NIM : 6211203401
Kelas : F
1. Negara Kepulauan menurut UNCLOS 1982 adalah suatu negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu.
Apa itu Garis Pangkal Kepulauan?, yaitu Garis yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar sebuah negara kepulauan.
Pengakuan konsepsi Negara Kepulauan sangat penting karena berkaitan dengan cara
penetapan zona kelautan, dimana tata cara penetapan terhadap negara kepulauan
berbeda dibanding terhadap negara pantai.
Apa perbedaannya?. Penetapan zona kelautan (zona maritim) untuk negara pantai
didasarkan pada garis pangkal pantai (coastal baseline), sementara pada negara
kepulauan seperti Indonesia, penetapan zona kelautan didasarkan pada Garis Pangkal
Kepulauan (archipelagic baseline).
Zona kelautan yang dimaksud di atas adalah Perairan Dalam, Laut Teritorial, Zona
Tambahan, ZEE, dan Laut Bebas (Lihat gambar 2). Zona Kelautan yang paling utama
adalah Laut Teritorial, dimana sebuah negara memiliki kedaulatan penuh terhadap
pemukaan laut, kolom air, ruang udara di atas laut, serta dasar laut dan lapisan tanah
di bawahnya.
Garis pangkal (baseline) sangat penting sehingga UNCLOS 1982 sudah mengaturnya
secara terperinci. Terdapat tiga jenis baseline, yaitu normal baseline, straight baseline
dan archipelagic baseline. Penerapan masing-masing jenis baseline tersebut
tergantung pada kondisi geografis tiap negara.
Normal baseline adalah jenis baseline dimana cara penarikan garis mengikuti kontur
pantai dengan kondisi wajar. Sedangkan straight baseline digunakan oleh negara yang
kontur pantainya berbentuk “zig-zag” (banyak teluk dan tanjung), atau terdapat
banyak pulau di sepanjang pantainya.
Archipelagic baseline, yang dibahas pada tulisan ini, hanya boleh digunakan oleh
negara yang memenuhi kriteria sebagai negara kepulauan, misalnya Indonesia,
Filipina, dan negara kepulauan lainnya.
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia berhak menarik garis pangkal kepulauan, yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia.
Dengan demikian, garis pangkal kepulauan mempersatukan wilayah Indonesia yang
terdiri atas beribu-ribu pulau, sesuai dengan doktrin Deklarasi Djuanda 1957.
Dengan demikian, zona kelautan Indonesia menjadi: (1) Laut Teritorial, Zona
Tambahan, dan ZEE berada pada sisi luar Garis Pangkal Kepulauan. (2) Perairan
Dalam dan Perairan Kepulauan yang berada di sisi dalam Garis Pangkal Kepulauan.
Salah satu yang khas dari negara kepulauan adalah adanya Perairan Kepulauan, yaitu
perairan yang berada di sisi dalam dari Garis Pangkal Kepulauan. Laut Jawa, Laut
Banda, Selat Makassar adalah contoh dari Perairan Kepulauan. Statusnya sama
dengan Laut Teritorial, yaitu Indonesia memiliki kedaulatan secara penuh.
Walau memiliki kedaulatan penuh pada perairan kepulauan, UNCLOS 1982
mewajibkan Negara Kepulauan untuk memberi hak lintas damai dan hak lintas alur
kepulauan. Inilah ketentuan yang ‘memaksa’ Indonesia menetapkan Alur Laut
Kepulauan (Designated Sea Lane) atau lazim kita sebut Alur Laut Kepulauan (ALKI
1, 2, dan 3). Kapal asing dapat berlayar secara damai melalui rute ALKI 1,2,3 tanpa
memerlukan ijin terlebih dahulu. Tentu saja dengan berbagai ketentuan yang juga
sudah diatur di dalam UNCLOS 1982.
2. Dasarnya adalah UNCLOS 1982, yang menjadi acuan bagi seluruh negara yang
meratifikasinya, termasuk Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS
1982).
Hak Lintas Damai
Kebebasan berlayar atau Freedom of Navigation (FoN) merupakan salah satu prinsip
utama dari UNCLOS 1982. Prinsip FoN diterapkan menjadi “Hak Lintas” pada
seluruh rezim laut yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982.
Pengertian Lintas (passage) sesuai pasal 18 adalah: berlayar atau melakukan navigasi
secara “terus menerus”, “langsung’ serta “secepat mungkin”. Baik itu untuk sekedar
melewati suatu negara pantai, atau untuk menuju/dari pelabuhan yang ada di negara
pantai tersebut. Perilaku berlayar selain di atas dapat diperbolehkan jika kapal dalam
situasi darurat atau bahaya atau sedang melakukan pertolongan darurat.
Terdapat tiga istilah Hak Lintas dalam UNCLOS 1982, yaitu Hak Lintas Damai
(Right of innocent passage), Hak Lintas Transit (Right of transit passage), dan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan (Right of archipelagic sea lanes passage).
Istilah Hak Lintas Damai digunakan pada rezim Laut Teritorial. Pasal 17 menyatakan:
“kapal semua Negara, baik berpantai maupun tak berpantai, menikmati hak lintas
damai melalui laut teritorial.
Pasal 19 (ayat 1) menjelaskan tentang apa yang dimaksud “Hak Lintas Damai”, yaitu:
Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau
keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya.
Secara rinci pasal 19 ayat 2 mencantumkan 12 kegiatan yang jika salah satunya
dilakukan, maka suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian,
ketertiban atau Keamanan Negara pantai.
Seluruh ketentuan tentang Hak Lintas Damai di Laut Teritorial diatur pada UNCLOS
1982 Part (bagian) II.
Bagian II tersebut terdiri lagi atas Sub bagian A yang memuat ketentuan yang berlaku
bagi semua jenis kapal. Mulai dari pasal 17 hingga pasal 26. Sub bagian B yang
memuat ketentuan yang berlaku khusus untuk kapal niaga (merchant ship) dan kapal
pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan komersil, yaitu pasal 27 dan pasal 28.
Sub bagian C, memuat ketentuan terhadap kapal perang dan kapal pemerintah yang
dioperasikan untuk tujuan non-komersial. Terdiri pasal 29 hingga pasal 32. Kapal
riset dan kapal coast guard adalah contoh kapal pemerintah yang dioperasikan untuk
tujuan non-komersial, sehingga ia dimasukkan ke dalam kelompok kapal yang tunduk
pada ketentuan di sub bagian C ini.
Perlu dketahui, pengertian Hak Lintas Damai pada pasal-pasal dalam bagian II ini
menjadi rujukan bagi pasal-pasal lain di berbagai bagian lainnya. Silahkan baca di
sini.
Ketentuan tentang Hak Lintas Transit dapat dibaca mulai Pasal 37 hingga pasal 44.
Salah satu ciri negara kepulauan adalah memiliki laut diantara pulau-pulau, yang
disebut laut atau perairan kepulauan. Seperti halnya perairan teritorial, negara
kepulauan berdaulat penuh di perairan kepulauan.
Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, kapal asing yang berlayar di perairan
kepulauan, melewati beberapa pulau dan selat di dalam wilayah Indonesia, tentu
membawa risiko yang lebih tinggi dibanding jika kapal tersebut berlayar di perairan
teritorial sebuah negara pantai seperti Vietnam, misalnya. Oleh karena itu, ada
tambahan pengaturan terhadap hak lintas yang melewati wilayah perairan kepulauan,
yaitu pada bagian IV tentang Negara Kepulauan.
Maritime Safely Committee (MSC) IMO pada 19 Mei 1998 telah menyetujui usulan
(submisi) Pemerintah Indonesia mengenai penetapan sumbu 3 (tiga) alur laut
kepulauan (ALKI I, II, dan III) beserta cabang-cabangnya yang dapat digunakan
untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.
Pengaturan mengenai hak lintas ALKI bagi kapal asing diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan. Dalam tulisan
ini, penulis hanya membahas tentang kapal asing.
2. Tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke arah kedua sisi
dari garis sumbu ALKI
3. Tidak boleh berlayar dekat pantai. Dengan ketentuan tidak boleh kurang dari 10
persen (sepuluh per seratus) dari jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang
berbatasan dengan ALKI
5. Untuk kapal perang asing, tidak boleh melakukan latihan perang atau latihan
menggunakan senjata apapun yang beramunisi. Kapal selam asing dan kendaraan
bawah air lainnya wajib berlayar di permukaan dan memperlihatkan bendera
kebangsaannya.
6. Tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar- mandir. Kecuali dalam
keadaan force majeure atau dalam keadaan musibah atau sedang memberikan
pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dmusibah.
7. Tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem
telekomunikasi
8. Tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang
yang tidak berwenang di dalam wilayah Indonesia.
9. Kapal asing, termasuk kapal riset atau survey hidrografi, tidak boleh melakukan
kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik menggunakan peralatan deteksi
maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh izin untuk hal itu.
10. Kapal asing, termasuk kapal penangkap ikan, tidak boleh melakukan kegiatan
perikanan dan wajib menyimpan peralatan penangkap ikannya ke dalam palka.
11. Tidak boleh menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal, orang, barang
atau mata uang dengan cara yang bertentangan dengan aturan kepabeanan,
keimigrasian, fiskal, dan kesehatan, kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam
keadaan musibah.
13. Wajib mematuhi pengaturan Skema Pemisah Lintas (TSS) yang ada. Indonesia
sudah menerapkan TSS pada bagian ALKI tertentu, yaitu Selat Sunda dan Selat
Lombok.
Baca: Sistem Navigasi dan Pelaporan di TSS Selat Sunda dan Lombok
14. Tidak boleh menimbulkan gangguan atau kerusakan pada sarana atau fasilitas
navigasi serta kabel dan pipa bawah air.
15. Tidak boleh berlayar terlalu dekat dengan zona terlarang yang lebamya 500 (lima
ratus) meter di sekeliling instalasi eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam hayati
atau non hayati.
16. Dilarang membuang minyak, limbah minyak, dan bahan perusak lainnya ke dalam
lingkungan laut, dan atau melakukan kegiatan yang bertentangan dengan MARPOL.
Termasuk dilarang melakukan dumping di Perairan Indonesia.
17. Kapal asing bertenaga nuklir, atau yang mengangkut bahan nuklir atau barang
atau bahan lain yang berbahaya atau beracun, harus membawa dokumen dan
mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional.
3. Pasal 17
Hak lintas damai
Dengan tunduk pada Konvensi ini, kapal semua Negara, baik berpantai maupun tak
berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial.
Pasal 18
Pasal 20
Kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya
Di laut teritorial, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan
navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan benderanya.
Pasal 21
Hukum dan peraturan dari Negara pantai yang berkaitan dengan lintas damai