1. Proses beracara dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut :
a. Tahap pendahuluan yaitu tahap untuk mempersiapkan segala sesuatuanya guna pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan yang meliputi : - Pencatatan perkara dalam daftar oleh panitera. - Penetapan persekot biaya perkara dan penetapan berita acara secara prodeo. - Penetapan hari sidang. - Pangilan terhadap pihak-pihak yang berperkara. - Memajukan permohonan penyitaan jaminan dan pencabutan gugatan. b. Tahap penentuan adalah tahap mengenai jalanya persidangan yang meliputi : - Pemeriksaan peristiwa dalam jawab-menjawab. - Pembuktian peristiwa. - Pengambilan putusan oleh hakim. c. Tahap pelaksanaan yaitu tahap untuk merealisasikan putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). 2. Urutan beracara dalam Hukum Acara Perdata adalah : a. Gugatan b. Mediasi c. Jawaban (eksepsi, pokok perkara, rekopensi) d. Replik (penggugat, lugas) e. Duplik (tergugat, penggugat rekopensi) f. Pembuktian (pembuktian oleh masing-masing pihak apakah benar/ tidak statemen masing2) g. Kesimpulan h. Putusan 3. Pengertian pembuktian pembuktian atau membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengandung beberapa pengertian: a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. b) Membuktikan dalam arti konvensionil Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan: - kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime) - kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee) c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis 4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya yang diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu” dan Pasal 163 HIR yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. 5. Dalam proses peradilan perdata berlakulah Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata sendiri mengenal 5 macam alat bukti yang sah, yaitu (Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement - “HIR”): a) Surat b) Saksi c) Persangkaan d) Pengakuan e) Sumpah Dalam perkembangannya E-mail atau electronic-mail dapat pula dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam perkara perdata seperti yang tercantum dalam Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronikdengan cara e- mail yang kemudian diubah menjadi bentuk cetak sehinnga termasuk alat bukti surat. Namun, sesuai pengaturan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, tidak semua e-mail dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah. E-mail tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam beberapa hal berikut: a) Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; b) Surat beserta dokumen pendukungnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah. 6. Akta otentik yaitu Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil),di tempat akta itu dibuat, Contohnya Akta vonis, Akta notaris,surat akta perkawinan, surat penyitaan barang dan lain sebagainya. 7. Yang dimaksud dengan akta dibwah tangan yaitu akta yang sengaja di buat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contohnya surat perjanijan sewa menyewa rumah,surat perjanjian jual beli obil dan lain sebagainya 8. Perbedaan Antara Akta otentik dengan akta di bawah tangan yaitu : Akta Otentik : a. Bentuknya sesuai UU Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dll sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak. b. Dibuat di hadapan pejabat umum yg berwenang c. Kekuatan pembuktian yang sempurna d. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan mengenai ketidak benarannya. Akta dibawah tangan : a. Bentuknya yang bebas b. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum c. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tdk disangkal oleh pembuatnya d. Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian. 9. a) Sumpah Penambah (Subsisoir) Yaitu sumpah yang dilakukan jika terdapat alat bukti lain akan tetapi bukti tersebut masih sangat minim atau belum memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Contohnya sumpah yang dilakukan terhadap alat bukti surat yang tidak memenuhi syatarat sebagai alat bukti, sehingga sumpah disini berperan untuk melegalisasi alat bukti tersebut. b) Sumpah Pemutus (Decesoir) Yaitu sumpah yang dilakukan karena tidak alat bukti yang lain sama sekali. 10. Putusan adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara yang bertujuan untuk menyelesaikan gugatan antara pihak penggugat dan tergugat 11. suatu putusan pengadilan pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu : a) Kepala Putusan Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No. 14/1970). Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan eksekutorial, karena bila dapat suatu putusan tidak terdapat tulisan tersebut maka putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan (Pasal 224 HIR). b) Identitas pihak-pihak yang berperkara Dalam putusan pengadilan identitas para pihak yang berperkara harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan mengkuasakan kepada orang lain. c) Pertimbangan (alasan-alasan) Bagian ini merupakan dasar dari suatu putusan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu, pertimbangan tentang duduk perkaranya (Feitelijke gronden) adalah tentang apa yang terjadi di depan pengadilan seringkali gugatan dan jawaban dikutip secara lengkap dan pertimbangan hukum (rechts gronden) yang menentukan nilai dari suatu putusan. d) Amar (dictum) putusan Putusan MARI No. 104 k/Sip/1968, menyatakan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam kopensi maupun dalam rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walaupun demikian hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak di tuntut (pasal 178 HIR, MARI No. 399 k/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970 dan MARI No. 1245 k/Sip/1974, tanggal 9 November 1976). 12. a). Putusan Sela (Tussenvonnis) Merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara persidangan. Terhadap salinan otentik dari putusan sela tersebut kedua belah pihak dapat memperolehnya dari berita acara yang memuat putusan sela tersebut. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela yaitu : a. Putusan Preparatoir. Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses persidangan hingga tercapai putusan akhir. b. Putusan Interlocutoir. Adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi putusan akhir. c. Putusan Incidentieel Adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara, masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara. d. Putusan Provisionieel Adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah b). Putusan Akhir (eindvonnis) Merupakan putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Putusan. Putusan akhir menurut sifat amarnya (dictumnya), dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu : a. Putusan Declaratoir Adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. b. Putusan Constitutief Adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru. Keadaan ersebut dapat berupa meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. c. Putusan Condemnatoir Adalah putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Dalam praktek sehari-hari dalam suatu putusan akhir terdapat beberapa jenis sifat putusan, seperti gabungan antara putusan yang bersifat declaratoir dan condemnatoir atau antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif dan sebagainya. 13. Perbedaan upaya hukum biasa dengan upaya hukum luar biasa : - Upaya hukum biasa Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan tersebut telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau uitboverbaar bij voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus. - Disebut upaya hukum luar biasa karena: a. Diajukan dan ditujukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap. b. Upaya ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, bukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap. c. Upaya hukum luar biasa diajukan kepada mahkamah agung sebagai pemeriksa, serta pembuat keputusan sebagai instansi pertama dan terakhir. 14. Upaya hukum biasa Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup: a. Perlawanan/verzet b. Banding c. Kasasi 15. Perbedaan banding dengan kasasi : a. Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan. Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi. b. Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga 16. Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti- bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut; d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 17. Perbedaan hukum acara perdata dengan hukum acara pidana : Perbedaan mengadili a) Hukum acara perdata mengatur cara-cara mengadili perkara-perkara di muka pengadilan-perdata leh hakim perdata. b) Hukum acara pidana mengatur cara-cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh hakim pidana. Perbedaan pelaksanaan: a) Pada acara perdata inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan yang dirugikan. b) Pada acara pidana inisiatifnya itu datang dari penuntut umum (jaksa) Perbedaan dalam penuntutan: a) Dalam acara perdata, yang menuntut si tergugat adalah pihak yang dirugikan. Penggugat berhadapan dengan tergugat. Jadi tidak terdapat penuntut umum atau jaksa. b) Dalam acara pidana, jaksa menjadi penuntut terhadap si terdakwa. Jaksa sebagai penuntut umum mewakili negara, berhadapan dengan terdakwa. Jadi, disni terdapat seorang jaksa. Perbedaan alat-alat bukti: a) Dalam acara perdata sumpah merupakan alat pembuktian (terdapat 5 alat bukti yaitu: tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah) b) Dalam acara pidana ada 4 alat bukti (kecuali sumpah). Perbedaan penarikan kembali suatu perkara. a) Dalam acara perdata, sebelum ada putusan hakim, pihak-pihak yang bersangkutan boleh menarik kembali perkaranya. b) Dalam acara pidana, tidak dapat ditarik kembali. Perbedaan kedudukan para pihak. a) Dalam acara perdata, pihak-pihak mempunyai kedudukan yang sama. Hakim hanya bertindak sebagai wasit, dan bersikap pasif. b) Dalam acara pidana, jaksa kedudukannya lebih tinggi dari terdakwa. Hakim juga turut aktif. Perbedaan dalam dasar keputusan hakim a) Dalam acara perdata, putusan hakim itu cukup dengan mendasarkan diri kepada kebenaran formal saja (akta tertulis dan lain-lain) b) Dalan acara pidana, putusan hakim harus mencari kebenaran materiil (menurut keyakinan, perasaan keadilan hakim sendiri) Perbedaan macamnya hukuman a) Dalam acara perdata, tergugat yang terbukti kesalahannya dihukum denda, atau hukuman kurungan sebagai pengganti denda. b) Dalam acara perdata, terdakwa yang terbukti kesalahannya dipidana mati, penjara, kurungan atau denda, mungkin ditambah dengan pidana tambahan seperti: dicabut hak-hak tertentu dan lain-lain. Perbedaan dalam bandingan a) Bandingan perkara perdata dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Appel. b) Bandingan perkara pidana dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut Revisi. 18. Eksekusi adalah dalah merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata 19. a. Eksekusi untuk melakukan suatu pembayaran sejumlah uang b. Eksekusi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan c. Eksekusi untuk pengosongan benda tetap, seperti tanah atau rumah. 20. Istilah verzet dalam Hukum Acara Perdata merupakan suatu upaya hukum terhadap putusan verstek (putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya Tergugat). Untuk menjatuhkan putusan verstek, Hakim harus memperhatikan ketentuan pasal 125 HIR terlebih dahulu. Sedangkan yang dimaksud derden verzet adalah perlawanan (dari) pihak ketiga. Memang pada azasnya putusan pengadilan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun tidak tertutup kemungkinan ada pihak ketiga yang dirugikan oleh suatu putusan pengadilan. Terhadap putusan tersebut, pihak yang dirugikan dapat mengajukan perlawanan (derden verzet) ke Hakim Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut. Caranya, pihak ketiga yang dirugikan menggugat para pihak yang berperkara (pasal 379 Rv). Apabila perlawanan tersebut dikabulkan maka terhadap putusan yang merugikan pihak ketiga tersebut haruslah diperbaiki (pasal 382 Rv). Terhadap putusan perlawanan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri, dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali.