Anda di halaman 1dari 5

Studi Kasus Sengketa Internasional

Nama : Dika Zeqti Zelsabilla

NIM : 200710101351

Kelas : Hukum Internasional C

Dosen Pengampu : Ida Bagus Oka Ana, S.H., M.M.

1. Sengketa Ambalat 1969-Sekarang (Malaysia dengan Indonesia)

Sengketa internasional antara Malaysia dengan Indonesia ini intinya dimulai dengan
Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen. Dan pada tahun 1979 Malaysia memasukkan Pulau
Ambalat ke dalam wilayahnya melalui gambaran petanya dengan cara menggunakan Pulau
Sipadan-Ligitan untuk menarik garis pangkal terluar negaranya sedangkan Malaysia bukan
merupakan negara kepulauan. Kelanjutan kronologisnya Malaysia menggunakan pasal 121
UNCLOS yang menyatakan bahwa “Tiap pulau berhak mempunyai laut territorial, zona ekonomi
ekslusif dan landas kontinennya”, dengan peta baru Malaysia ini maka lebar laut teritorialnya 12
mil laut. Dari peta yang dikeluarkan pada tahun 1979 oleh Malaysia itu mendapat protes dari
beberapa negara yaitu Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, Tiongkok, Vietnam dan United
Kingdom atas nama Brunei Darussalam.

Protes ini timbul karena klaim Malaysia dianggap sebagai upaya perubatan wilayah negara
lain. Penyelesaian klaim Malaysia dalam sengketa Blok Ambalat tersebut disepakati oleh
Indonesia dan Malaysia untuk metode negotiation atau perundingan diplomatis sebagai Langkah
awal penyelesaiannya berdasarkan piagam PBB pasal 33 ayat 1. Tetapi sengketa ini belum jelas
penyelesaiannya hingga sekarang. Dasar Hukum yang menaungi kedua negara tersebut adalah
UNCLOS 1982Dari kronologis kasus tersebut, dapat ditarik kesimpulannya bahwa Malaysia
membuat klaim tersebut pada tahun 1969 dan diprotes oleh beberapa negara karena hal itu
merupakan upaya penguasaan wilayah negara lain. Karena protes tersebut maka klaim Malaysia
tidak diakui oleh masyarakat internasional dan selain itu Malaysia secara De Jure bukan
merupakan negara kepulauan atau pantai sehingga Malaysia seharusnya tidak diperbolehkan untuk
menarik garis pangkal lautnya dari Sipadan-Ligitan. Selain hal-hal tersebut Malaysia tidak
melakukan klaim atas tindakan Indonesia atas kegiatan penambangan dan eksploitasi di wilayah
Blok ambalat sejak tahun 1960 hingga pasca terbitnya peta Malaysia tahun 1979. Hal tersebut
membuktikan secara De Facto bahwa Malaysia mengakui terhadap kedaulatan Indonesia di
wilayah Ambalat.

2. Sengketa Biodesel Indonesia Dengan Uni Eropa (2013-2018)

Sengketa perdagangan Biodesel antara Indonesia dengan Uni Eropa ini dimulai dengan
dikenakannya bea masuk anti dumping, ekspor biodesel dari minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa
turun 72,34 persen per tahun dari 635 juta US dollar menjadi 9 juta US dollar pada 2016. Nilai bea
masuk yang ditetapkan cukup besar yaitu 8,8-23,3 persen per ton. Dengan kebijakan Bea masuk
Anti Dumoing yang merugikan kegiatan ekspor Indonesia tersebut maka Indonesia mengugat Uni
Eropa di Dispute Settlement Body organisasi World Trade Organization. Singkatnya sengketa
Biodesel Indonesia dengan Uni Eropa berkahir dengan kemenanangan Indonesia dengan adanya
hasil akhir putusan Dispute Settlement Body WTO yang memenangkan enam gugatan Indonesia
atas UE.

Panel Dispute Settlement Body WTO telah melihat bahwa Uni Eropa tidak konsisten
dengan peraturan perjanjian Anti Dumping WTO. Ketentuan perjanjian WTO yang dilanggar yaitu
Uni Eropa tidak menggunakan data yang telah disampaikan oleh eksportir Indonesia dalam
menghitung biaya produksi, Uni Eropa tidak mengggunakan data biaya-biaya yang terjadi di
Indonesia, Metode Penentuan Harga ekspor untuk salah satu eksportir Indonesia tidak sejalan
dengan ketentuan. Dengan kronologis tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa tersebut
diselesaikan dengan cara pengadilan atau Litigasi melalui Dispute Settlement Body WTO dengan
dasar hukumnya yaitu peraturan WTO mengenai Ketentuan Perjanjian Anti Dumping WTO.
Dispute tersebut akhirnya dimenangkan oleh Indonesia.

