Anda di halaman 1dari 10

PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA)

PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI)

HUKUM ACARA PERDATA


OLEH: Dr. PUTU SUTA SADNYANA, SH., MH.
KORWIL BALI DPN PERADI
PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA)
PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI)

HUKUM ACARA PERDATA


OLEH: Dr. PUTU SUTA SADNYANA, SH., MH.
KORWIL BALI DPN PERADI

1. Identitas Pihak Yang Berperkara


Di dalam menerima suatu persoalan atau perkara, maka yang pertama kali harus
diketahui adalah identitas dari pihak-pihak yang terlibat di dalam persoalan atau
perkara dimaksud, yaitu:
a. Pihak-pihak yang berperkara Badan Hukum atau Perorangan : Hal ini penting untuk
mengetahui dengan jelas subyek hukum sekaligus subyek gugatan dan siapa
berwenang mewakili jika subyeknya suatu badan hukum.
b. Nama lengkap penggugat atau tergugat.
c. Tempat tinggal atau domisili dari pihak.
d. Jenis Kelamin : untuk mengetahui termasuk kedudukan menyangkut hukum waris
“ke purusa” menurut adat Bali.
e. Agama : untuk mengetahui antara lain di pengadilan mana gugatan diajukan
misalnya dalam perkara perceraian yang beragama Islam di pengadilan agama
sedangkan selain Islam pengadilan negeri.
f. Umur : untuk mengetahui apakah sudah berusia dewasa menurut hukum.
g. Kartu Tanda Penduduk (KTP) : Kartu Tanda Penduduk (KTP) difotokopi untuk
menguatkan identitas subyek perorangan yang berarti dikeluarkan pemerintah yang
berwenang.
h. Anggaran dasar dan perubahannya dari suatu badan hukum : misalnya suatu
Perseroan Terbatas (PT), perkumpulan, koperasi, yayasan, untuk mengetahui siapa
yang berwenang bertindak atas nama badan hukum dimaksud.

2. Cerita dari Pihak-Pihak Berperkara (Interview)


Suatu duduknya perkara dapat diketahui bermula dari cerita pihak yang berperkara.
Sebaiknya cerita ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara (interview)
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, yang mengarah pada suatu perkara atau
kasus posisi. Jika pihak yang berperkara dibiarkan bertindak sendiri maka ceritanya
cenderung tidak terarah. Namun untuk kepuasan klien, biarkan klien (pihak yang
berperkara) bercerita terlebih dahulu, baru kemudian wawancara sehingga klien merasa
puas, kita pun mendapat hasil yang diinginkan,

3. Membuat Kronologis Peristiwa

1
Peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh klien, selanjutknya disusun secara kronologis,
sehingga lebih mudah diketahui di bagian mana terdapat kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan dari segi hukumnya.

4. Menemukan Fakta dan Hukumnya


Dari peristiwa-peristiwa yang telah disusun secara kronologis, dapat diketahui bagian-
bagian mana dari peristiwa-peristiwa tersebut yang merupakan fakta yang berkenaan
dengan hukum, misalnya seorang anak ingin warisan orang tuanya, namun orang
tuanya masih hidup. Sehingga terdapat fakta berkenaan dengan hukum waris bukan
belum ada warisan sebelum orang tuanya itu meninggal dunia.

5. Analisa dan Penelitian Hukum


Dari kronologis peristiwa-peristiwa itu dapat dianalisa hukum (legal analogis) apa yang
berkenaan dengan fakta-fakta yang ditemukan di dalam cerita klien tersebut. Jika di
dalam hal ini hukumnya belum jelas atau belum diketahui, maka perlu dilakukan
penelitian hukum (legal research) untuk menemukan hukum yang berkenaan.

