Anda di halaman 1dari 8

IMPLEMENTASI REGULASI GARIS PANGKAL LURUS (GPL)

PADA KEPULAUAN DI INDONESIA

OLEH:

Muhammad Ilhan Ghiffary (11000121140540)

DOSEN PENGAMPU:

Prof. Dr. Lazarus Tri Setyawanta Rebala, S.H., M.Hum.

HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS E

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur pulau-pulau yang
tersebar luas dalam jumlah lebih dari 13.000 pulau besar dan pulau kecil, dengan garis
pantai yang panjangnya sekitar 81.000 Km memberikan ciri khas pada lingkungan laut
alaminya.
Laut sepanjang sejarah merupakan salah satu akses perdagangan dunia dimana lalu
lintas kapal dari berbagai Negara. Sejak Zaman kerajaan Jawa hingga saat ini Laut menjadi
Akses penting Pelayaran maupun Perdagangan dunia serta sumber daya alam hayati dan
non-hayati yang terkandung di dalamnya. Laut cenderung tidak lagi dipandang sebagai
pemersatu wilayah, tetapi kepanjangan wilayah kekuasaan daerah untuk menarik
retribusinya, Hal ini demikian itu rawan terhadap konflik antardaerah dalam perikanan,
pertambangan dan pariwisata, selain meningkatkan biaya perdagangan antarpulau, bahkan
patra nelayan berkelahi di laut dan saling bakar kapal-kapal penangkap ikannya.
Laut juga menjadi permasalahan dimana setelah terbentuknya negara-negara di
Dunia muncul perselisihan terkait sengketa Batas Laut antar Negara yang saling
mengklaim batas negara masing masing. Sengketa batas laut ini juga menjadi semacam
perlombaan bagi negara- negara untuk memperluas wilayahnya dengan tujuan selain
kekayaan sumber daya alam bawah lautnya juga kepentingan kekayaan lainnya yang ada
di dalam Laut tersebut seperti Ikan, minyak bumi, maupun lainnya.
Istilah negara kepulauan (archipelagic state) sering dilekatkan pada nama
Indonesia. Luas wilayah lautnya 3,25 juta km2 , dengan panjang garis pantai 81.000 km.
Ditengah laut tersebut ditaburi 17.504 pulau besar dan kecil. Kenyataan ini menunjukan
bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia adalah laut. Ketentuan-ketentuan hukum internasional
yang mengatur tentang kedaulatan negara atas wilayah laut merupakan salah satu ketentuan
penting Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the
Sea 1982) atau yang kita kenal dengan UNCLOS 1982.
Garis Pangkal Laut (GPL) adalah garis khayalan yang digunakan sebagai dasar
pengukuran batas wilayah maritim Indonesia. Implementasi Garis Pangkal Laut di
Indonesia merupakan tindakan yang melibatkan peraturan hukum internasional,
pemerintah, dan lembaga terkait dalam menentukan dan mengawasi batas wilayah maritim
Indonesia sesuai dengan hukum laut internasional, terutama Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Suatu Negara Kepulauan dapat menarik
garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan
karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa didalam garis pangkal
demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara
daerah perairan dan daerah daratan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan dirumuskan sebagai
berikut: Bagaimana pengaruh pertambahan tinggi permukaan air laut akibat pemanasan
global terhadap letak titik Garis Pangkal Lurus kepulauan Indonesia berdasarkan Konvensi
UNCLOS 1982 dan Peraturan Perundang-Undangan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Garis Pangkal Lurus (GPL) Berdasarkan Konvesnsi UNCLOS 1982


