Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

“UPAYA HUKUM DI PERADILAN AGAMA”


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Hukum Acara Peradilan agama

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Revina Aprillia ( 2130101129 )

Dosen Pengampu : Achmad Fikri Oslami,S.H.I., M.H.I

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG


PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peradilan Agama adalah kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud Undang undang.
Dalam undang-undang diupayakan seadil-adil dalam pembuatannya dan juga penerapan
undang- undang tersebut.
Dalam memutuskan suatu perkara keputusan hakim tidak luput dari kesalahan,
kekhilafan, dan kekeliruan. Oleh sebab itu maka putusan hakim dapat diperbaiki. Agar
putusan tersebut dapat diperbaiki perlu diperiksa ulang putusan tersebut dengan terdapat
upaya hukum.
Upaya hukum merupakan suatu usaha yang diberikan undang-undang bagi
seseorang untuk melawan putusan hakim karena tidak puas dengan putusan tersebut dan
karena putusan tersebut dianggap tidak adil, tidak sesuai dengan yang diinginkan maka
seorang tersebut dapat mengajukan upaya hukum.
Para pihak yang merasa keputusan pengadilan tidak mencakup keadilan bisa
mengajukan perlawanan putusannya baik ditingkat banding yaitu di Pengadilan Tinggi,
di tingkat Kasasi dan peninjauan kembali yaitu di Mahkamah Agung. Pemberian hak
kepada para pihak untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan pengadilan dimaksud
untuk mencegah adanya putusan hakim yang salah1

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari Upaya Hukum,?
2. Apa yang dimaksud dengan Verzet , Banding, Kasasi ?
3. Apa yang dimaksud dengan Peninjauan Kembali ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Dapat Mengetahui dan Mengerti apa yang di maksud dari Upaya Hukum
2. Dapat Memahami dan Mengerti apa yang di maksud dari Verzet,Banding dan
Kasasi
3. Dapat Mengetahui dan Mengerti apa yang di maksud dari Peninjauan Kembali

1 Rahmawati, Arvina. "UPAYA HUKUM DALAM PERADILAN AGAMA DI INDONESIA”

2
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN UPAYA HUKUM

Istilah upaya hukum merupakan gabungan dari 2 unsur kata, yaitu “upaya” dan “hukum”.
Di dalam kamus bahasa indonesia, kata “upaya” berarti usaha, ikhtiar untuk mencapai
maksud tertentu. Menurut kamus ilmiah populer, kata upaya diartikan sebagai usaha, akal,
ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dan
sebagainya) daya upaya. Merujuk pada arti kata “upaya” tersebut, maka secara sederhana
upaya hukum dapat diartikan sebagai suatu usaha atau ikhtiar melalui sarana hukum untuk
mencapai suatu maksuda atau tujuan tertentu.2

Kemudian R. Atang Ranoemihardja Mengartikan:

“Upaya hukum sebagai usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa
tidak puas terhadap putusan hakim yang dianggap tidak adil atau kurang tepat.”3

Dari beberapa pengertian yang dipaparkan di atas maka upaya hukum dapat diartikan
sebagai sarana atau alat yang disediakan oleh hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan
(stake holders) untuk melawan atau tidak menerima putusan yang diucapkan majelis hakim di
sidang pengadilan. Upaya hukum tersebut disediakan untuk mencegah kesalahan atau
kekeliruan atas keputusan pengadilan. Mengenai pengertian upaya hukum dalam perkara
pidana dapat dilihat pada ketentuan pasal 1 angka 12 KUHAP, yang rumusannya:

" Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut hukum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa melawan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini."

