Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia yang terdiri dari
17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke. Luas total wilayah Indonesia adalah 7,81
juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta
km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Mengingat luas wilayah laut Indonesia lebih luas
dari wilayah daratan, menjadikan sumber daya pesisir dan lautan memiliki potensi yang
sangat penting , karena di wilayah pesisir dan lautan menyediakan berbagai sumber
daya alam, baik hayati maupun non-hayati yang bernilai ekonomis dan ekologis yang
tinggi. Wilayah pesisir memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya.
Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan
pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara
khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan.

Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus


dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada
semua stakeholders terutama masyarakat pesisir. Saat ini terdapat UU No. 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, dimana dalam Pasal 1 angka 2 UU tersebut
mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Pasal 2 menyebutkan bahwa ruang
lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke
arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua
belas) mil laut di ukur dari garis pantai.

Isu utama yang dihadapi dalam menghadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir
ini yaitu isu konflik pemanfaatan dan kewenangan di wilayah pesisir sehingga
mengurangi efektivitas pengelolaan pesisir secara lestari dan ketidakpastian hukum

1
sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir.
Secara kuantitatif terdapat 80% issue pesisir akibat interaksi antara manusia yang
memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan lingkungannya dan akibat tindakan pihak lain
misalnya kerusakan karang, deforestasi mangrove, pengerukan pasir laut yang dilakukan
oleh nelayan, penyelam, masyarakat, HPH dan pengusaha besar. Persoalan mendasar
adalah tidak efektifnya pengelolaan sumberdaya pesisir untuk mengalokasikan dan
memanfaatkan sumberdaya secara lestari.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implikasi dan Regulasi terhadap Aturan di Wilayah Pesisir serta Aspek
Kelembagaanya?
2. Apa saja Pemicu terjadinya Persoalan Pesisir dan Bagaimana Solusi
Mengatasinya?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui implikasi banyaknya aturan diwilayah pesisir


2. Untuk mengetahui regulasi antara norma yang ada
3. Untuk mengetahui aspek kelembagaan diwilayah pesisir
4. Untuk mengetahui pemicu persoalan pesisir dan solusinya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Implikasi

1. Implikasi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


Berkenaan dengan diundangkannya UU No.26 Tahun 2007 yang
kemudian disebut undang-undang tata ruang maka menumbulkan konsekuensi
atau akibat langsung dari penerapannya. Bila dikaitkan dengan wilayah pesisir,
maka undang-undang ini akan menyinggung mengenai tata ruang wilayah pesisir
yang mana akan mencakup beberapa ruang lingkup. Undang-Undang ini
berkaitan dengan bagaimana negara mengatur tata ruang wilayah atau daerah
agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah
dibuat.Penataan ruang yang baik di kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
akan memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat secara
keseluruhan dan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi disamping
lingkungan ,tertib dan berkelanjutan.

2. Implikasi UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan


Konsekuensi hukum dari pelaksanaan undang-undang ini adalah
dilakukannya perlindungan, pengaturan, serta pengelolaan sumber daya dalam
bidang perikanan di Indonesia agar tidak terjadi tindakan ilegal yang dilakukan
tanpa izin. Memberi pengaturan mengenai

3. Implikasi UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan


UU No. 32 Tahun 2014 ini terdiri dari 13 bab. Ada beberapa implikasi dari
lahirnya UU ini.Pertama, lahirnya Badan Keamanan Laut sebagai implikasi dari
pasal 59. Bakamla merupakan badan penting dalam pengamanan dan
penegakan hukum di laut yang berada langsung di bawah presiden. Penjelasan
lebih detail terkait Bakamla ada pada pasal 60,61, dan 62. Kedua, pasal 30
memiliki implikasi bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengembangkan dan meningkatkan penggunaan angkutan perairan dalam

3
rangka konektivitas antarwilayah, pemerintah harus melaksanakan kebijakan
pengembangan armada nasional dalam laut, pemerintah mengatur kebijakan
sumber pembiayaan dan perpajakan yang berpihak pada kemudahan
pengembangan sarana prasarana laut, dan pemerintah memfasilitasi sumber
pembiayaan usaha perhubungan laut. Ketiga, pasal 58 memiliki implikasinya
dibentuklah sistem pertahanan laut.

