Anda di halaman 1dari 9

Proses Berperkara di Sidang Perdata

Oleh

Yenny Fitri.Z,SH.MH

Jika ditelusuri jalannya persidangan perdata dari awal dimasukkan/didaftarkan sampai


jatuhnya putusan hakim, maka setidaknya akan ditempuh 8 kali persidangan.

Diawali dengan :

1. Memasukkan surat gugatan ke PN


Kompetensi Relatif Pengadilan dalam Perkara Perdata :
1) Gugatan diajukan di Pengadilan dimana Tergugat berdomisili (Actor
sequitur forum rei). Sebagai contoh, A bersengketa dengan B dengan
alasan B belum mengembalikan uang A. dikarenakan A berkeiingikan
menggugat B, maka A hanya dapat mengajukan gugatan di pengadilan
tempat/lokasi/domisili dari si B sebagai Tergugat;
2) Gugatan diajukan di mana benda tetap yang menjadi objek sengketa
itu berada (Forum rei sitae). Sebagai contoh, A bersengketa kepemilikan
tanah dengan B dengan objek benda tidak bergerak (tanah) di daerah
Padang. Apabila A ingin mengajukan gugatan terhadap B, maka A
harusnya mengajukan gugatan bukan berdasarkan tempat/lokasi/domisili
dari B, akan tetapi gugatan diajukan dimana objek tanah tersebut berada
yaitu di Pengadilan Negeri Padang dikarenakan objek tanah berada di
Kota Padang;
3) Gugatan diajukan di salah satu pengadilan tempat tinggal Tergugat
jika Tergugat lebih dari satu orang. Sebagai contoh, A bersengketa
dengan B dan C dikarenakan B dan C bersama-sama belum melunasi
hutangnya berdasarkan perjanjian yang disepakati bersama. Dikarenakan
B tempat/lokasi/domisilinya jauh, maka A mengajuan gugatan di

1
pengadilan tempat/lokasi/domisili si B, dengan tetap menarik C sebagai
pihak yang digugat karena belum melunasi hutangnya.
4) Gugatan diajukan di salah satu pengadilan yang
dipilih/disepakati. Sebagai contoh, A dan B membuat perjanjian yang
dimana memilih Arbitrase sebagai jenis pengadilan yang akan
menyelesaikan permasalahannya dikemudian hari apabila timbul
sengketa hukum. Akhirnya B melanggar perjanjian yang disepakati,
akhirnya A mengajukan gugatan ke Pengadilan Umum, Namun hal
tersebut tidaklah benar, sebab B hanya bisa digugat di Arbitrase
dikarenakan telah diperjanjian sejak awal.

Sedangkan untuk kompetensi absolute, contohnya : sengketa pembagian


warisan orang yang beragama Islam yang diajukan ke pengadilan negeri
(peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa pengadilan negeri tidak
berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam sebab itu
berada dalam yurisdiksi pengadilan agama. Eksepsi kewenangan absolute dapat
diajukan kapan saja, sebelum putusan dijatuhkan. Pengajuannya tidak dibatasi
hanya pada sidang pertama, tetapi terbuka dalam segala tahap proses
pemeriksaan. Dalam proses pemeriksaan gugatan sederhana, memang tidak
dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik,
atau kesimpulan

2. Panitera memberi nomor gugatan


3. Panitera mengajukan berkas gugatan kepada Ketua PN untuk ditunjuk Majelis
Hakim dan Panitera yang akan memeriksa dan mengadili perkara (dengan
Penetapan)
4. Majelis hakim mempelajari berkas gugatan, selanjutnya menetapkan hari dan
tanggal sidang pertama (dengan Penetapan), sekaligus memerintahkan Jurusita
untuk memanggil para pihak berperkara supaya datang kepersidangan tersebut
5. Juru sita memanggil para pihak dengan relas sesuai penetapan majelis hakim.

