Anda di halaman 1dari 4

A.

SUMMARY KASUS

“Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the


Dispute between Indonesia and Malaysia concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and
Pulau Sipadan (Special Agreement)” Indonesia dan Malaysia membuat perjanjian ini
untuk menyelesaikan sengketa kepulauan Sipadan-Ligatan melalui Mahkamah
Internasional.

Sengketa kepulauan Sipadan-Ligitan ini dibawa ke forum ICJ pada 2 November


1998 berdasarkan perjanjian khusus yang ditandatangani kedua belah pihak di Malaysia
pada 31 Mei 1997 untuk memperebutkan kedua pulau yang terletak di tengah Indonesia
tepatnya di Selat Makassar. Dalam menyelesaikan sengketa ini Mahkamah Internasional
menjadikan doktrin "ejfectivites" sebagai pertimbangan utama untuk menyatakan
kepemilikan atas kedua pulau tersebut penyelesaian ini juga dilakukan melalui proses
bargaining atau tawar-menawar yang dipimpin oleh hakim ketua untuk menetapkan siapa
yang berhak mempunyai kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.

B. PUTUSAN

Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional pada tahun
1998. Kemudian pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional
mengeluarkan putusan atas sengketa Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia.
Berdasarkan keputusan tersebut, Mahkamah Internasional memberikan kedaulatan Pulau
Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Mahkamah Internasional memberikan keputusan
tersebut atas dasar tiga pertanyaan yang dijadikan dasar kedua negara untuk menyatakan
klaim terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan. Pertanyaan pertama adalah apakah Indonesia
berhak atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh penjajah
kedua negara tersebut yaitu Inggris dan Belanda pada tahun 1891? Pertanyaan pertama
inilah yang diargumentasikan secara kuat oleh Indonesia untuk mempertahankan hak
klaim atas kedua pulau tersebut. Kesimpulan Mahkamah Internasional atas pertanyaan
tersebut adalah bahwa Indonesia tidak berhak atas klaim kedua pulau tersebut
berdasarkan perjanjian 1891. Menurut MI, penafsiran Pasal IV dan perjanjian 1891 dalam
bentu peta tidak dapat dijadikan dasar pemberian kedaulatan.

Selanjutnya pertanyaan kedua sebagaimana diargumentasikan oleh pihak


Malaysia yaitu apakah Malaysia berhak atas klaim kedua pulau tersebut berdasarkan
pewarisan hak (chain of title)? Jawaban Mahkamah Internasional atas pertanyaan yang
diargumentasikan oleh Malaysia tersebut adalah bahwa Malaysia pun tidak berhak atas
Sipadan dan Ligitan berdasarkan pewarisan tanpa gangguan (uninterrupted series of
transfer of title) dari pemilik aslinya yaitu Sultan Sulu. Kemudian pertanyaan terakhirlah
yang justru menjadi dasar Mahkamah Internasional untuk memberikan kedaulatan atas
kedua pulau yang disengketakan tersebut kepada Malaysia yaitu apakah penjajah kedua
negara tersebut, yaitu Inggris dan Belanda telah menunjukkan keberadaannya sebagai
pemilik yang diterminologikan dalam Bahasa Perancis sebagai effectifities? Atas
pertanyaan tersebut Mahkamah Internasional berpendapat bahwa Inggris sebagai negara
yang menjajah Malaysia lah yang lebih melakukan effectifities ketimbang negara penjajah
Indonesia yaitu belanda. Malaysia memberikan bukti yang konkret atas pertanyaan ketiga
ini yang kemudian menjadi poin penentuan atas kedaulatan Sipadan dan Ligitan.
Mahkamah Internasional menentukan dua poin penting yang menjadi kriteria untuk
menunjukkan adanya effectifities, kriteria ini berdasarkan putusan Denmark melawan
Norway pada kasus Legal Status of Eastern Greenland. Syarat pertama adalah adanya
kehendak dan kemauan untuk bertindak sebagai negara pada wilayah yang
disengketakan. Kedua, adanya pelaksanaan kewenangan negara sebagai tindakan nyata
atas effectifities tersebut. Kemudian diperhatikan pula ada atau tidaknya klaim yang lebih
tinggi daripada pihak lawan atas sengketa tersebut.

