Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

TATA URUTAN PERSIDANGAN PENGADILAN AGAMA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Hukun Acara Peradilan Agama
Dosen Pengampu : Fithriyatus Sholihah, S.H.I., M.H.

Disusun Oleh :
Arini Astari (2102016148)
Indana Zulfa Salsabila (2102016165)
Maula Nuril Adib (2102016174)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN WALISONGO
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengadilan Agama merupakan salah satu diantara empat lingkungan
peradilan negara, tempat daya upaya mencari keadlilan atau penyelesaian
perselisihan hukum perdata yang dilakukan dengan merujuk kepada
peraturan syariat islam. Melalui Lembaga peradilan, diharapkan dapat
diselesaikan melalui putusan hakim. Meskipun ada paradigma yang
mengatakan bahwa menyelesaikan perkara melalui jalur pengadilan akan
berakhir dengan kenyataan “menang jadi arang, kalah jadi abu”.
Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah peradilan
agama yang merupakan peradilan khusus bertugas dan berwenang
menerima, memutus, mempertimbangkan kronologis kejadian,
menyelesaikan perkara di tingkat pertama dibidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam,
wakaf dan sodaqoh serta ekonomi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tata cara persidangan di pengadilan agama?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengajuan tuntuan hak (permohonan / gugatan) upaya


perdamaian/mediasi
Perdamaian adalah sebuah keniscayaan, di tengah peliknya
permasalahan tidak menutup kemungkinan akan tercapainya sebuah
kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahannya secara baik-baik di luar
putusan Majelis Hakim. Hal tersebut merupakan esensi dari sebuah lembaga
peradilan, menumbuhkan rasa keadilan, kesamaan dan memberikan solusi
terbaik dalam menghadapi dan melayani masyarakat. Pengadilan Agama tidak
hanya berkewajiban untuk memeriksa dan memutus perkara, lebih dari itu
menghadirkan sebuah solusi dalam permasalahan adalah bukti kongkrit yang
dibutuhkan oleh masyarakat luas. sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, tidak hanya dapat terselenggaranya litigasi di hadapan Majelis,
juga perdamaian tersebut dapat difasilitasi dengan pelaksanaan mediasi.
Mediasi diikuti kedua belah pihak Penggugat dan tergugat, supaya
tercapai Kesepakatan Perdamaian Sebagian sebagaimana tertuang dalam
Laporan Mediator kepada Hakim Pemeriksa Perkara tersebut.
(pasal 130 HIR, pasal 154 RBg). Pada permulaan persidangan,
sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara para pihak
berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta Perdamaian
yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak berhasil dilanjutkan
pada tahap berikutnya.

B. Pembacaan Gugatan
(pasal 131 HIR, pasal 155 RBg). Sebelum pembacaan gugatan ada
beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat yaitu:
1.      Mencabut gugatan.
2.      Merubah gugatan
3.      Mempertahankan gugatan.
Jika gugatan dipertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan
pada tahap berikutnya
C. Penyampaian jawaban oleh tergugat
1. Exeptief verweer (bantahan yang tidak langsung mengenai pokok
perkara) terdiri dari :
a) Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok
perkaranya ditolak pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :
–          Eksepsi absolut, berkenaan dengan perkara yang bersangkutan
bukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan
kewenangan lingkungan peradilan lain.
–          Eksepsi relatif berkenaan dengan perkara yang bersangkutan
adalah kewenangan Pengadilan laian dalam satu lingkungan
Peradilan yang sama.
–          Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan gugatan yang
bersangkutan pernah diputus oleh Hakim Pengadilan yang
terdahulu dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
–          Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa Penggugat tidak
mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salah
menentukan pihak Tergugat.
b) Eksepsi materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yang
memeriksa perkara tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil
gugatannya bertentangan dengan hukum perdata materiil, meliputi:
–          Eksepsi dilatoir, karena gugatan belum tiba saatnya diajukan
oleh Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat hukum.
–          Eksepsi aan hanging geding, yaitu perkara yang sama masih
bergantung dalam proses pengadilan lain dan belum ada putusan
yang berkekuatan hukum tetap.
–          Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok gugatan, seperti
gugatan telah lampau waktunya, atau karena Tergugat telah
dibebaskan dari kewajiban membayar.
–          Eksepsi plurium litis consortium, yaitu bahwa yang digugat
seharusnya termasuk Tergugat lain, tidak hanya Tergugat sendiri.
–          Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa gugatan kabur tidak jelas
permasalahannya dan tidak beralasan.
–          Eksepsi karena petitum yang diajukan tidak didukung oleh
positanya.
2.      Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungan dengan
pokok perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan melumpuhkan
dalil gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukum yang berkenaan
dengan posita, menyingkirkan kekuatan pembuktian dalil gugatan dengan
alat bukti lain yang sah sesuai dengan batas minimum pembuktian dan
sebagainya.
3.      Pengakuan, jawaban yang membenarkan seluruh atau sebagian dalil
gugatan. Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil gugatan,
maka dalil gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.
4.      Referte, jawaban dengan tidak membantah atau membenarkan gugatan,
tetapi menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat hanya
menunggu putusan Hakim.
5.      Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap
Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132 a dan pasal
132 b HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg).
Tujuannya :
1. Menggabungkan dua tuntutan yang saling berhubungan.
2. Mempermudah prosedur.
3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan.
4. Mempersingkat dan menyederhanakan pembuktian.
5. Menghemat biaya.
Syarat-syarat gugatan rekonpensi :
1. Diajukan bersama-sama dengan jawaban. Menurut pendapat lain sampai
dengan sebelum pembuktian. Rekonpensi tidak dapat diajukan dalam tingkat
banding atau kasasi.
2. Diajukan terhadap Penggugat dalam kwalitas yang sama.
3. Diajukan masih dalam lingkup kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.
4. Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan.
5. Bukan mengenai pelaksanaan putusan

