Anda di halaman 1dari 11

STUDI KASUS SENGKETA ANTARA INDONESIA-MALAYSIA DALAM

PEREBUTAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN


STUDI KASUS SENGKETA ANTARA INDONESIA-MALAYSIA DALAM PEREBUTAN
PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

A. Posisi Kasus

Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama
antara Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) tahun 66. Malaysia juga
melakukan kerjasama dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 68, sebagai tanggapan terhadap
kegiatan eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim bahwa
Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di tolak oleh pemerintah
Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara "Asian Way", sebuah cara
yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam
dalam tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara "sambil minum
teh".
Indonesia sungguh terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba kaget ketika pada
bulan Oktober tahun 91, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan
ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun turisme
dan arena diving yang sangat bagus (betapa "kasihannya" Indonesia itu). Kemudian pada tahun 1997
Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of
Justice, the Hague di Belanda.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana diplomasi yang dilakukan Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kasus Sipadan-


Ligitan?
2. Kenapa Indonesia dapat kalah dalam kasus tersebut padahal peluang Indonesia-Malaysia adalah fity-
fifty?
3. Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya dalam mengatasi kasus
yang serupa?

C. Putusan Mahkamah Internasioanal

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada hari
Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau
Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia
dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim
itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu
lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity
(tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah
Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun
1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan
Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan
dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan
Indonesia di selat Makassar.

D. Pembahasan

Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya
merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh
Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti
misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini
seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-
klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim
teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak
dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional,
sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan
domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri
sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-
masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk
masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya
merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah
hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama
lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri
Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang
masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu
dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya
pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan
yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-
pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam
menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-
sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada
tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk
menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan
untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu
di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah
melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan.
Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh
Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur
Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi
tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup
percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di
sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan
bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga
Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang
dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk
setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua
negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional
adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive
occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang
menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas
ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan,
tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan,
Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang
baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih
baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara
tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk
internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi
perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih
memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah
itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat
lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak
adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum
internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga
teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai
(internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk
mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will
pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan
pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-
Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state
conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya
alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat
tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan
pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan
kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim
apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer
yang "tidak layak tempur" karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun
rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan "besi tua yang
mengambang" dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar
pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai
tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi
tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang
613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia
lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal
berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai
langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama
dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan
publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam
merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah
juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk
memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI
atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau "tak bernama’ yang
tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian
lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.

E. Kesimpulan

Putusan Mahkamah Internasional untuk menyerahkan status Sipadan-Ligitan kepada Malaysia


merupakan pengalaman berharga yang mesti ditarik hikmahnya oleh semua pihak yang terkait.
Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah :
Pertama, bagi pemerintah dan Deplu agaknya masih perlu membagi perhatiannya terhadap isu-isu
konvensional seperti klaim teritorial ini. Di tengah maraknya isu terorisme dan masalah Aceh yang
sangat menguras energi, tampaknya pemerintah masih perlu menyelesaikan banyak pekerjaan rumah
yang tertunda. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan pembicaraan-
pembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih memiliki klaim tumpang tindih, seperti dengan
Filipina, Vietnam, dan Singapura.
Kedua, mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan terus
menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa teritorial lainnya.
Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga pertimbangan tersebut akan menjadi
yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa teritorial.
Ketiga, mempertanyakan komitmen kita kembali sebagai negara kepulauan untuk secara efektif
menguasai seluruh pulau di batas teritori kita. Tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras dan
koordinasi dari semua lembaga yang berurusan dengan pembinaan pulau dan penjagaan wilayah laut
RI. Koordinasi ini perlu dilakukan karena masalah yang terkait dengan penjagaan wilayah laut RI juga
berkaitan dengan maraknya kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional yang rentan terjadi di
Indonesia adalah pencurian ikan, bajak laut, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata
konvensional.
Keempat, pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih proses sengketa Sipadan-Ligitan sebagai
informasi komprehensif bagi masyarakat pada umumnya. Kronologis sengketa ini perlu di sajikan
lengkap beserta dengan proses diplomasi yang dilakukan kedua negara agar dapat dimengerti utuh oleh
masyarkat. Pemahaman masyarakat yang tidak utuh terhadap sengketa Sipadan-Ligitan akan
menurunkan citra pemerintah dan juga dapat mengakibatkan mispersepsi terhadap negara sahabat,
Malaysia dan dunia internasional pada umumnya.

