Anda di halaman 1dari 5

210710101140_UTS_HI_B_INTAN DWI PUSPITASARI

PERAN HUKUM LAUT 1982 DALAM PERJANJIAN BILATERAL ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN
MALAYSIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI WILAYAH SELAT MALAKA

A. PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke merupakan negara
yang mempunyai wilayah perairan terbesar di dunia, dua per tiganya wilayahnya merupakan wilayah
perairan. Secara geografis Indonesia mempunyai laut dengan luas sebesar 5,8 juta km². Indonesia juga
memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan juga garis pantai sepanjang 94.181 km. 1
Indonesia merupakan Negara Kepulauan, di wilayah perairan Indonesia terdapat banyak sekali selat,
salah satu selat yang terkenal yaitu Selat Malaka. Selat Malaka merupakan salah satu pelayaran terpenting
di Indonesia, sama seperti Terusan Suez yang terletak di antara semenanjung Malaysia (Thailand,
Malaysia, Singapura) dan Pulau Sumatera (Indonesia). selat Malaka juga dikenal sebagai jantung dari
perdagangan dan pelayaran global, ini dibuktikan dengan adanya 60.000 hingga 94.000 kapal yang
melintasi selat ini per tahunnya. 2
Hal tersebut yang membuat Selat Malaka mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi negara yang
berada di sekita Selat Malaka tersebut. Dampak dari adanya nilai ekonomi yang tinggi itulah yang
membuat Wilayah Selat Malaka rawan terjadi konflik antar negara. Sama halnya dengan permasalahan
sengketa perbatasan laut antara Indonesia dengan Malaysia di wilayah Selat Malaka.
pada 17 Oktober 1969 Negara Indonesia dan Negara Malaysia melakukan sebuah perjanjian yang
bertujuan untuk menentukan batas landas kontinen antara kedua negara tersebut. Pada akhirnya
perjanjian ini menghasilkan sebuah keputusan persetujuan antara Negara Indonesia dengan Negara
Malaysia tentang penetapan garis-garis batas landas kontinen antar kedua negara tersebut yang mana
telah ditanda tangani pada tanggal 27 Oktober 1969 oleh kedua delegasi dari negara tersebut. Kemudian
perjanjian ini diratifikasi oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 89 Tahun 1969. 3
Pada 7 April 2011 Kapal Hiu 001 milik petugas patoril kementerian kedaulatan dan perikanan (KKP)
mengidentifikasikan terdapat dua kapa asing berbenderada Negara Malaysia sedang menangkap ikan di
Kawasan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Negara Indonesia di Selat Malaka. Setelah tertangkapnya dua
kapal tersebut, kemudian kapal tersebut digiring menuju Pelabuhan Belawan. Pada saat kedua kapal
tersebut digiring, di tengah perjalanan terdapat tiga helicopter Malaysia melakukan penghalangan proses
penangkapan kapal tersebut. Petugas dalam helicopter tersebut, meminta kepada Kapal Pengawas Hiu
001 untuk melepaskan dua kapal yang berbedera Negara Malaysia tersebut dianggap menangkap ikan di
wilayah ZEE milik Malaysia. Kemudian permasalahan ini menjadi permulaan dari permasalahan
perbatasan ZEE di wilayah Perairan Selat Malaka antara Negara Indonesia dengan Negara Malaysia.
Selama ini belum ada kesepakatan mengenai batas-batas ZEE diantara kedua negara ini, sehingga
1
Ridwan Lasabuda, ‘PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN DALAM PERSPEKTIF NEGARA KEPULAUAN
REPUBLIK INDONESIA’ (2013) 1 JURNAL ILMIAH PLATAX 92.
2
Kiki Natalia, ‘PENYELESAIAN PERMASALAHAN BATAS WILAYAH ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI PERAIRAN
SELAT MALAKA DITINJAU DARI UNCLOS 1982’ 13.
3
‘Kepres No.89 Tahun 1969.Pdf’ <https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/105468/keppres-no-89-tahun-1969>.
Negara Indonesia dan Negara Malaysia sama-sama mempunyai klaim sendiri mengenai garis batas ZEE
pada negaranya masing-masing. 4
Perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan suatu daerah di luar dan berdampingan dengan
laut territorial, yang mana tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan pada Bab ini berdasarkan
hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak0hak serta kekebalan-kekebalan negara lain, diatur oleh
ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini. 5
Pada saat itu Negara Indonesia mengklaim garis tengah antara Indonesia (Sumatera) dan
Semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE hal ini sesuai dengan dasar Konvensi Hukum Laut PBB
1982, sedangkan Negara Malaysia menggunakan garis batas landasan kontinen Tahun 1969 sebagai garis
ZEE. Maka dengan adanya perbedaan terhadap klaim mengenai batas wilayah antara kedua negara
tersebut, maka masalah overlapping claim area (Kawasan tumpeng tindih) belum dapat terselesaikan.
Overlapping claim area ini yang menjadi awal mula terjadinya sengketa perbatasan ZEE di wilayah Selat
Malaka antara negara Indonesia dan Negara Malaysia. Maka penyelesaian

B. PEMBAHASAN

 Peran UNCLOS 1982 Dalam Penyelesaian Sengketa Selat Malaka


Hasil penyelesaian sengketa wilayah Selat Malaka didasari pada Konvensi Hukum Laut
(UNCLOS) 1982 antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia, karena kedua negara tersebut
tergabung dalam anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mana kedua negara tersebut
telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut tersebut. Negara Indonesia dibuktikan dengan
dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982, sedangkan Negara
Malaysia telah meratifikasi UNCLOS tanggal 14 Oktober 1996 (United Nations, 2009). Hal ini
menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa antara kedua Negara tersebut.
Konvensi Hukum laut mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan
lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber
daya alam laut. Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) itu berisi tentang :
1. Hukum, definisi dan obligasi negara mengenai zona maritim
2. Menetapkan peraturan untuk perairan dan sumber daya perikanan didalam yuridiksi
nasional
3. Menetapkan peraturan untuk penelitian mengenai kelautan
4. Membuat perjanjian internasional yang menyeluruh tentang perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan laut dari polusi dan kerusakan
5. Mempertimbangkan situasi negara berkembang secara geografis
6. Menyediakan pengembangan dan sharing teknologi kelautan UNCLOS juga
membahas peraturan mengenai zona maritim tanpa jurisdiksi nasional yaitu perairan
internal, laut teritorial hingga 12 mil, zona kontingen hingga 24 mil, zona ekonomi
eksklusif hingga 200 mil dan kontinental shelf. Peraturan dengan jurisdiksi nasional
meliputi perairan laut lepas dengan permukaan perairan hingga 100 mil dan area 200
mil atau 350 mil. 6

4
Natalia (n 2). Hlm 3
5
‘Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982_terjemahandoc’.
6
ibid.
Dalam Pasal 15 UNCLOS 1982 merupakan sebuah pengaturan yang tepat untuk
menentukan perbatasan wilayah Zona Ekonomu Ekslusif yang terjadi antara Negara Malaysia dan
Negara Indonesia. Karena pada pasal 15 berbunyi “Dalam hal pantai dua Negara yang letaknya
berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantara berhak, kecuali ada
persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi
garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal dari
mana lebar laut teritorial masing-masing Negara diukur.”
Sedangkan pada ayat (2) yang berbunyi, “Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku, apabila
terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan
batas laut teritorial antara kedua Negara menurut suatau cara yang berlainan dengan ketentuan di
atas.”7 Inti dari Pasal 15 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa lebar laut territorial dari masing-
masing negara dapat ditetapkan berdasarkan garis tengah kecuali ada alasan historis atay
keadaan khusus lainnya.
Sedangkan letak dan posisi Selat malaka di antara Pulau Sumatera dan Semenanjung
Malaya yang membujur dari utara ke selatan hingga Kepulauan Riau dan belok ke timur. Selama
ini Negara Malaysia menganggap perjanjian batas kontinen dengan Negara Indonesia yang
dilakukan pada Tahun 1969, sekaligus sebagai perjanjian mengenai lebar ZEE. Hal tersebut telah
melanggar aturan dan prinsip yang ada pada UNCLOS 1982, karena pengaturan mengenai ZEE
tepatnya yang terdapat dalam pasal 55,56,57 UNCLOS 1982 dengan batas kontinen yang terdapat
dalam Pasal 76 UNCLOS 1982 memiliki perbedaan yang sangat signifikan. 8 Sehingga pernyataan
Negara Malaysia yang menyamakan bahwa perjanjian batas kontinen sama dengan perjanjian
ZEE dapat disebut merugikan Negara Indonesia secara ekonomi, politik, dan pertahanan
keamanan.
UNCLOS 1982 memberi peraturan bagi anggota-anggotanya dalam menyelesaikan suatu
sengketa hukum laut, hal ini tertera dalam pasal 279 UNCLOS 1982 yang berbunyi “negara-negara
peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara mereka perihal interpretasi atau penerapan
konvensi ini dengan cara damai sesuai dengan Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan, untuk tujuan ini, harus mencari penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan
dalam pasal 33 ayat 1 Piagam tersebut”. 9
Berdasarkan pasal di atas dapat dikatakan bahwa setiap anggota UNCLOS 1982 wajib
menyelesaikan sengketa internasional dengan cara damai.
 Solusi terhadap kasus Sengketa yang terjadi di Wilayah Selat Malaka
Dari kasus antara Negara Indonesia dengan Negara Malaysia mengenai batas ZEE di Selat
Malaka terdapat beberapa solusi yang dapat ditawarkan dan diterapkan oleh kedua negara tersebut,
antara lain :
1. Dengan menetapkan batas maritim antara Negara Indonesia dengan Negara Malaysia.
2. Negara Indonesia dan Negara Malaysia sama-sama telah melakukan ratifikasi UNCLOS 1982,
maka kedua negara tersebut harusnya mengacu pada UNCLO 1982 dalam menyelesaikan
sengketa perbatasan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
7
Tjondro Tirtamulia, Zona-zona laut UNCLOS (Cet 1, Brilian Internasional 2011) <https://repository.ubaya.ac.id/28747/6/Tjondro
%20Tirtamulia_Zona-Zona%20Laut%20Unclos_2011.pdf>. hlm 4-5
8
ibid. hlm 46-47
9
‘Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982_terjemahandoc’ (n 5).
3. Adanya usulan negara Malaysia yang memiliki niat menggunakan garis batas landas kontinen
1969 tidak dapat diterima karena adanya ketentuan yang berbeda, sedangkan dari Negara
Indonesia menggunakan garis tengah dapat diterima karena hal ini sesuai dengan aturan
UNCLOS 1982.
4. Jika usulan dari Negara Indonesia dapat diterima, maka garis batas landas kontinen berbeda
dengan garis batas Zona Ekonomi Ekslusif, makan akan terdapat Kawasan di Selat malaka
dasar lautnya jadi milik Negara Malaysia, tetapi air diatasnya menjadi milik Negara Indoensia.
5. Menyepakati atau menyetujui suatu consensus penangan kejadian yang sama dalam
Kawasan tumpeng tindih tersebur, sehinga petugas yang melakukan konsesnsus yang berada
di lapang dapat bertindak sesuai dengan consensus yang telah dicapai oleh pihak yang lebih
tinggi.
6. Apabila sebelum garis batas final dicapai Kawasan tumpeng tindih dibebaskan dari segala
aktivitas dan memperhatikan dampak bagi para nelayan yang hidupnya bergantung pada SDA
laut di Selat Malaka. 10
Solusi di atas merupakan salah satu sebagai bahan pertimbangan bagi kedua belah pihak
dalam menyelesaikan sengketa. Adapun jalur penyelesaian untuk sengketa perbatasan laut antara
Negara Indonesia dengan Negara Malaysia yaitu bisa menempuh jalur litigasi seperti
menyelesaikan dengan cara negosiasi, mediasi, arbitrase, dan bisa juga menempuh jalur non
litigasi dengan melakukan pengajuan ke Lembaga peradilan internasional seperti Mahkamah
Internasional dan ITLOS.

