai
dengan pembuktian, maka masing-masing pihak membuat kesimpulan-
kesimpulan atau konklusi tentang kebenaran repliek dan dupliek. Tujuan dari
pada kesimpulan ini adalah untuk menyampaikan pendapat para pihak, baik
tergugat maupun penggugat kepada hakim tentang terbukti yang dihadapi kedua
belah pihak yang bersengketa menjadi jelas, sehingga dalam praktiknya dapat
mempermudah hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang sedang
diperiksa dipersidangkan. 2
B. Eksepsi
2 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.166.
itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung penyelesaian materi pokok
perkara.
Rekonvensi atau gugat balasan atau yang biasa disebut dengan gugat-menggugat
antara pihak penggugat dan tergugat diatur dalam:
Dari bunyi beberapa pasal tersebut di atas dapat didefinisikan bahwa yang
dimaksud dengan rekonvensi atau gugat balasan atau gugat menggugat atau dapat
juga disebut dengan gugat dalam rekonvensi adalah gugatan balasan yang
diajukan oleh tergugat terhadap penggugat bersama-sama dengan jawaban
tergugat atas gugatan penggugat dalam sengketa yang sama. Gugatan balasan ini
dapat diajukan oleh tergugat baik dengan cara tertulis maupun lisan sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 132 b ayat (1) HIR jo. Pasal 158 ayat (1) RBg.4
4 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.175..
Dalam gugat balasan ini praktiknya tergugat tidak perlu membuat surat
permohonan pengajuan gugatan baru, tetapi tergugat cukup mengajukan gugat
balasan kepada penggugat yang pengajuannya dijadikansatu dengan jawaban
tergugat atas gugatan penggugat. Pengajuan gugat balasan ini pihak tergugat
tidak dikenakan biaya perkara oleh pengadilan negeri. Dengan adanya gugatan
balasan ini dalam praktiknya akan dapat memperlancar jalannya persidangan
karena dua gugatan dalam persoalan/sengketa yang sama dapat dijadikan satu
sekaligus dan diperiksa oleh hakim yang sama dalam waktu dan tempat yang
sama pula. Gugatan balasan yang dijadikan satu dengan jawaban tergugat dalam
praktiknya dapat diselesaikan sekaligus oleh hakim dalam satu keputusan, kecuali
apabila hakim memandang perlu bahwa untuk perkara yang pertama yaitu
gugatan penggugat terhadap tergugat harus diselesaikan terlebih dahulu daripada
gugatan kedua yang diajukan oleh tergugat (gugatan balasan), maka gugatan
balasan yang diajukan oleh tergugat yang belum diselesaikan oleh hakim dapat di
periksa dan diputus secara terpisah, tetapi harus diperiksa dan diputus oleh hakim
yang sama (Pasal 132b ayat (3) HIR jo. Pasal 158 ayat (3) RBg).5
Gugat balasan ini dalam praktik dapat diajukan upaya banding, jika
banyaknya uang pada gugatan asal ditambah dengan uang gugatan balasan
jumlah nilai nominalnya lebih tinggi daripada keputusan pengadilan tingkat
pertama (Pasal 132 b ayat (4) HIR jo. Pasal 158 ayat (4) RBg).
5 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.176..
Apabila dalam pengadilan tingkat pertama tergugat tidak mengajukan gugatan
balasan, maka gugat balasan tidak diperbolehkan diajukan dalam tingkat banding
(Pasal 132 a ayat (2) HIR jo. Pasal 157 ayat (4) RBg).
Gugatan balasan yang diajukan oleh tergugat ini merupakan suatu hak
istimewa yang diberikan oleh hukum acara perdata kepada tergugat yaitu hak
untuk mengajukan gugatan tanpa harus melalui prosedur dan membuat gugatan
baru, tetapi tergugat dapat mengajukan gugat balasan dan pengadilan yang sama
pula, sehingga keputusannya dapat dijadikan satu keputusan yang memuat 2
(dua) masalah.
Adapun manfaat dari gugatan balasan atau gugat dalam rekonvensi yang
diajukan oleh pihak tergugat antara lain sebagai berikut.
6 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.176..
b) Dapat memberikan kemudahan bagi hakim untuk mengadakan
pemeriksaan.
c) Dapat mempercepat penyelesaian suatu sengketa.
d) Dapat menghindari adanya keputusan yang bertentangan karena ditangani
oleh hakim yang sama.
Pengajuan gugat balasan pada asasnya hanya dapat ditujukan kepada pihak
yang berkepentingan di dalam setiap sengketa yang ditangani di pengadilan, jika
ternyata dalam praktik gugat balasan di tujukan kepada pihak yang mewakili
penggugat atau kuasa hukumnya yang tidak ada hubungan dengan pokok perkara,
maka gugat balasan akan dinyatakan oleh hakim tidak dapat diterima dengan
alasan tidak ada hubungannya dengan pokok perkara (Pasal 132a ayat (1) HIR jo.
Pasal 157 ayat (1) RBg jo. Pasal 244 Rv).7
Gugatan balasan ini pada asasnya dapat diajukan dalam setiap sengketa di
persidangan pengadilan negeri, kecuali:
a) Apabila penggugat bertindak untuk dan atasnama suatu badan hukum atau
badan usaha atau mewakili perorangan, sedangkan gugatan balasan
mengenai diri penggugat secara pribadi atau sebaliknya.
Misalnya:
Tuan Kardi, S.H., M. Hum, Advokad, sebagai penggugat bertindak untuk
dan atas nama PT Cardinal menggugat Tuan Panji. Tergugat dalam hal ini
tidak diperkenankan mengajukan gugatan balasan kepada Tuan Kardi,
S.H., M.Hum, secara pribadi, karena bertindak untuk dan atas nama PT
dan bukan untuk dirinya sendiri, sehingga tidak ada hubungan langsung
antara penggugat dan tergugat, tetapi gugatannya harus ditujukan kepada
direktur PT Cardinal.
7 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik ( Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm.177.
b) Apabila pengadilan negeri yang memeriksa surat permohonan gugatan
penggugat tidak berwenang dan atau tidak berkuasa memeriksa pokok
permasalahannya masuk dalam kompetensi absolut.
Misalnya:
Tuan Rohman, Anggota TNI menggugat Tuan Fatkhor dalam perkara
utang piutang. Tergugat Tuan Fatkhor mengajukan gugatan balasan
terhadap penggugat Tuan Rohman tentang permohonan ganti rugi atas
pemukulan terhadap dirinya. Gugatan balasan yang diajukan oleh Tuan
Fatkhor tidak dapat diterima karena telah melanggar kompetensi absolut
atau merupakan kewenangan pengadilan militer.
c) Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan.
Misalnya:
Perkara para pihak baik penggugat maupun tergugat telah sampai pada
pelaksanaan eksekusi terhadap barang-barang bergerak maupun tidak
bergerak atau telah dikeluarkan keputusan, maka gugatan balasan tidak
diperkenankan oleh pengadilan negeri karena perkara yang ditangani oleh
hakim telah selesai, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengajukan
gugatan balasan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Dalam makalah ini kami masih terdapat banyak kekurangan baik
dari segi penulisan maupun pembahasan. Penulis berharap tulisan ini bisa
di lanjutkan sehingga hal hal yang belum terdapat di dalamnya bisa di
lengkapi.
DAFTAR PUSTAKA