Anda di halaman 1dari 26

UAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL

NAMA : IVORY SANDORA MARTIN


NIM : B10018267
KELAS : C

Dosen Pengampu:
RAHAYU REPINDOWATY HARAHAP, S.H., LL.M

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2020
- Cari dan analisis 3 (tiga) kasus sengketa kelautan antara Indonesia
dengan Negara lain serta bagaimana penyelesaiannya!
JAWAB :

1. Sengketa Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia

Ambalat telah lama menjadi wilayah sengketa Indonesia dan


Malaysia, dua negara serumpun yang bertetangga. Blok laut seluas 15.235
km2 yang terletak di Selat Makassar itu menyimpan potensi kekayaan laut
yang luar biasa, terutama minyak.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, ada


satu titik tambang di Ambalat yang menyimpan cadangan potensial 764
juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. Itu baru sebagian kecil,
sebab Ambalat memiliki titik tambang tak kurang dari sembilan.
Kandungan minyak dan gas di sana disebut dapat dimanfaatkan hingga 30
tahun, dan tentu suatu keuntungan besar bagi negara manapun yang
menguasai Ambalat.
 
Sejak 1979 Malaysia sudah mengincar Ambalat, ketika negeri itu
memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di perairan Ambalat
sebagai titik pengukuran zona ekonomi eksklusif mereka. Dalam peta itu,
Ambalat pun diklaim milik Malaysia, sehingga hal ini memancing protes
dari Indonesia.
 
Indonesia tegas menyatakan Ambalat sebagai bagian dari
wilayahnya sebab dari segi historis, Ambalat merupakan wilayah
Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur yang jelas masuk Indonesia.
Terlebih berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang telah diratifikasi RI dan tercantum pada Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1984, Ambalat diakui dunia sebagai milik Indonesia.
 
Meski demikian, kapal perang dan pesawat tempur Malaysia tetap
sering wara-wiri di Ambalat. Pada 2005 bahkan sempat terjadi ketegangan
serius di Ambalat. Saat itu Angkatan Laut RI dan Malaysia sama-sama
dalam kondisi siap tempur.

Analisis Kasus Sengketa:

Status Kepemilikan Blok Ambalat Ditinjau Dari Hukum Internasional


Daftar koordinat merupakan sesuatu yang penting untuk proses identifikasi lokasi
titik pangkal dan garis pangkal yang akan digunakan dalam proses delimitasi.
Daftar koordinat tersebut di perlukan untuk membentuk garis pangkal negara
pantai, yang kemudian akan menjadi dasar untuk mengajukan klaim yuridiksi
maritime.

Berdasarkan Undang-Undang peraturan Esensial Powers yang di sahkan


pada bulan Agustus 1969, Malaysia menetapkan luas teritorial laut sejauh 12 mil
laut yang diukur dari garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut
ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial dan Zona
Tambahan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut selanjutnya Malaysia
mendeklarasikan secara sepihak Peta Malaysia 1979 pada tanggal 21 Desember
1979. Pada bulan Desember 1979 Malaysia mengeluarkan Peta Baru dengan batas
terluar klaim maritim di Laut Sulawesi. Peta tersebut secara jelas memasukkan
kawasan dasar laut sebagai bagian dari Malaysia yang kemudian disebut Blok
Ambalat oleh Indonesia. Dalam pergaulan internasional suatu negara harus
memberitahukan titik-titik pangkal dan garis pangkal laut teritorialnya agar negara
lain dapat mengetahuinya.

Peta 1979 yang dikeluarkan pemerintah Malaysia tersebut tidak hanya


mendapat protes Indonesia saja tetapi juga dari Filipina, Singapura, Thailand,
Tiongkok, Vietnam, karena dianggap sebagai upaya atas perebutan wilayah
negara lain (Trost, R:1998).

Dengan demikian klaim Malaysia terhadap wilayah teritorial berdasarkan


Peta 1979 tidak mendapat pengakuan dari negara-negara tetangga dan dunia
internasional. ketentuan dalam penarikan Garis pangkal atau baselines garis yang
merupakan referensi pengukuran batas terluar laut wilayah dan zona yuridiksi
maritim lain sebuah negara pantai. Garis pangkal juga merepresentasikan batas
perairan pedalaman yang berada disebelah dalam garis pangkal kearah daratan
(landward) jelas terlihat bahwa memahami konsep penentuan garis pangkal sangat
penting dalam delimitasi batas maritim (Arsana, 2007:11).