2
A. Sidang Pertama
1. Pengunjung disuruh berdiri oleh jurusita, majelis hakim diiringi panitera masuk
ruang sidang, lalu Ketua membuka sidang dengan ketukan palu sebanyak 3x.
2. Hakim ketua memerintahkan jurusita untuk memanggil tergugat dan penggugat,
selanjutnya hakim menanyakan identitas masing-masing untuk disesuaikan
dengan surat gugatan
3. Hakim ketua menanyakan masing-masing pihak apakah diwakili kuasa hukum,
kalau iya maka diminta surat kuasa mereka untuk diteliti apakah memenuhi
syarat-syarat sebagaimana Surat Kuasa Khusus atau tidak. Dalam hukum acara
perdata, surat kuasa sangat menentukan. Surat kuasa yang kurang cermat
membuka peluang lawan melakukan eksepsi, dan bisa berujung majelis hakim
tidak menerima gugatan.
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan yang berisikan pemberian
kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu
atas nama orang yang memberikan kuasa. Kuasa itu bisa diberikan secara
tertulis atau lisan. Dalam praktiknya, ada beberapa jenis surat kuasa yakni
surat kuasa umum, khusus, dan substitusi.
a. Kuasa umum, menurut Pasal 1795 KUH Perdata bertujuan memberi
kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa
(lastgever) berupa mengurus harta kekayaan pemberi kuasa dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan harta kekayaan itu. Titik berat kuasa
umum adalah pengurusan (beherder) kepentingan pemberi kuasa.
b. Pasal yang sama memungkinkan diberikan kuasa yang bersifat khusus,
yaitu kuasa untuk mengurus kepentingan tertentu saja. Bisa satu, dua
atau beberapa kepentingan sekaligus. Di depan pengadilan, kuasa
khusus inilah yang dipraktekkan. Penggugat prinsipal atau penerima
kuasa harus bisa menunjukkan surat kuasa yang bersifat khusus. Hakim
selalu memeriksanya.
c. Dalam praktek dikenal pula surat kuasa substitusi. Ada hak yang dapat
dimasukkan dalam pemberian kuasa yaitu hak substitusi, sebagaimana
diatur daam Pasal 1803 KUH Perdata. Intinya, hak substitusi

3
memberikan hak bagi penerima kuasa untuk menunjuk pihak lain
untuk bertindak sebagai penggantinya.

4. Hakim ketua menganjurkan untuk berdamai (mediasi). Jika perdamaian


disepakati para pihak, maka dibuatkan akta perdamaiannya. Maka diputuslah
perkara dengan suatu putusan perdamaian
5. Jika perdamaian gagal, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan
membaca surat gugatan. Biasanya jawaban atas gugatan diberikan oleh
Tergugat kepada Majelis Hakim dan Penggugat pada sidang pertama setelah
gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan. Namun apabila
Tergugat belum siap, maka Majelis Hakim akan memberikan kesempatan lagi
pada sidang berikutnya untuk menyertakan jawaban tersebut.

B. Sidang Kedua
1. Sidang dibuka, para pihak dipersilahkan duduk pada tempatnya.
2. Hakim ketua menanyakan apakah jawaban/bantahan tergugat sudah siap?
Kalau sudah di perintahkan untuk dibacakan. Isi dari jawaban tergugat tidak
hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun Tergugat juga boleh dan
dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession), terhadap
sebagian atau seluruh dalil gugatan Penggugat. Selain itu, jawaban yang
disampaikan oleh Tergugat dapat sekaligus memuat eksepsi dan bantahan
terhadap pokok perkara. Jika jawaban sudah memuat eksepsi dan bantahan
terhadap pokok perkara, Tergugat harus menjawab secara sistematis agar lebih
mudah dibaca dan dipahami oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara
tersebut. Cara yang dianggap sesuai dengan tuntutan teknis peradilan, dalam
hal jawaban sekaligus berisi eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara,
yaitu:
a. Mendahulukan eksepsi pada bagian depan. Dalam jawaban dibuat suatu
judul “Dalam Eksepsi” yang ditempatkan pada bagian depan mendahului
uraian bantahan pokok perkara.

4
b. Menyusul kemudian, uraian bantahan pokok perkara dengan judul “Dalam
Pokok Perkara”.
c. Bagian terakhir, berupa kesimpulan yang berisi pernyataan singkat eksepsi
dan bantahan pokok perkara.

Eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara di dalam konteks hukum


acara memiliki makna yang sama yaitu sebuah tangkisan atau bantahan
(objection). Namun di dalam eksepsi ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut
syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan
mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak
sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible). Untuk lebih
memudahkan, eksepsi sendiri dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

1) Eksepsi Prosesual adalah jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat

formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil


maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan
tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard). Contohnya adalah
eksepsi kewenangan absolut dan eksepsi kewenangan relatif. Eksepsi
kewenangan absolut adalah bantahan Tergugat mengenai Penggugat
dinilai salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak
berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Ini berkaitan dengan
pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus. Misalnya dalam
kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam
yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat
mengajukan eksepsi bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili
perkara warisan bagi yang beragama Islam sebab itu berada dalam
yurisdiksi pengadilan agama. Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan
kapanpun selama proses pemeriksaan dimulai sampai dengan sebelum
putusan dijatuhkan pada tingkat pertama (PN), sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 134 HIR yang berbunyi:

5
“Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak masuk kuasa
pengadilan negeri, maka pada sebarang waktu dalam pemeriksaan
perkara itu, boleh diminta supaya hakim mengaku dirinya tidak
berkuasa dan hakim itupun wajib pula mengaku karena jabatannya
bahwa ia tidak berkuasa”.

Sedangkan eksepsi kewenangan relatif adalah bantahan Tergugat yang


menyatakan Penggugat salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan
yang tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Tetapi yang
berwenang adalah pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan yang
sama, misalnya Tergugat dalam hal ini berdomisli di Jakarta Selatan,
namun gugatan diajukan di Pengadilan Jakarta Pusat, yang seharusnya
gugatan tersebut diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Berbeda dengan eksepsi kewenangan absolut, eksepsi kewenangan relatif


hanya dapat diajukan di sidang pertama dan bersamaan dengan saat
mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 133 HIR yang berbunyi :

“Jika orang yang digugat dipanggil menghadap pengadilan negeri, sedang


menurut peraturan pada Pasal 118 ia tidak usah menghadap pengadilan
negeri itu, maka bolehlah ia meminta hakim supaya menerangkan bahwa
hakim tidak berkuasa, asal saja permintaan itu dimasukan dengan
segera pada permulaan persidangan pertama; permintaan itu tidak akan
diperhatikan lagi jika orang yang digugat telah melahirkan suatu
perlawanan lain”.

Selanjutnya, Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi terdiri dari


beberapa bentuk yaitu Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah, Eksepsi Error in
Persona, Eksepsi Ne Bis In Idem, dan Eksepsi Obscuur Libel:

6
1. Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah adalah eksepsi yang diajukan oleh
Tergugat dalam hal surat kuasa bersifat umum; surat kuasa dibuat orang yang
tidak berwenang atau surat kuasa yang diajukan oleh kuasa Penggugat tidak sah
karena tidak memenuhi syarat formil yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR
dan SEMA No. 1 Tahun 1971 jo. SEMA No. 6 Tahun 1994, yaitu:
a. Tidak menyatakan secara spesifik kehendak untuk berperkara di PN
tertentu sesuai dengan kompetensi relatif;
b. Tidak menjelaskan identitas para pihak yang berperkara;
c. Tidak menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek
yang diperkarakan; serta
d. Tidak mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa.
2. Eksepsi error in persona adalah eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam
hal Penggugat tidak memiliki kapasitas atau hak untuk mengajukan perkara
tersebut, atau pihak yang digugat adalah tidak memiliki urusan dengan perkara
tersebut, atau pihak yang digugat tidak lengkap.
3. Eksepsi ne bis in idem adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal
perkara yang digugat oleh Penggugat sudah pernah diajukan dan sudah
dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
4. Eksepsi Obscuur Libel, yaitu eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal
gugatan Penggugat tidak terang atau isinya tidak jelas, contohnya tidak jelas
dasar hukumnya, tidak jelas obyek sengketanya, petitum tidak rinci dijabarkan
dan permasalahan antara posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Dan yang terakhir adalah Eksepsi Hukum Materil. Eksepsi hukum materil dibagi
dalam 2 jenis, yaitu exceptio dilatoria dan exceptio peremptoria:
1. Exceptio dilatoria yaitu eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal
gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di
pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih
terlampau dini. Contohnya belum sampai batas waktu untuk menggugat
karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau berdasarkan
kesepakatan antara kreditur dengan debitur.