6. Pemberian Nasihat Hukum (Legal Advise)


Setelah kita meenemukan hukum yang berkenaan dengan fakta-fakta hukum tersebut,
maka sampailah pada tahap pemberian nasihat hukum (legal advise).
Hal yang pertama dilakukan dalam pemberian nasihat hukum ini adalah hal-hal yang
bersifat informatif berisi pengetahuan hukum praktis berkenaan dengan perkaranya
klien. Sehingga klien dapat mengerti apa dan bagaimana hukumnya dari peristiwa-
peristiwa yang dialaminya. Dan bagaimana implikasinya jika diterapkan. Tahap
selanjutnya adalah adanya pemahaman dari klien dengan adanya persetujuan klien
untuk menjalankan perkara yang ditandai dengan penandatanganan surat kuasa baik
untuk penyelesaian di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan.

7. Upaya Damai
Langkah pertama yang ditempuh jika sudah ada persetujuan klien untuk memenangkan
perkara adalah upaya damai dari pihak lawan perkara.
Lembaga damai ini saat ini sedang diutamakan oleh badan peradilan kita dengan
keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tanggal 30 Januari 2002
Tentang Pemberdayaan Peradilan Tingkat Pertama (pasal 130 HIR / 154 RBG).
Di dalam praktek hukum, upaya damai ini dapat dilakukan dengan cara negosiasi dan
mediasi.
Ketentuan pasal 130 HIR / 154 RBG, sebagai berikut:
(1) Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan
negeri dengan perantara ketuanya akan mencoba memperdamaikan mereka.
(2) Jika perdamaian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu sidang, harus dibuat
akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yang
dibuat itu, maka surat (akta) itu berkekuatan dan akan dilakukan sebagai keputusan
hakim biasa.
(3) Terhadap keputusan yang demikian tidak diizinkan upaya minta naik banding.

2
Upaya perdamaian yang dilaksanakan di pengadilan negeri melalui hakim fasilitator
mediator, merupakan suatu bentuk dari penyelesaian sengketa di luar proses peradilan
perkaranya, yaitu merupakan upaya penyelesaian alternatif atau yang dikenal dengan :
“Alternative Dispute Resolution”. Adapun tahap-tahap yang dilakukan oleh hakim
fasilitator yaitu:

1) Hakim fasilitator membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat, dan
pengumpulan data dan argumentasi pihak-pihak dalam rangka ke arah perdamaian.
2) Hakim apabila dikehendaki para pihak dapat bertindak sebagai mediator yang akan:
a. Mempertemukan pihak-pihak yag bersengketa guna mencari masukan tentang
pokok soal yang disengketakan ;
b. Mengumpulkan informasi yang menggambarkan keinginan masing-masing
pihak ;
c. Mencoba menyusun proposal perdamaian, ;
d. Melakukan konsultasi dengan pihak-pihak untuk mencapai win-win solution.
3) Apabila persetujuan dicapai dituangkan dalam persetujuan tertulis dan
ditandatangani pihak-pihak.
4) Persetujuan tertulis dituangkan dalam akta perdamaian (Dading) dengan akta
perdamaian mana pihak-pihak dihukum untuk menepati apa yang disetujui.

8. Selanjutnya mengenai mediasi tersebut diatur di dalam peraturan terbaru yaitu


Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.

Surat Kuasa

- Dasar hukum Pasal 1792 KUHPerdata dan seterusnya sampai Pasal 1796 KUHPerdata.
Pasal 1792 KUHPerdata berbunyi : “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan degan
mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan” .
Hal-hal yang harus diperhatikan:
a. Identitas pemberi kuasa (subyek)
b. Prihal urusan yang dikuasakan.

- Tuntutan Perdata/Gugatan
Di dalam Pasal 118 ayat 1 HIR (ps. 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata
(burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan
lazimnya disebut gugatan.
Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (ps. 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 Rbg)
maupun secara lisan (ps. 120 HIR, 144 ayat 1 Rbg).

Persyaratan isi gugatan:

3
1) Identitas daripada para pihak.
2) Dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta
alasan-alasan daripada tuntutan (middelen van denies) atau lebih dikenal dengan
fundamentum petendi.
3) Tuntutan (onderwerp van denies meteen duidelijke en bepaalde conclusive) atau
petitum.