Ketentuan-ketentuan Konvensi 1982 yang mengatur tentang berbagai zona maritim
serta kemungkinan bagi Negara-negara Kepulauan untuk menarik garis-garis pangkal lurus
kepulauan telah meningkatkan pentingnya garis-garis pangkal, karena peranannya yang
sangat menentukan untuk pengukuran batas terluar laut teritorial, zona tambahan, zona
ekononii eksklusif dan landas kontinen. Konsepsi Negara Kepulauan adalah suatu konsepsi
baru dalam hukum laut internasional yang mendapat pengakuan dalam Konvensi 1982.
Seperti urauni diketahui, pada rnasa sebelum lahirnya Konvensi 1982, konsepsi Negara
Kepulauan dikenal hanya melalui praktik beberapa negara, yang paling menonjol
diantaranya adalah Indonesia.
Dalam Konvensi UNCLOS 1982, konsepsi ini telah dituangkan ke dalam beberapa
asas yang dinamakan asas-asas Negara Kepulauan (archipelagic states principles) dan
tercantum dalam Bab IV yang terdiri dari sembilan pasal yaitu Pasal 46-54, yang berisi,
antara lain: ketentuan-ketentuan tentang Negara Kepulauan, garis-garis pangkal lurus
kepulauan, status hukum dari perairan kepulauan, penetapan perairan pedalaman dalam
perairan kepulauan, hak linntas damai melalui perairan kepulauan, hak lintas alur-alur laut
kepulauan, hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam pelaksanaan hak lintas
alur-alur laut kepulauan.
Pengaturan dalam Bab IV Konvensi 1982 dimulai dengan ketentuan mengenai
Negara Kepulauan (Archipelagic State), dengan perkataan lain ketentuan Konvensi 1982
memberikan dasar pengaturan dalam bentuk definisi yuridis tentang apa yang dinaniakan
suatu "Negara Kepulauan" yang sudah barang tentu berbeda dengan definisi negara yang
secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Selain dan itu Pasal 46 juga
membedakan pengertian yuridis antara Negara Kepulauan dengan kepulauan (archipelago)
itu sendiri. Perbedaan kedua istilah ini sangat fundamental, karena ketentuan-ketentuan
lain dari Bab IV ini hanya mengatur tentang Negara Kepulauan.
Tantangan utama terhadap usul untuk mengadakan pengaturan khusus tentang
Negara Kepulauan adalah tidak adanya kriteria objektif tentang formasi geografis yang
disyaratkan untuk itu. Pasal 47 Konvensi 1982 memberi solusi terhadap masalah tersebut
dengao menetapkan persyaratan obyektif agar suatu Negara Kepulauan dapat nienarik
garis-garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines).
Agar dapat menerapkan cara penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan,
ketentuan di atas menetapkan persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh suatu Negara
Kepulauan yaitu tentang ratio (perbandingan) antara luas wilayah perairan dengan daratan.
Untuk dapat memanfaatkan ketentuan tersebut secara umum ditetapkan bahwa suatu
Negara Kepulauan minimal harus memiliki luas perairan yang sama besar atau maksirnal
hanya sernbilan kali dari luas wilayah daratannya yakni “archipelago may exceed that
length, up to a maximum length of 125 nautical miles".
Ketentuan ini sangat penting terutama dalam penetapan titiktitik pangkal (base
points) yang akan dipakai dalam penarikan garis-garis pangkal tersebut. Untuk dapat
menanfaatkan ketentuan khusus bagi Negara Kepulauan tersebut, panjang setiap garis lurus
yang menghubungkan dua titik pangkal ditetapkan tidak boleh melebihi 100 mil-laut.
Namun deniikian tiga persen dari jumiah keseluruhan garis-garis lurus yang terbentuk,
panjangnya dapat melebihi batas tersebut sanipai ke batas maksimum 125 mil-laut. Dengan
demikian setiap Negara Kepulauan diberikan kesempatan untuk mencari titik-titik air
terendah yang tepat untuk dijadikan titik-titik pangkal, agar dapat memanfaatkan ketentuan
tersebut di atas.

B. Garis Pangkal Lurus (GPL) Berdasarkan Undang-Undang


Penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dan Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Pasal 1 ayat 3 menetapkan bahwa
kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara
pulau-pulau tersebut dan wujud alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain
demikian eratnya, sehingga pulaupulau, perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan
suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis
dianggap demikian.
Ketentuan-ketentuan di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 yang menyatakan
bahwa:
1. Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan;
2. Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulaupulau atau
bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan
tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah
daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan
Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Nampak bahwa pengertian negara kepulauan Indonesia sesuai dengan ketentuan


Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam pembahasan selanjutnya terlihat ketentuan-
ketentuan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan nasional Indonesia tidak
jauh beda dengan Konvensi Hukum Laut 1982 karena pada dasarnya peraturan perundang-
undangan merupakan hasil dari Konvensi.
Belum ditetapkannya batas laut teritorial Indonesia dengan beberapa negara
tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura telah menimbulkan sengketa perbatasan dan
berbagai kerawanan serta masalah-masalah keamanan, sehingga perlu segera ditetapkan.
Penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut pada dasarnya diperlukan
untuk memberikan kepastian hukum tentang wilayah, batas kedaulatan, dan hak-hak
berdaulat Republik Indonesia, memudahkan kegiatan penegakan hukum di laut, serta
menjamin kepastian hukum kegiatan pemanfaatan sumber daya alam laut.
Penetapan batas maritim ini juga mempunyai fungsi sebagai penegasan
kepemilikan pulau-pulau kecil terluar Republik Indonesia, karena Indonesia menggunakan
pulau-pulau terluar tersebut sebagai penentuan batas laut teritorial, zona ekonomi
eksklusif, dan landas. kontinen Indonesia. Pulau-pulau kecil terluar juga digunakan untuk
menentukan Jalur Tambahan Indonesia, yaitu perairan yang berdampingan dengan Laut
Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Sepanjang yang berkaitan dengan batas jalur tambahan ini, belum ada satupun batas yang
ditetapkan oleh Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Selanjutnya, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengatur cara penarikan garis
pangkal lurus kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1. Ayat 2 menyatakan bahwa apabila garis pangkal
lurus kepulauan seperti tersurat dalam ayat 1 tidak dapat digunakan, maka digunakan garis
pangkal biasa atau garis pangkal lurus. Berdasarkan ketentuan ayat 6, garis pangkal biasa
sebagaimana tersurat dalam ayat 2 adalah garis air rendah sepanjang pantai. Pengaturan
mengenai garis pangkal lurus seperti dimaksud dalam ayat 2 termuat dalam ayat 7, yang
menyatakan bahwa garis pangkal lurus adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik
terluar pada garis pangkal yang menjorok jauh dan menikung.
Menurut ketentuan ayat 3 garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana ditetapkan
dalam ayat 1 adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air
rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 47 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, panjang garis pangkal lurus
kepulauan Indonesia tersebut, menurut ayat 4 tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut,
kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat
melebihi 100 mil laut hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima)
mil laut.
Garis pangkal kepulauan diatur lebih lanjut oleh Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.
38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia.8 Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 ini menyatakan bahwa
Pemerintah menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial. Dalam
ayat 2 ditetapkan bahwa penarikan garis pangkal kepulauan tersebut dilakukan dengan
menggunakan:
a. garis pangkal lurus kepulauan;
b. garis pangkal biasa;
c. garis pangkal lurus;
d. garis penutup teluk;
e. garis penutup muara sungai, terusan dan kuala; dan f) garis penutup pada
pelabuhan.
BAB III

KESIMPULAN

Garis Pangkal Laut (GPL) adalah garis khayalan yang digunakan sebagai dasar pengukuran
batas wilayah maritim Indonesia sesuai dengan hukum laut internasional, terutama Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Implementasi GPL melibatkan
penyusunan hukum dan kebijakan, penetapan garis pangkal laut, penentuan batas zona laut,
pengawasan dan penegakan hukum, kerja sama regional, pendidikan masyarakat, dan keterlibatan
lembaga internasional. Implementasi GPL adalah upaya yang kompleks dan memerlukan kerja
sama antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil.

Tujuan utama implementasi GPL adalah memastikan perdamaian dan keamanan di wilayah
maritim Indonesia, serta pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan sesuai dengan hukum
laut internasional. Pemerintah Indonesia harus mematuhi prinsip-prinsip hukum laut internasional
dalam menentukan dan mengawasi batas wilayah maritim Indonesia untuk memastikan bahwa hak
dan kewajiban Indonesia di wilayah tersebut terlindungi.

Dengan demikian, implementasi GPL adalah langkah penting dalam menjaga kedaulatan
dan kepentingan Indonesia di wilayah maritimnya sesuai dengan ketentuan UNCLOS dan norma-
norma hukum laut internasional.

Anda mungkin juga menyukai