Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

Pembuktian, Persangkaan, Pengakuan dan sumpah merupakan tindakan yang dilakukan


oleh para pihak dalam suatu sengketa. Ini semua bertujuan untuk menetapkan hukum diantara
kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang
memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam hal itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim
dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan
materi ini maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian, persangkaan, pengakuan
dan sumpah dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang
melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib
membuktikannya.
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih dalam
mengenai Pembuktian, Persangkaan, Pengakuan dan Sumpah sebagai salah satu tata cara
beracara dalam hukum acara perdata.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMBUKTIAN

Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa
perdata. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum di antara kedua belah pihak
yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai
kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.

Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir, mengkualifisir


dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstatir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa
atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu benar-benar terjadi. Hal ini hanya
dapat dilakukan melalui pembuktian.

Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa


berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.

Kebenaran yang dicari dalam perkara perdata, yaitu kebenaran formil, artinya hakim
dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Ketentuan Pasal
178 Ayat (3) H I R/Pasal 189 Ayat (3) RBG/Pasal 50 Ayat (3) RV, secara tegas melarang
hakim menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari yang
dituntut.

Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukannya.

Fakta ialah keadaan, peristiwa atau perbuatan yang terjadi (dilakukan) dalam dimensi
ruang dan waktu. Suatu fakta dapat dikatakan terbukti apabila telah diketahui kapan, dimana
dan bagaimana terjadinya.

Disebabkan pembuktian itu ditujukan untuk menetapkan hukum di antara kedua belah
pihak yang bersengketa, mengacu pada Pasal 163 HIR/283 RBG/1865 KUHPerdata maka
setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak atau guna meneguhkan haknya
sendiri, atau membantah suatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Dalam proses gugat-menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat,


tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang
mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya. Berkaitan dengan materi pembuktian
maka dalam proses gugat-menggugat yang harus dibuktikan adalah peristiwanya, bukan
hukumannya. Oleh karena itu, permasalahan hukum secara exofficio sudah dipahami oleh
hakim karena asas ius curia novit (hakim dianggap mengetahui hukum). Untuk membuktikan
peristiwa hukum dimaksud, berdasarkan Pasal 164 H I R/284 RBG/1866 KU H Perdata
bahwa yang dimaksud dengan alat bukti adalah bukti tertulis, bukti saksi, pengakuan,
persangkaan, dan sumpah.

B. PERSANGKAAN

Persangkaan dalam hukum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hukum acara
pidana. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap
terbukti atau peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang
menarik kesimpulan adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan hakim sebagai alat
bukti mempunyai kekuatan bukti bebas.

Pengertian persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata,
dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBG, yang bunyinya di dalam Pasal
1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUH Perdata tersebut lebih mudah
dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian
alat bukti persangkaan yang tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG.
Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBG
adalah sebagai berikut:
Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan undang-
undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya, apabila
persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.

Pasal 310 RBG:


Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan
hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu sangat penting,
cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain.

Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti,
lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik
kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-
fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati
kepastian).

Persangkaan-persangkaan semacam itu antara lain :

1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal.


2. Hal-hal dimana oleh UU diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan hutang
disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu.
3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan hokum yang tetap
4. Kekuatan yang oleh UU diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu
pihak.

C. PENGAKUAN

Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata :

1. Pengakuan yang dilakukan didepan sidang.


2. Pengakuan yang dilakukan diluar sidang.

Kedua pengakuan tersebut mempunyai nilai pembuktian yang berbeda.


Menrut ketentuan pasal 174 HIR bahwa pengkuan yang diucapkan didepan hakim
menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu
diucapkan sendiri, baikpun diucapkan oleh orang yang istimewa dikuasakan untuk
mengatakannya.

Pengakuan diluar sidang yang dilakuakan secara tertulis atau lisan merupakan bukti
bebas. Perbedaannya terletak pada bahwa pengakuan diluar sidang secara tertulis tidak usah
dibuktikan lagi tentang adanya pengakuan tersebut, sedang pengakuan diluar sidang yang
dilakukan secara lisan apabila dikehendaki agar dianggap terbuktia adanya pengakuan
semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau bukti lainnya.

Tentang pengakuan berembel-embel ada 2 yaitu :

1. Pengakuan dengan klausula.


2. Pengakuan dengan kwalifikasi.

D. BUKTI SUMPAH

Sumpah sebagai alat bukti yang terakhir sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal
1866 BW yang menyatakan bahwa alat-alat bukti dalam perkara perdata meliputi Alat Bukti
Surat, Saksi, Persangkaan-persangkaan, Pengakuan dan Sumpah. Alat bukti yang terakhir
inilah yang akan menjadi pembicaraan terkahir mengenai Alat-alat bukti yang terdapat dalam
Hukum Acara Perdata. Sumpah sendiri dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1929 sampai
dengan Pasal 1945 KUHPerdata.
Pengertian sumpah seperti apa yang tercantum dalam pasal 1929 adalah suatu
pernyataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumah. Sumpah hanya
dikenal bagi orang yang beragama Islam, sedangkan Orang yang Beragama lain terutama
Yang BerAgama Kristen menurut para sarjana Hukum Indonesia tidak mengenal adanya
Sumpah, tapi lebih lazim dikenal adanya Janji. Sehingga kesimpulannya sumpah yang
dikenal sebagai alat bukti dipersamakan dengan pengertian Janji.

Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal ada 2 macam sumpah, yaitu:


1. Sumpah Penambah (Subsisoir) Yaitu sumpah yang dilakukan jika terdapat alat bukti
lain akan tetapi bukti tersebut masih sangat minim atau belum memenuhi syarat
sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Contohnya sumpah yang
dilakukan terhadap alat bukti surat yang tidak memenuhi syatarat sebagai alat bukti,
sehingga sumpah disini berperan untuk melegalisasi alat bukti tersebut.
2. Sumpah Pemutus (Decesoir) Yaitu sumpah yang dilakukan karena tidak alat bukti
yang lain sama sekali.

Perlu diketahui bahwa sumpah juga dapat dilakukan di luar pengadilan, akan tetapi
sumpah tersebut mempunyai daya kekuatan sebagai alat bukti jika sumpah tersebut dilakukan
di depan Hakim, baik itu di depan Hakim Ketua yang memeriksa perkara maupun di depan
Hakim Anggotanya. Misalnya Sumpah Pocong.

Sumpah bukan hanya dapat dilakukan di depan Hakim akan tetapi juga juga dapat
dilakukan di depan Advokat, dimana advokat disini mempunyai kuasa istimewa untuk
dilegalisasinya sumpah yang dilakukan di depannya. Misalnya: AKTE NOTARIS.
BAB III

KESIMPULAN

Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada


umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap
orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan
adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
- Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara
atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
- Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang
masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat
bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
DAFTAR PUSTAKA

 Kitab Undang Udang Hukum Perdata


 Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta :
Liberty. Edisi VII)
 Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika)

Anda mungkin juga menyukai