1. Garis Pangkal Normal Garis pangkal normal dijelaskan dalam pasal 5


UNCLOS sebagai garis air rendah (the low water) di sepanjang pantai seperti
terlihat pada peta skala besar yang diakui oleh negara bersangkutan. Sebagai
pengertian umum, garis pangkal normal bisa disamakan dengan garis air rendah
disepanjang pantai benua dan/atau pulau (Arsana, 2007:12).

2. Garis Pangkal Lurus Berkaitan dengan garis pangkal lurus, Pasal 7


UNCLOS 1982 menyatakan bahwa garis pangkal lurus (untuk laut teritorial) bisa
digunakan jika garis pantai benar-benar menikung dan memotong kedalam atau
bergeriji, atau jika pulau tepi di sepanjang pantai yang tersebar tepat disekitar
garis pantai. Garis pangkal lurus adalah garis yang terdiri atas segmen-segmen
lurus menghubungkan titik-titik tertentu yang memenuhi syarat. Pasal 7 UNCLOS
juga mengatakan bahwa garis pangkal lurus bisa diterapakan karena adanya delta
di pantai yang tidak stabil tetapi garis pantainya juga harus dalam keadan benar-
benar menjorok dan terpotong ke dalam, atau harus terdapat pulau tepi seperti
yang disebutkan sebelumnya (Arsana, 2007:14).

3. Garis Pangkal Kepulauan Berdasarkan Pasal 46 UNCLOS 1982, Negara


kepulauan adalah Negara yang seluruhnya terdiri dari suatu atau lebih kepulauan.
Adapun yang di maksud dengan kepulauan ialah sekumpulan pulau-pulau,
perairan yang saling bersambung (inter-connecting waters), dan karakteristik
ilmiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk
satuan instrinsik geografi ekonomi, dan politis atau secara historis memang
dipandang demikian (Munawar, 1995:5).

Garis pangkal kepulauan juga cara formal diakui eksistensinya dalam


UNCLOS 1982, tegasnya dalam Bab/Bagian IV Pasal 46-54, yang secara khusus
mengatur tentang negara kepulauan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
garis pangkal kepulauan ini khususnya hanya diterapkan oleh negara kepulauan,
meskipun secara geografis negara itu berbentuk kepulauan, maka negara yang
demikian tidak menetapkan garis pangkal kepulauan. Negara itu hanya bisa
menerapkan garis pangkal normal dan garis pangkal lurus dalam pengukuran
lebar laut teritorial (Parthana, 1990:77).

Tentang garis pangkal kepulauan secara khusus diatur dalam Pasal 47 ayat
1-9 Ayat (1) UNLCOS 1982, menegaskan hak negara kepulauan untuk
menetapkan garis pangkal kepulauan. Selanjutnya ditegaskan tentang cara
menarik garis pangkal kepulauan, yakni dengan menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar. Syarat garis lain adalah seperti yang ditegaskan pada ayat
(2) pada UNCLOS 1982, bahwa panjang garis pangkal kepulauan tidak boleh
melebihi dari 100 mil laut, kecuali hingga 3% dari jumlah seluruh garis pangkal
yang mengelilingi setiap kepulauan diperkenankan melebihi dari panjang tersebut
hingga pada panjang maksimum 125 mil laut (UNCLOS, 1982:18).

Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat (6) dalam UNCLOS 1982 yang
menegaskan tentang perairan di negara kepulauan yang terletak antara dua bagian
dari suatu negara tetangganya yang secara langsung berada dalam posisi
berdampingan. Pada perairan kepulauan itu, negara tetangga memiliki hak-hak
serta kepentingan-kepentingan lainnya yang secara sah memang ada jauh
sebelumnya, dan secara tradisional dilaksanakan oleh negara tetangga di dalam
perairan tersebut (Parthiana,1990:78).

4. Garis pangkal penutup teluk

Pada pasal 10 UNCLOS 1982 menentukan pendinifisian garis penutup


teluk. Pasal ini mengatur metode penentuan jenis teluk dan menegaskan bahwa
teluk itu harus ditutup dengan garis pangkal lurus. Faktor relevan yang
mempengaruhi adalah bentu teluk, luas teluk, dan nilai sejarah teluk tersebut bagi
negara pantai yang bersangkutan. Mengenai bentuknya Pasal 10 UNCLOS 1982
menyatakan bahwa teluk adalah bagian laut yang secara jelas teramati menjorok
ke daratan yang jarak masuknya dan lebar mulut teluknya memenuhi
perbandingan tertentu yang memuat wilayah perairan bukan sekedar lekukan
(Arsana, 2007:19).

