Anda di halaman 1dari 17

1.

Perubahan Gugatan

H.I.R tidak mengatur mengenai penambahan atau mengubah gugatan (surat gugat),

sehingga hakim leluasa untuk menentukan sampai di mana penambahan atau perubahan itu

dapat diperkenankan.1

Meskipun mengenai perubahan (mengubah,mengurangi atau menambah) surat gugat

tidak diatur H.I.R, tetapi pengaturannya terdapat di dalam Rv (Reglement op de

Rechtsvordering), menurut Pasal 127 Rv perubahan daripada gugatan dibolehkan sepanjang

pemeriksaan perkara, asal tidak mengubah atau menambah onderwerp van den eis

(petitum,pokok tuntutan). Maksud dari onderwerp van den eis ini meliputi juga dasar

daripada tuntutan,termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar diadakannya suatu

tuntutan.2 Contohnya : dalam sebuah gugatan perceraian, si A mengajukan gugatan

perceraian terhadap si B, si A pada awalnya dasar gugatannya adalah karena perzinahan,

kemudian dimohonkan diubah sehingga dasar gugatannya menjadi karena kekerasan atau

penganiayaan.

Suatu perubahan gugatan akan mempengaruhi kepentingan tergugat dalam hal

pembelaannya atau juga berkaitan dengan terhambatnya jalannya peradilan,sehingga

mungkin merugikan tergugat. Maka dalam hal perubahan gugatan dibolehkan sepanjang

memperhatikan hal yang dikemukakan di atas dan asalkan tergugat tidak dirugikan dalam

haknya membela diri. Selain itu, perubahan gugatan tidak dibenarkan pada tingkan di mana

pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat dalil-dalil tangkisan dan pembelaan

sudah habis dikemukakan kedua belah pihak.3

1
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,HUKUM ACARA PERDATA dalam Teori dan
Praktek,Bandung : CV.Mandar Maju,2005,hlm.46
2
Sudikno Mertokusumo, HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA,Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,2009,Hlm.107-
108
3
Ibid.
1
Perihal perubahan atau oenambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat setelah

tergugat mengajukan jawaban. Hal itu harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari

tergugat, dan apabila pihak tergugat menyatakan keberatannya ,maka permohonan mengenai

perubahan atau penambahan tersebut akan ditolak.4 Dalam hal suatu penambahan atau

perubahan surat gugat tidak diperkenankan, maka pihak penggugat akan membuat gugatan

baru.5

Dalam hal pengurangan isi dari suatu gugatan oleh penggugat maka hal tersebut

dibolehkan, karena tidak merugikan pihak tergugat.6 Contoh : si A dalam gugatannya pada

awalnya menyatakan bahwa si B digugat dalam hal harus menyerahkan 3 buah kendaraan

mobil, tapi kemudian dalam gugatan si A terdapat suatu kesalahan yang mana si A

mengurangi dalam gugatannya bahwa yang harus diserahkan si B hanya 1 (satu) mobil saja.

2. Pencabutan Gugatan

Perihal pencabutan gugatan tidak diatur dalam H.I.R, tetapi terdapat di dalam Rv.

Pencabutan gugatan dapat dilakukan sebelum gugatan itu diperiksa di persidangan atau

sebelum tergugat memberi jawaban, atau sesudah diberikan jawaban oleh tergugat.7

PENCABUTAN GUGATAN

Sebelum pemeriksaan perkara gugatan Saat dalam proses pemeriksaan perkara


(sebelum tergugat memberikan jawaban) (setelah tergugat memberi jawaban)

4
Op.Cit, Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,hlm.48
5
Ibid,hlm.47
6
Op.Cit,Sudikno Mertokusumo, hlm.108
7
Ibid,hlm.106
2
Kalau suatu gugatan dicabut kedua belah pihak kembali pada keadaan semula seperti

belum pernah ada perkara tersebut. Seandainya telah diletakkan sita jaminan maka harus

diperintahkan mengangkat sita jaminan tersebut dengan pembebanan biaya pengangkatan sita

jaminan kepada penggugat.8

 Pencabutan gugatan dapat dilakukan pada saat sebagai berikut :

1) Sebelum gugatan diperiksa. Dalam hal pencabutan sebelum gugatan diperiksa

(sebelum tergugat mengajukan jawaban), secara resmi tergugat belum mengetahui akan

adanya gugatan tersebut. Berarti juga bahwa tergugat belum terserang kepentingannya. Oleh

karena itu, tidak perlu ada persetujuan dari pihak Tergugat. Hak mutlak penggugat seperti ini

apabila proses yang terjadi baru pada tahap pendaftaran dan pendistribusian kepada majelis

serta belum diproses pada tahap pemanggilan.

