Anda di halaman 1dari 5

Unit 3

Sengketa Batas Wilayah Antara Indonesia dan Malaysia

1. Mengapa terjadi sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia?


- Pertama-tama, perlu dimengerti bahwa masalah sengketa batas wilayah antara
Indonesia dan Malaysia telah berlangsung lama. Namun demikian, kedua negara
seringkali menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai.
- Sejak dekade 1970-an, telah disepakati beberapa Memorandum of Understanding
(MoU), yakni MoU antara Indonesia-Malaysia di Jakarta pada 26 November 1973,
- Kemudian Minutes of the First Meeting of the Joint Malaysia-Indonesia Boundary
Committee pada 16 November 1974,
- serta yang ketiga adalah Minutes of the Second Meeting of the Joint Indonesia-
Malaysia Boundary Committee di Bali, pada 7 Juli 1975.
- MoU demarkasi tahun 1973, yang berisi antara lain: Term of Reference (ToR)
demarkasi dan spesifikasi. Salah satu pasal dalam ToR menyebutkan penggunaan
photograph dan peta relevan untuk pelaksanaan demarkasi. Pada tahun 1976
pelaksanaan demarkasi batas darat antara Indonesia dengan Malaysia menggunakan
peta milik Malaysia sebagai peta kerja, karena Indonesia tidak memiliki peta yang
relevan. Namun Indonesia meragukan hasil dari demarkasi tersebut, karena garis
batas di segmen A.88 – A.156 (Camar Bulan) hasil surveinya tidak koinsidensi
dengan garis batas pada peta topografi Malaysia, dan Indonesia mengajukan usulan
untuk disurvei ulang.
- Pada tahun 1978 kedua Negara melakukan survey ulang dengan menggunakan
metode yang lebih teliti dibandingkan metode sebelumnya, dan ternyata hasil
survey ulang tersebut menunjukan garis batas yang sama dengan garis batas survey
1976.
- Dengan hasil tersebut selanjutnya kedua pihak sepakat untuk menandatangani Field
Plan dan diteruskan dengan penandatanganan MoU pada tahun 1978. (Hadiwijoyo
2011, hlm.175 & 176)
- Namun menurut hasil pemetaan kapal pemetaan Belanda Van Doorn tahun 1905-
1906, dan peta Dishidros 1982 menunjukan bahwa wilayah yang di klaim pihak
Malaysia atau hasil MoU 1978 merupakan wilayah Indonesia
- MoU 1978 yang telah disepakati oleh kedua pihak tersebut bersifat sementara atau
tidak tuntas atau bisa ditinjau lagi (modus vivendi).
- Kedua Negara mengupayakan masalah perbatasan darat ini agar segera selesai,
maka dari itu pihak Indonesia dan Malaysia beberapa kali melakukan pertemuan
yang diselenggarakan di Indonesia maupun di Malaysia. (Hadiwijoyo 2011,
hlm.163 & 164)
- Pertemuan Pertama Pertemuan Panitia Nasional ke-18 yang dinamakan (Joint
Indonesia Malaysia/ JIM) dan diadakan di Jakarta tanggal 18-20 Oktober 1993.
- Pertemuan Kedua diselenggarakan pada tahun 2000, pertemuan ini merupakan
pertemuan Panitia Nasional ke-25 (Joint Indonesia Malaysia/ JIM) kembali
diadakan di Pulau Pinang, Malaysia pada tanggal 24-26 Februari 2000.
- Selanjutnya, selain pertemuan JIM, Indonesia dan Malaysia jg melakukan
pertemuan yang berupa pertemuan teknis ke-31 (IMT ke-31) di Bandung, Indonesia
pada tanggal 20-22 September 2000. Dan Pertemuan Tingkat Nasional/The Joint
Bondary Committee Meeting (Minutes Nasional/JIM – 27) di Kota Kinabalu,
Sabah, Malaysia tanggal 29-31 Oktober 2001
- Tahun 2000 dilakukan penegasan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia
dalam bentuk Joint Survey on Demarcation, yang merupakan tindak lanjut dari
perjanjian tahun 1975.
2. Bagaimana akar sejarah sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia?
- Namun demikian, perjanjian damai antara Indonesia dan Malaysia dalam kasus
sengketa batas wilayah ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang melibatkan
negara lain, sejak masa kolonialisme. Situasi itu mempengaruhi terhadap
bagaimana penyelesaian sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia.
Dalam hukum internasional, dikenal istilah uti possidetis juris, yang populer sejak
MoU 1973.
- Uti possidetis juris adalah suatu negara yang baru dapat mewarisi kekayaan dan
wilayah negara penguasa sebelumnya.
- Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa Indonesia mewarisi kekayaan dan
wilayah Belanda, sedangkan Malaysia mewarisi kekayaan dan wilayah Inggris. Hal
ini lumrah dan menjadi kebiasaan yang diakui secara internasional, dan diterapkan
di banyak negara bekas jajahan.
- Pada masa sebelum Indonesia dan Malaysia merdeka, terdapat pula produk hukum
internasional, yang dikenal dengan Traktat London.
- Ada pula asas hukum internasional pacta tertiis nec nocent nec prosunt, yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak atau membebani
kewajiban kepada pihak yang tidak terikat kepada perjanjian tersebut. Artinya,
Indonesia dan Malaysia tidak dianggap berhak memiliki serta tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas Traktat London.