5. Garis Pangkal Indonesia Sebagai negara kepulauan, Indonesia


menerapakan garis pangkal kepulauan atau archipelagic baseline. Garis pangkal
kepulauan ini merupakan sistem garis pangkal yang melingkupi kepulauan
Indonesia. Meski demikian dalam kenyataannya akan tetap ada garis pangkal
normal yang diterapkan untuk suatu wilayah, karena tidak memungkinkan ditarik
segmen garis lurus. Oleh karena itu, sistem garis pangkal melingkupi Seluruh
Negara Indonesia merupakan gabungan antar segmen garis pangkal lurus dan
garis pangkal normal (Arsana, 2007:21).

Ditinjau dari hukum laut internasional, Malaysia bukanlah negara


Kepulauan oleh karena itu tidak dibenarkan menarik garis pangkal demikian
sebagai penentuan batas laut wilayah dan landas kontinennya. Malaysia hanyalah
negara pantai biasa yang hanya dibenarkan menarik garis pangkal normal (biasa)
dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu terdapat
deretan pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus mempunyai
ikatan kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada rezim hukum
perairan pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial dan
zona ekonomi eksklusif dan sesuai dengan pasal 7 KHL 1982 (Jenewa, 1958 pasal
5, dan UNCLOS, 1982 pasal 7).

Pendapat Arif Havas oegroseno, direktur perjanjian politik, keamanan, dan


kewilayahan Indonesia mengatakan, dalam hukum kebiasaan Internasional jika
klaim suatu negara merupakan tindakan sepihak dari negara tersebut (unilateral
action) tidak mendapat protes dari negara-negara terutama negara tetangganya,
maka setelah 2 (dua) tahun klaim tersebut dinyatakan sah. Sehubungan dengan
Peta Malaysia 1979 yang mendapat banyak protes dari negara-negara tetangga
dan negara lainnya sesungguhnya peta tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
(Aegrosewu, 2004:65).

Jika Malaysia berpendapat bawah „tiap pulau berhak mempunyai laut


teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri‟, maka hal
tersebut menyalahi UNCLOS pasal 121, hal itu dapat dibenarkan. Namun rezim
penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan
keberadaan pulaupulau yang relatively small, socially and economically
insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumtation dalam penentuan
garis batas landas kontinen. Malaysia bukanlah negara kepulauan sehingga tidak
berhak mengklaim Ambalat. Menurut Konvensi hukum laut, sebuah negara pantai
(negara yang wilayah daratannya secara langsung bersentuhan dengan laut)
berhak atas zona maritim laut teritorial, ZEE, dan landas kontinen sepanjang
syarat-syarat (jarak dan geologis) memungkinkan.

Sebagai negara pantai biasa oleh pengaturan dalam UNCLOS 1982


dinyatakan bahwa Malaysia hanya diperbolehkan menarik garis pangkal biasa
(normal baselines) atau garis pangkal lurus (Straight Baselines), karena alasan ini
seharusnya Malaysia tidak diperbolehkan menarik garis pangkal lautnya dari
pulau sipadan ligitan karena Malaysia bukan merupakan negara kepulauan.
namun dilain pihak Malaysia menggunakan pasal 121 UNCLOS yang
menyatakan bahwa setiap pulau berhak mendapatkan laut teritorial, Zona
Ekonomi Eksklusif dan Landas kontinennya sendiri-sendiri hal ini dapat
dibenarkan namun dalam penetapan landas kontinen antarnegara juga harus
memperhatikan apakah daratan dasar laut itu merupakan kelanjutan tanah alamiah
tanah diatasnya sehingga itu merupakan daerah landasan kontinen suatu negara
dan juga harus diperhatikan perjanjian batas landas kontinen yang telah ditetapkan
oleh Indonesia dan Malaysia.

Sedangkan dasar hukum Yang digunakan oleh Indonesia Atas kepemilikan


blok Ambalat adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan kelaziman hukum Internasional karena Malaysia tidak


melakukan Klaim atas tidakan Indonesia atas kegiatan penambangan dan
eksploitasi di wilayah Blok Ambalat sejak Tahun 1960 Sebagai bukti pengakuan
Malaysia bahwa Indonesia memiliki hak berdaulat di wilayah Blok Ambalat.