7
2. Exceptio peremptoria adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat kepada
Penggugat yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat
tidak dapat diperkarakan. Contohnya perkara yang diajukan sudah lewat
waktu atau daluarsa untuk digugat (exceptio temporis), perjanjian yang
dilakukan mengandung unsur penipuan (exceptio doli mali), perjanjian yang
dilakukan mengandung unsur paksaan atau dwang (exceptio metus), si
penggugat sendiri tidak melakukan prestasinya (exceptio non adimpleti
contractus) dan sengketa yang digugat sedang proses pemeriksaan juga di
pengadilan dengan nomor perkara yang berbeda (exceptio litis pendentis).
Jadi, banyak sekali hal-hal yang dapat diajukan eksepsi, yaitu hal-hal yang
hanya menyinggung soal formalitas gugatan dan sama sekali tidak menyinggung
mengenai pokok perkara.

Bantahan Pokok Perkara


Lalu, setelah eksepsi, Tergugat dapat menyusun bantahan dalam pokok
perkara. Bantahan dalam pokok perkara adalah bantahan yang dilakukan oleh
Tergugat yang menyinggung mengenai pokok perkara atau pembuktian mengenai
benar atau tidaknya dalil yang diajukan oleh Penggugat dalam surat gugatannya.
Di dalam hukum acara tidak secara detail dijelaskan apa saja yang dapat
dibantah dalam pokok perkara tersebut. Namun bantahan dalam pokok perkara ini
dapat ditinjau dari tiga klasifikasi, yaitu pengakuan (bekentenis), membantah dalil
gugatan dan tidak memberi pengakuan maupun bantahan.
Pengakuan (bekentenis) adalah sebuah pernyataan yang dikatakan Tergugat
dalam jawabannya bahwa Tergugat mengakui benar adanya dalil yang diajukan oleh
Penggugat dalam surat gugatannya. Pengakuan tersebut merupakan alat bukti yang
sempurna (volledig). Nilai kekuatan pembuktian yang demikian ditegaskan kembali
dalam Pasal 174 HIR, yang berbunyi:
“Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk
memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkannya sendiri
maupun dengan pertolongan orang lain yang istimewa dikuasakan untuk
melakukan itu”

8
Selanjutnya adalah membantah dalil gugatan atau dapat disebut bantahan
terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Tergugat dapat melumpuhkan dalil
gugatan dengan cara pembuktian berdasarkan alat-alat bukti yang dibenarkan dalam
undang-undang. Atau Tergugat dapat menampik dan mengingkari kejadian yang
didalilkan berdasarkan alasan rasional dan objektif. Dan yang terakhir adalah
Tergugat tidak memberi pengakuan maupun bantahan. Jawaban hanya berisi
pernyataan, menyerahkan sepenuhnya kebenaran gugatan kepada hakim (referte
aan het oordel des rechters).
3. Sidang diundur untuk penggungat menyiapkan replik

C. Sidang Ketiga : pembacaan replik penggugat


D. Sidang Keempat : pembacaan duplik tergugat
E. Sidang Kelima : pembuktian
1. Pembuktian pertama dibebankan kepada penggugat
a. Diawali dengan bukti-bukti surat. Bukti tersebut ditanggapi tergugat
b. Lanjut keterangan saksi dibawah sumpah
2. Sidang ditunda
F. Sidang Keenam
1. Giliran tergugat yang mengajukan bukti, diawali dengan bukti surat lanjut
keterangan saksi
2. Sidang di tunda
G. Sidang Ketujuh :
1. Penggugat mengajukan pembuktian dari pembuktian tergugat sebelumnya
2. Tergugat memberikan pembuktian
3. Sidang di tunda
4. Sidang Kedelapan
1. Tergugat dan penggungat menyiapkan dan membacakan kesimpulannya
2. Kesimpulan dari kedua pihak menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan
putusannya

Anda mungkin juga menyukai