3. Dasar Hukum Batas Wilayah Periode Kemerdekaan
Berikut penjelasan dasar hukum kesepakatan patok batas wilayah Indonesia dan
Malaysia, sejak masa penjajahan hingga kemerdekaan.
a. Konvensi Belanda-Inggris tahun 1891
Belanda dan Inggris menandatangani perjanjian ini pada 20 Juni 1891 di London.
Konvensi ini mengatur banyak hal menyangkut penentuan batas wilayah, seperti
penentuan watershed dan hal-hal- lain yang menyangkut kasus sengketa wilayah.
b. Kesepakatan Belanda-Inggris tahun 1915
Belanda dan Inggris menyepakati atas hasil laporan bersama tentang penegasan
batas wilayah pada 28 September 1915 di Kalimantan. Kesepakatan ini kemudian
ditindaklanjuti dengan penandatanganan MoU oleh kedua belah pihak berdasarkan
Traktat 1891, lalu dikokohkan di London pada 28 September 1915.
c. Konvensi Belanda-Inggris tahun 1928
Belanda dan Inggris menandatangani kesepakatan ini pada 28 Maret 1928 di Den
Haag. Kemudian diratiikasi oleh kedua negara pada 6 Agustus 1930. Konvensi ini
mengatur tentang penentuan batas wilayah kedua negara di daerah Jagoi, antara
gunung raya dan gunung api, yang menjadi bagian dari Traktat 1891.
d. MoU Indonesia dan Belanda tahun 1973
Dokumen ini mengacu pada hasil konvensi-konvensi sebelumnya, 1891, 1915, dan
1928. Di dalamnya juga berisi kesepakatan-kesepakatan tentang penyelenggaraan
survei dan penegasan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia, yang terdiri dari
organisasi he Joint Technical Committee, penentuan area prioritas, prosedur survei,
tahapan pelaksanaan, pembiayaan, dukungan satuan pengamanan, logistik dan
komunikasi, keimigrasian, dan ketetuan bea dan cukai. Karena alasan yang
kompleks itulah, Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945 mengarahkan agar dibuat
regulasi berupa undang-undang dalam menentukan batas wilayah. Undang-Undang
ini dapat dijadikan pedoman dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia,
memperjuangkan kepentingan nasional dan keselamatan bangsa, memperkuat
potensi, memberdayakan dan mengembangkan sumber daya alam bagi
kemakmuran seluruh bangsa Indonesia.
4. Bagaimana kita menyikapi sengketa batas wilayah antara Indonesia dan
Malaysia?
- Menyikapi situasi tersebut seperti biasa pemerintah Indonesia selalu merasa yakin
bahwa posisi Indonesiasangat kuat dalam kasus blok Ambalat. Pemerintah
Indonesia beranggapan bahwa peta yang dibuat oleh Malaysia pada tahun 1979
dengan sendirinya gugur setelah dikeluarkannya peta UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea) yang mulai diberlakukan pada tahun 1982.
Dalam salah satu pasal UNCLOS dikatakan bahwa kepemilikan wilayah Indonesia
berkonsep archipelago state, dimana garis pangkal penentuan wilayah harus ditarik
dari wilayah kepulauan terluar. Sementara Malaysia kita ketahui adalah Negara
pantai biasa (coastal state) yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa atau garis
pangkal lurus untuk menentukan batas wilayahnya. Masalahnya kemudian ternyata
Malaysia kurang tepat menghitung base point. Malaysia kerap melakukan
pengukuran dari dari jarak batu karang ketika air laut surut.
- Mladen Klemencic dan Anton Gosar, dua orang penulis Eropa yang
menulis mengenai persoalan perbatasan tiga negara pasca perubahan peta
politik antara Italia, Croasia dan Slovenia di sebelah utara laut Adriatik.
Kedua penulis tersebut menyoroti perubahan peta geografi politik di
lautan Adriatik sebagai pengaruh pecahnya Yugoslavia menjadi negara
Croasia dan Slovenia pada tahun 1990, dimana negara-negara baru
tersebut mulai mempersoalkan batas-batas wilayah negara mereka,
terutama perbatasan di utara laut Adriatik.
- Berdasarkan hasil analisisnya, kedua penulis itu menyarankan, bahwa
untuk mencapai penyelesaian secara damai dalam sengketa perbatasan
tersebut supaya tidak naik ke level konflik internasional, maka para pihak
harus mengupayakan adanya kerjasama lintas batas secara damai
(transboundary cooperation)
- Selain itu, para pihak dapat menempuh cara-cara diplomasi dalam
penyelesaian sengketa perbatasan yang sedang terjadi. Hal ini penting
dilakukan guna mencegah terjadinya konflik bersenjata.
- Penyelesaikan sengketa secara diplomatik
- Negosiasi
Negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
terkait (tidak ada pihak ketiga)
- Mediasi
Mediasi artinya perantaraan, Mediasi merupakan Bentuk lain dari Negosiasi.
Perbedaanya, Mediasi melibatkan Pihak ketiga yang bertindak sebagai pelaku
mediasi (Mediator).
- Inquiry
Metode ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan
cara mendirikan sebuah Komisi atau badan yang bersifat Internasional untuk
mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang relavan dengan
permasalahan.

Anda mungkin juga menyukai