4. Implikasi UU No.27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang


WP3K
Penjelasan UU No.27 Tahun 2007 Pasal 2 menyatakan bahwa:
Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Wilayah
Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan
ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau Kecil dan
perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi
cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan
masyarakat. Dalam implementasinya, ke arah laut ditetapkan sejauh 12 (dua
belas) mil diukur dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai
dengan batas kecamatan untuk kewenangan provinsi. Kewenangan
kabupaten/kota ke arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut
kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Pasal 2 tersebut mengamanatkan bahwa kewenangan
Departemen Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaannya mencakup ekosistem
mangrove, hal tersebut diperkuat oleh definisi wilayah pesisir (UU No.27/2007
pasal 1 ayat 2) yang dinyatakan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan habitat
hidup mangrove berada pada kawasan pesisir.
Apabila dipadukan dengan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 terutama
yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove maka Departemen Kehutanan
memiliki kewenangan atas dasar pengelolaan hutan, hal tersebut tergambar
dalam pasal Pasal 1 ayat 2 tentang definisi hutan, Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 21,
maka akan terlihat bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan (UU No.27/2007)

4
berwenang mengelola hutan/ekosistem hutan mangrove berdasarkan
kawasannya atau ekosistemnya (wilayah pesisir) sedangkan Departemen
Kehutanan (UU No. 41/1999) memiliki wewenang pengelolaan terhadap
hutannya. Walaupun pada Pasal 1 ayat 3 UU No. 41/1999 menyatakan bahwa
hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa
yang berasal dari hutan. Fakta ini menunjukkan adanya dua instansi yang
berwenang dalam mengelola wilayah/ekosistem yang sama.
Sehubungan dengan kewenangan pengelolaan kawasan pesisir
Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan UU No.27/2007, maka
departemen ini berhak atas Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yaitu : Rencana Strategis
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3- K), Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K). (Pasal 7 ayat 1).
Adanya kewenangan Departemen Kehutanan dalam Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990), Kewenangan Menteri
Lingkungan Hidup (UU No.23/1997 tentang), Kewenangan setingkat Menteri
yang ditunjuk sebagai koordinator oleh Presiden (UU No. 26/2007), UU No. 5
tahun 1974, dan Kewenangan Menteri Pekerjaan Umum (UU No. 11 tahun 1974)
dalam pengelolaan hutan mangrove maka dirasakan semakin mendesak adanya
kebijakan pemerintah dalam pengaturan pengelolaan tersebut. Sampai saat ini
belum ada pejabat setingkat menteri yang mengkoordinasikan pengelolaan
Hutan Mangrove antar departemen maupun non depertemen.

5. Implikasi Yuridis dengan diundangkannya Udang-Undnag Nomor 23


Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Kewenangan
Pengelolaan Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil.
Implikasi dengan diberlakukannya Undang-Undang 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah adalah Undang-Undang tersebut tidak
sepenuhnya memberikan kewenangan atau mengurangi kewenangan
pengelolaan sumber daya di wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil terhadap

5
Kabupaten/Kota. Pada pembagian urusan pemerintahan konkuren (lampiran)
Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah kewenangan
kabupaten/kota hanya diberikan untuk mengelola perikanan tangkap dan
perikanan budidaya (diluar perairan pesisir). Hal tersebut mengakibatkan
terjadinya ketidakjelasan penafsiran terhadap peraturan tersebut. Hambatan-
hambatan kewenangan pengelolaan wilayah laut terkait di sahkannya . Undang
Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah adalah terjadinya konflik
norma antara lampiran Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil.
6. Implikasi UU no 10 tahun 2009 tentang Prawisata di pesisir
Strategi pengembangan pariwisata pantai yang belum optimal masih
menimbulkan masalah, antara lain konflik yang terjadi pada penerapan strategi
kerjasama tiga pilar good governance. Selain itu pengelolaan daerah pesisir
pantai yang belum optimal juga berdampak pada income yang didapat
pemerintah, khususnya Pendapatan Asli Daerah juga belum mencapai titik
optimal.

7. Implikasi UU No.27/2007 terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove

Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Wilayah


Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan
ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau Kecil dan
perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi
cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan
masyarakat.
Dalam implementasinya, ke arah laut ditetapkan sejauh 12 (dua belas)
mil diukur dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan
batas kecamatan untuk kewenangan provinsi. Kewenangan kabupaten/kota ke
arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi
sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

6
Pasal 2 tersebut mengamanatkan bahwa kewenangan Departemen
Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaannya mencakup ekosistem mangrove,
hal tersebut diperkuat oleh definisi wilayah pesisir (UU No.27/2007 pasal 1 ayat
2) yang dinyatakan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan habitat hidup
mangrove berada pada kawasan pesisir.

