Anda di halaman 1dari 5

ALUR PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA

1. Mengajukan Surat Gugatan oleh Penggugat ke Pengadilan Negeri


Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan bahwa, Gugatan Perdata, yang pada tingkat
pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat
permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal
123 (kuasa), kepada ketua pengadilan negeri di daerah hokum siapa tergugat
bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
2. Menentukan Tanggal Pemeriksaan Perkara di Persidangan dan Pemanggilan
Penggugat dan Tergugat beserta Saksi.
Pasal 121 HIR menjelaskan bahwa sesudah surat gugat yang dimasukkan itu atau
catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh panitera dalam daftar yang disediakan
untuk itu, maka ketua menentukan hari, dan jam nya perkara itu akan diperiksa di
muka pengadilan negeri, dan ia memerintahkan memanggil keduabelah pihak
supaya hadir pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk
diperiksa, dan dengan membawa segala surat-surat keterangan yang hendak
dipergunakan.
Ketika memanggil Tergugat, maka beserta itu diserahkan juga sehelai salinan surat
gugat dengan memberitahukan bahwa, kalau mau, dapat menjawab surat gugat itu
dengan surat. Penjelasan pasal ini menerangkan bahwa surat jawaban ini mungkin
akan berisi tangkisan yang bersifat:
- Tangkisan prinsipil, tergugat membantah kebenaran hal-hal yang dikemukakan
-

oleh penggugat dalam surat gugatannya, atau


Tangkisan eksepsi, tergugat tidak membantah secara langsung isi surat
gugatannya, yaitu menolak gugatannya dengan jalan mengatakan, bahwa
dengan alasan-alasan tertentu pengadilan tidak berwenang untuk mengadili
perkaranya secara relatif, artinya yang berhubungan dengan wewenang hakim
yang berhubungan daerah hukumnya, bukan yang secara absolut, wewenang
yang berhubungan dengan sifat perkaranya.

3. Proses Mediasi untuk Mengusahakan Perdamaian


Terkait dengan mediasi, dijelaskan pada Pasal 130 HIR bahwa jika pada hari yang
ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan
pertolongan ketua mencoba memperdamaikan mereka.
Apabila usaha ini berhasil, maka di persidangan lalu dibuat suatu Akta Persetujuan.
Diputukan bahwa kedua belah pihak harus memenuhi persetujuan itu. Kekuatan akta
ini sama dengan kekuatan suatu keputusan hakim biasa dan dijalankan pula seperti
keputusan biasa, akan tetapi putusan semacam ini tidak dapat dimintakan banding
atau kasasi.

4. Tergugat menyampaikan Eksepsi/Jawaban


Pasal 136 HIR mengatakan bahwa perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan
oleh Tergugat (execptie), kecuali tentang hal Hakim tidak berkuasa, tidak akan
dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan
bersama-sama dengan pokok perkara.
Berikut ini merupakan jenis-jenis eksepsi:
- Declinatoir exeptie, yaitu yang mengajukan pelawanan, bahwa pengadilan tidak
-

berkuasa mengadili atau bahwa tuntutan terhadap nya itu batal.


Dilatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa tuntutannya belum
sampai waktunya untuk diajukan, di antara nya oleh karena masih ada surat
perjanjian yang belum dipenuhi atau oleh karena jangka waktunya belum terlewat

atau oleh karena tergugat masih sedang berada di dalam waktu pertimbangan.
Peremptoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan mutlak terhadap
tuntutan penggugat, misalnya karena perkaranya sudah usang atau daluwarsa,
oleh karena telah diadakan perhitungan bayar-membayar atau oleh karena telah
ada keputusan pengadilan yang tidak dapat digugat lagi.