Pendahuluan

Mengingat banyaknya aksi terorisme di udara maka patutlah dibuat pengaturannya. Contoh kasus nyata
adalah pembajakan pesawat pada peledakan gedung WTC yang menewaskan ribuan orang dan
berlanjut kepada invasi Amerika Serikat ke Afganistan. Untuk mencegah hal ini berulang maka
Konvensi ini harus diaati bagi negara-negara yang menandatanganinya. Bagi yang belum, ratifikasi
adalah pilihan bijak.

Konvensi untuk Pemberantasan Pembajakan Pesawat secara Ilegal

Ditandatangani di Den Haag, pada 16 Desember 1970

(Konvensi Hague 1970)

Negara pihak pada konvensi ini,

Mempertimbangkan bahwa pembajakan pesawat secara illegal atau perampasan kendali atas pesawat
secara paksa mengancam keselamatan orang dan barang miliknya, berakibat buruk pada jasa
penerbangan, dan merusak imej pernerbangan di mata dunia

Menimbang bahwa terulangnya tindakan tersebut adalah masalah besar,

Menimbang juga bahwa untuk mencegah tindakan tersebut terulang maka perlu dibuat pengaturan,

Telah setuju seperti di bawah ini :

Pasal 1

Setiap orang di dalam pesawat yang sedang terbang :

• secara illegal, dengan kekuatan dan ancaman, atau bentuk-bentuk intimidasi lainnnya, menahan,
atau mengambil kendali atas pesawat secara paksa atau mencoba melakukan hal tersebut;

• sesuai dengan orang dapat dianggap melakukan kejahatan

Pasal 2

Setiap negara pihak wajib membuat agar kejahatan semacam itu dapat dihukum

Pasal 3

• Untuk konvensi ini, sebuah pesawat dapat dikatakan berada dalam penerbangan saat semua
pintunya tertutup sampai pintu itu terbuka lagi, dalam kasus pendaratan darurat penerbangan
harus dihentikan sampai pihak yang berwenang datang untuk mengamankan situasi

• Konvensi ini tidak berlaku bagi penerbangan militer dan pemerintah


• Konvensi ini berlaku bagi penerbangan internasional

• Konvensi ini tidak berlaku bagi negara-negara yang sesuai dengan Pasal 5

• Pasal 6,7,8, dan 10 berlaku dimana saja

Pasal 4

• Setiap Negara Pihak harus melakukan pengaturan untuk melindungi kedaulatannya terhadap
kejahatan itu, di setiap kasus di bawah ini :

• saat kejahatan itu dilakukan dalam maskapai yang terdaftar di negara tersebut

• jika maskapai itu mendarat di negara yang bersangkutan

• jika pemilik maskapai tersebut adalah warganegara negara tersebut

• Setiap negara tidak wajib mengekstradisi pelaku kejahatan tersebut kepada negara-negara dalam
pasal 8 ayat (1)..

• Konvensi ini mencakup tindakan kriminal yang diatur juga oleh hukum nasional

Pasal 5

Setiap Negara Pihak yang menjalankan maskapai gabungan dengan negara lain wajib mendaftarkan
maskapainya kepada International Civil Aviation Organization

Pasal 6

• Setiap Negara Pihak dimana pembajak berada wajib menahan pembajak tersebut sesuai dengan
hukum nasionalnya lalu mengikuti mekanisme ekstradisi sesuai dengan yang telah ditetapkan

• Setiap Negara wajib melakukan penyelidikan terhadap fakta

• Setiap pembajak yang ditahan wajib diberikan kesempatan berhubungan dengan negara asalnya
• Setiap Negara yang menahan pembajak tersebut wajib memberitahu negara maskapai, negara
pembajak, dan negara-negara lain yang berkepentingan bersama dengan laporan penyelidikan
yang telah dibuat.

Pasal 7

Setiap negara yang tidak mengekstradisi pembajak wajib memproses kasus tersebut sesuai dengan
hukum nasionalnya.

Pasal 8

• Kejahatan tersebut wajib dikualifikasikan sebagai kejahatan dalam setiap perjanjian ekstradisi
antara Negara Pihak.

• Jika tidak ada perjanjian ekstradisi di antara Negara Pihak maka Konvensi ini dapat dijadikan
dasar.

• Kejahatan ini wajib dimasukkan dalam perjanjian ekstradisi

Pasal 9

• Jika kejahatan ini diindikasikan ada atau telah ada maka Negara Pihak diwajibkan mengambil
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengambil kendali atas pesawat dan
mengembalikannya kepada pemiliknya atau dengan tetap menjaga kendali pemiliknya.