C. KESIMPULAN
Negara Indonesia dan Negara Malaysia mempunyai ha katas ZEE di wilayah Selat Malaka,
dikarenakan lebar dari ZEE kedua negara ini kurang dari 400 mil yang mana telah dijelaskan
dalam Pasal 56 UNCLOS 1982. Dikarenakn dua negara tersebut mengalami masalah sengkketa
atas wilayah Di Selat Malaka, untuk menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut dengan cara
yang mereka hendaki. Adapaun jalur penyelesaian atas sengketa kedua negara tersebut yaitu
dengan melalui jalur non litigasi seperti negoisiasi,mediasi,arbitrase, adapula dengan jalur litigasi
yaitu dengan mengajukan ke Lembaga peradilan Internasional, seperti ICJ dan ITLOS.

DAFTAR PUSTAKA

10
Fakultas Hukum Universitas Negeri Bengkulu and Ummi Yusnita, ‘Penyelesaian Sengketa Batas Laut Antara Indonesia dan
Malaysia Dalam Perspektif Hukum Internasional’ (2018) 7 Binamulia Hukum 96.
Kepres No.89 Tahun 1969.Pdf’ <https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/105468/keppres-no-89-tahun-
1969>.

Kiki Natalia, ‘PENYELESAIAN PERMASALAHAN BATAS WILAYAH ANTARA INDONESIA DAN


MALAYSIA DI PERAIRAN SELAT MALAKA DITINJAU DARI UNCLOS 1982’ 13.

‘Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982_terjemahandoc’.

Fakultas Hukum Universitas Negeri Bengkulu and Ummi Yusnita, ‘Penyelesaian Sengketa Batas Laut
Antara Indonesia dan Malaysia Dalam Perspektif Hukum Internasional’ (2018) 7 Binamulia Hukum
96.

Ridwan Lasabuda, ‘PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN DALAM PERSPEKTIF NEGARA
KEPULAUAN REPUBLIK INDONESIA’ (2013) 1 JURNAL ILMIAH PLATAX 92.

Tjondro Tirtamulia, Zona-zona laut UNCLOS (Cet 1, Brilian Internasional 2011)


<https://repository.ubaya.ac.id/28747/6/Tjondro%20Tirtamulia_Zona-Zona%20Laut
%20Unclos_2011.pdf>. hlm 4-5

Anda mungkin juga menyukai