Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam interaksi konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Sengketa
adalah :adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik
mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Ditinjau dari konteks
hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah
satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh
pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan
jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan
lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional
klasik
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat
menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi
sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik
dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi
keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat
antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Begitu halnya dengan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. Walaupun antara
kedua Negara tersebut satu rumpun dan sering melakukan hubungan baik baik dalam
hubungan bilateral maupun multilateral, namun tidak selamanya hungan itu ber jalan lancar
ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai persoalan kedaulan salah satu diantaranya
adalah pada tahun 2002 Indonesia dengan Malaysia terjadi sebuah sengketa yang mana di
sengketa tersebut hal yang disengketakan agalah tentang batas kedaulatan wilayah antara
Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau yang ada di perbatas tersebut dan
keduanya mengklaim bahwa pulau tersebut adalah masuk batas territorial negaranya baik itu
Malaysia maupun Indonesia.

BAB II
KASUS POSISI

A. Fakta Hukum
Untuk lebih jelanya mengenai fakta hukum mengenai sengketa kedaulatan Pulau Sipadan
dan Lingitan ini antara Indonesia dan Malaysia maka perlu diketahui kejelasan dari
permasalahan tersebut baik dari para pihak maupun kasus yang disengketakan,
1. Para Pihak
Indonesia
Malaysia
2. Kasus Sengketa
Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat
oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di
perairan timur Pulau Borneo,
B. Permasalahan Hukum
Sebelum 1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan
Belanda yang menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia
berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Lingitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu
merupakan wilayah Indonesia.
Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan
perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-22
September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891
antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur
yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den &
Overbeck-BNBC-Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM
Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa
tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah
Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah
Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas Pulau
Lingitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama perjanjian ini
kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November
1998.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan
yang adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Lingitan dan Sipadan,
berdasarkan bukti-bukti yang ada
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891
antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur
yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den &
Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau
tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus
menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak
harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori
banding dan replik. sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia
menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7
Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia.
Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan tertulis dan
lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang
berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002
Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Lingitan merupakan
wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk
tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau di
lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu saat
menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan internasional di Den Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan
Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik. ”Kembali kepada sisi yang positif, Indonesia
memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara
kedua negara tetap berjalan sangat baik dan kedua negara telah bersikap arif untuk
menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Lingitan) secara bersama kepada yurisdiksi Mahkamah
Internasional
Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa Sipadan
dan Lingitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang tidak
mencerminkan adanya ”good faith,” diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan
membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental
tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891
antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur
yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den &
Overbeck-BNBC-Malaysia.
PADA tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag
memutuskan, Pulau Sipadan dan Lingitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris
dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu
sebelum tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas
menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this
Special Agreement as final and binding upon th
2. Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum
2.a. Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa melalui keputusan yang mengikat yang
didasarkan atas hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the
settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of
an undertaking voluntarily accepted).
2.b. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag
dewasa ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara.
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan
Internasional (PCIJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan
Mahkamah yang baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ)
gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1940,
Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27 pendapat tidak
mengikat (advisory opinion).
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam
PBB: “Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah
Internasional merupakan bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB
merupakan anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB: Pakta
(Covenant) LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama
sekali.
Penyelesaian sengketa yang Diambil antara Malaysia dan Indonesia adalah dengan jalan
mengambil metode kedua dalam hal metode hUkum dengan cara mengajukan persoalan sengketa
kepada Mahkamah Internasional.
Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan,
baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi
keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara
masing-masing pihak yang bersengketa.
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa
internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa
pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan
berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ),
International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for
Human Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan
kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang
dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara
yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan
mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.

