PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia yang terdiri dari
17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke. Luas total wilayah Indonesia adalah 7,81
juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta
km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Mengingat luas wilayah laut Indonesia lebih luas
dari wilayah daratan, menjadikan sumber daya pesisir dan lautan memiliki potensi yang
sangat penting , karena di wilayah pesisir dan lautan menyediakan berbagai sumber
daya alam, baik hayati maupun non-hayati yang bernilai ekonomis dan ekologis yang
tinggi. Wilayah pesisir memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya.
Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan
pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara
khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan.
Isu utama yang dihadapi dalam menghadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir
ini yaitu isu konflik pemanfaatan dan kewenangan di wilayah pesisir sehingga
mengurangi efektivitas pengelolaan pesisir secara lestari dan ketidakpastian hukum
1
sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir.
Secara kuantitatif terdapat 80% issue pesisir akibat interaksi antara manusia yang
memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan lingkungannya dan akibat tindakan pihak lain
misalnya kerusakan karang, deforestasi mangrove, pengerukan pasir laut yang dilakukan
oleh nelayan, penyelam, masyarakat, HPH dan pengusaha besar. Persoalan mendasar
adalah tidak efektifnya pengelolaan sumberdaya pesisir untuk mengalokasikan dan
memanfaatkan sumberdaya secara lestari.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Implikasi dan Regulasi terhadap Aturan di Wilayah Pesisir serta Aspek
Kelembagaanya?
2. Apa saja Pemicu terjadinya Persoalan Pesisir dan Bagaimana Solusi
Mengatasinya?
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Implikasi
3
rangka konektivitas antarwilayah, pemerintah harus melaksanakan kebijakan
pengembangan armada nasional dalam laut, pemerintah mengatur kebijakan
sumber pembiayaan dan perpajakan yang berpihak pada kemudahan
pengembangan sarana prasarana laut, dan pemerintah memfasilitasi sumber
pembiayaan usaha perhubungan laut. Ketiga, pasal 58 memiliki implikasinya
dibentuklah sistem pertahanan laut.
4
berwenang mengelola hutan/ekosistem hutan mangrove berdasarkan
kawasannya atau ekosistemnya (wilayah pesisir) sedangkan Departemen
Kehutanan (UU No. 41/1999) memiliki wewenang pengelolaan terhadap
hutannya. Walaupun pada Pasal 1 ayat 3 UU No. 41/1999 menyatakan bahwa
hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa
yang berasal dari hutan. Fakta ini menunjukkan adanya dua instansi yang
berwenang dalam mengelola wilayah/ekosistem yang sama.
Sehubungan dengan kewenangan pengelolaan kawasan pesisir
Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan UU No.27/2007, maka
departemen ini berhak atas Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yaitu : Rencana Strategis
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3- K), Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K). (Pasal 7 ayat 1).
Adanya kewenangan Departemen Kehutanan dalam Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5/1990), Kewenangan Menteri
Lingkungan Hidup (UU No.23/1997 tentang), Kewenangan setingkat Menteri
yang ditunjuk sebagai koordinator oleh Presiden (UU No. 26/2007), UU No. 5
tahun 1974, dan Kewenangan Menteri Pekerjaan Umum (UU No. 11 tahun 1974)
dalam pengelolaan hutan mangrove maka dirasakan semakin mendesak adanya
kebijakan pemerintah dalam pengaturan pengelolaan tersebut. Sampai saat ini
belum ada pejabat setingkat menteri yang mengkoordinasikan pengelolaan
Hutan Mangrove antar departemen maupun non depertemen.
5
Kabupaten/Kota. Pada pembagian urusan pemerintahan konkuren (lampiran)
Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah kewenangan
kabupaten/kota hanya diberikan untuk mengelola perikanan tangkap dan
perikanan budidaya (diluar perairan pesisir). Hal tersebut mengakibatkan
terjadinya ketidakjelasan penafsiran terhadap peraturan tersebut. Hambatan-
hambatan kewenangan pengelolaan wilayah laut terkait di sahkannya . Undang
Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah adalah terjadinya konflik
norma antara lampiran Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil.
6. Implikasi UU no 10 tahun 2009 tentang Prawisata di pesisir
Strategi pengembangan pariwisata pantai yang belum optimal masih
menimbulkan masalah, antara lain konflik yang terjadi pada penerapan strategi
kerjasama tiga pilar good governance. Selain itu pengelolaan daerah pesisir
pantai yang belum optimal juga berdampak pada income yang didapat
pemerintah, khususnya Pendapatan Asli Daerah juga belum mencapai titik
optimal.
6
Pasal 2 tersebut mengamanatkan bahwa kewenangan Departemen
Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaannya mencakup ekosistem mangrove,
hal tersebut diperkuat oleh definisi wilayah pesisir (UU No.27/2007 pasal 1 ayat
2) yang dinyatakan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan habitat hidup
mangrove berada pada kawasan pesisir.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea)
1982, disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS
1982. UNCLOS 1982 tidak mengatur secara khusus dalam pasal-pasal nya tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan laut. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan yang ada di laut memerlukan
pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tanpa
merusak lingkungan laut, sehingga dapat digunakan untuk kemakmuran umat manusia.
Pengaturan tentang pentingnya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur dalam
UNCLOS 1982 Part XII tentang Protection and Preservation of the Marine Environment.
Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut tidak dijelaskan secara
terinci, tetapi hanya di atur tersirat dalam Bab IV tentang Pemanfaatan,Pengelolaan,
Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-
prinsip sustainable development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut.
Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa: “Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan
7
pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional”.
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi dengan kegiatan
pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-
8
undangan tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi
kepada eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian
sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan
lingkungan. Seperti disebutkan dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang PWP-PK, bahwa :
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, dalam Pasal 3 tentang Asas dan
Tujuan, menyatakan bahwa:
“Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan: (a) keberlanjutan; (b)
konsistensi; (c) keterpaduan; (d) kepastian hukum; (e) kemitraan; (f) pemerataan; (g) peran
serta masyarakat; (h) keterbukaan; (i) desentralisasi; (j) akuntabilitas; dan (k) keadilan.”
Asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK
merupakan implementasi dari prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam integrated coastal
management. Implementasi dari prinsip-prinsip tersebut dalam Undang-undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang PWP-PK disesuaikan dengan kondisi geografis dan masyarakat di
Indonesia. Konsistensi dan keterpaduan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir
sesuai dengan asas-asas tersebut memerlukan pengawasan dan evaluasi, baik oleh Pemerintah
atau stakeholders.
Terdapat 15 prinsip dasar yang patut diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yang mengacu pada J.R. Clark (1992):
“(1)resources system; (2) the major integrating force; (3) integrated; (4) focal point; (5) the
boundary of coastal zone; (6) conservation of common property resources; (7) degradation
of conservation ; (8) inclusion all levels of government; (9) character and dynamic of nature;
9
(10) economic benefits conservation as main purpose; (11) multipleuses management; (12)
multiple-uses utilization; (13) traditional management; (14) environment impact analysis.”
Perencanaan wilayah pesisir terbagi dalam 4 (empat tahapan) yang secara rinci akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana zonasi; (3)
rencana pengelolaan; dan (4) rencana aksi sesuai dengan Prinsip 1 dan 3 dari integrated
coastal management.
Selanjutnya, dalam Pasal 1 butir 18, HP-3 yang diberikan oleh Pemerintah adalah
bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha
lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang
10
mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas
keluasan tertentu.
Ketentuan tentang HP-3 tersebut akan menimbulkan perbedaan penafsiran jika dikaitkan
dengan ketentuan tentang hak-hak yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria Bab II Bagian 1, Pasal 16 Ayat (1) dan Ayat (2).
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, hak atas
tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi di
bawahnya. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria, bahwa pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam
bumi, air dan ruang angkasa perlu diatur. Pada dasarnya kekayaan sumberdaya alam di wilayah
pesisir juga merupakan bagian dari kekayaan alam yang di maksud dalam Pasal 8 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tetapi Penjelasan Pasal 8 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria pada dasarnya menyebutkan bahwa
hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi, maka wewenang-wewenang
yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung
dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa, sehingga pengambilan kekayaan tersebut
memerlukan pengaturan tersendiri.
Mengacu pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Pasal
16 Ayat (2) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang tentang PWP-PK , maka HP-3 atas
wilayah pesisir, merupakan suatu aturan baru dalam pengelolaan wilayah pesisir yang belum
pernah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria, maupun Undang-
undang lainnya.
Berbeda dengan hak –hak atas tanah seperti diatur dalam Pasal 16 Undangundang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, maka HP-3 diberikan oleh Pemerintah
dalam luasan dan waktu tertentu, seperti disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2). Partisipasi
masyarakat sekitar lokasi dan masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah pesisir diatur dalam
Pasal 18 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Keberadaan masyarakat adat
yang telah memanfaatkan pesisir secara turun temurun, seperti sasi, hak ulayat laut, terhadap
mereka sesuai Undang-undang harus dihormati dan dilindungi seperti diatur dalam Pasal 61
ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.
11
Mengacu pada prinsip 5 dan 6 dari integrated coastal management, untuk menghindari
perbedaan penafsiran, pembagian dan penentuan batas wilayah pesisir terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya integrasi dan koordinasi dengan sektor lain yang
terkait, terutama dalam konservasi sumberdaya alam milik bersama (common property
resources) sehingga tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.
Peraturan Pemerintah ini mewajibkan setiap orang atau penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan upaya pencegahan dan bertanggung jawab terhadap
perusakan/pencemaran laut. Ketentuan dalam Bab V tentang Penanggulangan Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut, dalam Pasal 15 menetapkan bahwa:
“Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau
perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.”
12
Pemanfaatan secara berlebihan terhadap sumberdaya di wilayah pesisir tanpa
mengindahkan kelestarian lingkungan pesisir, akan mengakibatkan rusaknya ekosistem di
wilayah pesisir.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, sedangkan yang
termasuk pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir (Kelautan dan Perikanan) diatur dalam Pasal
2 Ayat (4) butir c, dan merupakan bagian dari urusan pemerintahan yang dapat dibagi bersama
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
13
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat belum pernah memberikan
otonomi yang nyata dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah pesisir. Status Quo
kewenangan daerah ini tidak menjadi perhatian Pemerintah, karena kegiatan ekonomi
yangberlangsung di wilayah pesisir dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang
menguntungkan instansi sektoral dan usaha tertentu.
Pasal 18 ayat (10) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
disebutkan bahwa:
”Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut.”
Dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK,
Pemerintah Daerah wajib untuk menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemerintah Daerah diberi kewenangan
untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan mengatur sumberdaya alam seperti
melakukan penyusunan rencana tata ruang, mengatur dan menyediakan bantuan kepada
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan undang-undang dan kedaulatan nasional.
14
diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 6, yaitu:
“Pendapatan asli daerah bersumber dari: a) Pajak daerah; b) Retribusi daerah; c) hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d) lain-lain PAD yang sah.”
Pendapatan asli daerah juga dapat diperoleh dari dana perimbangan, seperti dijelaskan
dalam Pasal 11 tentang dana bagi hasil. Ayat (1) dari Pasal 11 menyebutkan bahwa dana bagi
hasil bersumberkan dari pajak dan sumber daya alam.
Sebagai salah satu wujud dalam penyusunan kebijakan kelautan terutama pengelolaan
wilayah pesisir dan laut di daerah adalah penyediaan produk hukum wilayah pesisir dan laut
dalam bentuk Peraturan Daerah dengan menggagas sebuah model yangberbasis masyarakat.
Beberapa daerah di Kalimantan dan Sulawesi yang telah difasilitasi oleh Satuan Kerja
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (Marine and Coastal Resources Management
Project /MCRMP), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen
Kelautan dan Perikanan, telah menghasilkan beberapa Peraturan Daerah mengenai Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan laut.
15
pesisir melibatkan banyak sektor, sehingga sangat rawan terjadi konflik norma dan tumpang
tindih kewenangan.
Sebagai tindakan represif terhadap konflik yang timbul dalam pengelolaan di wilayah
pesisir menyangkut sengketa kewewenangan lembaga negara karena ketidaksesuaian atau
perbedaan penafsiran undang-undang tertentu (konflik horisontal), dapat diselesaikan melalui
negosiasi antar lembaga departemen. Tetapi jika upaya tersebut tidak berhasil, dapat
ditempuh upaya hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Bab III tentang Kekuasaan Mahkamah Konstitusi, Bagian
Pertama, Pasal 10 ayat (1). Konflik vertikal juga muncul karena adanya sengketa/konflik
kewenangan antara Undang-undang dengan peraturan yang ada di bawahnya. Jika upaya
16
negosiasi tidak berhasil menyelesaiakan sengketa, maka upaya hukum dapat dilakukan dengan
mengajukan gugatan atau menguji perundang-undangan ke Mahkamah Agung, seperti diatur
dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
C. Aspek Kelembagaan
1. Bidang Kehutanan
17
pantai ke arahlaut lepas dan/atau ke arah perairankepulauan, dan Perairan Pesisir
lintas kabupaten/kota. Pasal 50 ayat (3) Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3
di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Dijelaskan dalam pasal 51 ayat (1) Menteri berwenang menetapkan:
Pasal 50 ayat (2) Gubernur berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayahPerairan Pesisir dan pulau-pulau kecil
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 50 ayat (3) Bupati/wali kota berwenang memberikan dan mencabut Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-
pulau kecil sesuai dengan kewenangannya.” Dan pasal 51 ayat (1) Menteri
berwenang:
18
Dalam Pasal 1 angka 1 Prespres No.74 Tahun 2015, pelaksanaan Koordinasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional adalah proses
harmonisasi dan upaya sinkronisasi, serta sinergi pelaksanaan kegiatan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat nasional secara terpadu dan
berkelanjutan. Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Tingkat Nasional dalam Peraturan Presiden ini bertujuan agar pelaksanaan
kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat nasional
harmoni, sinergi, terpadu, dan berkelanjutan dalam hal ini menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan adalah dibidang kelautan dan perikanan.
Dalam UU no.23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah pasal 14 ayat (1)
“Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan
sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi” . Pada
Undang-undang Pemerintah Daerah, terdapat mandat yang diberikan kepada
Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya wilayah pesisir laut dan pulau-pulau
kecil sejauh 12 mil untuk provinsi. Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014 mengatur
pemberian kewenangan pengelolaan wilayah pesisr kepada pemerintah daerah
provinsi, sedangkan mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Pemprov hanya berwenang mengelola kawasan perairan laut dengan zona 4 sampai
12 mil. Sementara wilayah perairan dengan zona 0-4 mil saat ini menjadi kewenangan
Bupati. Kewenangan daerah provinsi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 (UU Pemda), yaitu :
a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan
gas bumi;
19
b. Pengaturan administratif;
c. Pengaturan tata ruang;
d. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan di laut; dan
e. Ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Konflik norma antar undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut
dapat terjadi karena terdapat ketidaksesuaian antar Undang-undang, baik mengenai dasar
hukum, konsistensi penggunaan dan rumusan pengertian/istilah, kelembagaan dan
kewenangan, peruntukan kawasan, perizinan ataupun sanksi dan ketentuan penutup.
20
Adapun konflik norma dalam penerapan Undang-undang mengenai pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut adalah:
Alasan pencantuman dasar hukum dalam undang-undang, baik yang setingkat maupun
di atasnya akan berakibat pada kewenangan pembuatnya. Namun, kaidah inilah yang menjadi
penyebab terjadinya konflik norma, karena suatu peraturan tidak lazim memerintahkan
21
pembuatan peraturan yang setingkat dengannya, apalagi bila peraturan perundang-undangan
tersebut adalah Undang-Undang.
Konflik norma pada undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan laut di tingkat
pusat, bukan hanya tidak mencantumkan Undang-undang yang wilayah keberlakuannya saling
berdekatan, tetapi juga tidak mencantumkan Undang-undang yang terkait. Misalnya Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Tindakan tidak saling menjadikan sebagai dasar hukum antar Undang-
undang mengenai Sumber Daya Alam berlanjut pada peraturan pelaksanaannya.
Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, harmonisasi harus dapat mencerminkan
adanya keterpaduan ekosistem darat dan laut, keterpaduan ilmu pengetahuan dan manajemen,
serta keterpaduan antar tingkatan pemerintahan.
22
Peraturan Perundang-undangan di daerah lazimnya dibuat berdasarkan perintah dari
pusat atau untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang.
Karakter undang-undang harus tercermin dalam peraturan daerah, seperti misalnya pada soal
obyek, perizinan, pajak, retribusi, kelembagaan, sanksi dan penegakan hukum. Untuk
meminimalisir konflik norma pada undang-undang dan peraturan daerah mengenai pengelolaan
wilayah pesisir, penyelarasan dan penyerasian tujuan, strategi, dan pedoman dapat mengacu
pada hukum dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang PWP-PK. Hal ini sebagai konsekuensi logis, bahwa peraturan perundang-
undangan yang sudah ada harus diselaraskan dan diserasikan dengan perubahan hukum dasar
dan Undang-undang yang telah ada.
1. Mengubah/ mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau seluruh pasal
peraturan perundangundangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi yang
berwenang membentuknya.
2. Mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga yudikatif sebagai berikut; 1)
Untuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah
Konstitusi; 2) Untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undangundang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung.
3. Menerapkan asas hukum/doktrin hukum sebagai berikut:
1) Lex superior derogat legi inferiori. Peraturan perundang-undangan bertingkat
lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih
rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi
mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang
peraturan perundangundangan tingkat lebih rendah.
23
2) Lex specialis derogat legi generalis Asas ini mengandung makna, bahwa aturan
hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum, Ada
beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi
generalis : (a) Ketentuanketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum
tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
(b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang). (c)
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
(rezim) yang sama dengan lex generalis.
3) Asas lex posterior derogat legi priori. Aturan hukum yang lebih baru
mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex
posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru. Asas
ini pun memuat prinsip-prinsip : (1) Aturan hukum yang baru harus sederajat
atau lebih tinggi dari aturan hokum yang lama; (2) Aturan hukum baru dan
lama mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud mencegah
dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya
Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan
suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara
hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan
hukum baru mulai berlaku.
24
BAB III
A. Kesimpulan
Dalam pelaksanaannya, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK
membawa implikasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait lainnya, karena
sebagian besar peraturan perundang-undangan tersebut bersifat sektoral yang
mengatur sektor-sektor pembangunan tertentu, yang secara langsung atau tidak
langsung terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir sehingga menimbulkan konflik
norma dan tumpang tindih wewenang.
Tumpangtindih peraturan perundang-undangan mengakibatkan : a. Terjadinya
perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya; b. Timbulnya ketidakpastian hukum; c.
Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien; d. Disfungsi
hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada
masyarakat, pengendalian sosial, dan penyelesaian sengketa.
B. Saran
Untuk meminimalisir konflik norma dalam pengaturan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut maka harus ditindaklanjuti dengan melakukan harmonisasi antar
peraturan perundang-undangan terkait dan koordinasi secara horisontal dan vertikal
dalam berbagai level.
25
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Dahuri, Rokhmin. dkk. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Jakarta: Balai Pustaka
Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi 2005. Jakarta:
Djambatan
M.S Suprayono, 2000. “Pelestarian dan pengeloalaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Purwaka, Tommy H. 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan
Wilayah Pesisir Indonesia. Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources Management Project.
Jakarta: Bappenas
Rahardjo, A. (2006). Pembangunan kelautan dan kewilayahan . Edisi Pertama. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Silalahi M. Daud. 2003. Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Di Indonesia. Bandung: PT. Alumni
UNDANG-UNDANG
Republik Indonesia. 2007. Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025. Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 33.
Tambahan Lembaran Negara RI No. 4700. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 1960. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria. Lembaran Negara RI Tahun 1960, No. 104. Tambahan Lemabaran Negara
RI No. 2043. Sekretariat Negara. Jakarta
26
Republik Indoneisa. 2007. Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 84. Tambahan
Lembaran Negara RI No. 4739. Sekretariat Negara. Jakarta.
JURNAL
Anak Agung Gede Manik Surya Wira Djelantik Putu Gede Arya Sumerthayasa. IMPLIKASI
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN LAUT, PESISIR, DAN PULAU-PULAU KECIL .
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/download/18878/12332 [diakses
pada tanggal 2 November 2017 pukul 02.56]
Prof. Dr. Ir. Widyo Nugroho Sulasdi. “UU KELAUTAN, UU PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL, DAN DEKLARASI DJUANDA.”
http://www.uruqulnadhif.com/2015/06/uu-kelautan-uu-pengelolaan-wilayah.html?m=1
[diakses pada tanggal 2 November 2017 pukul 17.12]
27