Anda di halaman 1dari 2

Lady Dinayla Idwani (010001900318)

Kelas F

Sengketa Sipadan dan Ligitan


Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu Pulau Sipadan (luas:
50.000 meter²) dengan koordinat 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan Pulau Ligitan (luas:
18.000 meter²) dengan koordinat 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa
masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

Persengketaan antara Indonesia dan Malaysia bermulai pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara ternyata saling memasukkan
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam batas wilayahnya. Lalu, kedua negara sepakat
bahwa Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo namun, pengertian
ini berbeda. Malaysia resort pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena
Malaysia berpendapat bahwa status quo tetap berada di bawah negara itu sampai
masalah persengketaan itu selesai. sedangkan, pihak Indonesia mengartikan bahwa
status tersebut berarti kedua pulau tersebut tidak dapat dikuasai oleh kedua negara.
karena pembangunan resort tersebut Indonesia memprotes ke Kuala Lumpur dan
meminta untuk segala pembangunan di pulau tersebut dihentikan dahulu. protes yang
dikirimkan Indonesia kepada Malaysia beralasan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan
tersebut masih dalam sengketa dan belum diputuskan siapa yang berkuasa atas dua
pulau tersebut.
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian
pada tanggal 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam
voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang
yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim).
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan
dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara
Malaysia dan Indonesia di selat Makassar. Dan Inggris selaku penjajah Malaysia telah
berkontribusi besar dalam pembangunan dua pulau tersebut.
Dalam penjelasan masalah persengketaan yang telah saya jelaskan diatas dapat
disimpulkan masalah tersebut termasuk ddalam asas Pacta Sunt Servanda yang
menjelaskan bahwa negara yang terikat pada perjanjian internasional, harus senantiasa
menaati ketentuan, keputusan, ketetapan dan kesepakatan yang tertera di perjanjian
tersebut. Yang kedua, Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut
dalam peta nasionalnya ketika kedua pulau tersebut masih dalam keadaan sengketa.
Lalu, keputusan Mahkamah Internasional terdengar logis, karena Inggris yang banyak
melakukan bukti nyata atau kerja nyata pada kedua pulau tersebut, maka Malaysia lah
yang mendapatkannya karena sejatinya Malaysia bekas kolonial Inggris.

Anda mungkin juga menyukai