Kemenangan Indonesia atas sengketa Biodesel dengan Uni Eropa memberi harapan bagi
eksportir dan produsen biodesel Indonesia. Kemenangan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
bisa berkompetensi dalam bidang Hukum dagang internasional dan selain itu hal tersebut dapat
meningkatkan nilai ekspor biodesel Indonesi ke Uni Eropa yang diperkirakan akan mencapai 386
juta US dollar dan pada tahun 2022 akan mencapai 1,7 miliar US dollar.
3. Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Ligitan 1969 (Indonesia-Malaysia)

Permasalahan Sengketa dimulai dengan pertemuan dua delegasi antara Indonesia dan
Malaysia dalam pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, Indonesia dan Malaysia bersamaan
mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai miliknya. Dengan perbenturan kedua klaim tersebut
maka terjadinya sengketa yang akhirnya keduanya memutuskan untuk menyerahkan sengketa
sepenuhnya pada mahkamah internasional. Dasar hukum yang dipakai untuk menyelesaikan
sengketa tersebut adalah Perjanjian 1891. Berdasarkan perjanjian 1891 tersebut mahkamah
internasional bahwa awalanya Indonesia tidak berhak atas kedua pulau tersebut karena penafsiran
kata-kata dalam pasal IV dan penafsiran perjanjian 1891 ke dalam peta menurut mahkamah
internasional tidak bisa dijadikan sebagai dasar pemberian kedaulatan. Dan Malaysia pun juga
tidak berhak berdasarkan pewarisan tanpa gangguan dari pemilik aslinya yaitu Sultan Sulu.

Tetapi pada akhirnya tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam


sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik
Malaysia karena pulau itu sudah lama diadministrasikan oleh Inggris yang merupakan bekas
penjajah Malaysia dan selain itu hal tersebut dalam Malaysia dikenal dengan adanya prinsip
effectivities. Hasil resmi putusan tersebut membuat Indonesia tidak berhak atas kedaulatan kedua
pulau tersebut. Pelajaran yang apat diambil dari kekalahan tersebut bahwa Indonesia memerlkan
adanya pembuatan peta yang memadai yaitu memiliki spesifikasi yang jelas dan tepat untuk di
serahkan kepada Sekertaris Jenderal PBB. Dengan adanya alat bukti yang jelas berupa peta
tersebut maka kedaulatan de jure Indonesia khususnya dalam pulau-pulau luar yang termasuk
dakam wilayah kedaulatan Indonesia.

4. Kasus Pencemaran Laut Timor 2009 (Indonesia dengan Australia)

Pada tanggal 21 Agustus 2009 sunur minyak Montara yang bersumber dari ladang Montara
Well Head Platform di Blok West Atlas Laut Timor perairan Australia bocor dan menumpahkan
minyak crude oil. Tumpahan minyak crude oil tersebut meluas hingga perairan Celah Timor yang
merupakan perairan perbatasan antara Indonesia, Asutralia, dan Timor Leste. Dengan kebocoran
tersebut berdasarkan Pasal 192 UNCLOS maka negara wajb menjaga ekosistem laut. Kebocoran
tersebut akhirnya berhasil ditutup 74 hari kemudian. Kebocoran tersebut tentunya sangatlah
nerugikan Indonesia karena pencemaran minyak tersebut membuat mata pencaharian dan
pendapatan dari masyarakat Pulau Timor. Intinya dengan kerugian tersebut tentunya negara
Australia wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh negara yang terdampak
berdasarkan hukum laut internasional.

Dalam menyelesaikan masalah tersebut maka Indonesia dan Australia melakukan Langkah
pertama dengan melakukan negosiasi yang termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar
pengadilan secara diplomatik/politik. Intinya klaim dari Yayasan peduli Timor Barat dan Freddy
Numberi yang merupakan klaim Indonesia itu ditolak oleh Australia dengan tidak mengakui data
ilmiah yang diajukan Indonesia. Dengan kegagalan negosiasi tersebut maka kasus tersebut tidak
pernah terselesaikan. Hal yang bisa dikaji dari kasus tersebut yaitu menjadi pembelajaran untuk
Pemerintah Indonesia dalam melakukan langkah-langkah hendaknya tegas kepada Australia dalam
melakukan kewajiban dan pertanggungjawabannya sesuai dengan UNCLOS III 1982 guna untuk
menyelesaikan pencemaran yang ada di Laut Timor dengan efisien dan pihak yang terdampak
dalam pencemaran tersebut mendapatkan hak yang selaknya mereka terima.