• Jika ada penumpang dan barang di dalamnya maka Negara Pihak wajib mengembalikan mereka
pada tempatnya.

Pasal 10
• Dalam menjalankan Konvensi ini Negara Pihak harus melakukan kerjasama. Hukum nasional
bisa diberlakukan dalam kasus ini.

• Substansi konvensi ini tidak boleh menggangu Konvensi dan traktat lainnya.

Pasal 11

• Setiap Negara Pihak sesuai dengan hukum nasionalnya wajib melaporkan kepada International
Civil Aviation Organization setiap informasi yang berkaitan dengan :

• situasi kejahatan

• tindakan-tindakan yang diambil untuk memperlancar kejahatan sesuai dengan Pasal 9

• setiap tindakan yang diambil atas kejahatan tersebut, baik penyelesaiannya maupun
ekstradisinya.

Pasal 12

• Setiap sengketa antara Negara Pihak menyangkut perbedaan penafsiran atas konvensi ini dan
tidak bisa diselesaikan dengan negosiasi wajib membawanya kepada mekanisme arbitrase. Jika
belum selesai dalam waktu 6 bulan, dapat dibawa ke Mahkamah Internasional.

• Setiap negara Pihak dibolehkan melakukan reservasi dalam Konvensi ini

• Setiap Negara Pihak yang telah melakukan reservasi dapat mencabut kembali reservasinya.

Pasal 13

• Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan di Den Haag pada tanggal 16 Desember 1970,
oleh negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Internasional mengenai Hukum Udara yang
diadakan di Den Haag pada tanggal 1 sampai 16 Desember 1970 (selanjutnya disebut sebagai
Konferensi Den Haag). Setelah 31 Desember 1970, Konvensi ini terbuka untuk semua negara
menandatanganinya di Moskow, London dan Washington. Setiap negara yang tidak
menandatangani konvensi ini sebelum berlaku efektif sesuai dengan ayat 3 pasal ini bisa
menyetujuinya kapan saja.

• Konvensi ini harus diratifikasi setelah ditandatangani. Instrumen ratifikasi dan aksesi harus
dikirimkan kepada Pemerintah Uni Sovyet, Inggris Raya dan Irlandia Utara, dan Amerika
Serikat, yang dalam Konvensi ini disebut Negara Penyimpan.

• Konvensi ini akan berlaku efektif 30 hari setelah penyimpanan instrumen ratifikasi oleh negara-
negara penandatangan Konvensi ini yang ikut dalam Konferensi Den Haag.

• Untuk negara lain, Konvensi ini akan berlaku efektif sesuai dengan aturan dalam pasal 3, atau
30 hari setelah penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi, tergantung mana yang duluan.

• Negara Penyimpan wajib memberitahu semua penandatanganan dan persetujuan negara-negara


pada tanggal penandatanganan, tanggal penyimpanan instrument ratifikasi atau aksesi, tanggal
berlakunya efektif Konvensi ini, dan catatan lainnya.

• Secepatnya setelah Konvensi ini berlaku efektif, itu harus didaftarkan oleh Negara Penyimpan
sesuai dengan pasal 102 Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa dan pasal 83 Konvensi Internasional
tentang Penerbangan Sipil. (Chicago, 1944).

Pasal 14

• Setiap Negara Pihak dapat menarik diri dari Konvensi ini dengan melakukan pemberitahuan
lebih dahulu kepada Negara Penyimpan.

• Penarikan akan berlaku efektif setelah 6 bulan diterimanya pemberitahuan oleh Negara
Penerima.

Dengan disaksikan oleh duta Besar yang berkuasa penuh, yang dikuasakan oleh Pemerintahnya,
telah menandatangani Konvensi ini.
Dilakukan di Den Haag, 16 Desember 1970, dengan 3 naskah asli, setiap naskahnya diterjemahkan
dalam bahasa Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol.

Analisis

Penafsiran Konvensi ini menggunakan penafsiran gramatikal. Konvensi ini adalah Konvensi
multilateral. Tidak adanya pengaturan mengenai amandemen dalam Konvensi ini perlu dijadikan
catatan. Perjanjian ekstradisi menjadi salah satu mekanisme yang diberikan dalam Konvensi ini.
Konvensi ini patut diratifikasi karena akan menguntungkan dalam hal kerjasama antar negara
dalam memberantas aksi terorisme dalam pesawat.

Anda mungkin juga menyukai