Anda di halaman 1dari 10

Mata Kuliah : Hukum Internasional

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Hasan Sidik, S.H., M.H

Nama : Bryan Yoseph Situmeang

NIM : 6211203401

Kelas : F

1. Negara Kepulauan menurut UNCLOS 1982 adalah suatu negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu.

Secara sistematika, ketentuan tentang Negara Kepulauan di dalam UNCLOS 1982


berada pada Bab IV, mulai pasal 46 hingga pasal 54. Di dalam Bab tersebut, terdapat
atas tiga istilah yang menjadi khas negara kepulauan, yaitu: Garis Pangkal Kepulauan,
Perairan Kepulauan, dan Alur Laut Kepulauan. Tulisan singkat ini mencoba
menjelaskan secara sederhana tentang Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic
baseline) sebagai dasar penetapan zona kelautan pada Negara Kepulauan.

Apa itu Garis Pangkal Kepulauan?, yaitu Garis yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar sebuah negara kepulauan.

Pengakuan konsepsi Negara Kepulauan sangat penting karena berkaitan dengan cara
penetapan zona kelautan, dimana tata cara penetapan terhadap negara kepulauan
berbeda dibanding terhadap negara pantai.
Apa perbedaannya?. Penetapan zona kelautan (zona maritim) untuk negara pantai
didasarkan pada garis pangkal pantai (coastal baseline), sementara pada negara
kepulauan seperti Indonesia, penetapan zona kelautan didasarkan pada Garis Pangkal
Kepulauan (archipelagic baseline).

Zona kelautan yang dimaksud di atas adalah Perairan Dalam, Laut Teritorial, Zona
Tambahan, ZEE, dan Laut Bebas (Lihat gambar 2). Zona Kelautan yang paling utama
adalah Laut Teritorial, dimana sebuah negara memiliki kedaulatan penuh terhadap
pemukaan laut, kolom air, ruang udara di atas laut, serta dasar laut dan lapisan tanah
di bawahnya.

Jenis Garis Pangkal (Baseline)

Garis pangkal (baseline) sangat penting sehingga UNCLOS 1982 sudah mengaturnya
secara terperinci. Terdapat tiga jenis baseline, yaitu normal baseline, straight baseline
dan archipelagic baseline. Penerapan masing-masing jenis baseline tersebut
tergantung pada kondisi geografis tiap negara.
Normal baseline adalah jenis baseline dimana cara penarikan garis mengikuti kontur
pantai dengan kondisi wajar. Sedangkan straight baseline digunakan oleh negara yang
kontur pantainya berbentuk “zig-zag” (banyak teluk dan tanjung), atau terdapat
banyak pulau di sepanjang pantainya.

Archipelagic baseline, yang dibahas pada tulisan ini, hanya boleh digunakan oleh
negara yang memenuhi kriteria sebagai negara kepulauan, misalnya Indonesia,
Filipina, dan negara kepulauan lainnya.
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia berhak menarik garis pangkal kepulauan, yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia.
Dengan demikian, garis pangkal kepulauan mempersatukan wilayah Indonesia yang
terdiri atas beribu-ribu pulau, sesuai dengan doktrin Deklarasi Djuanda 1957.
Dengan demikian, zona kelautan Indonesia menjadi: (1) Laut Teritorial, Zona
Tambahan, dan ZEE berada pada sisi luar Garis Pangkal Kepulauan. (2) Perairan
Dalam dan Perairan Kepulauan yang berada di sisi dalam Garis Pangkal Kepulauan.