5. Sengketa perbatasan Wilayah Indonesi dengan Timor Leste 2005

Sengketa antara Indonesia dengan Timor Leste ini intinya dimulai dengan sejarah
masuknya Belanda dengan Portugis di wilayah Timor yang kemudian membagi wilayah Timor
menjadi dua bagian yaitu Timor Portugis yang merupakan Timor leste dan Timor Belanda yang
Merupaakn Timor Barat yang ditetapkan dengan klausul traktat tahun 1904. Dengan ketentuan
yang tidak spesifik menjelaskan perbatasan sesungguhnya dalam klausul traktat tersebut maka
timbulnya ketidakpastian dalam perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste yang masih di
disputekan hingga sekarang yaitu khususnya di Noel Besi- Citrana. Ketidakpastian perbatasan
tersebut menimbulkan gejolak dalam masyarakat Amfoang Utara karena tidak terima dengan
warga Timor Leste menduduki di wilayah Naktuka dan siap berperang atau melakukan tindakan
apapun terhadap warga Timor-Leste. Sengketa tersebut akhirnya diselesaikan secara damai yaitu
secara politik lewat perundingan atau negotiation khusus yang berada di wilayah Naktuka
Kesimpulan

ringkasan dari sengketa-sengketa internasional dapat dikelola dan diperjelas bahwa


penyelesaian sengketa international dapat dilakukan secara Politik yaitu di luar pengadilan
contohnya dalam kasus perbatasan wilayah Timor Leste dengan Indonesia dengan menyelesaikan
perbatasan di Naktuka dengan cara negosiasi yang merupakan cara yang paling tradisional dan
melalui jalur hukum atau pengadilan International melewati International Court of Justice maupun
badan penanggulangan yang bersangkutan pada bidangnya contohnya seperti sengketa dagang
biodesel yang digugat oleh Indonesia terhadap Uni Eropa berdasarkan Peraturan Perjanjian Anti
Dumping WTO yang menghasilkan kemenangan dari gugatan Indonesia. Jadi dalam pengadilan
internasional itu mengenal adanya putusan yang dimenangkan dan dikalahkan oleh negara tertentu.
Selain itu Kasus-kasus tersebut menjadi pelajaran Indonesia dalam menangani kasus serupa
dengan menganalisis dan mengolah kembali sejarah sengketa yang dihadapi oleh Indonesia.
Dengan mengolah kembali diharapkan Indonesia dapat menguatkan keadulatannya bedasarkan
hukum internasional seperti kedaulatan wilayah Indonesia menurut UNCLOS khususnya dalam
perbatasan lautnya dengan negara tetangga.

Daftar Pustaka

Anis, H., & Sinaga, B. (2021). KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAH
PERBATASAN INDONESIA-TIMOR LESTE. LEX PRIVATUM, 9(3). Retrieved from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/33254/31446

Astiti, M., Mangku, D. S., & Windari, R. A. (2020). Penyelesaian Sengketa Internasional Terkait Pencemaran Laut
Timor Akibat Tumpahan Minyak Montara Antara Indonesia dan Australia. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(1),
11-21. Retrieved from https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jatayu/article/view/28767

Bakhtiar, A. I. (2015). Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia Dan Malaysia Diwilayah Ambalat Menurut Hukum
Laut Internasional. Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,, 2-23. Retrieved from
https://www.neliti.com/publications/35678/penyelesaian-sengketa-antara-indonesia-dan-malaysia-
diwilayah-ambalat-menurut-hu#cite

Fauzi, A. (2018, Januari 26). Sengketa Biodesel Dengan Uni Eropa, Indonesia Akhirnya Menang. Retrieved from
Kompas.com: https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/26/151400026/sengketa-biodiesel-dengan-
uni-eropa-indonesia-akhirnya-menang?page=1

Novitasari, C. N. (2021). Analisis Putusan Mahkamah Internasional dalam Kasus Sengketa Indonesia-Malaysia
Mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan. The Digest: Journal of Jurisprudence and Legisprudence, 2(2), 231-
262. Retrieved from https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/digest/article/view/48638

Anda mungkin juga menyukai