Anda di halaman 1dari 9

BAB V : Pemeriksaan Perkara.

Sejalan dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus
mendengar keterangan kedua belah pihak sebagaimana diuraikan di atas, maka Hakim
dengan perantaraan Juru Sita/Juru Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak
dengan secara resmi dan patut, untuk menghadap ke persidangan.

Setelah para pihak menghadap ke persidangan, pemeriksaan perkara dilakukan


dalam sebuah persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum (Pasal 19 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Selanjutnya proses pemeriksaan perkara
dilangsungkan melalui beberapa tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :

1. Upaya perdamaian (Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg). Pada permulaan persidangan,
sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara para pihak
berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta Perdamaian yang
mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak berhasil dilanjutkan pada tahap
berikutnya.

2. Pembacaan surat gugatan. (Pasal 131 HIR, Pasal 155 RBg). Sebelum pembacaan
gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat yaitu:

a. Mencabut gugatan.

b. Merubah gugatan.

c. Mempertahankan gugatan.

Jika gugatan dipertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan


pada tahap berikutnya yaitu :

1. Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada yang berupa :

a. Exeptief verweer (bantahan yang tidak langsung mengenai pokok perkara)


terdiri dari :

1) Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok perkaranya
ditolak pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :
- Eksepsi absolut, berkenaan dengan perkara yang bersangkutan bukan
kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan kewenangan
lingkungan peradilan lain.

- Eksepsi relatif berkenaan dengan perkara yang bersangkutan adalah


kewenangan Pengadilan lain dalam satu lingkungan Peradilan yang sama.

- Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan gugatan yang bersangkutan pernah


diputus oleh Hakim Pengadilan yang terdahulu dan putusannya telah
berkekuatan hukum tetap.

- Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa Penggugat tidak mempunyai hak untuk


mengajukan gugatan, Penggugat salah menentukan pihak Tergugat.

2) Eksepsi materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yang memeriksa
perkara tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil gugatannya bertentangan
dengan hukum perdata materiil, meliputi:

- Eksepsi dilatoir, karena gugatan belum tiba saatnya diajukan oleh


Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat hukum.

- Eksepsi aan hanging geding, yaitu perkara yang sama masih bergantung
dalam proses pengadilan lain dan belum ada putusan yang berkekuatan
hukum tetap.

- Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok gugatan, seperti gugatan telah


lampau waktunya, atau karena Tergugat telah dibebaskan dari kewajiban
membayar.

- Eksepsi plurium litis consortium, yaitu bahwa yang digugat seharusnya


termasuk Tergugat lain, tidak hanya Tergugat sendiri.

- Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa gugatan kabur tidak jelas


permasalahannya dan tidak beralasan.

- Eksepsi karena petitum yang diajukan tidak didukung oleh positanya.

b. Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungan dengan pokok


perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan melumpuhkan dalil gugatan
berupa fakta kejadian/peristiwa hukum yang berkenaan dengan posita,
menyingkirkan kekuatan pembuktian dalil gugatan dengan alat bukti lain yang sah
sesuai dengan batas minimum pembuktian dan sebagainya.

c. Pengakuan, jawaban yang membenarkan seluruh atau sebagian dalil gugatan.


Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil gugatan, maka dalil gugatan
dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.

d. Referte, jawaban dengan tidak membantah atau membenarkan gugatan, tetapi


menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat hanya menunggu putusan
Hakim.

e. Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat
dalam sengketa yang sedang berjalan (Pasal 132 a dan Pasal 132 b HIR, Pasal 157
dan Pasal 158 RBg), dengan tujuannya :

1. Menggabungkan dua tuntutan yang saling berhubungan.

2. Mempermudah prosedur.

3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan.

4. Mempersingkat dan menyederhanakan pembuktian.

5. Menghemat biaya.

Syarat-syarat gugatan rekonpensi :

1. Diajukan bersama-sama dengan jawaban. Menurut pendapat lain sampai


dengan sebelum pembuktian. Rekonpensi tidak dapat diajukan dalam tingkat
banding atau kasasi.

2. Diajukan terhadap Penggugat dalam kwalitas yang sama.

3. Diajukan masih dalam lingkup kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.

4. Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan.

