Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat
pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut
antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam
batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar
Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status
quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak
Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola
pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status
quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua
pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan
atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia
malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-
tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua
pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun
cottage.

1.2 Rumusan Masalah

1. bagaimana awal mula permasalahan pulau sipadan dan


ligitan antara Indonesia vs Malaysia
2. bagaimana proses penyelesaian sengketan pulau sipadan
dan ligitan antara Indonesia vs Malaysia
3. apa penyebab Indonesia kalah perebutan pulau sipadan dan
ligitan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Awal Mula Permasalahan Pulau Sipadan Dan Ligitan

Pulau Sipadan dan Ligitan adalah pulau-pulau kecil yang


berada di sekitar Kalimantan. Pulau Sipadan dan Ligitan
merupakan pulau kecil yang luasnya 23 hektar. Pulau Ligitan
terdiri dari semak belukar dan pohon. Sementara itu,Sipadan
merupakan pucuk gunung merapi di bawah permukaan laut
dengan ketinggian sekitar 700 meter. Sampai 1980-an, dua pulau
ini tak berpenghuni.Bagi Indonesia dan Malaysia, dua pulau ini
punya arti penting, yakni bataswilayah antardua Negara. Sengketa
pemilik Sipadan dan Ligitan sebenarnyasudah terjadi sejak masa
kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris.Sengketa
Sipadan dan Ligitan kembali muncul ke permukaan pada
1967.Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, yang
mencuat padatahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum
laut antara kedua negara,masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan kedalam batas-
batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan
danLigitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan
tetapi ternyata pengertian ini berbeda.

Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru


yangdikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami
status quo sebagaitetap berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan
bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak
boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua
pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak
memasukkan kedua pulautersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pemerintah Indonesia-Malaysia akhirnya sepakat membawa kasus
ini ke Mahkamah Internasional pada tahun 1997.

2.2 Proses Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan Dan Ligitan

Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua


negara, Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-
perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official
Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision
Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat
diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden
Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat
untuk mengangkat utusan khusus dari masing-masing negara
untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali
pertemuan Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil
dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil
menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya
penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional
(ICJ).

Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara


menyepakati Special Agreement for the submission to the
International Court of Justice the dispute between Indonesia and
Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau
Ligitan. Naskah tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia pada tanggal 29 Desember 1997 melalui Keputusan
Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh pemerintah Malaysia
pada tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini merupakan
syarat prosedural yang memungkinkan ICJ memiliki kewenangan
juridiksi atas perkara ini. Special Agreement tersebut kemudian
disampaikan kepada Mahkamah Hukum Internasional pada
tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi
Bersama.

Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special


Agreement adalah agar Mahkamah Hukum Internasional
memutuskan siapa yang berdaulat atas kepemilikan Pulai Sipadan
dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian,bukti dan dokumen
yang tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah
Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan
Mahkamah Hukum Internasional sebagai bersifat akhir dan
mengikat (final and binding). kemudian pada hari Selasa 17
Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus
sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia
dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia
dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan
hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan
Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.

Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan


pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari
perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah
Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif
secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak
tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara
itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title
(rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam
menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan
Indonesia di selat Makassar.
2.3 Penyebab Indonesia Kalah Perebutan Pulau Sipadan Dan
Ligitan

Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan adalah karena


Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah
Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu, sementara Malaysia
bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia)
memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum
Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya
negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama
dengan bekas penjajahnya.

Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia


bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-
wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah
Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena
Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua
pulau itu tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah
menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu
berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi
mercusuar, dan aturan perlindungan satwa.

Berikut ini beberapa alasan Indonesia kalah dalam merebut pulau


sipadan dan ligitan :
Pertama, lemahnya kearsipan nasional sehingga tidak menyimpan
bukti-bukti dokumen yang kuat untuk mendasari klaim Indonesia
terhadap batas wilayah bersangkuta."Ini yang terjadi dalam
sengketa atas Pulau Sipadan-Ligitan. Malaysia tahu betul tentang
hal ini."

Kedua, Indonesia mungkin tidak memiliki dana yang memadai


menyewa para pengacara internasional yang handal dan pastinya
mahal. Tanpa pengacara yang handal, argumentasi yang
dilakukan oleh Indonesia akan punya banyak kelemahan.

Ketiga, lemahnya koordinasi antar instansi terkait penanganan


laut dan perbatasan. Terakhir, Indonesia terkesan tidak
mengurusi pulau-pulau terluar meski sadar benar bahwa aset itu
punya arti strategis untuk dijadikan titik terluar dalam penentuan
batas laut.

Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan


Ligitan serta ambisi strategis/ekonomis Belanda adalah sulit
dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan
pengawasan dan pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu
itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia memang agak
mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sebelum 1969 barangkali
karena Indonesia tidak menyadari keberadaan posisi kedua pulau
itu, atau mungkin juga karena terlalu banyak persoalan yang
dihadapi. Tetapi sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul
sengketa klaim, meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan
Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan kegiatannya berupa
penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran penduduk yang
terus meningkat.
BAB III
KESIMPULAN

Bila kita melihat kebelakang tentang upaya-upaya Indonesia


yang telah dilakukan untuk menyelesaikan sengketa pulau
Sipadan Ligitan, maka sebenarnya upaya-upaya tersebut cukup
intensif, namun masih terdapat berbagai kekurangan-kekurangan,
antara lain :

1. Sejak terbentuk negara kesatuan Republik Indonesia pada


1945, Indonesia tidak pemah melakukan aktivitas ekonomi
di pulau Sipadan dan Ligitan, jadi Indonesia tidak ada upaya
dalam pengelolaan sumberdaya yang terdapat pada pulau
Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya Malaysia telah menjadikan
pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pulau wisata bahari.
2. Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan
Indonesia terdapat “Ke-alpaan” para penyusun Undang-
Undang tersebut yaitu dengan tidak mencantumkan pulau
Sipadan dan Ligitan dalam wilayah kedaulatan negara
kepulauan Indonesia. Demikian juga dengan penetapan PP
No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus
menggantikan UU No.4 / Prp /1960 tidak mencantumkan
daftar koordinat titik dasar wilayah kepulauan Indonesia, PP
hanya dilampiri peta Ikhtisar wilayah yuridiksi kepulauan
Indonesia.
3. Sistem pengarsipan Indonesia terhadap dokumen-dokumen
sejarah, khususnya menyangkut dokumen wilayah
perbatasan yang ada sejak tahun 1900-an sangat lemah,
sehingga saat dokumen – dokumen dibutuhkan kita harus
ke negara tertentu misalnya Belanda dan Inggris untuk
menelusurinya. Hal ini membutuhkan waktu dan biaya yang
besar dan belum tentu negara bersangkutan “mau
memberikan secara ikhlas” data dan peta-peta dimaksud.
4. Pengelolaan pulau-pulau kecil yang terletak di wilayah
perbatasan belum mendapatkan perhatian yang memadai
dari pemerintah pusat, khususnya aspek ekonomi, sosial,
budaya dan pertahanan keamanan sehingga beberapa pulau
kecil diperbatasan secara bebas didatangi orang asing
bahkan mereka berinteraksi dan menetap di pulau-pulau
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/54519779/Awal-Mula-Terjadinya-
Sengketa-Pulan-Sipadan-Dan-Ligitan

https://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan

http://bamboe-runcing.blogspot.com/2010/09/alasan-kenapa-
Indonesia-bisa-kalah.html

https://ikawulan30.wordpress.com/2013/04/07/sengketa-
sipadan-dan-ligitan/

Anda mungkin juga menyukai