- Fundamentum Petendi
Dasar tuntutan terdiri dari dua bagian yaitu :
1) Bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa.
2) Bagian yang menguraikan tentang hukum.
Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara, sedangkan uraian
tentang hukum adalah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang
menjadi dasar yuridis daripada tuntuan.

Pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg, 1865 BW) berbunyi:


Barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak atau menyebut suatu peristiwa
untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

- Petitum
Tuntutan ialah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapakan agar diputuskan oleh
hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam dictum atau amar
putusan. Maka oleh karena itu penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan
tegas ( “een duidelijke en bepaalde conclusie” : ps. 8 Rv ).

- Obscuur Libel
Gugatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak tergugat,
sehingga menyebabkan ditolaknya gugatan.

- Pihak-pihak di dalam perkara


 Di dalam suatu sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu
pihak penggugat (eiser, plaintiff) yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat
(gedaagde, defendant).
 Advokat.
Seorang advokat yang walaupun bertindak atas nama dan kepentingan kliennya,
bukanlah merupakan pihak, baik formil maupun materiil.

- Kuasa atau wakil dari Penggugat


Harus memenuhi salah satu syarat berikut:
1) Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi pasal 123 ayat 1 HIR
(ps.147 ayat 1 Rbg).
2) Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugatan (ps. 123 ayat 1 HIR, 147
ayat 1 Rbg).
4
3) Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila gugatan diajukan
secara lisan (ps. 123 ayat 1 HIR, 147 ayat 1 Rbg).
4) Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan (ps. 123
ayat 1 HIR, 147 ayat 1 Rbg).
5) Telah mendapatkan izin advokat.

- Kuasa atau wakil dari Tergugat


Harus memenuhi salah satu syarat berikut :
1) Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi pasal 123 ayat 1 HIR
(ps. 147 ayat 1 Rbg).
2) Ditunjuk oleh tergugat sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan (ps. 123 ayat 1
HIR, 147 ayat 1 Rbg).
3) Telah mempunyai izin advokat.

- Berdasarkan aturan yang berlaku dalam hukum acara perdata, pengajuan suatu gugatan
dapat disampaikan secara lisan atau tertulis.
Mengacu pada ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR/142 RBg, disyaratkan bahwa gugatan
perdata diajukan secara tertulis dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau kuasanya.

Pasal 118 (1) HIR/142 RBg. berbunyi :


“(1) tuntutan-tuntutan perdata, yang dalam tingkat pertama masuk kekuasaan
pengadilan negeri, hendaklah dengan surat permintaan yang ditandatangan oleh
Penggugat atau menurut yang ditentukan pada pasal 123, oleh wakilnya, dimasukkan
kepada ketua pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terletak tempat diam si
tergugat atau kalau tidak ada tempat diam yang diketahui, tempat ia sebenarnya
tinggal.”

Namun demikian, dalam hal si penggugat tidak dapat membaca dan menulis
(penggugat buta aksara) maka gugatan dapat diajukan dalam bentuk lisan, sebagaiman
diatur dalam Pasal 120 HIR/144 RBg. sebagai berikut: “Jika si penggugat tak pandai
menulis, bolehlah ia mengajukan gugatannya dengan lisan kepada Ketua Pengadilan
Negeri, yang akan mencatat atau menyuruh mencatatkannya.”

Perlu diperhatikan bahwa untuk pengajuan gugatan secara lisan, harus disampaikan
sendiri oleh penggugat dan tidak boleh diwakilkan oleh kuasa, karena dengan
menunjuk kuasa berarti telah menghilangkan syarat buta aksara yang merupakan syarat
formil dari gugatan dalam bentuk lisan.

- Alasan pembatalan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi adalah lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

5
Di samping alasan di atas, terdapat alasan lain yang disyaratkan oleh Pasal 30 Undang-
Undang no. 14 tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 tahun 2004 jo. Undang-Undang
No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, yaitu :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

- Jika salah satu pihak dalam suatu perkara perdata merasa keberatan terhadap putusan
kasasi maka pihak tersebut dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, yang
dapat dilakukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap dan teelah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.

Jangka waktu untuk mengajukan upaya Peninjauan Kembali diatur secara tegas dalam
Pasal 69 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No. 5 tahun 2004 jo.
Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

- Kapan memori banding harus disampaikan? Tidak diatur jangka waktunya.


Berkenaan dengan upaya banding, hukum acara perdata hanya mengatur tenggang
waktu pengajuan permohonan banding saja, yaitu 14 hari setelah putusan diucapkan
atau diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan.
Sedangkan dalam menyampaikan memori banding tidak ada peraturannya, karena
memori banding bukanlah sesuatu yang wajib.

- Dalam hukum acara perdata dikenal Putusan Serta Merta (uit voerbaar bij vooraad)
yang syarat dan tata caranya selain diatur dalam HIR, juga diatur dalam SEMA Nomor:
3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (uit voerbaar bij vooraad) dan Provisionil.

- Jika suatu perkara perdata telah diputus dan diucapkan dalam sidang pada tanggal 11
Nopember 2005 yang dihadiri oleh para pihak dalam perkara, maka batas akhir
pengajuan permohonan banding adalah tanggal 25 Nopember 2005.

Permohonan banding harus diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang


menjatuhkan putusan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai hari berikutnya
setelah hari pengumuman putusan diberitahukan kepada pihak yang berkepentingan.
Hal ini diatur dalam pasal 7 UU No.20 Tahun 1947.

- Dalam Hukum Acara Perdata, dikenal dua macam upaya hukum yaitu upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa. Di bawah ini terdapat beberapa jenis upaya hukum
biasa, kecuali perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial. Perlawanan pihak
ketiga terhadap sita eksekutorial termasuk dalam upaya hukum luar biasa.

- Perlawanan terhadap putusan verstek, mengakibatkan putusan verstek tersebut secara


hukum tidak dapat dilaksanakan. Jika terdapat perlawanan terhadap putusan verstek,
maka putusan verstek tersebut menjadi mentah kembali dan perkara diperiksa kembali
dari keadaan semula sesuai dengan gugatan Penggugat.

6
- Putusan yang amar putusannya adalah menghukum salah satu pihak yang berperkara
untuk memenuhi prestasi disebut putusan condemnatoir.

Contoh dari putusan condemnatoir atau kondemnator antara lain :


 menghukum untuk membayar, menyerahkan, membongkar, membagi dan
sebagainya, atau ;
 memerintahkan untuk membayar, menyerahkan, membongkar, membagi dan
sebagainya.

- Terhadap yang telah diputus tanpa kehadirannya, pihak tergugat dapat mengajukan
upaya hukum verzet atau perlawanan sebagaimana diatur dalam pasal 129 (1) HIR/153
RBg yang berbunyi : “Tergugat yang dihukum sedang ia tidak hadir ( verstek ) dan
tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan perlawanan atas putusan itu.”

- Sebaliknya dalam hal pihak penggugat yang tidak datang pada hari sidang yang telah
ditentukan, tanpa alasan yang sah meskipun dipanggil secara patut, maka hakim
pengadilan perdata dapat menjatuhkan putusan gugur. Bentuk putusan ini diatur dalam
pasal 124 HIR/148 RBg. “Jika si penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak
menghadap pada hari sidang yang ditentukan, dan tidak juga menyuruh seorang lain
mengahadap selaku wakilnya, maka tuntutannya dipandang gugur dan si penggugat
dihukum membayar biaya perkara.”

- Dalam hal pihak tergugat tidak datang menghadiri sidang tanpa alasan yang sah
meskipun dipanggil secara patut maka hakim pengadilan perdata dapat menjatuhkan
putusan verstek.
Proses pemeriksaan dan putusan verstek diatur dalam ketentuan pasal 125 HIR ayat
(1)/149 ayat (1), yang memberikan hak dan kewenangan bagi hakim:
 Untuk memeriksa dan menjatuhkan putusan-putusan di luar hadirnya tergugat;
 Syarat bagi putusan verstek, apabila pada sidang pertama si tergugat tidak hadir
tanpa adanya alasan yang sah padahal tergugat telah dipanggil secara sah dan patut
oleh juru sita.
Ketentuan Pasal 125 HIR ayat (1)/149 RBg. ayat (1) berbunyi:
“jikalau si tergugat, walaupun telah dipanggil secara patut, tidak menghadap pada hari
yang ditentukan, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya,
maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tak hadir, kecuali jika nyata kepada
pengadilan negeri, bahwa tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.”