5. Bukan mengenai pelaksanaan putusan

2. Penyampaian Replik dari Penggugat.


Yaitu tanggapan terhadap jawaban Tergugat, dengan tetap mempertahankan
gugatannya, atau Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/
bantahan Tergugat.

3. Penyampaian Duplik dari Tergugat.

Yaitu tanggapan terhadap replik Tergugat, dengan tetap mempertahankan


jawabannya, atau bersikap seperti Penggugat dalam repliknya.

Apabila jawab menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak
disepakati, sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke
tahap pembuktian.

4. Pembuktian.

Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan
sidang Pengadilan. Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang
dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum jelas atau yang menjadi
sengketa. Yang dibebani wajib pembuktian adalah seseorang yang mengaku
mempunyai hak dan seseorang yang membantah hak orang lain, dengan
membuktikan adanya hak atau peristiwa yang didalilkan (Pasal 163 HIR, Pasal 283
RBg, Pasal 1865 KUH Perdata).

Tujuannya untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/kejadian yang


diajukan itu merupakan fakta yang benar terjadi, atau dibuktikan kebenarannya,
sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak. Dalam acara perdata
yang dicari adalah kebenaran formil, sehingga tidak secara tegasmensyaratkan
adanya keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan
oleh pihak yang berperkara.

Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan Pasal
164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata berupa :

1. Bukti tertulis/surat

Alat bukti tertulis/surat yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan pikiran dan isi hati seseorang yang
ditujukan untuk dirinya dan atau orang lain yang dapat digunakan untuk alat
pembuktian.

Ada 2 macam alat bukti tertulis/surat, yaitu :

1) Surat yang bukan akta

Dalam hukum pembuktian mempunyai nilai pembuktian bebas yang


sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan Hakim. Contoh : Buku daftar
(register), surat-surat rumah tangga, surat pribadi dan sebagainya.

2) Surat yang berupa akta, terdiri dari :  akta autentik dan akta dibawah tangan

Surat yang berupa akta, yaitu Surat yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat
sejak awal untuk maksud pembuktian.

Jenis akta terdiri dari :

1. Akta Autentik / Otentik

Diatur dalam Pasal 165 HIR, Pasal 285 Rbg, bahwa akta otentik adalah
akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk
membuat surat itu. Contoh: Akta Notaris, Putusan Hakim.

Akta otentik  mempunyai 3 (tiga) macam pembuktian :

- Kekuatan pembuktian formal, yaitu membuktikan antara para pihak


bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

- Kekuatan pembuktian materiel, yaitu membuktikan antara para pihak,


bahwa peristiwa yang tertulis dalam akta tersebut telah terjadi.

- Kekuatan  mengikat, yaitu membuktikan antara  para pihak dan pihak


ketiga, bahwa pada tanggal (waktu) tersebut dalam akta yang bersangkutan
telah menghadap kepada pegawai umum dan menerangkan apa yang
tertulis di dalam akta tersebut.

2. Akta di bawah tangan


Yaitu surat  yang sengaja dibuat untuk pembuktian para pihak tanpa
bantuan dari seorang pejabat yang berwenang dan hanya untuk kepentingan
para pihak yang membuatnya

2. Alat Bukti Saksi

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan / kesaksian di depan sidang


pengadilan mengenai apa yang ia ketahui, lihat sendiri, atau alami sendiri, yang
dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara.

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan


tentang peristiwa yang disengketakan, dengan jalan membuktikan secara lisan
dari pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam sengketa yang
dipanggil secara patut oleh pengadilan.

Orang yang tidak boleh menjadi saksi, ada 2 kategori/golongan orang


yang tidak diperkenankan oleh Undang-undang untuk menjadi Saksi bagi para
pihak di pengadilan, adalah :

1. Golongan yang tidak mampu, yang tidak mampu secara mutlak


dalam hal ini Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi, yaitu
: keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari
salah satu pihak, suami istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai.
Kemudian yang tidak mampu secara relatif mereka ini boleh didengar, akan
tetapi tidak sebagai saksi, yaitu :  anak-anak yang belum mencapai umur 15
tahun, orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya  sehat.