5. Replik dan Duplik


Setelah gugatan dibacakan oleh pihak penggugat, pihak tergugat akan membuat
jawaban atas gugatan. Kemudian, pihak penggugat akan menjawab kembali
jawaban yang disampaikan tergugat yang disebut dengan replik. Terhadap replik
penggugat, tergugatakan kembali menanggapi yang disebut dengan duplik.
Terkait dengan replik dan duplik, hal ini berkaitan dengan isi Pasal 121 HIR yang
telah dikemukakan di atas. Bahwa dalam proses persidangan, kedua belah pihak
membacakan masing-masing replik dan duplik yang telah dipersiapkan pada saat
setelah menerima salinan gugatan.
6. Sidang Pembuktian
Pasal 137 HIR menerangkan bahwa pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat
keterangan lawannya dan sebaliknya, surat mana diserahkan kepada Hakim untuk
keperluan itu.
Terkait kebenaran dari surat keterangan tersebut, di pasal selanjutnya yaitu Pasal
138 HIR dikatakan bahwa jika satu pihak membantah kebeneran surat keterangan
yang diserahkan oleh lawannya, maka pengadilan negeri dapat memeriksa hal itu,
sesudah nya akan memberikan keputusan, apa syarat yang dibantah itu dipakai atau
tidak dalam perkara itu.
Apabila pada saat pemeriksaan surat keterangan tersebut menimbulkan sangkaan
bahwa surat ini palsu, maka segala surat-surat yang mengenai hal itu disampaikan
kepada Jaksa, yang berwajib untuk menuntut kejahatan itu berdasarkan Pasal 242
KUHP.

Sehubungan

dengan

itu,

pemeriksaan

perkara

gugatan

perdata

dipertangguhkan dahulu sampai perkara penuntutan pidana terhadap pemalsuan itu


diputuskan.
Selain pemeriksaan alat bukti surat, terdapat pula alat bukti berupa keterangan saksi.
Pada Pasal 139 ayat (1) HIR, jika penggugat atau tergugat hendak meneguhkan
kebenaran tuntutannya dengan saksi-saksi, akan tetapi oleh sebab mereka tidak
mau menghadap atau oleh sebab itu hal lain tidak dapat dibawa menurut yang
ditentukan pada pasal 121, maka pengadilan negeri akan menentukan hari
persidangan kemudian, pada waktu mana akan diadakan pemeriksaan serta
memerintahkan supaya saksi-saksi yang tidak mau menghadap persidangan dengan
rela hati dipanggil oleh seorang pejabat yang berkuasa menghadap pada siding hari
itu.
Pemeriksaan terhadap saksi-saksi ini dapat dilakukan atas permintaan kedua belah
pihak atau atas inisiatif hakim sendiri.
7. Hakim membacakan Putusan
Pasal 178 HIR mengatakan bahwa Hakim karena jabatannya waktu bermusyarawah
wajib mencukupkan segala alasan hukum; yang tidak dikemukakan oleh kedua belah
pihak. Hakim wajib mengadili atas segala bagian gugatan dan ia tidak diizinkan
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih
daripada yang digugat.
HAL-HAL TERKAIT SIDANG PERKARA PERDATA
1. Kehadiran Kedua Belah Pihak
a. Penggugat hadir, Tergugat tidak hadir
Pasal 125 ayat (1) HIR:
Jikalau Tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap Pengadilan
Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain
menghadap selaku wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tak
hadir (verstek), kecuali jika tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.
b. Penggugat tidak hadir, Tergugat hadir
Pasal 124 HIR :
Jikalau si Penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap
Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh
seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka tuntutannya dipandang gugur
dan si penggugat berhak, sesudah membayar biaya tersebut, memasukkan
tuntutannya sekali lagi.
c. Kedua belah pihak tidak hadir

Ada anggapan bahwa demi kewibawaan badan peradilan serta agar jangan
sampai ada perkara yang berlarut-larut dan tidak berketentuan, maka dalam hal
ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada.
d. Kedua belah pihak hadir
Apabila kedua belah pihak hadir, maka sidang pertama dapat dimulai dengan
sebelumnya hakim menganjurkan mengenai adanya perdamaian di antara kedua
belah pihak tersebut seperti hal nya alur yang telah dijelaskan sebelumnya.
2. Perbedaan Tergugat dan Turut Tergugat
Kualifikasi Tergugat dan Turut Tergugat tidak diatur dalam peraturan perundangundangan. Dalam hal ada lebih dari satu Tergugat, maka untuk menentukan siapa
Tergugat I, Tergugat II dan seterusnya harus melihat pada derajat perbuatan dan
pertanggungjawaban

masing-masing

Tergugat.