2. Berdasarkan sejarah wilayah tersebut sejak zaman penjajah Belanda.


Indonesia adalah negara Kepulauan (archipelagic state). Deklarasi Negara
Kepulauan Indonesia telah dimulai ketika diterbitkan Deklarasi Djuanda tahun
1957, lalu diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Negara
Kepulauan ini juga telah disahkan oleh The United Nations Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV. Isi deklarasi UNCLOS 1982
antara lain di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas, dan sebagai
Negara Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines) dari titik-
titik terluar pulau-pulau terluar.
3. Garis Pangkal Teritorial menurut Konvensi Hukum Laut 1982
`(UNCLOS 1982) Seperti yang telah dijelaskan melalui kerangka teori, bahwa
konvensi hukum laut telah disepakati oleh negaranegara di PBB. Yang kemudian
dituangkan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Dalam UNCLOS 1982,
terdapat 3 cara penarikan garis pangkal laut teritorial atau garis dari mana laut
teritorial mulai diukur, yaitu cara penarikan garis pangkal normal (normal
baselines), cara penarikan garis pangkal lurus (straight baselines), cara penarikan
garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines).

4. Garis Pangkal Kepulauan Indonesia menurut UU No.6 Tahun 1996


mengenai perairan Indonesia. Berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia
mengiplementasikannya melalui UU NO. 6 Tahun 1996 tentang Perairan e-
Journal KomunitasYustisia Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum
(Volume 1 No. 1 Tahun 2018) Indonesia. Selanjutnya dalam pasal yang
menyatakan garis pangkal lurus yang menyatakan garis pangkal kepulauan
Indonesia tersebut dicantumkan dalam peta yang memadai untuk menegaskan
posisi Indonesia dengan dibuatnya titiktitik koordinat geografis dan lebih lanjut
diatur dalam Peraturan pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Karena adanya perubahan titik
pangkal Pulau Sipadan dan Ligitan, Karang Unarang sebagai penggantinya,
Karang Unarang terletak pada posisi 12 mil di luar batas maritim Malaysia dan 12
mil di selatan Pulau Sipadan, batas maritim klaim ini tidak pernah dibicarakan
oleh Malaysia ke Indonesia. Dengan dibangunnya mercusuar di atas Karang
Unarang dapat menjadi acuan bagi penarikan garis batas maritim laut teritorial,
zona ekonomi eksklusif, dan landasan kontinen. Sehingga Malaysia akan
kehilangan langkah untuk mengklaim Blok Ambalat yang mencakup landasan
kontinen dan perairannya sejauh 200 mil laut dari perbatasn maritim
(Ayuningtya,2014:8).

5. Garis dasar adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar,


apabila di tarik dari garis lurus itu, maka Ambalat masuk di dalamnya dan bahkan
lebih jauh ke luar lagi. Sikap itu sudah dicantumkan Indonesia dalam
UndangUndang Nomor 4 Tahun 1960, yang kemudian diakui dalam Konvensi
Hukum Laut 1982. Keberhasilan Indonesia memperjuangkan konsep hukum
negara kepulauan (archipelagic state) hingga diakui secara internasional.
Pengakuan itu terabadikan dengan pemuatan ketentuan mengenai asas dan rezim
hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi ini
ditetapkan dalam Konferensi Ketiga PBB tentang Hukum Laut di Montego Bay,
Jamaica, pada 10 Desember 1982.

6. Pada 1998 Indonesia memberikan konsesi kepada Shell untuk


melakukan eksplorasi minyak. Malaysia tahu hal itu, tapi tidak memprotes.
Malaysia baru memprotes Indonesia Akhir Tahun 2004, saat Indonesia
menawarkan konsesi baru di Blok Ambalat. Jadi dapat di simpulkan bahwa Blok
Ambalat merupakan milik indonesia karena Malaysia tidak melakukan Klaim atas
tindakan Indonesia atas kegiatan penambangan dan eksploitasi di wilayah Blok
Ambalat sejak Tahun 1960 hingga pasca keluarnya peta Malaysia tahun 1979 itu
merupakan bukti pengakuan Malaysia terhadap wilayah Blok Ambalat dan
Indonesia memiliki Hak berdaulat di wilayah tersebut. Tetapi yang menjadi
kelemahan Indonesia adalah saat pemutusan Sipadan dan Ligitan. Menjadi milik
Malaysia, Indonesia tidak meminta Mahkamah Internasional untuk memutuskan
garis perbatasan laut sekaligus.