D. Penyampaian Replik dari Penggugat.


Yaitu tanggapan terhadap jawaban Tergugat, dengan tetap
mempertahankan gugatannya, atau Penggugat merubah sikap dengan
membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat.

E. Penyampaian duplik dari Tergugat.


Yaitu tanggapan terhadap replik Tergugat, dengan tetap mempertahankan
jawabannya, atau bersikap seperti Penggugat dalam repliknya.
Apabila jawab menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak
disepakati, sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan
ke tahap pembuktian.

F. Pembuktian.
Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim
tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara yang
dipersengketakan di hadapan sidang Pengadilan. Yang harus dibuktikan
adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam hal
yang belum jelas atau yang menjadi sengketa. Yang dibebani wajib
pembuktian adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak dan seseorang
yang membantah hak orang lain, dengan membuktikan adanya hak atau
peristiwa yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865 KUH
Perdata).
Tujuannya untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/kejadian
yang diajukan itu merupakan fakta yang benar terjadi, atau dibuktikan
kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.
Dalam acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, sehingga tidak
secara tegasmensyaratkan adanya keyakinan hakim. Hakim tidak boleh
melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara.
Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan
pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan pasal 1866 KUH Perdata berupa :
1. Alat bukti surat/tulisan.
2. Alat bukti saksi.
3. Bukti persangkaan.
4. Bukti pengakuan.
5. Bukti sumpah.
6. Saksi ahli.

 
G. Putusan.
Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para pihak
diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada. Majelis Hakim
kemudian bermusyawarah untuk merumuskan keputusan.
1. Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam produk
keputusan Hakim/Pengadilan :
1. Putusan.
2. Penetapan
2. Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka
untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa
antar para pihak, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
(contentious).
3. Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan
terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara permohonan
(voluntair).
4. Nilai suatu putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya, apakah
pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan dengan ketepatan analisis
kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya berdasarkan fakta
hukum.
5. Putusan Hakim
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
dalam Pengadilan Agama persidang memiliki tata cara atau tahap yakni:
1. Pengajuan tuntuan hak (permohonan / gugatan) upaya
perdamaian/mediasi
2. Pembacaan gugatan
3. Penyampaian jawaban tergugat
4. Penyampaian replik
5. Penyampaian duplik
6. Pembuktian
7. Putusan
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP., MHum., Penerapan Hukum Acara Perdata si


Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al Hikmah, Cetakan Pertama Jakarta,
2000.
Mukti Arto, Drs, HA.,SH., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan
Agama, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 1996.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI., Jakarta, 2006.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Departemen
Agama, Jakarta, 2003.
Eman Suparman, Dr.,SH.,MH., Kitab Undang-undang Peradilan
Umum, Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004.
Simorangkir, JCT., SH., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987.
Soebekti, Prof., R., SH., Hukum Acara Perdata,  BPHN, Bina Cipta, Bandung,
1977.
Soeparmono, R.,SH., Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi,  Mandar
Maju, Bandung, 2000.
Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr.,SH., Hukum Acara Perdata
Indonesia, Liberty, edisi ke tiga, Cetakan Pertama, 1988.
Supomo, Prof., Dr., R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,  fasco,
Jakarta, 1958.

Anda mungkin juga menyukai