2) Selama pemeriksaan gugatan. Dalam pelaksanaannya berpedoman pada Pasal 271

Rv pencabutan dapat dilakukan sebelum pemeriksaan persidangan, atau merujuk pada

putusan MA No.1841 K/Pdt/1984 yang menegaskan juga pencabutan gugatan dapat

dilakukan saat pemeriksaan perkara (saat proses berlangsung) asalkan ada persetujuan dari

tergugat.

 Tata cara pencabutan gugatan

Tata cara pencabutan gugatan berpedoman pada Pasal 272 Rv, yaitu sebagai berikut :
8
Ibid,hlm.107
3
a) Yang berhak mengajukan pencabutan gugatan adalah penggugat, dikarenakan

penggugatlah yang lebih mengetahui hak dan kepentingannya ataudapat diajukan oleh kuasa

yang ditunjuk penggugat dengan menggunakan surat kuasa khusus. Atau dapat juga

dituangkan dalam surat kuasa tersendiri yang secara khusus memberi penegasan untuk

melakukan pencabutan gugatan

b) Pencabutan gugatan dalam hal belum diperiksa di persidangan dapat dilakukan

penggugat melalui pencabutan dengan surat. Pencabutan yang dilakukan dalam bentuk surat

atau akta dimaksudkan adalah kepastian hukum dan adanya pembenaran bukti tentang

pencabutan gugatan tersebut

c) Pencabutan gugatan dalam pemeriksaan sidang, yaitu dalam hal sekurang-kurangnya

jika tergugat sudah memberikan jawaban dan pencabutan disampaikan pada sidang yang

dihadiri tergugat.

 Akibat hukum pencabutan gugatan

1) Perkara berakhir

2) Tertutupnya segala hukum bagi para pihak

3) Para pihak kembali kepada keadaan semula

4) Biaya perkara dibebankan pada penggugat

 Beberapa alasan pencabutan

4
Dalam praktik biasanya alasan pencabutan gugatan sebelum tergugat memberikan

jawaban adalah dikarenakan mengikuti saran dari ketua PN,karena ada kekeliruan dalam

menyusun gugatan. Adapun pencabutan setelah tergugat menyampaikan jawaban alasannya

biasanya karena tuntutan penggugat telah dipenuhi tergugat secara sukarela.

Dalam hal pencabutan dilakukan sebelum pemeriksaan di persidangan (sebelum

tergugat mengajukan jawaban) maka berdasar Pasal 124 H.I.R memberikan hak kepada

penggugat untuk mengajukan gugatan kembali sebagai perkara baru. Dalam hal pencabutan

yang dilakukan setelah tergugat memberikan jawaban (selama proses sidang) maka

penggugat tidak dapat lagi mengajukan gugatan, karena dianggap penggugat telah

melepaskan haknya.9

3. Tussenkomst

Tussenkomst adalah percampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri ikut dalam proses,

dimana pihak ketiga ini tidak memihak baik pihak penggugat maupun pihak tergugat

melainkan hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri.

Mengenai keikut sertaan pihak ketiga tidak diatur dalam H.I.R, akan tetapi dalam pasal 393

H.I.R yang berbunyi :