Penyelesaiannya :

Penyelesaian klaim Malaysia dalam sengketa Blok Ambalat antara


Indonesia dan Malaysia menurut Hukum Laut Internasional yaitu dengan
memberikan kebebasan bagi kedua negara untuk memilih prosedur yang
diinginkan sepanjang itu disepakati bersama.

Dalam piagam PPB Pasal 33 (1) menyebutkan jika terjadi persengketaan


hendaknya diselesaikan dengan cara negotiation, enquiry, mediation, conciliation,
arbitration, judicial settlement resort to regional agencies or arranggements or
other peaceful means on their own choice.

Sejatinya kunci penyelesaian kasus Ambalat pada dasarnya adalah


penetapan batas maritim antara kedua negara di Laut Sulawesi. Hal ini sedang
dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia melalui jalur negosiasi. Penentuan garis
batas antara kedua negara idealnya mengacu pada UNCLOS dengan
memperhatikan segala factor yang berpengaruh, terutama faktor geografis
(panjang garis pantai, keberadaan pulau/karang kecil). Selain itu, adanya telah
adanya aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam seperti minyak/gas yang terjadi di
sekitar kawasan Ambalat sejak tahun 1960an tentunya perlu untuk
dipertimbangkan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memandang
laut sebagai satu kesatuan tak terpisahkan dari daratan, Indonesia memang sudah
selayaknya memerhatikan wilayah dan yurisdiksi maritimnya.

DAFTAR PUSTAKA :

Arsana, I Made Andi. 2007. Batas Maritim Antarnegara Sebuah Tinjauan Teknis
dan Yuridis. Yogyakarta: Gadjah Madda University Press.

Elisa Putri, Ayuningtya. 2014 Hukum internasional konflik Blok Ambalat antar
Indonesia

Munawar, Mohamed 1995, Ocean States Archipelagic Regimes in the Law of the
Sea, Dordrecht : Martinus Nijhoff,

Parthiana, I Wayan. 1990 Perjanjian Hukum Internasional bagian 1, Mandar


Maju, Bandung

United Nations Convention on the Law of the 1982 (UNCLOS 1982).


2. Konflik Natuna (Indonesia – China/Tiongkok)
Sejarah Natuna

Analisis Kasus Sengketa :

Beberapa tahun terakhir, tensi ketegangan di Laut Tiongkok Selatan sering


meninggi. Berawal dari klaim sepihak atau unilateral klaim Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) dengan sembilan garis putusnya (nine-dashed lineatau 9DL),
reklamasi dan pembangunan pangkalan militer serta infrastruktur fisik di sekitar
gugusan Kepulauan Spratly dan Paracel, hingga penentuan sepihak kawasan
tradisional penangkapan ikan yang mulai mengganggu kedaulatan Indonesia di
sekitar Kepulauan Natuna.

Sengketa Laut Tiongkok Selatan bisa dikatakan sengketa yang kompleks


sejak penerapan Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention
on the Law of the Sea-UNCLOS) 1982. Klaim yang dilakukan China yang dinilai
secara sepihak yang memasukkan perairan Natuna sebagai wilayah teritori mereka
secara otomatis menarik pemerintah Indonesia untuk ikut terlibat ke dalam
konflik sengketa wilayah Laut China Selatan tersebut walaupun Indonesia tidak
termasuk ke dalam Claimant state atas wilayah Laut China Selatan.

Penyelesaiannya:

Di dalam menyelesaikan suatu sengketa yang dialami oleh suatu negara,


ada upaya yang dapat ditempuh penyelesaiannya diantaranya:

1. Upaya penyelesaiannya secara litigasi

2. Dalam upaya penyelesaian ini dilakukan di dalam pengadilan dengan


menghadapkan secara langsung kedua belah pihak yang bersengketa. Yang mana
masing–masing memiliki kesempatan untuk mengajukan gugatan dan bantahan.

3. Upaya non - litigasi

4. Upaya secara non – litigasi adalah suatu upaya penyelesaian yang sering
disebut juga dengan alternatif penyelesaian sengketa.