Take and Give

Salah satu yang khas dari negara kepulauan adalah adanya Perairan Kepulauan, yaitu
perairan yang berada di sisi dalam dari Garis Pangkal Kepulauan. Laut Jawa, Laut
Banda, Selat Makassar adalah contoh dari Perairan Kepulauan. Statusnya sama
dengan Laut Teritorial, yaitu Indonesia memiliki kedaulatan secara penuh.
Walau memiliki kedaulatan penuh pada perairan kepulauan, UNCLOS 1982
mewajibkan Negara Kepulauan untuk memberi hak lintas damai dan hak lintas alur
kepulauan. Inilah ketentuan yang ‘memaksa’ Indonesia menetapkan Alur Laut
Kepulauan (Designated Sea Lane) atau lazim kita sebut Alur Laut Kepulauan (ALKI
1, 2, dan 3). Kapal asing dapat berlayar secara damai melalui rute ALKI 1,2,3 tanpa
memerlukan ijin terlebih dahulu. Tentu saja dengan berbagai ketentuan yang juga
sudah diatur di dalam UNCLOS 1982.

Pengakuan terhadap konsepsi negara kepulauan melahirkan Garis Pangkal Kepulauan,


dan darinya Indonesia ‘memperoleh’ Perairan Kepulauan. Namun di sisi lain,
Indonesia wajib ‘menyediakan’ Alur Laut Kepulauan. Ini semacam take and give,
karena pada dasarnya sebuah konvensi internasional seperti UNCLOS adalah
kumpulan dari kesepakatan-kesepakatan.

2. Dasarnya adalah UNCLOS 1982, yang menjadi acuan bagi seluruh negara yang
meratifikasinya, termasuk Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS
1982).
Hak Lintas Damai
Kebebasan berlayar atau Freedom of Navigation (FoN) merupakan salah satu prinsip
utama dari UNCLOS 1982. Prinsip FoN diterapkan menjadi “Hak Lintas” pada
seluruh rezim laut yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982.

Pengertian Lintas (passage) sesuai pasal 18 adalah: berlayar atau melakukan navigasi
secara “terus menerus”, “langsung’ serta “secepat mungkin”. Baik itu untuk sekedar
melewati suatu negara pantai, atau untuk menuju/dari pelabuhan yang ada di negara
pantai tersebut. Perilaku berlayar selain di atas dapat diperbolehkan jika kapal dalam
situasi darurat atau bahaya atau sedang melakukan pertolongan darurat.

Terdapat tiga istilah Hak Lintas dalam UNCLOS 1982, yaitu Hak Lintas Damai
(Right of innocent passage), Hak Lintas Transit (Right of transit passage), dan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan (Right of archipelagic sea lanes passage).
Istilah Hak Lintas Damai digunakan pada rezim Laut Teritorial. Pasal 17 menyatakan:
“kapal semua Negara, baik berpantai maupun tak berpantai, menikmati hak lintas
damai melalui laut teritorial.

Pasal 19 (ayat 1) menjelaskan tentang apa yang dimaksud “Hak Lintas Damai”, yaitu:
Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau
keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya.

Secara rinci pasal 19 ayat 2 mencantumkan 12 kegiatan yang jika salah satunya
dilakukan, maka suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian,
ketertiban atau Keamanan Negara pantai.

Seluruh ketentuan tentang Hak Lintas Damai di Laut Teritorial diatur pada UNCLOS
1982 Part (bagian) II.

Bagian II tersebut terdiri lagi atas Sub bagian A yang memuat ketentuan yang berlaku
bagi semua jenis kapal. Mulai dari pasal 17 hingga pasal 26. Sub bagian B yang
memuat ketentuan yang berlaku khusus untuk kapal niaga (merchant ship) dan kapal
pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan komersil, yaitu pasal 27 dan pasal 28.

Sub bagian C, memuat ketentuan terhadap kapal perang dan kapal pemerintah yang
dioperasikan untuk tujuan non-komersial. Terdiri pasal 29 hingga pasal 32. Kapal
riset dan kapal coast guard adalah contoh kapal pemerintah yang dioperasikan untuk
tujuan non-komersial, sehingga ia dimasukkan ke dalam kelompok kapal yang tunduk
pada ketentuan di sub bagian C ini.

