Sejalan dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus
mendengar keterangan kedua belah pihak sebagaimana diuraikan di atas, maka Hakim
dengan perantaraan Juru Sita/Juru Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak
dengan secara resmi dan patut, untuk menghadap ke persidangan.
1. Upaya perdamaian (Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg). Pada permulaan persidangan,
sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara para pihak
berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta Perdamaian yang
mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak berhasil dilanjutkan pada tahap
berikutnya.
2. Pembacaan surat gugatan. (Pasal 131 HIR, Pasal 155 RBg). Sebelum pembacaan
gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat yaitu:
a. Mencabut gugatan.
b. Merubah gugatan.
c. Mempertahankan gugatan.
1) Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok perkaranya
ditolak pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :
- Eksepsi absolut, berkenaan dengan perkara yang bersangkutan bukan
kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan kewenangan
lingkungan peradilan lain.
2) Eksepsi materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yang memeriksa
perkara tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil gugatannya bertentangan
dengan hukum perdata materiil, meliputi:
- Eksepsi aan hanging geding, yaitu perkara yang sama masih bergantung
dalam proses pengadilan lain dan belum ada putusan yang berkekuatan
hukum tetap.
e. Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat
dalam sengketa yang sedang berjalan (Pasal 132 a dan Pasal 132 b HIR, Pasal 157
dan Pasal 158 RBg), dengan tujuannya :
2. Mempermudah prosedur.
5. Menghemat biaya.
Apabila jawab menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak
disepakati, sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke
tahap pembuktian.
4. Pembuktian.
Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan
sidang Pengadilan. Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang
dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum jelas atau yang menjadi
sengketa. Yang dibebani wajib pembuktian adalah seseorang yang mengaku
mempunyai hak dan seseorang yang membantah hak orang lain, dengan
membuktikan adanya hak atau peristiwa yang didalilkan (Pasal 163 HIR, Pasal 283
RBg, Pasal 1865 KUH Perdata).
Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan Pasal
164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata berupa :
1. Bukti tertulis/surat
Alat bukti tertulis/surat yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan pikiran dan isi hati seseorang yang
ditujukan untuk dirinya dan atau orang lain yang dapat digunakan untuk alat
pembuktian.
2) Surat yang berupa akta, terdiri dari : akta autentik dan akta dibawah tangan
Surat yang berupa akta, yaitu Surat yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat
sejak awal untuk maksud pembuktian.
Diatur dalam Pasal 165 HIR, Pasal 285 Rbg, bahwa akta otentik adalah
akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk
membuat surat itu. Contoh: Akta Notaris, Putusan Hakim.
Persangkaan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang telah
terbukti ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti, Pembuktian dengan
persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-
saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan.
Contoh : Dalam suatu gugatan perceraian yang didasarkan pada perzinahan,
adalah sangat sulit dibuktikan, karena sulitnya mendapatkan saksi yang telah
melihat sendiri perbuatan zina itu. Untuk membuktikan perzinahan Hakim harus
menggunakan alat bukti persangkaan.
Diatur dalam Pasal 174 s/d 176 HIR, dan Pasal 311 s/d 313 Rbg. Pengakuan
adalah keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan, yang secara tegas dan nyata
diterangkan oleh salah satu pihak atau lebih dalam penyelesaian perkara di
persidangan yang berisi pembenaran sebagian atau seluruhnya terhadap suatu
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan, yang
mengakibatkan tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Sumpah adalah suatu pernyatan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan
pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengaitkan dengan sifat Tuhan
Yang Maha Kuasa, dengan meyakini akan ada hukuman Tuhan bila ternyata
memberikan keterangan yang tidak benar. Sumpah dalam HIR diatur Pasal 155
s/d 158 dan Pasal 177, sebagai alat bukti ada 3 macam yaitu :
2) Sumpah Estimatoir / Penaksir (Pasal 155 HIR, 182 Rbg), yaitu sumpah yang
diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada pihak Penggugat untuk
menentukan bentuk dan jumlah ganti rugi.
3) Sumpah Decisoir / Pemutus (Pasal 156 HIR), yaitu sumpah yang dibebankan
atas`permintaan salah satu pihak kepada lawannya.