2 Ramiyanto, S.H.I., M.H., 2019, Upaya upaya hukum di dalam hukum positif dan Perkembangannya,
Palembang,Citra Aditya Bakti, hlm. 7
3 Andi Muhammad Sofyan, Abd.asis,Amir Iiyas, 2014, Hukum acara pidana edisi ketiga, Jakarta, Kencana,
hlm.
261
3
B. VERZET

Verzet adalah perlawanan terhadap putusan yang telah dijatuhkan secara verstek (tanpa
hadirnya tergugat/termohon sama sekali) oleh pengadilan tingkat pertama yang diajukan oleh
tergugat/termohon. Jangka waktu Verzet 14 hari sesudah tergugat/termohon menerima sendiri

pemberian putusan. Dengan adanya pemohonan verzet maka majelis hakim yang memutus
perkara dengan putusan verstek membuka kembali persidangan dengan memanggil kembali
para pihak ke persidangan untuk pemeriksaan perlawanan/verzet dengan pemeriksaan biasa.
Apabila dalam pemeriksaan perlawanan ternyata tergugat/termohon tidak hadir setelah
dipanggil secara sah dan patut maka sudah tidak ada lagi kesempatan bagi tergugat/termohon
untuk melakukan perlawanan lagi. Jika tergugat mengajukan perlawanan sekali maka
perlawanannya itu tidak dapat diterima.4

1. Pemeriksaan Perlawanan (Verzet)


a. Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula.

Dalam Putusan MA No. 938K/ Pdt/1986, terdapat pertimbangan sebagai berikut:

Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran pelawan atau tergugat


asal menghadiri persidangan, tidak relevan karena forum untuk memperdebatkan masalah
itu sudah dilampaui. Putusan verzet yang hanya mempertimbangkan masalah sah atau
tidak ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan sidang adalah keliru.

b. Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan.

Berdasarkan Pasal 129 ayat (3) HIR, perlawanan diajukan dan diperiksa dengan acara
biasa yang berlaku untuk acara perdata. Dengan begitu, kedudukan pelawan sama dengan
tergugat. Berarti surat perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada PN, pada
hakikatnya sama dengan surat jawaban yang digariskan Pasal 121 ayat (2) HIR. Kualitas surat
perlawanan sebagai jawaban dalam proses verzet dianggap sebagai jawaban pada sidang
pertama.

2. Beban Pembuktian dalam Putusan Verzet/Perlawanan


a. Pemeriksaan dan putusan terhadap perkara perlawanan adalah seperti halnya
perkara biasa. Hal ini berarti bahwa perlawanan yang semula kedudukannya
sebagai tergugat dalam soal pembuktian harus tetap diperlakukan selaku
4 Ibid., hlm 262

4
tergugat, artinya yang lebih dulu membuktikan/memberi alat-alat pembuktian
adalah terlawan sebagai penggugat asal (SEMA No. 9/1964, tanggal 13-04-
1964).
b. Dalam pemeriksaan karena kedudukan para pihak tidak berubah maka pihak
penggugatlah (terlawan) yang harus memulai dengan pembuktian.
c. Cara pembuktian perkara verzet ialah bukti-bukti tertulis cukup dikonfirmasikan
kepada pelawan, sedangkan bukti saksi-saksi dibacakan keterangan saksi
terdahulu yang ditulis dalam berita acara dan tidak mesti dihadirkan dalam
sidang.
3. Putusan Perlawanan
a. Putusan verzet
Putusan verzek yang dijatuhkan pengadilan merupakan koreksi terhadap
putusan verstek. Tepat atau tidaknya putusan verstek tersebut, dinilai dan
dipertimbangkan PN dalam putusan verzet.
b. Bentuk putusan verzet
1. Verzet tidak dapat diterima apabila tenggang waktu mengajukan verzet
telah dilampaui.
2. Menolak verzet atau perlawanan apabila pelawan sebagai tergugat asal
tidak mampu melumpuhkan kebenaran dalil gugatan terlawan sebagai
penggugat asal, berarti pendapat dan pertimbangan yang terkandung dalam
putusan verstek adalah tepat dan benar, karena itu telah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
3. Mengabulkan perlawanan, apabila terlawan sebagai penggugat asal, tidak
mampu membuktikan dalil gugatan.5

C. BANDING

a. Pengertian

Menurut bahasa Indonesia, Banding adalah permohonan pemeriksaan ulangan terhadap


Putusan Pengadilan, imbangan, Tara, persamaan.