Perlu dketahui, pengertian Hak Lintas Damai pada pasal-pasal dalam bagian II ini
menjadi rujukan bagi pasal-pasal lain di berbagai bagian lainnya. Silahkan baca di
sini.

Hak Lintas Transit


Istilah “Hak Lintas Transit” digunakan pada Part III tentang Rezim Selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, yaitu selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian
laut lepas atau suatu zona ekonomi eksklusif lainnya. Contohnya adalah Selat Malaka.

Ketentuan tentang Hak Lintas Transit dapat dibaca mulai Pasal 37 hingga pasal 44.

Hak Lintas Alur Kepulauan


Hak Lintas Alur Laut Kepulauan adalah berlayar dari satu bagian laut bebas atau
zona ekonomi eksklusif melintasi Perairan Kepulauan sebuah negara menuju ke
bagian lain dari laut bebas atau zona ekonomi eksklusif.

Salah satu ciri negara kepulauan adalah memiliki laut diantara pulau-pulau, yang
disebut laut atau perairan kepulauan. Seperti halnya perairan teritorial, negara
kepulauan berdaulat penuh di perairan kepulauan.

Baca: Memahami Garis Pangkal Kepulauan dalam UNCLOS 1982

Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, kapal asing yang berlayar di perairan
kepulauan, melewati beberapa pulau dan selat di dalam wilayah Indonesia, tentu
membawa risiko yang lebih tinggi dibanding jika kapal tersebut berlayar di perairan
teritorial sebuah negara pantai seperti Vietnam, misalnya. Oleh karena itu, ada
tambahan pengaturan terhadap hak lintas yang melewati wilayah perairan kepulauan,
yaitu pada bagian IV tentang Negara Kepulauan.

Pengaturan Hak Lintas ALKI


Yang dimaksud Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah rute navigasi yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, serta sudah didaftarkan dan disetujui
oleh PBB.

Maritime Safely Committee (MSC) IMO pada 19 Mei 1998 telah menyetujui usulan
(submisi) Pemerintah Indonesia mengenai penetapan sumbu 3 (tiga) alur laut
kepulauan (ALKI I, II, dan III) beserta cabang-cabangnya yang dapat digunakan
untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.
Pengaturan mengenai hak lintas ALKI bagi kapal asing diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan. Dalam tulisan
ini, penulis hanya membahas tentang kapal asing.

PP 37 Tahun 2002 di atas merupakan peraturan pelaksanaan dari UU nomor 6 Tahun


1996 tentang Perairan Indonesia, yang mengadopsi Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
yang terdapat dalam UNCLOS 1982.

17 Wajib bagi Kapal Asing


PP No 37 Tahun 2002 memuat cukup banyak ketentuan tentang Lintas Alur Laut
Kepulauan. Redaksi meringkasnya menjadi 17 kewajiban bagi kapal asing sewaktu
melintas di ALKI Lintas Alur Laut Kepulauan.

1. Melintas secepatnya dengan cara normal, yaitu secara terus-menerus, langsung,


cepat, dan tidak terhalang.

2. Tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke arah kedua sisi
dari garis sumbu ALKI

3. Tidak boleh berlayar dekat pantai. Dengan ketentuan tidak boleh kurang dari 10
persen (sepuluh per seratus) dari jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang
berbatasan dengan ALKI

4. Tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap


kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau
dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang
terdapat dalam Piagam PBB

5. Untuk kapal perang asing, tidak boleh melakukan latihan perang atau latihan
menggunakan senjata apapun yang beramunisi. Kapal selam asing dan kendaraan
bawah air lainnya wajib berlayar di permukaan dan memperlihatkan bendera
kebangsaannya.
6. Tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar- mandir. Kecuali dalam
keadaan force majeure atau dalam keadaan musibah atau sedang memberikan
pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dmusibah.

7. Tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem
telekomunikasi

8. Tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang
yang tidak berwenang di dalam wilayah Indonesia.

9. Kapal asing, termasuk kapal riset atau survey hidrografi, tidak boleh melakukan
kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik menggunakan peralatan deteksi
maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh izin untuk hal itu.

10. Kapal asing, termasuk kapal penangkap ikan, tidak boleh melakukan kegiatan
perikanan dan wajib menyimpan peralatan penangkap ikannya ke dalam palka.

11. Tidak boleh menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal, orang, barang
atau mata uang dengan cara yang bertentangan dengan aturan kepabeanan,
keimigrasian, fiskal, dan kesehatan, kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam
keadaan musibah.

12. Wajib menaati peraturan, prosedur, dan praktek internasional mengenai


keselamatan pelayaran yang diterima secara umum, termasuk peraturan tentang
pencegahan tubrukan kapal di laut (COLREGs 1972)

13. Wajib mematuhi pengaturan Skema Pemisah Lintas (TSS) yang ada. Indonesia
sudah menerapkan TSS pada bagian ALKI tertentu, yaitu Selat Sunda dan Selat
Lombok.

Baca: Sistem Navigasi dan Pelaporan di TSS Selat Sunda dan Lombok
14. Tidak boleh menimbulkan gangguan atau kerusakan pada sarana atau fasilitas
navigasi serta kabel dan pipa bawah air.

15. Tidak boleh berlayar terlalu dekat dengan zona terlarang yang lebamya 500 (lima
ratus) meter di sekeliling instalasi eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam hayati
atau non hayati.

16. Dilarang membuang minyak, limbah minyak, dan bahan perusak lainnya ke dalam
lingkungan laut, dan atau melakukan kegiatan yang bertentangan dengan MARPOL.
Termasuk dilarang melakukan dumping di Perairan Indonesia.

17. Kapal asing bertenaga nuklir, atau yang mengangkut bahan nuklir atau barang
atau bahan lain yang berbahaya atau beracun, harus membawa dokumen dan
mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional.

3. Pasal 17
Hak lintas damai

Dengan tunduk pada Konvensi ini, kapal semua Negara, baik berpantai maupun tak
berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial.

Pasal 18

Pengertian lintas (meaning of passage)

1. Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan:


melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di
tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman; atau
berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut
(roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.
2. Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun
demikian, lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal
tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force
majeure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang,
kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan
Pasal 19
Pengertian lintas damai

1. Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban


atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan Konvensi ini dan peratruan hukum internasional lainnya.
2. Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban
atau Keamanan Negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan
salah satu kegiatan sebagai berikut :
setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah
atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang
merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;
setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi
pertahanan atau keamanan Negara pantai;
setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau
keamanan Negara pantai;
peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;
peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer;
bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan
peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara Pantai;
setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan
ketentuan Konvensi ini;
setiap kegiatan perikanan;
kegiatan riset atau survey;
setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap
fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai;
setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.

Pasal 20
Kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya

Di laut teritorial, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan
navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan benderanya.

Pasal 21
Hukum dan peraturan dari Negara pantai yang berkaitan dengan lintas damai

1. Negara pantai dapat membuat peraturan perundang-undangan sesuai dengan


ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya yang bertalian
dengan lintas damai melalui laut teritorial, mengenai semua atau setiap hal berikut :
keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim;
perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi
lainnya;
perlindungan kabel dan pipa laut;
konservasi kekayaan hayati laut;
pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai;
pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian
pencemarannya;
penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;
pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi
atau saniter Negara Pantai.

2. Peraturan perundang-undangan demikian tidak berlaku bagi disain, konstruksi,


pengawakan atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan perundang-undangan
tersebut melaksanakan peraturan atau standar internasional yang diterima secara umum.

3. Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan perundang-undangan


tersebut sebagaimana mestinya.
4. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial harus
mematuhi semua peraturan perundangundangan demikian dan semua peraturan
internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara
umum.

Anda mungkin juga menyukai