B. Regulasi Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut


1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea)
1982, disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS
1982. UNCLOS 1982 tidak mengatur secara khusus dalam pasal-pasal nya tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan laut. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan yang ada di laut memerlukan
pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tanpa
merusak lingkungan laut, sehingga dapat digunakan untuk kemakmuran umat manusia.
Pengaturan tentang pentingnya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur dalam
UNCLOS 1982 Part XII tentang Protection and Preservation of the Marine Environment.

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention


on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, membawa konsekuensi kepada NKRI untuk
memperbarui ketentuan tentang Perairan Indonesia seperti diatur dalam Undang-undang
Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia dan disesuaikan dengan perkembangan rezim baru negara
kepulauan sebagaimana di muat dalam Bab IV UNCLOS 1982.

Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut tidak dijelaskan secara
terinci, tetapi hanya di atur tersirat dalam Bab IV tentang Pemanfaatan,Pengelolaan,
Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-
prinsip sustainable development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut.
Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa: “Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan

7
pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional”.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam di perairan


Indonesia, dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (3), bahwa: “Apabila diperlukan untuk meningkatkan
pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.”

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan


Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025

Pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan merupakan bagian dari rencana


pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah sesuai RPJP Nasional Tahun 20052025,
tertuang dalam Bab II – huruf I yang mengatur mengenai Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Hidup. Dalam Bab II-huruf I dinyatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup
memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai penopang
sistem kehidupan. Adapun jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan
karbon, pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang
kehidupan manusia.

Arah pembangunan untuk mengembangkan potensi sumber daya kelautan menurut


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional adalah pendayagunaan dan
pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui
pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan
tetap menjaga kelestariannya. Mengingat kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan
sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan
perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial,
dan lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam integrated coastal
management .

4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir


dan Pulau-pulau Kecil

Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi dengan kegiatan
pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-

8
undangan tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi
kepada eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian
sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan
lingkungan. Seperti disebutkan dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang PWP-PK, bahwa :

“Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan,


pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.”

Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir


dan laut sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan norma diberi
dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya
pengelolaan wilayah pesisir.

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, dalam Pasal 3 tentang Asas dan
Tujuan, menyatakan bahwa:

“Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan: (a) keberlanjutan; (b)
konsistensi; (c) keterpaduan; (d) kepastian hukum; (e) kemitraan; (f) pemerataan; (g) peran
serta masyarakat; (h) keterbukaan; (i) desentralisasi; (j) akuntabilitas; dan (k) keadilan.”

Asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK
merupakan implementasi dari prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam integrated coastal
management. Implementasi dari prinsip-prinsip tersebut dalam Undang-undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang PWP-PK disesuaikan dengan kondisi geografis dan masyarakat di
Indonesia. Konsistensi dan keterpaduan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir
sesuai dengan asas-asas tersebut memerlukan pengawasan dan evaluasi, baik oleh Pemerintah
atau stakeholders.

Terdapat 15 prinsip dasar yang patut diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yang mengacu pada J.R. Clark (1992):

“(1)resources system; (2) the major integrating force; (3) integrated; (4) focal point; (5) the
boundary of coastal zone; (6) conservation of common property resources; (7) degradation
of conservation ; (8) inclusion all levels of government; (9) character and dynamic of nature;

9
(10) economic benefits conservation as main purpose; (11) multipleuses management; (12)
multiple-uses utilization; (13) traditional management; (14) environment impact analysis.”

Sesuai dengan prinsip-prinsip integrated coastal management, sebagaimana diatur


dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK pengelolaan wilayah
pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati,
sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara menciptakan keharmonisan dan sinergi antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, mengikutsertakan peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah Perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir mengintegrasikan berbagai
perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan
saling penguatan pemanfaatannya diatur dalam Bab IV–Perencanaan, dari Pasal 7 sampai
dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.

Perencanaan wilayah pesisir terbagi dalam 4 (empat tahapan) yang secara rinci akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana zonasi; (3)
rencana pengelolaan; dan (4) rencana aksi sesuai dengan Prinsip 1 dan 3 dari integrated
coastal management.

Pemanfaatan yang optimal terhadap wilayah pesisir berdasarkan Prinsip 12 dan 14


dalam integrated coastal management, diimplementasikan dengan diberikannya Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) oleh Pemerintah seperti diatur dalam Pasal 16 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang PWP PK. Dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2)
bahwa HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut.

Menurut Pasal 18 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, HP3


diberikan oleh Pemerintah kepada orang perorangan Warga Negara Indonesia, dan badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau masyarakat adat. Tetapi ada
beberapa daerah yang tidak dapat diberikan HP-3 yaitu kawasan konservasi, suaka perikanan,
alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum seperti yang diatur dalam Pasal 22
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.

Selanjutnya, dalam Pasal 1 butir 18, HP-3 yang diberikan oleh Pemerintah adalah
bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha
lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang

10
mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas
keluasan tertentu.

Ketentuan tentang HP-3 tersebut akan menimbulkan perbedaan penafsiran jika dikaitkan
dengan ketentuan tentang hak-hak yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria Bab II Bagian 1, Pasal 16 Ayat (1) dan Ayat (2).

Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, hak atas
tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi di
bawahnya. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria, bahwa pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam
bumi, air dan ruang angkasa perlu diatur. Pada dasarnya kekayaan sumberdaya alam di wilayah
pesisir juga merupakan bagian dari kekayaan alam yang di maksud dalam Pasal 8 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tetapi Penjelasan Pasal 8 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria pada dasarnya menyebutkan bahwa
hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi, maka wewenang-wewenang
yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung
dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa, sehingga pengambilan kekayaan tersebut
memerlukan pengaturan tersendiri.

Mengacu pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Pasal
16 Ayat (2) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang tentang PWP-PK , maka HP-3 atas
wilayah pesisir, merupakan suatu aturan baru dalam pengelolaan wilayah pesisir yang belum
pernah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria, maupun Undang-
undang lainnya.

Berbeda dengan hak –hak atas tanah seperti diatur dalam Pasal 16 Undangundang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, maka HP-3 diberikan oleh Pemerintah
dalam luasan dan waktu tertentu, seperti disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2). Partisipasi
masyarakat sekitar lokasi dan masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah pesisir diatur dalam
Pasal 18 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Keberadaan masyarakat adat
yang telah memanfaatkan pesisir secara turun temurun, seperti sasi, hak ulayat laut, terhadap
mereka sesuai Undang-undang harus dihormati dan dilindungi seperti diatur dalam Pasal 61
ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.

11
Mengacu pada prinsip 5 dan 6 dari integrated coastal management, untuk menghindari
perbedaan penafsiran, pembagian dan penentuan batas wilayah pesisir terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya integrasi dan koordinasi dengan sektor lain yang
terkait, terutama dalam konservasi sumberdaya alam milik bersama (common property
resources) sehingga tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.

Pembagian zonasi wilayah pesisir sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 27


tahun 2007 tentang PWP-PK sangat terkait dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
yaitu membagi wilayah laut untuk keperluan administrasi dan batas kewenangan di daerah.
Selanjutnya, untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di darat dan dasar laut, maka Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan akan menyesuaikan dengan Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.

Penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir menurut


Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK ditempuh melalui pengadilan dan/atau
di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan
dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti
kerugian, atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh para pihak yang kalah dalam
sengketa. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dilakukan dengan cara konsultasi,
penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsultasi, arbitrasi atau melalui adat
istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian


Pencemaran dan/atau Perusakan Laut

Peraturan Pemerintah ini mewajibkan setiap orang atau penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan upaya pencegahan dan bertanggung jawab terhadap
perusakan/pencemaran laut. Ketentuan dalam Bab V tentang Penanggulangan Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut, dalam Pasal 15 menetapkan bahwa:

“Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau
perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.”

12
Pemanfaatan secara berlebihan terhadap sumberdaya di wilayah pesisir tanpa
mengindahkan kelestarian lingkungan pesisir, akan mengakibatkan rusaknya ekosistem di
wilayah pesisir.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan


Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Kewenangan Pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya alam diatur dalam


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, danPemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007).

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, sedangkan yang
termasuk pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir (Kelautan dan Perikanan) diatur dalam Pasal
2 Ayat (4) butir c, dan merupakan bagian dari urusan pemerintahan yang dapat dibagi bersama
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 mengatur mengenai Urusan pemerintahan


yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah terbagi dalam urusan wajib dan urusan
pilihan. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut merupakan bagian dari kelautan dan perikanan,
yang dalam ketentuan ini merupakan bagian dari urusan pilihan yang menjadi kewenangan
Pemerintahan Daerah.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam


pengelolaan wilayah pesisir hanya terbatas pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintas
Kabupaten/Kota dan untuk menghindari konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota serta
kewenangan yang tidak/belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

a) Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir di Daerah

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa pemerintah


daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

13
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat belum pernah memberikan
otonomi yang nyata dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah pesisir. Status Quo
kewenangan daerah ini tidak menjadi perhatian Pemerintah, karena kegiatan ekonomi
yangberlangsung di wilayah pesisir dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang
menguntungkan instansi sektoral dan usaha tertentu.

Pasal 18 ayat (10) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
disebutkan bahwa:

”Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut.”

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan


wilayah pesisir hanya terbatas pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota
dan untuk menghindari konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota serta kewenangan yang
tidak/belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK,
Pemerintah Daerah wajib untuk menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemerintah Daerah diberi kewenangan
untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan mengatur sumberdaya alam seperti
melakukan penyusunan rencana tata ruang, mengatur dan menyediakan bantuan kepada
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan undang-undang dan kedaulatan nasional.

Kewenangan Pemerintah Pusat dalam mengelola sumberdaya di wilayah ini merupakan


kewenangan atribusi yang langsung bersumberkan pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-undang Nomor 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS 1982.

Perluasan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir diberikan kepada Kabupaten/Kota


dan Provinsi untuk mengelola sumberdaya laut dan daratan dalam wilayah hukumnya. Hal ini

14
diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 6, yaitu:

“Pendapatan asli daerah bersumber dari: a) Pajak daerah; b) Retribusi daerah; c) hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d) lain-lain PAD yang sah.”

Pendapatan asli daerah juga dapat diperoleh dari dana perimbangan, seperti dijelaskan
dalam Pasal 11 tentang dana bagi hasil. Ayat (1) dari Pasal 11 menyebutkan bahwa dana bagi
hasil bersumberkan dari pajak dan sumber daya alam.

Pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah atas wilayah laut sebagaimana


dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secar yuridis
tidak mengubah wilayah perairan Indonesia sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk melaksanakan pengelolaan
sumberdaya kelautan di wilayah kewenangannya disertai dengan kewajiban untuk memelihara
kelestarian lingkungannya.

b) Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

Sebagai salah satu wujud dalam penyusunan kebijakan kelautan terutama pengelolaan
wilayah pesisir dan laut di daerah adalah penyediaan produk hukum wilayah pesisir dan laut
dalam bentuk Peraturan Daerah dengan menggagas sebuah model yangberbasis masyarakat.
Beberapa daerah di Kalimantan dan Sulawesi yang telah difasilitasi oleh Satuan Kerja
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (Marine and Coastal Resources Management
Project /MCRMP), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen
Kelautan dan Perikanan, telah menghasilkan beberapa Peraturan Daerah mengenai Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan laut.

c) Konflik Norma Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK membawa implikasi terhadap


pengaturan pengelolaan wilayah pesisir lain yang terkait. Pengelolaan sumberdaya di wilayah

15
pesisir melibatkan banyak sektor, sehingga sangat rawan terjadi konflik norma dan tumpang
tindih kewenangan.

Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya konflik norma dalam pengelolaan


sumberdaya di wilayah pesisir dapat dilakukan dengan melalui harmonisasi hukum pengelolaan
wilayah pesisir dan laut melalui penemuan hukum (seperti penafsiran/interpretasi dan
konstruksi hukum), penalaran hukum, dan pemberiaan argumentasi yang rasional terhadap isi
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pengelolaan wilayah pesisir. Upaya
sinkronisasi yang bersifat pencegahan dilakukan dalam rangka mengantisipasi kenyataan
tentang adanya faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan terjadinya konflik norma.

L.M. Lapian Gandhi, yang mengutip buku Tussen Eenheid en Verscheidenheid:

Opstellen over harmonisatie in staats-en bestuursrecht (1988), dalam pidato


pengukuhan gurubesarnya, sebagaimana dikutip oleh Moh. Hasan Wargakusumah, mengatakan
bahwa:

”...harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan


perundangundangan, keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum,
kepastian hukum, keadilan (justice, gerechtigheid), dan kesebandingan (equity,
billijkheid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan
pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan”

Harmonisasi peraturan perundang-undangan dilakukan karena terdapat indikasi adanya


konflik norma, seperti tumpang tindihnya kewenangan dan benturaan kepentingan diantara
stakeholders, sehingga akan memunculkan penafsiran yang berbeda-beda.

Sebagai tindakan represif terhadap konflik yang timbul dalam pengelolaan di wilayah
pesisir menyangkut sengketa kewewenangan lembaga negara karena ketidaksesuaian atau
perbedaan penafsiran undang-undang tertentu (konflik horisontal), dapat diselesaikan melalui
negosiasi antar lembaga departemen. Tetapi jika upaya tersebut tidak berhasil, dapat
ditempuh upaya hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Bab III tentang Kekuasaan Mahkamah Konstitusi, Bagian
Pertama, Pasal 10 ayat (1). Konflik vertikal juga muncul karena adanya sengketa/konflik
kewenangan antara Undang-undang dengan peraturan yang ada di bawahnya. Jika upaya

16
negosiasi tidak berhasil menyelesaiakan sengketa, maka upaya hukum dapat dilakukan dengan
mengajukan gugatan atau menguji perundang-undangan ke Mahkamah Agung, seperti diatur
dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

C. Aspek Kelembagaan
1. Bidang Kehutanan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa


mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah
bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan,
keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam
kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan
atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan
untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43).

Departemen Kehutanan secara teknis fungsional menyelenggarakan fungsi


pemerinthan dan pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan
untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari
wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen Kehutanan
dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial
baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka
melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan
penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan
(sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.

2. Bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan


pulau-pulau kecil, Pasal 50 ayat (1)mengatur mengenai kewenangan menteri dalam
hal ini mengeluarkan HP-3 wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan
Strategis Nasional Tertentu. Pasal 50 ayat (2) Gubernur berwenang memberikan HP-3
di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis

17
pantai ke arahlaut lepas dan/atau ke arah perairankepulauan, dan Perairan Pesisir
lintas kabupaten/kota. Pasal 50 ayat (3) Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3
di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Dijelaskan dalam pasal 51 ayat (1) Menteri berwenang menetapkan:

a. HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu,


b. Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap
perubahan lingkungan, dan
c. Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional.

Kemudian pasal tersebut diubah ke dalam Undang-undang no. 1 tahun 2014


tentang perubahan atas UU 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil pada pasal 50 ayat (1) Menteri berwenang memberikan dan
mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin
Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir
dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional, Kawasan Strategis
Nasional Tertentu, dan Kawasan Konservasi Nasional.

Pasal 50 ayat (2) Gubernur berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayahPerairan Pesisir dan pulau-pulau kecil
sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 50 ayat (3) Bupati/wali kota berwenang memberikan dan mencabut Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-
pulau kecil sesuai dengan kewenangannya.” Dan pasal 51 ayat (1) Menteri
berwenang:

a. menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan


perairan di sekitarnya yang menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang
Luas serta Bernilai Strategis terhadap perubahan lingkungan;
b. Menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.

18
Dalam Pasal 1 angka 1 Prespres No.74 Tahun 2015, pelaksanaan Koordinasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional adalah proses
harmonisasi dan upaya sinkronisasi, serta sinergi pelaksanaan kegiatan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat nasional secara terpadu dan
berkelanjutan. Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Tingkat Nasional dalam Peraturan Presiden ini bertujuan agar pelaksanaan
kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat nasional
harmoni, sinergi, terpadu, dan berkelanjutan dalam hal ini menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan adalah dibidang kelautan dan perikanan.

3. Bidang Pemerintah Daerah.

Dalam UU no.23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah pasal 14 ayat (1)
“Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan
sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi” . Pada
Undang-undang Pemerintah Daerah, terdapat mandat yang diberikan kepada
Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya wilayah pesisir laut dan pulau-pulau
kecil sejauh 12 mil untuk provinsi. Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014 mengatur
pemberian kewenangan pengelolaan wilayah pesisr kepada pemerintah daerah
provinsi, sedangkan mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Pemprov hanya berwenang mengelola kawasan perairan laut dengan zona 4 sampai
12 mil. Sementara wilayah perairan dengan zona 0-4 mil saat ini menjadi kewenangan
Bupati. Kewenangan daerah provinsi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 (UU Pemda), yaitu :

Kewenangan daerah provinsi untuk mengelola sumber daya di laut sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan
gas bumi;

19
b. Pengaturan administratif;
c. Pengaturan tata ruang;
d. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan di laut; dan
e. Ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.

4. Sumber Daya Air


Akibat dari pemanfaatan sumber daya air yang bersifat ganda, penangannya
perlu dilakukan oleh berbagai instansi, seperti Departemen Dalam Negeri, Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, Departemen
Pertambangan dan Energy, Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan,
Departemen Kelautan Dan Perikanan, Departemen Luar Negeri Kantor Kementrian
Lingkungan Hidup, Departemen Parawisata dan lain sebagainya.
Dengan banyaknya instansi yang menangani atau berkepentingan tersebut maka
pemanfaatan, termasuk pengemabangan dan perlindungannya, harus dilakukan secara
terkoordinasi menurut fungsi, tugas dan tangungjawab masing-masing instansi.
Tujuannya adalah agar dalam setiap langkah yang dilaksanakan oleh masing-masing
instansi dalam pemanfaatan sumber daya air termasuk pengembangan dan
perlindungannya saling mengisi dan menunjan.
Berdasarkan pasal 5 UU no.11 tahun 1974 tentang pengairan pejabat yang
diberikan tugas untuk mengkoordinasikan segala pengaturan usaha-usaha perencanaan
teknis, pengawasan, pengusahaan, pemeliharaan serta perlindungan dan penggunaan
air dan atau sumber-sumber air adalah seorang menteri, berdasarakan struktur
organisasi departemen direktorat jendral pengairan maka yang dimaksud adalah menteri
pekerjaan umum.

D. Pemicu terjadinya Persoalan Pesisir dan Bagaimana Solusi Mengatasinya

1. Konflik Norma antara Undang-undang

Konflik norma antar undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut
dapat terjadi karena terdapat ketidaksesuaian antar Undang-undang, baik mengenai dasar
hukum, konsistensi penggunaan dan rumusan pengertian/istilah, kelembagaan dan
kewenangan, peruntukan kawasan, perizinan ataupun sanksi dan ketentuan penutup.

20
Adapun konflik norma dalam penerapan Undang-undang mengenai pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut adalah:

a) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004


tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan
dalam masalah Penambangan di Kawasan Lindung;
b) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
dalam masalah konservasi;
c) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam masalah Pelimpahan wewenang
Pemerintah Pusat kepada Daerah;
d) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-
undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam masalah penataan wilayah laut terkait
dengan pengelolaan sumber daya
e) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dalam masalah zonasi wilayah pesisir .

Dalam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan pesisir dan laut terdapat


ketentuan perundangan yang satu dengan yang lainnya tidak terkait jika ditinjau dari dasar
hukumnya. Misalnya Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 tidak mendasarkan pada
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria dan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1967 Jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.

Alasan pencantuman dasar hukum dalam undang-undang, baik yang setingkat maupun
di atasnya akan berakibat pada kewenangan pembuatnya. Namun, kaidah inilah yang menjadi
penyebab terjadinya konflik norma, karena suatu peraturan tidak lazim memerintahkan

21
pembuatan peraturan yang setingkat dengannya, apalagi bila peraturan perundang-undangan
tersebut adalah Undang-Undang.

Konflik norma pada undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan laut di tingkat
pusat, bukan hanya tidak mencantumkan Undang-undang yang wilayah keberlakuannya saling
berdekatan, tetapi juga tidak mencantumkan Undang-undang yang terkait. Misalnya Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Tindakan tidak saling menjadikan sebagai dasar hukum antar Undang-
undang mengenai Sumber Daya Alam berlanjut pada peraturan pelaksanaannya.

Sebagai upaya melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai


pengelolaan wilayah pesisir dan laut, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberikan kesempatan dan dimungkinkan
untuk melakukan pembentukan undang-undang melalui harmonisasi hukum, seperti dijelaskan
dalam Pasal 45 Ayat (2). Selanjutnya, dipertegas dalam Pasal 46 Ayat (2) Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang
berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi.

Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, harmonisasi harus dapat mencerminkan
adanya keterpaduan ekosistem darat dan laut, keterpaduan ilmu pengetahuan dan manajemen,
serta keterpaduan antar tingkatan pemerintahan.

2. Konflik Norma antara Undang-undang dengan Peraturan Daerah

22
Peraturan Perundang-undangan di daerah lazimnya dibuat berdasarkan perintah dari
pusat atau untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang.
Karakter undang-undang harus tercermin dalam peraturan daerah, seperti misalnya pada soal
obyek, perizinan, pajak, retribusi, kelembagaan, sanksi dan penegakan hukum. Untuk
meminimalisir konflik norma pada undang-undang dan peraturan daerah mengenai pengelolaan
wilayah pesisir, penyelarasan dan penyerasian tujuan, strategi, dan pedoman dapat mengacu
pada hukum dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang PWP-PK. Hal ini sebagai konsekuensi logis, bahwa peraturan perundang-
undangan yang sudah ada harus diselaraskan dan diserasikan dengan perubahan hukum dasar
dan Undang-undang yang telah ada.

Harmonisasi pengaturan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut sesuai


dengan integrated coastal management, memerlukan dukungan dari seluruh sector terkait.
Dukungan dari berbagai sektor ini dapat menciptakan sinergi, sehingga perlu disusun visi
bersama yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah sebagai acuan spasial dalam
pelaksanaan pembangunan.

Dalam hal terjadi disharmoni peraturan perundang-undangan ada 3 (tiga) cara


mengatasi sebagai berikut :

1. Mengubah/ mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau seluruh pasal
peraturan perundangundangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi yang
berwenang membentuknya.
2. Mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga yudikatif sebagai berikut; 1)
Untuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah
Konstitusi; 2) Untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undangundang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung.
3. Menerapkan asas hukum/doktrin hukum sebagai berikut:
1) Lex superior derogat legi inferiori. Peraturan perundang-undangan bertingkat
lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih
rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi
mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang
peraturan perundangundangan tingkat lebih rendah.

23
2) Lex specialis derogat legi generalis Asas ini mengandung makna, bahwa aturan
hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum, Ada
beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi
generalis : (a) Ketentuanketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum
tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
(b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang). (c)
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
(rezim) yang sama dengan lex generalis.
3) Asas lex posterior derogat legi priori. Aturan hukum yang lebih baru
mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex
posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru. Asas
ini pun memuat prinsip-prinsip : (1) Aturan hukum yang baru harus sederajat
atau lebih tinggi dari aturan hokum yang lama; (2) Aturan hukum baru dan
lama mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud mencegah
dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya
Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan
suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara
hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan
hukum baru mulai berlaku.

24
BAB III

A. Kesimpulan
Dalam pelaksanaannya, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK
membawa implikasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait lainnya, karena
sebagian besar peraturan perundang-undangan tersebut bersifat sektoral yang
mengatur sektor-sektor pembangunan tertentu, yang secara langsung atau tidak
langsung terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir sehingga menimbulkan konflik
norma dan tumpang tindih wewenang.
Tumpangtindih peraturan perundang-undangan mengakibatkan : a. Terjadinya
perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya; b. Timbulnya ketidakpastian hukum; c.
Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien; d. Disfungsi
hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada
masyarakat, pengendalian sosial, dan penyelesaian sengketa.

B. Saran
Untuk meminimalisir konflik norma dalam pengaturan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut maka harus ditindaklanjuti dengan melakukan harmonisasi antar
peraturan perundang-undangan terkait dan koordinasi secara horisontal dan vertikal
dalam berbagai level.

25
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Dahuri, Rokhmin. dkk. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Jakarta: Balai Pustaka

Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi 2005. Jakarta:
Djambatan

M.S Suprayono, 2000. “Pelestarian dan pengeloalaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Purwaka, Tommy H. 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan
Wilayah Pesisir Indonesia. Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources Management Project.
Jakarta: Bappenas

Rahardjo, A. (2006). Pembangunan kelautan dan kewilayahan . Edisi Pertama. Graha Ilmu.
Yogyakarta.

Silalahi M. Daud. 2003. Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Di Indonesia. Bandung: PT. Alumni

UNDANG-UNDANG

Republik Indonesia. 2007. Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025. Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 33.
Tambahan Lembaran Negara RI No. 4700. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 1960. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria. Lembaran Negara RI Tahun 1960, No. 104. Tambahan Lemabaran Negara
RI No. 2043. Sekretariat Negara. Jakarta

26
Republik Indoneisa. 2007. Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 84. Tambahan
Lembaran Negara RI No. 4739. Sekretariat Negara. Jakarta.

JURNAL

Adrianto Luky,2015. “Laporan Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”. [diakses pada tgl 23 Oktober 2017]
Aditya Irawan1 & Nilam Sari. IMPLIKASI TERBITNYA UU RI. NO. 27 TAHUN 2007 TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TERHADAP PENGELOLAAN
HUTANMANGROVE.http://ejournal.fordamof.org/ejournallitbang/index.php/JAKK/article/
view/1669/1488 [diakses pada tanggal 2 November 2017 pukul 23.44]

Anak Agung Gede Manik Surya Wira Djelantik Putu Gede Arya Sumerthayasa. IMPLIKASI
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN LAUT, PESISIR, DAN PULAU-PULAU KECIL .
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/download/18878/12332 [diakses
pada tanggal 2 November 2017 pukul 02.56]

Darajati Wahyuningsih,2004.”Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu


Dan Berkelanjutan”. [diakses pada tgl 24 Oktober 2017]

Prof. Dr. Ir. Widyo Nugroho Sulasdi. “UU KELAUTAN, UU PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL, DAN DEKLARASI DJUANDA.”
http://www.uruqulnadhif.com/2015/06/uu-kelautan-uu-pengelolaan-wilayah.html?m=1
[diakses pada tanggal 2 November 2017 pukul 17.12]

Dina Sunyowati. PENGATURAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT DI INDONESIA.


http://download.portalgaruda.org/article.php?article=18658&val=1156 [diakses pada
tanggal 2 November 2017 pukul 19.12]

Yuliandri. 2007. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Dalam


Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan. Surabaya: Universitas Airlangga

27

Anda mungkin juga menyukai