Anda di halaman 1dari 1

Konflik tanah ulayat di Sumatera Barat (Sumbar) sudah sangat memprihatinkan.

Sangat jarang masyarakat yang


bersengketa tanah ulayat versus perusahaan menang dalam pengadilan.

Hal tersebut terungkap dalam Seminar yang membahas Penguatan Hak Ulayat dalam Kebijakan dan Putusan
Pengadilan Sumatera Barat, serta Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 21 Tahun 2012 tentang Pedoman
dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal serta Putusan Pengadilan Negeri
Payukumbuh dalam perkara PT. Jenyta Ranch vs Nagari Sungai Kamunyang.

Menurut Pengacara Publik Sahnan Sahuri Siregar, salah satu pembicara, konflik tanah ulayat sering datang dari
perusahaan yang terkesan difasilitasi oleh pemerintah untuk mencaplok tanah tersebut.

Sayangnya, jarang sekali masyarakat menang bila berhadapan dengan perusahaan. Hal ini karena pengadilan
kita masih berparadigma sangat positivistik.

Pembicara lainnya, Akmal dari LKAAM, membedah hal itu dari sisi pengdentifikasian tanah ulayat. Menurutnya
perlu ada identifikasi keberadaan tanah ulayat di Sumbar. Dengan kata lain perlu disusun peta tanah ulayat agar
ada kepastian hukum.

Namun, perwakilan pengusaha, Asnawi Bahar yang juga Ketua KADIN Sumbar, menolak anggapan kalau
kedatangan perusahaan ke suatu daerah memang untuk melanggar hukum.

Menurutnya, peraturan yang ada sudah sangat baik. Perusahaan hadir tentu dengan misi untuk mendatangkan
pembangunan. Tidak ada perusahaan yang datang ke suatu tempat untuk berkonflik dengan masyarakat. Yang
ada adalah adanya oknum-oknum.yang bermain untuk meraup keuntungan pribadi.

Dalam seminar itu, hadir pula sebagai pembicara Yance Arizona (Epistema Institute), Dr. Kurnia Warman (Dosen
FH Univ. Andalas), dan Luzron Lamujin (Tokoh Adat Sungai Kamunyang).

Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Epistema Institute bekerjasama dengan Perkumpulan QBAR

Anda mungkin juga menyukai