1) Dalam hal mengadili perkara dihadapan pengadilan bumiputra tidak boleh

diperhatikan peraturan yang lebih atau yang lain daripada ditentukan dalam reglemen

ini.
2) Akan tetapi gubernur jendral tinggal tetap memegang hak, sekedar tentang mengadili

perkara perdata, setelah berbicara dengan mahkamah tinggi di indonesia, akan

menetapkan peraturan tuntutan hukum perdata dihadapan pengadilan eropa, untuk

pengadilan negri di jakarta, semarang dan surabayam jika nyata benar bahwa menurut
9
Djamanat Samosir,HUKUM ACARA PERDATA Tahap-tahap penyelesaian perkara perdata, Bandung : Nuansa
Aulia,2011,hlm.94-97
5
pengalaman perlu sekali diadakan peraturan sedemikian dan juga untuk pengadilan

negeri yang lain-lain, jika terdapat juga keperluan yang demikian itu.10

Akan tetapi dewasa ini tidak ada lagi pengadilan bumi putra hanya ada satu

pengadilan tingkat pertama yaitu pengadilan negri untuk semua golongan penduduk,

maka dari itu pasal 393 ayat (1) H.I.R dianggap tidak sesuai dengan jaman, maka dari itu

pasal tersebut kini ditafsirkan bahwa hakim pengadilan negri apabila menggap benar-

benar dibutuhkan dalam praktek, dapat mengambil alih bentuk-bentuk yang tidak terdapat

dan diatur dalam H.I.R misalnya : Vrijwaring dan Tussenkompts voeging dan sebagainya

dari R.V dan dengan berpedoman kepada R.V tapi disesuaikan dengan kebutuhan pada

saat praktek.

Bentuk-bentuk keikutsertaan pihak ketiga :

1) Vrijwaring atau penjaminan terjadi apabila dalam siati perkara yang sedang diperiksa

oleh pengadilan, diluar kedua pihak ada pihak ketiga yang ditarik masuk dalam

perkara tersebut, perihal tentang vrijwaring ini diatur dalam pasal 70-76 R.V. 11 cara

mengajukan permohonan vrijwaring adalah pihak tergugat dalam tulisan atau lisan

mengajukan permohonan kepada majlis hakim agar diperkenankan untuk memanggil

pihak ketiga yang dimana turut berpekara dalam perkara yang sedang diperiksa dalam

majlis tersebut untuk melindungi tergugat.


2) Tussenkompts sendiri keadaannya hampir sama dengan vrijwaring akan tetapi

perbedaannya adalah sebab kedatangan pihak ketiga adalah karena kemauan sendiri

untuk ikut dalam proses dalam peradilan dimana pihak ketiga ini tidak memihak

kepada kedua belah pihak baik pihak tergugat maupun penggugat, melainkan ia hanya

mempejuangkan kepentingannya sendiri, oleh karena adanya intervensi ini maka

10
Op.Cit, Retno wulan sutantio dan Iskandar oerip kartawinata,hlm.50
11
Ibid., hlm. 51
6
perdebatan menjadi perdebatan segitiga, dan putusan dijatuhkan sekaligus dalam satu

putusan apakah penggugat, tergugat atau pihak ketiga yang menang.12


3) Selain kedua bentuk tersebut dikenal lagi dalam percampuran pihak ketiga yaitu

voeging, voeging sendiri adalah penggabungan pihak ketiga karena merasa

berkepentingan, lalu mengajukan permohonan kepada majlis agar diikutsertakan

dalam mencampuri proses peradilan dan menyatakan ingin menggabungkan diri

kepada salah satu pihak baik penggugat ataupun tergugat. Masalah diperkenankannya

voeging tersebut oleh hakim akan dipertimbangkan dalam suatu putusan sela atau

putusan insidentil, harus diinggat juga bahwa putusan sela ini tidak dibuat secara

terpisah melainkan merupakan bagian dari berita acara peradilan dan harus memuat

terlebih dahulu “tentang duduknya perkara dan tentang hukum nya.”13

Sebelum hakim memutuskan keikutsertaan pihak ketiga untuk ikut dalam proses

peradilan, pihak ketiga harus menjelaskan maksud keikutsertaanya kepada seluruh pihak

yang bersangkutan kemudian setelah itu baru hakim bisa memutuskan untuk

mengabulkan atau menolak permohonan tersebut.

4. Verzet

A. Pengertian Perlawanan

Verzet secara bahasa merupakan kata yang diambil dari bahasa Belanda yang artinya

perlawanan.14 Sedangkan verzet menurut istilah adalah upaya hukum terhadap putusan yang

dijatuhkan diluar hadirnya tergugat. Ketentuan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut

12
Ibid., hlm. 53
13
Ibid., hlm. 54
14
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang : Aneka Ilmu, 1997, hlm.881
7
dijelaskan dalam Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR, Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rgb.

Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang pada umumnya

dikalahkan.15 Apabila tergugat dihukum denganputusan tanpa kehadirannya (verstek), maka

ia berhak mengajukan verzet.

Dengan adanya verzet maka kedudukan tergugat adalah pelawan (opposant),

sedangkan pihak terlawan adalah penggugat asal yang akan diletakkan beban pembuktian.

Jadi dengan demikian pemeriksaan verzet yang diperiksa adalah gugatan penggugat, maka

penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. Adapun

mengenai praktek upaya hukum verzet ini harus dinyatakan oleh tergugat secara tegas, bila

tidak dinyatakan secara tegas maka verzet dinyatakan tidak dapat diterima.16

Sedangkan keterkaitan verzet bila dihubungkan dengan putusan verstek mengandung

arti bahwa tergugat melawan putusan verstek atau tergugat mengajukan perlawanan terhadap

putusan verstek. Tujuan melakukan perlawanan ialah agar terhadap putusan itu dilakukan

pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan pemeriksaan kontradiktor dengan

permintaan supaya putusan verstek dibatalkan, serta sekaligus meminta agar gugatan

penggugat ditolak. Dengan demikian dapat dipahami bahwa verzet merupakan pemberian

kesempatan yang wajar kepada tergugat untuk membela kepentingannya atas kelalaiannya

tidak menghadiri persidangan diwaktu yang lalu.17

Perlawanan terhadap putusan merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang

bagi setiap orang untuk mempertahankan hak-haknya, namun hal ini terbatas kepada tergugat

saja dan tidak termasuk penggugat. Sebaliknya pada ketentuan undang-undang menurut Pasal

8 ayat 1 UU.20/1947 tentang pengadilan peradilan ulangan dan Pasal 200 R.Bg apabila

penggugat meminta banding maka tertutup hak tergugat mengajukan verzet. Hak ini
15
Op.Cit,Sudikno Mertokusumo,hlm.224
16
Dadan Muttaqien, Dasar-Dasar Hukum Acara Perdata, Yogyakarta : Insania Citra Pres, 2006, hlm.71.
17
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hlm.400.
8
diberikan kepada penggugat untuk mensejajari perlakuan yang seimbang dengan tergugat.

Kepada tergugat diberi upaya verzet dan kepada penggugat upaya banding. Jika undang-

undang tidak memberi hak banding kepada penggugat berarti hukum mematikan haknya

meminta koreksi terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat

pertama.18

B. Proses Pengajuan Verzet

Tuntutan verzet dibuat seperti gugatan biasa, yaitu tertulis dan ditandatangani oleh

tergugat sendiri atau oleh kuasanya apabila ia telah menunjuk kuasa khusus, atau telah

ditandaangani oleh hakim bagi yang tidak dapat membaca dan menulis, dengan menunjuk

nomor putusan verstek yang dilawan itu. Surat tuntutan verzet dibuat rangkap enam atau

lebih menurut kebutuhan, tiga rangkap untuk majlis, satu rangkap untuk berkas, dan untuk

masing-masing penggugat dan tergugat disesuaikan dengan jumlah mereka.

C. Perlawanan Diajukan Kepada PN yang Menjatuhkan Putusan Verstek

Kewenangan menerima dan memeriksa perlawanan, jatuh menjadi yurusdiksi semula

yang menjatuhkan verstek. Dengan demikian, agar permintaan perlawanan memenuhi syarat

formil :

1) Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya

2) Disampaikan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek sesuai dengan batas

tenggang waktu yang ditentukan Pasal 129 ayat (2) HIR

18
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksan Perkara Perdata dalam Tingkat
Banding,Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hlm.102.
9
3) Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain daripada

penggugat semula.

4) Penegasan mengajukan perlawanan kepada PN yang semula menjatuhkan putusan

verstek, digariskan dalam Pasal 129 ayat (3) HIR.

D. Perlawanan Mengakibatkan Putusan Verstek Mentah Kembali

Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek, dengan sendirinya menurut hukum:

1) Putusan verstek menjadi mentah kembali

2) Eksistensinya dianggap tidak pernah ada (never existed)

3) Oleh karena itu, jika terhadapnya diajukan perlawanan, putusan verstek tidak dapat

dieksekusi, meskipun putusan itu mencantumkan amar dapat dilaksanakan terlebih

dahulu (uitvoerbaar by voorraad).

E. Hak melakukan perlawanan terhadap putusan verstek

Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg., Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan

Verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 (empat belas) hari

terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika

pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391

HIR: dalam menghitung tenggang waktu maka tanggal/ hari saat dimulainya penghitungan

waktu tidak dihitung).

10
Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu

aanmaning Tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah

aanmaning (peringatan).

Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggang waktunya adalah hari

kedelapan sesudah Sita Eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat (2) jo. Pasal 196 HIR dan

Pasal 153 ayat (2) jo. Pasal 207 RBg). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verzet

terhadap verstek) berada dalam satu nomor perkara. Perkara verzet sedapat mungkin

dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan verstek. Hakim yang

melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang

telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan

secara biasa (lihat Pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) RBg. dan SEMA No.9 Tahun

1964).

Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka

pemeriksaan dilanjutkan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir

maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek

yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan

upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBg).

Apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:

1) Menyatakan Pelawan adalah pelawan yang benar.

2) Membatalkan putusan verstek.

3) Mengabulkan gugatan penggugat atau menolak gugatan pengugat.

4. Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar

putusannya berbunyi :
11
1) Menyatakan pelawan adalah pelawan yang tidak benar.

2) Menguatkan putusan verstek tersebut.

3) Terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding.

Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam

satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama dan hanya ada satu nomor

perkara.19

5. Contoh Kasus (Tussenkomst)

Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa dan mengadili perkara perdata gugatan

pada peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan Putusan Sela sebagaimana berikut dalam

perkara intervensi yang diajukan oleh : PT. INTILAND GRANDE (dahulu PT. DHARMALA

LAND / dahulu PT. Pembangunan Darmo Grande), di Surabaya, dalam hal ini diwakili

Kuasanya LARDI, SH. dan WIDA PEACE ANANTA, SH, Para Advokat pada Kantor “

LARDI & Partners ” yang berkantor di Graha Pelni 8th B Floor Jl. Pahlawan 112 Surabaya,

berdasarkan surat Kuasa Khusus tertanggal 16 April 2013, selanjutnya disebut sebagai

PEMOHON INTERVENSI. Bahwa Pemohon Intervensi/ Tussenkomst telah membeli

sebagian tanah yang disengketakan oleh para pihak dalam perkara aquo yakni pembeli

19
Dikutip dari Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah, Buku II, Edisi
2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2009, hlm. 386-387. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:
KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.
12
sebagian tanah asal milik Munthi (Tergugat I) yang terletak di Persil 35 Klas D-II Kelurahan

Lontar kecamatan Sambikerep Kota Surabaya.

Dalam kasusnya Bahwa Pemohon Intervensi/Tussenkomst mengajukan Permohonan

Intervensi dalam perkara aquo setelah mengetahui area lokasi milik Pemohon Intervensi

yakni tanah asal Petok D No. 397 Persil 35 Klas D-II Kelurahan Lontar Kecamatan

Sambikerep Kota Surabaya dilakukan Pemeriksaan Setempat dan untuk selanjutnya Pemohon

Intervensi melihat di website Pengadilan Negeri Surabaya ternyata benar bahwa tanah milik

Pemohon Intervensi/ Tussenkomst di persengketan dalam gugatan Perkara No.

92/Pdt.G/2013/PN.Sby antara SADI sebagai Pengugat alamat di Jl. Raya Gadel No. 12

Surabaya dengan Munthi sebagai Tergugat I alamat di Jl. Dukuh Kuwukan RT. 02/RW. 05

Desa Lontar Surabaya dan Lurah Lontar sebagai Tergugat II alamat Jl. Raya Lontar No. 5

Surabaya.