5 Dr.Sophar Maru Hutagalung,S.H., M.H. 2019, Praktik Pengandialan Perdata,kepailitan & Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Sinar Grafika: hlm. 120-122

5
Kemudian kamus ilmiah populer memberikan dua arti terhadap istilah banding yaitu

1. Persamaan, Tara, imbangan;


2. Pertimbangan pemeriksaan ulang terhadap putusan pengadilan oleh pengadilan lebih
tinggi atas permintaan terdakwa atau jaksa naik apel.

Merujuk pada kedua pengertian tersebut, maka secara sederhana istilah banding dapat
diartikan sebagai upaya untuk meminta pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan tingkat
bawah kepada pengadilan yang lebih tinggi. 6 Karena merasa belum puas dengan keputusan
pengadilan tingkat pertama.

Menurut Abdulkabir Muhammad,

"Banding adalah pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap
pengadilan atas atas permohonan pihak yang berkepentingan.7

b. Syarat -syarat banding


1. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara
2. Diajukan masih dalam masa tenggang waktu banding
3. Putusan tersebut menurut hukum boleh diminta banding
4. Pembayaran panjar biaya banding kecuali dengan hal prodeo
5. Menghadap ke paniteraan pengadilan agama yang putusannya dimohonkan
banding
c. Tujuan Banding

Adapun tujuan pengajuan permohonan banding oleh terdakwa atau penasihat hukum
atau penuntut umum adalah untuk memperoleh keputusan yang lebih memuaskan atau lebih
tepat. Menurut R. Soesilo bahwa tujuan banding itu gunanya untuk memberikan kesempatan
kepada kedua belah pihak yang beperkara, dalam hal perkara pidana, terdakwa, dan penuntut
umum, untuk mendapatkan keputusan yang lebih memuaskan dari hakim yang lebih tinggi,
yaitu bagi penuntut umum untuk mendapatkan keputusan yang lebih berat, sedangkan bagi
terdakwa untuk mendapatkan putusan yang lebih ringan.

6 Ramiyanto, S.H.I., M.H., 2019, Upaya upaya hukum perkara pidana di dalam hukum positif dan
Perkembangannya, Palembang,Citra Aditya Bakti, hlm. 55

7 Abdulkabir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 165.
6
d. Tenggang waktu Pengajuan Banding
1. Bagi pihak yang bertempat kediaman di daerah hukum pengadilan agama yang
putusannya dimohonkan banding tersebut maka massa bandingnya yakni 14 hari
terhitung mulai hari berikut dari hari pengumuman putusan kepada yang
bersangkutan.
2. Bagi pihak yang bertempat kediaman di luar daerah hukum pengadilan agama yang
putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandingnya yakni 30 hari
terhitung mulai dari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang
bersangkutan (pasal 7 undang-undang nomor 20 tahun 1947 tentang peraturan
peradilan ulangan di Jawa dan Madura Jo undang-undang Republik Indonesia
nomor 50 tahun 2009).

3. Dalam hal permohonan banding dengan prodeo maka masa banding dihitung mulai
dari berikutnya dari hari pemberitahuan putusan pengadilan tinggi agama tentang
izin perkara secara prodeo tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh
pengadilan agama.8

D. KASASI

a. Pengertian

Di dalam bahasa Prancis, istilah kasasi disebut dengan istilah "cassation" yang berasal
dari kata kerja "casser" yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga kalau suatu
permintaan kasasi terhadap suatu putusan pengadilan bawahan itu diterima oleh mahkamah
agung berarti putusan tersebut dibatalkan karena dianggap mengandung kesalahan dalam
penerapan hukum.9

Menurut Nikolas Simanjuntak, casser sebagai asal kata kasasi berarti membatalkan
suatu putusan hakim ( pengadilan) demi tercapainya kesatuan peradilan, yang berarti itu juga
sebagai kesatuan penafsiran hukum untuk menjembatani pembuat undang-undang dengan
pelaksana kekuasaan kehakiman.10

b. Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi

8 Dr. Muhammad sadi Is, S.H.I., M.H 2015 Pendidikan dan latihan Kemahiran hukum hal.41
9 R. Subekts, 1992, Kekuasaan Mahkamah Agung R 1. Bandung Alumni, h 2
10 Nikolas Simanjuntak. 2009. Acaro Pidano indonesila daliam Sirkess Hukum, Bogor Ghalia Indonesia, h.
296.
7
1. Diajukan oleh pihak yang mengajukan kasasi
2. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi
3. Putusan atau penetapan judex factie menurut hukum saat dimintakan kasasi
4. Membuat memori kasasi
5. Membayar panjar biaya kasasi
6. Menghadap ke paniteraan pengadilan agama yang bersangkutan
c. Permohonan kasasi hanya di ajukan dalam masa tenggang waktu kasasi, yaitu 14
hari sesudah putusanatau penetapan pengadilan di beritahukan kepada yang
bersangkutan.

E. PENINJAUAN KEMBALI

a. Pengertian

Peninjauan kembali sering juga disebut istilah revision (inggris) dan herziening
(Belanda). Peninjauan berasal dari kata ‘‘tinjau‘‘ yang dapat disepadankan artinya dengan
melihat, mengamati, atau memeriksa. Didalam kamus hukum, yang dimaksud dengan
herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap; revisi.11 R. Atang Ranoemihardja Mengartikan herziening
sebagai pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah diberi putusan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.12

b. Syarat-syarat mengajukan peninjauan kembali


1. Diajukan oleh pihak yang berperkara
2. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
3. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya
4. Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang
5. Membayar panjar biaya peninjauan kembali
6. Menghadap ke paniteraan pengadilan agama yang memutus perkara pada tingkat
pertama

11 J.C.T. Simorangkir, et, al, 2008, Kamus Hukum,


Jakarta: Sinar Grafika, h, 64, 12 R. Atang
Ranoemihardja, 1976, Hukum Acara Pidana, Bandung:
Tarsito, h.128.

8
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka dapat memberikan


kesimpulan sebagai berikut :

Upaya hukum merupakan hak bagi orang yang berperkara di pengadilan untuk tidak
menerima putusan pengadilan atau upaya yang diberikan oleh undang -undang kepada
seorang atau badan hukum untuk hal tertentu melawan putusan hukum.

Pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan pelaksanaan eksekusi, kecuali dalam
putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar
bij voorraad), sehingga meskipun diajukan upaya hukum biasa dilakukan namun eksekusi
tetap dapat dijalankan. Berbeda dengan upaya hukum luar biasa pada azasnya tidak
menangguhkan pelaksanaan eksekusi kecuali adanya alasanalasan lain yang esensial.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkabir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti,

Dr. Muhammad sadi Is, et, al ,2015, Pendidikan dan latihan Kemahiran Hukum
Happy Ei Rais, 2012, Kamus limpiah Populer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

J.C.T. Simorangkir, et, al, 2008, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,

Nikolas Simanjuntak. 2009. Acaro Pidana indonesila daliam Sirkess Hukum, Bogor Ghalia
Indonesia,

R. Atang Ranoemihardja, 1976 Hukum Acara Pidana, Bandung: Tarsito, Bandingkan dengan
Andy Sofyan dan Abdy. Aziz, 2014, Hukum Acara pidana suatu
pengantar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

R. Subekts, 1992, Kekuasaan Mahkamah Agung R 1. Bandung Alumni,

10

Anda mungkin juga menyukai