Tapi,

derajat

perbuatan

dan

pertanggungjawaban di antara para Tergugat tidak terlalu jauh perbedaannya.


Adapun yang paling berbeda adalah ketika menentukan antara (para) Tergugat dan
Turut Tergugat.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam bukunya Hukum Acara
Perdata Dalam Teori dan Praktek mengatakan bahwa dalam praktik perkataan Turut
Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa
atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu
gugatan harus diikutsertakan. Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan
agar tunduk dan taat terhadap putusan Hakim (hal. 2).
Perbedaan Tergugat dengan Turut Tergugat adalah Turut Tergugat hanya tunduk
pada isi putusan hakim di pengadilan karena Turut Tergugat ini tidak melakukan
sesuatu (perbuatan).
Misalnya, dalam kasus perbuatan melawan hukum (PMH), Tergugat melakukan
suatu perbuatan sehingga digugat PMH, namun Turut Tergugat ini hanyalah pihak
terkait yang tidak melakukan suatu perbuatan. Tapi, pihak tersebut oleh Penggugat
turut digugat sebagai Turut Tergugat sehingga pada akhirnya turut tergugat tunduk
pada isi putusan pengadilan.
3. Kedudukan Notaris sebagai Turut Tergugat
Pada Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada
Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta
atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris

Persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris diperlukan agar sebelumnya Majelis


Kehormatan Notaris dapat memeriksa terlebih dahulu apakah perkara yang
mengikutsertakan Notaris sebagai Turut Tergugat tersebut terkait akta notaris
bukan terkait perilaku notaris.
Perlunya diikutsertakan Turut Tergugat dalam gugatan menurut pendapat Mahkamah
Agung dalam Putusan No. 1642 K/Pdt/2005 adalah karena dimasukkan sebagai
pihak yang digugat atau minimal didudukkan sebagai Turut Tergugat. Hal ini
terjadi dikarenakan adanya keharusan para pihak dalam gugatan harus lengkap
sehingga tanpa menggugat yang lain-lain itu maka subjek gugatan menjadi tidak
lengkap.
Maka dapat disimpulkan bahwa apabila suatu Notaris dijadikan sebagai Turut
Tergugat dalam suatu perkara perdata sebenarnya adalah pelengkap dalam suatu
gugatan saja, namun tetap tunduk terhadap putusan hakim. Yang harus dilakukan
ketika menjadi Turut Tergugat adalah cukup hadir menjalani proses persidangan dan
menerima putusan yang dijatuhkan oleh Hakim. Hal ini dikarenakan pihak yang
berkepentingan secara langsung adalah Penggugat dan Tergugat.
Konsekuensi apabila Turut Tergugat tidak hadir sama dengan apabila Tergugat yang
tidak hadir yaitu dengan dijatuhkan nya putusan verstek seperti yang diatur dalam
Pasal 125 HIR yaitu jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa,
atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil
dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau
nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak
beralasan.
Sebagai contoh, untuk gugatan PMH, isi gugatan bisa saja berupa kewajiban ganti
rugi sehingga mewajibkan Tergugat dan Turut Tergugat membayar sejumlah ganti
rugi yang diminta Penggugat. Hal ini dimungkinkan karena dari pihak kantor Anda
tidak hadir sidang dan tidak memberikan pembelaannya sehingga melemahkan
posisi Anda.
Sebenarnya, melihat dari kedudukan Turut Tergugat yang tidak tersangkut dengan
pokok perkara seperti halnya Tergugat dan sifat jawaban yang tidak wajib, dari sini
kita bisa melihat bahwa Turut Tergugat tidak perlu memberikan bantahan terhadap
pokok perkara. Akan tetapi, menurut hemat kami, Turut Tergugat bisa saja
mengajukan jawaban selama dipandang perlu. Hal ini berkaitan dengan urgensi
kepentingan hukum yang perlu dibela. Artinya, urgensi dibuatnya jawaban oleh Turut
Tergugat disesuaikan dengan pembelaan kepentingan Turut Tergugat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai