Anda di halaman 1dari 7

Resume Buku Bab 7 (bagian D,E,F)

D. Kapasitas Pulau untuk Membentuk Zona Maritim


Sebagaimana telah dibahas dalam Bab 2 , Konvensi Hukum Laut 1982 berisi ketentuan -
ketentuan yang mengatur berbagai zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda.
Secara garis besar, konvensi membagi laut ke dalam dua bagian zona maritim , yaitu zona yang
berada di bawah dan di luar kota nasional . Zona - zona maritim yang berada di bawah kendali
penuh suatu negara pantai adalah perairan pedalaman , perairan kepulauan bagi negara
kepulauan , laut teritorial , dan bagian - bagian tertentu dari selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional . Konvensi Hukum Laut 1982 juga mengakui adanya zona - zona
maritim di mana negara pantai hanya dapat melaksanakan wewenang-wewenang terbatas serta
hak - hak khusus . Zona - zona maritim yang termasuk dalam kategori ini adalah jalur
tambahan , zona ekonomi eksklusif , dan landasan kontinen . Adapun zona - zona maritim yang
berada di luar yurisdiksi nasional adalah laut lepas dan kawasan dasar laut internasional . Pada
umumnya , menurut Pasal 121 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982 , pulau sebagaimana halnya
dengan wilayah daratan lainnya , dapat membentuk zona maritim . Setiap pulau yang termasuk
dalam pengertian Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 dapat mempunyai laut

1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan


Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya , bedasarkan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982
lebar laut teritorial dari suatu pulau dapat mencapai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut
diukur dari garis pangkal pulau tersebut . Laut teritorial secara hukum merupakan perluasan dari
kedaulatan wilayah negara pantai . Negara pantai menurut Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982
mempunyai wewenang untuk menetapkan jalur tambahan yang lebarnya tidak boleh melebihi 24
mil laut diukur dari garis pangkal yang dipergunakan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya .

2. Zona Ekonomi Eksklusif


Dimuka telah disinggung bahwa Pasal 57 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa lebar
zona ekonomi eksklusif dari suatu pulau dapat mencapai suatu batas yang tidak boleh melebihi
200 mil laut diukur dari garis pangkal pulau tersebut .

3. Landas Kontinen
Menurut Pasal 76 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa lebar landas kontinen dari suatu
pulau juga tidak boleh melebihi 200 mil laut diukur dari garis pangkal pulau tersebut . Akan
tetapi , menurut Pasal 76 ayat 4-7 bahwa lebar landas kontinen dapat melebihi batas jarak 200
mil laut , apabila masih ada kelanjutan alamiah .
4. Perairan Pedalaman
Di samping zona - zona maritim di atas , pulau juga dapat membentuk perairan pedalaman .
Menurut Pasal 8 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa perairan yang terletak pada sisi darat
dari garis pangkal yang dipergunakan untuk menetapkan laut teritorial suatu negara dapat
membentuk perairan pedalaman . Berbeda dengan pulau yang terbentuk secara alamiah , pulau -
pulau buatan tidak mempunyai status sebagai pulau , sehingga tidak mempunyai laut wilayahnya
sendiri . Dengan demikian , keberadaan pulau - pulau buatan di zona ekonomi eksklusif tidak
mempengaruhi penetapan lebar laut wilayah , zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen .
Berikut ini akan dibahas mengenai pengaturan pulau dalam peraturan perundang undangan
Indonesia .

E. Pengaturan Hukum Nasional Indonesia tentang Pulau - Pulau Kecil


Definisi pulau yang ditetapkan dalam Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 ditemukan
dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 Undang - Undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia .
Ketentuan pasal ini mendefinisikan pulau sebagai daerah daratan yang terbentuk secara alamiah
dikelilingi oleh air dan yang berada di atas permukaan air pada waktu air pasang . Seperti telah
dikemukakan dalam Bab 2 , wilayah pesisir dan lautan Indonesia meliputi pula ribuan pulau
yang berjumlah 17.504 pulau , Pulau pulau tersebut baik pulau besar maupun pulau kecil ,
sebagian telah berpenghuni dan ada juga yang belum berpenghuni .

1. Undang - Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau
Kecil dan Undang - Undang No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No.27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.
Pertimbangan penetapan Undang - Undang No.Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil yang diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007 adalah
sebagai berikut : Bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber
daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang
dikuasai oleh negara , yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar - besar
kemakmuran rakyat , baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang ;

B. Bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil memiliki keragaman potensi Sumber Daya
Alam yang tinggi , dan sangat penting bagi pengembangan sosial , ekonomi , budaya ,
lingkungan , dan penyangga kedaulatan bangsa , oleh karena itu perlu dikelola secara berkelan
jutan dan berwawasaan global , dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat , dan
tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional
C. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b , perlu
membentuk Undang - Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil .
Ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang - Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil memberikan pengertian tentang pulau kecil , yaitu pulau dengan
luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² ( dua ribu kilometer persegi ) beserta kesatuan
ekosistem . Asas - asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil yang tercantum
dalam Pasal 3 Undang - Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau - Pulau Kecil adalah :
a . Keberlanjutan ;
b . Konsistensi ;
c . Keterpaduan ;
d . Kepastian hukum ;
e . Kemitraan ;
f . Pemerataan ;
g. Peran serta masyarakat
h. Keterbukaan
i. Desentralisasi
j. Akuntabilitas
k. Keadilan

Adapun Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil menurut Pasal 4 Undang - Undang
No. 27 Tahun 2007 bertujuan untuk :
a ) Melindungi , mengkonservasi merehabilitasi , memanfaatkan dan memperkaya Sumber Daya
Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan ;
b ) Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam
pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil ;
c ) Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif
masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil agar tercapai
keadilan , keseimbangan , dan keberlanjutan ; dan
d ) Meningkatkan nilai sosial , ekonomi , dan budaya masyarakat melalui peran serta Masyarakat
dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil .
Apalagi berdasarkan ketentuan Pasal 6 , bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau
Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan
kegiatan :
a . Antara pemerintah dan pemerintah daerah ;
b . Antar pemerintah daerah ;
c. Antara sektor ;
d . Antara pemerintah , dunia usaha , dan masyarakat ;
e . Antara ekosistem darat dan ekosistem laut ; dan
f . Antara ilmu pengetahuan dan prinsip - prinsip manajemen .

Selanjutnya , Pasal 7 ( 1 ) menetapkan , bahwa Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau Pulau Kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 5 , terdiri atas :
a . Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP -
3-K;
b . Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kech yang selanjutnya disebut RZWP - 3 -
K;
c . Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil yang selanjutnya disebut
RPWP3 - K ; dan
d . Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil yang selanjutnya disebut
RAPWP - 3 - K .

Dalam Perencanaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ( RZWP - 3 - K )
menurut ketentuan ayat 3 , perlu kiranya dipertimbangkan hal - hal sebagai berikut :
a . Keserasian , keselarasan , dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem , fungsi
pemanfaatan dan fungsi perlindungan , dimensi ruang dan waktu , dimensi teknologi dan sosial
budaya , serta fungsi pertahanan dan keamanan ;
b . Keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya , fungsi , estetika lingkungan , dan
kualitas lahan pesisir ; dan
c . Kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah
Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi .
Sehubungan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ( RZWP - 3 - K )
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 , Pasal 10 menyatakan , bahwa RZWP - 3 - K terdiri atas :
a . Pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum , Kawasan Konservasi , Kawasan
Strategis Nasional Tertentu , dan alur laut ;
b. Keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion ;
c. Penetapan pemanfaatan ruang laut ; dan
d . Penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi , sosial budaya , ekonomi ,
transportasi laut , industri strategis , serta pertahanan dan keamanan .

Pasal 11 ayat 1 yang mengatur Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil
Kabupaten / Kota ( RZWP - 3 - K ) Kabupaten / Kota berisi arahan tentang :
a . Alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum , rencana Kawasan Konservasi ,
rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu , dan rencana alur ; dan
b . Keterkaitan antarekosistem Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil dalam suatu bioekoregion .

Dalam ketentuan Pasal 12 ayat , disebutkan bahwa Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau - Pulau Kecil ( RPWP - 3 K ) berisi :
a . Kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang
diizinkan dan yang dilarang ;
b . Skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan
Pulau - Pulau Kecil ;
c. Jaminan jaminan terakomodasikannya pertimbangan - pertimbangan hasil konsultasi publik
dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan
perizinan ;
d . Mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan
informasi yang akurat dan dapat diakses ; serta
e . Ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimple mentasikan kebijakan dan
prosedurnya .
Menurut ketentuan ayat 2 , bahwa RPWP - 3 - K berlaku selama 5 ( lima ) tahun dan dapat
ditinjau kembali sekurang - kurangnya 1 ( satu ) kali . Sehubungan dengan Rencana Aksi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil , Pasal 13 menyatakan , bahwa:
( 1 ) RAPWP - 3 - K dilakukan dengan mengarahkan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi
sebagai upaya mewujudkan rencana strategis dan
( 2 ) RAPWP - 3 - K berlaku 1 ( satu ) sampai dengan 3 ( tiga ) tahun .

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 23 ayat 1 dinyatakan , bahwa Pemanfaatan Pulau - Pulau
Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara
menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya . Dalam ketentuan ayat 2 dinyatakan ,
bahwa Pemanfaatan Pulau - Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah
satu atau lebih kepentingan berikut :
a . Konservasi ;
b . Pendidikan dan pelatihan ;
c . Penelitian dan pengembangan ;
d . Budidaya laut ;
e . Pariwisata ;
f . Usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari ;
g . Pertanian organik ; dan / atau
h . Peternakan ,
i .Pertanian organik ;
j . Peternakan .
2. Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau - Pulau Kecil Terluar
Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 27 ayat 2 Undang - Undang No.27 Tahun 2007 yang
disebutkan di atas , telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 2010 tentang
Pemanfaatan Pulau - Pulau Kecil Terluar . Pasal 1 ayat 1 peraturan pemerintah ini , memberikan
pengertian Pulau Kecil , yakni pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² ( dua
ribu kilometer persegi ) beserta kesatuan ekosistemnya

F. Penutup Berdasarkan pada uraian di atas dapat dikemukakan bahwa ketentuan ketentuan yang
menyangkut rezim pulau dalam Konvensi Hukum Laut 1982 mampu mengakomadasikan
kepentingan negara - negara di dunia . Berdasarkan ketentuan Pasal 121 ayat 2 Konvensi Hukum
Laut 1982 , pulau dapat membentuk zona maritim . Setiap pulau yang termasuk dalam lingkup
pengertian Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 dapat mempunyai laut teritorialnya dan
jalur tambahan . Hanya saja hak negara untuk mendapat perluasan zona maritim , yaitu zona
ekonomi eksklusif , dan landas kontinen dibatasi oleh pengecualian yang ditetapkan dalam Pasal
121 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 .
Sebagai negara kepulauan , Indonesia telah menerbitkan pelbagai peraturan perundang -
undangan mengenai pulau - pulau kecil dan pulau , antara lain Undang - Undang No.27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil dan Undang - Undang No.1
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil dan Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 2010 tentang
Pemanfaatan Pulau - Pulau Kecil Terluar ,
Upaya perbaikan dan penyempurnaan Undang - Undang No.27 Tahun 2007 memperlihatkan
semakin berkembangnya k kebutuhan hukum di masyarakat . Hal ini ditandai dengan diakuinya
kedudukan masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam penyusunan rencana zonasi dan peman
faatan pulau - pulau dan perairan di sekitarnya . Untuk itulah , semua instansi pemerintah yang
terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan pulau pulau kecil harus meningkatkan kerjasama
dan kordinasinya .

Anda mungkin juga menyukai