Berkaitan dengan sengketa yang melibatkan negara Indonesia dengan


China terkait wilayah Laut Natuna Utara , tentunya perlu adanya upaya – upaya
yang dapat dilakukan agar kedua belah pihak mengakhiri sengketa yang
dipersengketakan itu berdasarkan upaya – upaya penyelesaian yang dijelaskan
diatas. Sebagai wilayah dan konflik dari Laut Natuna Utara , segala hal bisa
membuat persoalan menjadi panas atau tegang tak kecuali urusan mengenai
sebuah penamaan. Yang mana pemerintahan Indonesia mengubah nama Laut
Natuna Utara menjadi Laut Natuna Utara yang berada di sebelah Utara kepulauan
Natuna provinsi Kepulauan Riau.

Perubahan nama ini merupakan kegiatan serangkaian dari perencanaan dan


proses tahun 2016 lalu. Dan perubahan nama ini menyangkut pembaharuan
regulasi yakni adanya keputusan mahkamah Arbitrasi internasional yang
didasarkan pada konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS) terkait perairan
wilayah Laut Natuna Utara . Yang mana perubahan nama tersebut,
memperbaharui peta wilayah negara Indonesia. Yang mana perubahan nama
tersebut merupakan dasar dalam perkembangan hukum internasional yang
berlaku.

Menanggapi perubahan nama Laut Natuna Utara yang dilakukan oleh


negara Indonesia, juru bicara dari kementrian Luar Negeri China mengungkapkan
bahwasannya perubahan nama wilayah Laut Natuna Utara menjadi Laut Natuna
Utara adalah hal yang tidak kondusif. Penamaan laut terkadang banyak
menimbulkan berbagai permasalahan. Penamaan mengenai suatu wilayah tidak
bisa dianggap sepele terutama wilayah tersebut yang berada di wilayah
perbatasan. Artinya bahwa penamaan dapat menunjukkan siapa yang berkuasa di
wilayah tersebut dan bertujuan untuk mempertegas kepemilikan dari suatu
wilayah.

Dalam bulan Maret tahun itu, negara Indonesia dan China sepakat untuk
menyelesaikan permasalah itu dengan jalan damai yaitu dengan cara mediasi.
Untuk menyelesaikan sengketa wilayah ini, perlu melibatkan orang ketiga dalam
sengketa antara negara Indonesia dengan China. Pihak ketiga yang menjadi
mediator ini dapat menunjuk siapapun sesuai kesepakatan dari negara Indonesia
dengan China. Namun yang paling logis dalam menjadi mediator ini yaitu
Mahkamah Internasional.
Dalam hal ini, Mahkamah Internasional sebagai mediator harus bersikap
netral artinya tidak memihak diantara negara Indonesia maupun negara China.
Tentu hal inilah cara yang paling memungkinkan untuk dapat menyelesaikan
sengketa yang melibatkan negara Indonesia dengan China mengenai wilayah Laut
Natuna Utara . Yang mana kedua negara juga sudah sepakat untuk saling
menghormati satu sama lain. Pemerintah Indonesia menganggap masalah
sengketa ini sudah selesai dan hanya terjadi kesalahpahaman di antara kedua
negara.

Jadi, pada kasus ini Indonesia dan China menjadi subjek hukum yang
bersengketa dan objek yang dipersengketakan adalah wilayah laut natuna dan
berdasarkan Pasal 279 Konvensi Penyelesaian Sengketa Secara Damai (Pasific
seatlement of international dispute) , Pasal 2 Ayat (3) Piagam PBB dan Pasal 33
Ayat (1) Piagam PBB. Yang menyelesaikan sengketa secara Politik/Diplomatik
dengan Mediasi, yang menggunakan mediator secara aktif serta mempunyai
kewenangan untuk mengajukan konsep penyelesain sengketa yang dapat
diterima para pihak.

DAFTAR PUSTAKA :

https://www.researchgate.net/publication/338821361_PENYELESAIAN_
SENGKETA_DI_LAUT_NATUNA_UTARA
3. Tumpahan Minyak (Indonesia – Singapura)

Pada tahun 2015 kemarin Indonesia dikejutkan dengan peristiwa tumpahan


minyak yang menggenangi wilayah perairan Indoneia di sebelah barat daya,
tepatnya perbatasan Indonesia dengan Singapura di wilayah Selat Malaka.
Tumpahan minyak yang disebabkan oleh tabrakan yang terjadi antara kapal MT
Alyarmouk dari Libya dengan kapal MV Sinar Kapuas yang merupakan milik
pemerintahan singapura.

Akibat dari tabrakan ini, tumpahan minyak yang disebabkan oleh kpal
tersebut mencemari laut. Tumpahan minyak tidak hanya mencemari laut
Singapura namun Indonesia pun mendapat imbas dari peristiwa tersebut. Pulau
Bintan adalah salah saatu pulau terluas dan merupan satu pulau yang paling
terancam, pasalnya lokasi kecelakaan hanya 18,6 mill dari pulau bintang.
Tumpahan minyak ini di khawatirkan akan menimbulkan efek rusaknya ekosistem
laut yang berada di sekitaran pulau Bitan. (indo. Wsj.com)

Efek tumpahan minyak terhadap ekosistem laut

Ketika Oil Spil jatuh ke lingkungan laut, maka secara otomatis lingkungan
laut akan mengalami perubahan. Dimana perubahan itu mengarah pada hilangnya
fraksi minyak yang telah tumpah itu akan terurai oleh lingkungan laut,tetapi
membutuhkan waktu yang lama, tergantung pada karakteristik awal fisik kimiawi
minyak.

Polutan dan jenis minyak mentah yang ada di perairan sering menjadi isu-
isu lingkungan sehingga dapat menjadai ancaman terkait dengan iklim investasi.
Secra tidak langsung, pencemaran yang terjadi akibat minyak yang menggenangi
lautan dengan sususna yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan
mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.

Analisis Kasus Sengketa :

Pertanggungjawaban hukum mengenai Yurisdiksi pidana dalam perkara


tabrakan laut atau tiap insiden pelayaran lainnya diatur dalam ketentuan Pasal 97
UNCLOS yang isinya menerangkan sebagai berikut (terjemahan Indonesia):
1. Dalam hal terjadinya suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun
yang menyangkut suatu kapal laut lepas, berkaitan dengan tanggung jawab pidana
atau disiplin nakhoda atau setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tidak boleh
diadakan penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang yang demikian
kecuali di hadapan peradilan atau pejabat administratif dari atau Negara bendera
atau Negara yang orang demikian itu menjadi warganegaranya.

2. Dalam perkara disiplin, hanya Negara yang telah mengeluarkan izin


nakhoda atau sertifikat kemampuan atau ijin yang harus merupakan pihak yang
berwenang, setelah dipenuhinya proses hukum sebagaimana mestinya, untuk
menyatakan penarikan sertifikat demikian, sekalipun pemegangnya bukan
warganegara dari Negara yang mengeluarkannya.

3. Tidak boleh penangkapan atau penahanan terhadap kapal, sekalipun


sebagai suatu tindakan pemeriksaan, diperintahkan oleh pejabat manapun kecuali
oleh pejabat pejabat dari Negara bendera.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, maka apabila terjadi tabrakan kapal


yang menyebabkan lingkungan tercemar maka dapat diajukan di tempat bendera
kapal tersebut. Karena dalam kecelakaan tersebut kapal berbendera Libya
teregristasi di Libya maka dapat dilakukan gugatan di tempat kapal tersebut
berasal.

Melihat dampak pencemaran lingkungan yang berdampak sistemik dan


merugikan masyarakat Indonesia, maka pemerintah dapat mengajukan gugatan di
Pengadilan Singapura untuk meminta pertanggungjawaban korporasi atas kapal
yang bertabrakan dan telah mencemari lingkungan di perairan Indonesia.
Konvensi UNCLOS mengatur mengenai persoalan tanggung jawab dan kewajiban
ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Hal ini
dijelaskan dalam ketentuan Pasal 235 Konvensi UNCLOS yang menegaskan
bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban
internasional mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga
semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum
internasional.
Menurut Pasal 223 UNCLOS mengenai Tindakan-tindakan untuk
memudahkan penuntutan, dalam hal penuntutan yang diadakan sesuai dengan Bab
ini, Negara-negara harus mengambil tindakan-tindakan untuk memudahkan
didengarnya para saksi dan penyerahan bukti yang disampaikan oleh
penguasapenguasa Negara lain, atau oleh organisasi internasional yang kompeten,
dan harus memudahkan kehadiran pada sidang-sidang tersebut wakil-wakil resmi
dari organisasi internasional yang kompeten, Negara bendera dan Negara
manapun yang terkena pencemaran yang diakibatkan oleh setiap pelanggaran.
Wakil wakil resmi yang mengikuti sidang-sidang dimaksud harus mempunyai hak
dan kewajiban sesuai degnan peraturan perundang-undangan nasional atau hukum
internasional.