BAB III
ANALISIS
A. Analisis Kasus
Dapat disimpulka bahwa sengketa yang terjadi antara indonesia dengan malaysia, dalam
hal memperebutkan status kepemilikan pulau sipadan dan pulau lingitan. Paling tidak Ada dua
metode penyelesaian sengketa yang ditempuh kedua belah pihak (Indonesi dan malaysia) dalam
menyelesaikan sengketanya.
Adapun kedua metode tersebut adalah, Pertama penyelesaian secara diplomasi Metode
Diplomasi (Diplomatic Method), dalam bentuk Negosiasi. Seperti yang dilakukan oleh kedua
kepala negara antara presiden soeharto dan PM Mahatir Muhamad di yogyakarta pada tahun
1989, akan tetapi penyelesaian melalui metode diplomasi ini kedua belah pihak tidak
menemukan titik temu, dan menurut kedua belah pihak bahwa sengketa ini sulit untuk di
selesaikan secara bilateral.
Kedua, penyelesaian sengketa secara hukum lewat suatu badan peradilan mahkamah
internadtional (ICJ) yang berkedudukan di Den Hagg. Seperti hasil kesepakatan yang dilakukan
antara indonesia dan malaysia pada tanggal 31 mei 1997, yang menyetujui untuk menyelesaikan
sengeketa yang menyangkut kedaulatan sipadan-lingitan ini di selesaikan lewat metode
penyelesaian secara hukum, dan Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini
disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998.
Kesimpulan akhirnya, dari kedua metode yang ditempuh oleh kedua negara dalam
menyelesaikan sengketa menyangkut kedaulatan sipadan dan lingitan. Ada dua hal perbedaan
yang signifikan yang membedakan penyelesaian sengketa secara diplomasi dan penyelesaian
sengketa secara hukum. Pertama, penyelesaian sengketa secara diplomasi yang dilakukan
pertama kali oleh kedua belah pihak ini tidak mempunyai suatu upaya memaksa, dan tidak
adanya suatu kepastian dalam menyelesaikan sengketa ini (sipadan-lingitan). Terbukti dengan
berlarut-larutnya upaya diplomasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak tanpa menghasilkan
suatu keputusan atau kesepakatan/titik temu yang jelas, yang memenuhi aspirsi kedua belah
pihak.
Kedua, berbeda hal Nya penyelesaian sengketa secara hukum yang dilakukan oleh kedua
belah pihak (indonesia-malaysia) lewat mahkamah internasional (ICJ). Penyelesaian lewat
metode ini dapat kita lihat adanya suatu kepastian, dan kejelasan dalam menyelsaikan sengeta.
Terbukti hanya dengan waktu kurang-lebih 3 tahun sejak diajukannya perkara ini ke mahkamah
intenasional oleh kedua belah pihak pada tanggal 2 november 1998, sengketa yang terjadi antara
indonesia dengan malaysia ini dapat diselesaikan, dan dapat mencari titik temunya, meskipun
keputusan yang dihasilkan oleh mahkamah internasional (ICJ) tidak menguntungkan bagi salah
satu pihak.

B. Analisis Putusan
Dilihat dari argumentasi yang diajukan oleh kedua belah pihak, baik itu pihak indonesia
ataupun malaysia dalam upaya claim kedua negara atas pulau sipadan dan pulau lingitan, yang
diajukan pada sidang mahkamah interansional. Penulis dapat simpulkan bahwa argumentasi
yang diajukan kedua belah pihak dapat di bagi menjadi 2 bagian.
pertama argumentasi berdsarkan sejarah (Historis), maksudnya suatu argumentasi untuk
mempertahankan claim suatu negara atas suatu wilayah, yang didasarkan kepada proses sejarah,
atau dengan kata lain suatu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan clain dengan cara
mengkait-kaitkan proses terbentukanya negara tersebut dengan wilayah yang diperesengketakan.
Kedua, argumentasi berdasarkan penguasaan efektif, artinya sautu argumentasi claim
kepemilikan yang didasarkan pada bukti tentang adanya beragam tindakan pengelolaan yang
berkesinambungan dan damai yang dilakukan oleh negara yang bersengketa, atau suatu tindakan
pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan oleh kekuasaan negara
sebelumnya (Penjajah/negara yang menguasai sebelumnya)

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan
kedaulatan di Pulau Sipadan dan Lingitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara
damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan
sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33
Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Lingitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis
perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari
Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan
Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah
ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Lingitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan
pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara
sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional.
Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di
Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Lingitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip
OKUPASI, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan
efektifitas di Pulau Sipadan dan Lingitan.

Anda mungkin juga menyukai