- Di bawah ini adalah alat-alat bukti yang dikenal dengan hukum acara perdata, kecuali
petunjuk:
Berdasarkan pasal 164 HIR/284 RBg terdapat 5 macam alat bukti, yang terdiri dari
bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Sedangkan keterangan ahli

7
adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu hakim
dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.

- Dalam praktek sering dijumpai bahwa penyitaan dilakukan terhadap harta kekayaan
milik pihak ketiga. Upaya hukum yang dapat dilakukan pihak ketiga untuk
mempertahankan hak dan kepentingannya tersebut adalah derden verzet atau
perlawanan pihak ketiga.

- Sita jaminan (conservatoir beslag) dapat dimintakan terhadap barang bergerak meupun
barang tidak bergerak milik tergugat.
1) Sita jaminan dilakukan jika ada sangkaan yang beralasan bahwa tergugat, sebelum
putusan dijatuhkan atau dilaksanakan, akan berupaya untuk menggelapkan,
memindahkan, atau melarikan barang-barang miliknya.
2) Sita jaminan diletakkan terhadap harta milik tergugat, yang dapat berupa barang
bergerak maupun barang tidak bergerak.

Dasar dari pelaksanaan sita jaminan diatur pasal 227 ayat (1) HIR/261 RBg.

“(1) jika ada sangka yang beralasan bahwa seseorang yang berutang sebelum
dijatuhkannya keputusan kepadanya, atau sedang keputusan yang dijatuhkan
kepadanya, belum dapat dijalankan, berusaha akan menggelapkan atau mengangkut
barangnya, baik yang tidak tetap, baik yang tetap, dengan maksud akan menjauhkan
barang itu dari penagih utang, maka ketua, atas surat permintaan yang dimasukkan
untuk itu oleh orang yang berkepentingan, dapat memberikan perintah supaya barang
itu disita akan menjaga orang yang meminta itu dan kepadanya hendaklah
diberitahukan, bahwa ia akan menghadap persidangan pertama yang akan datang dari
pengadilan negeri untuk memajukan tuntutannya dan meneguhkannya.

- Sita revindicatoir (revindicatoir beslag) dapat dimintakan terhadap barang bergerak


milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat.
Dasar permohonan sita revindicatoir (revindicatoir beslag) diatur dalam pasal 226
HIR/260 RBg.
“(1) orang yang mempunyai barang yang tidak tetap, boleh meminta dengan surat atau
dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang
memegang barang itu berdiam atau tinggal supaya barang itu disita.”

- Tanggapan tergugat terhadap replik yang diajukan pihak penggugat disebut duplik.

- Eksepsi kompetensi relatif harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan
dengan jawaban pertama terhadap pokok perkara.
Dengan memperhatikan pasal 133 HIR/159 RBg. pengajuan eksepsi kompetensi relatif
ini harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada saat mengajukan
jawaban terhadap materi pokok perkara.
Jika syarat di atas tidak dipenuhi maka hak tergugat untuk mengajukan eksepsi
kompetensi relatif menjadi gugur.

8
- Eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk mengadili suatu
perkara perdata berkaitan dengan wilayah pengadilan adalah eksepsi kewenangan
relatif.

- Eksepsi kewenangan absolut merupakan eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan


negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut karena persoalan yang
menjadi dasar gugatan bukan merupakan wewenang pengadilan negeri melainkan
wewenang badan peradilan lain.

- Eksepsi dilatoir adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum
dapat dikabulkan.

- Eksepsi peremtoir adalah eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan, misalnya


saja karena gugatan telah diajukan lampau waktu atau kadaluarsa.

Anda mungkin juga menyukai