Bahwa oleh karena tanah milik Pemohon Intervensi/ Tussenkomst asal beli dari

Pemilik tanah Asal (Munthi/Tergugat I) pada Petok No. 397 Persil 35 Klas D-II Kelurahan

Lontar Kecamatan Sambikerep Kota Surabaya menjadi objek sengketa dalam perkara aquo

maka Pemohon Intervensi/ Tussenkomst sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan

berdiri sendiri untuk mempertahankan hak dan campur tangan sehingga cukup beralasan

Pemohon Intervensi/ Tussenkomst masuk dalam perkara aquo. Bahwa berdasarkan Pasal 279

Rv (Rechtsvordering/Reglemen Acara Perdata) ditegaskan sebagai berikut :

“ barang siapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang
berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau
campur tangan ”

Berdasarkan Pasal 279 Rv tersebut diatas maka pihak Pemohon Intervensi/

Tussenkomst adalah Pihak ketiga yang berkepentingan dalam perkara aquo sehingga

13
mempunyai hak untuk mengajukan permohonan intervensi guna membela kepentingan

Pemohon Intervensi sendiri (Tussenkomst). Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemohon

Intervensi/ Tussenkomst mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadil

Perkara Perdata No. 92/Pdt.G/2013/PN.Sby agar mengabulkan permohonan Intervensi/

Tussenkomst dari Pemohon Intervensi/ Tussenkomst.20

KESIMPULAN

1. Perubahan Gugatan, diatur Pasal 127 Rv perubahan daripada gugatan dibolehkan

sepanjang pemeriksaan perkara, asal tidak mengubah atau menambah onderwerp van den

eis (petitum,pokok tuntutan). Maksud dari onderwerp van den eis ini meliputi juga dasar

daripada tuntutan,termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar diadakannya suatu

tuntutan. Dapat dilakukan sebelum tergugat menyatakan jawaban (tidak perlu persetujuan

tergugat) dan pada proses pemeriksaan (harus persetujuan tergugat). Jika ditolak maka

mengajukan gugatan baru

2. Pencabutan gugatan, dapat dilakukan sebelum tergugat mengajukan jawaban dan

setelah mengajukan jawaban, dengan syarat harus mendapat persetujuan dari tergugat,
20
Dikutip dari Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Nomor :
92/Pdt.INT/2013/PN.SBY
14
jika sebelum tergugat mengajukan jawaban maka penggugat dapat mengajukan gugatan

sebagai perkara baru dan jika setelah tergugat mengajukan jawaban maka tidak lagi dapat

mengajukan gugatan, karena dianggap penggugat telah melepaskan haknya

3. Tussenkomst adalah percampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri ikut dalam proses,

dimana pihak ketiga ini tidak memihak baik pihak penggugat maupun pihak tergugat

melainkan hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri.

4. voeging adalah penggabungan pihak ketiga karena merasa berkepentingan, lalu

mengajukan permohonan kepada majelis agar diikutsertakan dalam mencampuri proses

peradilan dan menyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak baik

penggugat ataupun tergugat. Masalah diperkenankannya voeging tersebut oleh hakim

akan dipertimbangkan dalam suatu putusan sela atau putusan insidentil

5. verzet menurut istilah adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar

hadirnya tergugat. Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak

mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung setelah

tanggal pemberitahuan putusan verstek. Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak

penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara

contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir maka Hakim menjatuhkan

putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua

kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding

15
Daftar Pustaka

- Sumber Buku

Mertokusumo,Sudikno,2009, HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA,Yogyakarta : Liberty

Yogyakarta.

Muttaqien,Dadan,2006, Dasar-Dasar Hukum Acara Perdata, Yogyakarta : Insania Citra

Pres.

Samosir,Djamanat,2011, HUKUM ACARA PERDATA Tahap-tahap penyelesaian perkara

perdata, Bandung : Nuansa Aulia.

Sutantio,Retnowulan dan Oeripkartawinata,Iskandar, 2005, HUKUM ACARA PERDATA

dalam Teori dan Praktek,Bandung : CV.Mandar Maju.

Yahya Harahap,M,2006, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika.


16
-------------------------2006, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksan Perkara

Perdata dalam Tingkat Banding,Jakarta : Sinar Grafika.

- Putusan dan Peraturan lainnya

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah, Buku II,

Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2009, hlm. 386-387. Keputusan Ketua Mahkamah

Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Nomor :

92/Pdt.INT/2013/PN.SBY

17

Anda mungkin juga menyukai