2. Golongan yang dibebaskan kewajibannya menjadi saksi,


mereka yang boleh mengundurkan diri  ini adalah : saudara laki-laki dan
perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak, keluarga
sedarah menurut keturunan yang lurus, dan saudara laki-laki dan
perempuan dari suami atau istri salah satu pihak, orang-orang tertentu yang
karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah dan diwajibkan
menjaga rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang
diserahkan kepadanya karena martabat, jabatan atau hubungan kerja saja.
3. Alat Bukti Persangkaan

Persangkaan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang telah
terbukti ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti, Pembuktian dengan
persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-
saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan.
Contoh : Dalam suatu gugatan perceraian yang didasarkan pada perzinahan,
adalah sangat sulit dibuktikan, karena sulitnya mendapatkan saksi yang telah 
melihat sendiri perbuatan zina itu. Untuk membuktikan perzinahan Hakim harus
menggunakan alat bukti persangkaan.

4. Alat bukti Pengakuan

Diatur dalam Pasal 174 s/d 176 HIR, dan Pasal 311 s/d 313 Rbg. Pengakuan
adalah keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan, yang secara tegas dan nyata
diterangkan oleh salah satu pihak atau lebih dalam penyelesaian perkara di
persidangan yang berisi pembenaran sebagian atau seluruhnya terhadap suatu
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan  oleh lawan, yang
mengakibatkan tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Ada 2 bentuk pengakuan yaitu :

1) Pengakuan yang dilakukan di depan sidang, memberikan  suatu bukti


yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya, artinya ialah bahwa
Hakim harus mengangap dalil-dalil yang telah dikemukakan dan diakui itu
adalah benar dan mengabulkan segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan
pada dalil-dalil tersebut.

2) Pengakuan yang dilakukan di luar sidang, perihal  terhadap kekuatan


pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan Hakim atau dengan kata
lain merupakan bukti bebas.

5. Alat Bukti Sumpah

Sumpah adalah suatu pernyatan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan
pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengaitkan dengan sifat Tuhan
Yang Maha Kuasa, dengan meyakini akan ada hukuman Tuhan bila ternyata
memberikan keterangan yang tidak benar. Sumpah dalam HIR diatur Pasal 155
s/d 158 dan Pasal 177, sebagai alat bukti ada 3 macam yaitu :

1) Sumpah Supletoir / Pelengkap (Pasal 155 HIR), yaitu sumpah yang


diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada alah satu pihak untuk
melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya.

2) Sumpah Estimatoir / Penaksir (Pasal 155 HIR, 182 Rbg), yaitu sumpah  yang
diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada pihak Penggugat untuk
menentukan bentuk dan jumlah ganti rugi.

3) Sumpah Decisoir / Pemutus (Pasal 156 HIR), yaitu sumpah yang dibebankan
atas`permintaan salah satu pihak kepada lawannya.

6. Pemeriksaan Setempat (Descente) diatur dalam Pasal 153 HIR,


yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat yaitu pemeriksaan mengenai
perkara oleh Hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung pengadilan,
agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang
memberi kepastian tentang peristiwa peristiwa yang menjadi sengketa. Dalam hal
ini jika Hakim ingin memperoleh kepastian dan tidak hanya menggantungkan
kepada keterangan saksi atau surat, maka persidangan dapat dipindahkan 
ketempat barang tetap tersebut untuk mengadakan pemeriksaan setempat.
Meskipun pemeriksaan setempat ini  tidak dimuat di dalam Pasal 164 HIR, sebagai
alat bukti, tetapi oleh karena tujuan pemeriksan setempat agar Hakim
memperoleh  kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa untuk
mendapatkan kebenaran  formil maka pemeriksaan setempat kenyataannya oleh
Hakim dapat dipakai sebagai alat bukti.

7. Keterangan Ahli/Expertise, Keterangan Ahli adalah keterangan pihak


ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan
guna menambah pengetahuan Hakim. Menurut hukum seseorang yang dikatakan
Ahli itu adalah : Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis di bidang ilmu
pengetahuan tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten di bidang
tersebut. Spesialisasi itu bisa dalam bentuk skill karena hasil latihan atau hasil
pengalaman. Sedemikian rupa spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, atau
pengalaman yang dimilikinya, sehingga keterangan dan penjelasan yang
diberikannya dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan
pengetahuan umum  orang biasa.

Anda mungkin juga menyukai