Pertanggungjawaban hukum atas tindakan melawan hukum terkait


pencemaran lingkungan diatur oleh Undang-Undang Linkungan Hidup Nomor 32
Tahun 2009. Setiap orang yang dimaksud dalam Undang-Undang ini bukan hanya
orang perseorangan, tetapi juga termasuk badan korporasi atau perusahaan. Pasal
53 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan:

“a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan


lingkungan hidup kepada masyarakat;

b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;


dan/atau

d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi.”

Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan


hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Pemulihan fungsi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar:
b. remediasi;

c. rehabilitasi;

d. restorasi; dan/atau

e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang


kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan
oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang atau personal atau badan
hukum dalam hal ini Perusahaan yang berada dalam jurisdiksinya.

Setiap Negara harus bekerja sama dalam menerapkan hukum internasional


yang mengatur tanggung jawab atas kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas
kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya
seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.

Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara merupakan prinsip
yang sangat penting dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi
pelanggaran kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab Negara.

Pelanggaran kewajiban internasional tersebut seperti tidak melaksanakan


ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah
mengikat negaranya. Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur
tanggung jawab Negara dalam hukum internasional. Selama ini persoalan
tanggung jawab Negara mengacu pada Draft Articles on Responsibility of States
for International Wrongful Acts yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional
International Law Commission (ILC) yang menyatakan: setiap tindakan negara
yang salah secara internasional membebani kewajiban Negara yang bersangkutan.

Klaim terhadap kerusakan pencemaran di bawah Konvensi UNCLOS


hanya dapat ditujukkan pada pemilik kapal terdaftar. Hal ini tidak menghalangi
korban mengklaim kompensasi ganti rugi diluar konvensi ini dari orang lain selain
pemlik kapal. Namun demikian, konvensi melarang melakukan klaim kepada
perwakilan atau agen pemilik kapal. Pemilik kapal harus mengatasi masalah klaim
dari pihak ketiga berdasarkan hukum nasional yang berlaku.
Kemudian berdasarkan Internasional Convention on Civil Liability for oil
Pollution Damage 1969, perusahaan kapal (shipowners) tersebut
bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) terhadap pencemaran yang
diakibatkan oleh kapal miliknya tersebut. Pemilik kapal memiliki kewajiban
untuk mencegah terjadinya pencemaran laut tersebut. Dalam hal ini Kapal
Alyamourk merupakan kapal yang terdaftar di Libya, maka konsekuensi
hukumnya adalah pemilik kapal tersebut bertanggungjawab atas kerugian yang
terjadi.

Penyelesaiannya :

Penyelesaian Sengketa Internasional dapat dilakukan dengan berbagai


cara. Indonesia dapat secara diplomatis melakukan komunikasi terhadap pihak
terkait yaitu Libya guna meminta ganti rugi atas pencemaran yang terjadi. Para
pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara yang
diatur dalam Pasal 33 Piagam PBB di antaranya: negosiasi, penyidikan, mediasi,
konsiliasi, dan cara-cara damai lainnya menurut pilihan para pihak. Indonesia
dapat menginisiasi penyelesaian yudikatif maupun semi yudikatif seperti arbitrase
ataupun pengadilan laut internasonal dan juga dapat melalui Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Mengenai penanggulangan atas
pencemaran laut yang terjadi, Indonesia dapat mengajukan permohonan 84 kerja
sama ke semua negara di dunia dalam membantu menanggulangi pencemaran laut
yang telah terjadi akibat dari insiden tabrakan kapal.

DAFTAR PUSTAKA

http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/4550/140200068.pd

f?sequence=1&isAllowed=y
- Kunjungi 3 jurnal hukum (Uti possidetis, Undang, dan Jambe Law
Journal)
 Screenshoot 3 judul artikel yang dibaca dan dikirim ke group WA
HLI
 Dikumpul hari kamis tanggal 14 Mei 2020 paling lambat pukul
16.00 wib

JAWAB :

Sudah saya baca dan screenshoot sudah dikirim ke group WA pada


hari kamis, 14 Mei 2020 pukul 07.52 WIB.

- Isi angket penilaian terhadap capaian pembelajaran (CP) program


studi Ilmu Hukum UNJA
JAWAB :

Anda mungkin juga menyukai