Menurut Mahkamah Internasional, Inggris sebagai negara penjajah Malaysia telah


memenuhi persyaratan pada poin pertama dengan bukti adanya tindakan administratif
yang nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan burung pada tahun 1917 dan
pungutan pajak atas pengambilan telur penyu sejak tahun 1930. Kemudian Mahkamah
Internasional juga menganggap bahwa Inggris telah memenuhi persyaratan kedua dengan
bukti adanya pembangunan mercusuar di Pulau Sipadan di tahun 1962 dan di Pulau
Ligitan pada tahun 1963 yang dibangun tanpa adanya protes dari pihak Indonesia. Justru
Indonesia tidak memberikan klaim yang lebih tinggi atas kedua pulau tersebut,
dibuktikan dengan peta yang terlampir pada Undang-undang No. 4 Tahun 1960 yang
menentukan teritorial Negara Indonesia yang mana kedua pulau tersebut tidak termasuk
dalam peta. Sementara itu, argumentasi Indonesia yang menyatakan bahwa Belanda telah
melakukan effectifities dengan bukti terdapat patroli dari Angkatan Laut Belanda, adanya
kapal perusak Lynx pada tahun 1962, serta adanya kapal-kapal milik Belanda yang
berlayar di sekitar Sipadan-Ligitan ternyata dianggap tidak memenuhi syarat yang
dijadikan syarat oleh Mahkamah Internasional.

Hasil atas sidang tersebut merupakan voting diberikan oleh 17 Hakim Mahkamah
Internasional yang dipimpin langsung oleh Presiden Mahkamah Internasional yaitu
Gilbert Guillame dengan komposisi yaitu 15 Hakim tetap dari Mahkamah Internasional,
satu hakim pilihan Malaysia, dan satu hakim lagi merupakan pilihan Indonesia. Sebanyak
16 Hakim berpihak kepada Malaysia dan 1 Hakim berpihak kepada Indonesia. Pada
dasarnya, keputusan Mahkamah Internasional atas sengketa kedua pulau tersebut
didasarkan pada effectifities yang menjadi poin krusial. Namun sayangnya Indonesia
tidak memiliki cukup bukti tentang peraturan dan tindakan nyata dari Belanda pada kedua
pulau tersebut untuk memenangkan kasus ini.

C. ANALISIS PUTUSAN

Menurut analisis kelompok kami, penyelesaian kasus sengketa yang terjadi antara
Indonesia dengan Malaysia untuk memperebutkan pulau sipadan-ligitan telah sesuai
dengan apa yang ada dalam peraturan peraturan hukum internasional seperti yang tertulis
pada statuta hukum internasional pada pasal 36 menyatakan bahwa secara prosedural
penyelesaian melalui Mahkamah Internasional harus didahului dengan kesepakatan dari
para pihak negara yang bersengketa bahwa mereka setuju untuk menyelesaikan perkara
di mahkamah internasional sebagaimana diatur dalam kasus sengketa internasional ini
bahwa kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Malaysia telah setuju untuk membawa
perkara ke mahkamah internasional dalam perjanjian yang diberi nama special agreement
for submission to the international court of justice of the dispute between indonesia and
malaysia concerning sovereignty over pulau ligitan and pulau sipadan (special
agreement)
Penyelesaian mahkamah internasional atas perkara sengketa pulau sipadan dan
ligitan juga telah sesuai dengan pasal 38 ayat (1) ICJ yang menerangkan bahwa dalam
penyelesaian perkara perjanjian internasional dan prinsip hukum umum dapat dijadikan
sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam memutuskan perkara, mahkamah
internasional telah mempertimbangkan perjanjian-perjanjian internasional di masa lalu
yang terjadi antara penjajah indonesia dan malaysia dalam memutuskan sengketa yang
walaupun pada akhirnya menghasilkan status quo, sumber hukum berupa prinsip umum
hukum daluwarsa lah yang akhirnya dijadikan landasan oleh mahkamah internasional
dalam mengambil keputusan yaitu ketika pihak lain dapat memperoleh hak atas wilayah
tersebut karena wilayah tersebut ditelantarkan oleh pemilik aslinya untuk kurun waktu
tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Amr. “ICJ Memutuskan Sipadan-Ligitan Kembali ke Malaysia.” Hukumonline, Hukum Online,

17 December 2002,

https://www.hukumonline.com/berita/a/icj-memutuskan-sipadanligitan-kembali-ke-malay

sia-hol7104/?page=3. Accessed 29 September 2023.

Juwana, Hikmahanto. “Indonesian Journal of International Law.” Putusan MI atas Pulau

Sipadan dan Ligitan, 2021, p. 15.

Novitasari, Choirunnisa. “Analisis Putusan Mahkamah Internasional dalam Kasus Sengketa

Indonesia-Malaysia MengenaiPulau Sipadan dan Ligatan.” p. 32,

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/digest/article/download/48638/19622/.

Anda mungkin juga menyukai