PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. PEMBUKTIAN
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa
perdata. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum di antara kedua belah pihak
yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai
kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.
Kebenaran yang dicari dalam perkara perdata, yaitu kebenaran formil, artinya hakim
dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Ketentuan Pasal
178 Ayat (3) H I R/Pasal 189 Ayat (3) RBG/Pasal 50 Ayat (3) RV, secara tegas melarang
hakim menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari yang
dituntut.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukannya.
Fakta ialah keadaan, peristiwa atau perbuatan yang terjadi (dilakukan) dalam dimensi
ruang dan waktu. Suatu fakta dapat dikatakan terbukti apabila telah diketahui kapan, dimana
dan bagaimana terjadinya.
Disebabkan pembuktian itu ditujukan untuk menetapkan hukum di antara kedua belah
pihak yang bersengketa, mengacu pada Pasal 163 HIR/283 RBG/1865 KUHPerdata maka
setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak atau guna meneguhkan haknya
sendiri, atau membantah suatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
B. PERSANGKAAN
Persangkaan dalam hukum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hukum acara
pidana. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap
terbukti atau peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang
menarik kesimpulan adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan hakim sebagai alat
bukti mempunyai kekuatan bukti bebas.
Pengertian persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata,
dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBG, yang bunyinya di dalam Pasal
1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUH Perdata tersebut lebih mudah
dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian
alat bukti persangkaan yang tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG.
Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBG
adalah sebagai berikut:
Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan undang-
undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya, apabila
persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.
Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti,
lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik
kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-
fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati
kepastian).
C. PENGAKUAN
Pengakuan diluar sidang yang dilakuakan secara tertulis atau lisan merupakan bukti
bebas. Perbedaannya terletak pada bahwa pengakuan diluar sidang secara tertulis tidak usah
dibuktikan lagi tentang adanya pengakuan tersebut, sedang pengakuan diluar sidang yang
dilakukan secara lisan apabila dikehendaki agar dianggap terbuktia adanya pengakuan
semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau bukti lainnya.
D. BUKTI SUMPAH
Sumpah sebagai alat bukti yang terakhir sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal
1866 BW yang menyatakan bahwa alat-alat bukti dalam perkara perdata meliputi Alat Bukti
Surat, Saksi, Persangkaan-persangkaan, Pengakuan dan Sumpah. Alat bukti yang terakhir
inilah yang akan menjadi pembicaraan terkahir mengenai Alat-alat bukti yang terdapat dalam
Hukum Acara Perdata. Sumpah sendiri dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1929 sampai
dengan Pasal 1945 KUHPerdata.
Pengertian sumpah seperti apa yang tercantum dalam pasal 1929 adalah suatu
pernyataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumah. Sumpah hanya
dikenal bagi orang yang beragama Islam, sedangkan Orang yang Beragama lain terutama
Yang BerAgama Kristen menurut para sarjana Hukum Indonesia tidak mengenal adanya
Sumpah, tapi lebih lazim dikenal adanya Janji. Sehingga kesimpulannya sumpah yang
dikenal sebagai alat bukti dipersamakan dengan pengertian Janji.
Perlu diketahui bahwa sumpah juga dapat dilakukan di luar pengadilan, akan tetapi
sumpah tersebut mempunyai daya kekuatan sebagai alat bukti jika sumpah tersebut dilakukan
di depan Hakim, baik itu di depan Hakim Ketua yang memeriksa perkara maupun di depan
Hakim Anggotanya. Misalnya Sumpah Pocong.
Sumpah bukan hanya dapat dilakukan di depan Hakim akan tetapi juga juga dapat
dilakukan di depan Advokat, dimana advokat disini mempunyai kuasa istimewa untuk
dilegalisasinya sumpah yang dilakukan di depannya. Misalnya: AKTE NOTARIS.
BAB III
KESIMPULAN