Anda di halaman 1dari 76

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

DI KAWASAN MENEJEMEN
SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-
PULAU KECIL DI INDONESIA

Dr. Ir. Eddiwan, M.Sc


Fakultas Perikann dan Kelautan
Universitas Riau
PENDAHULUAN
Terdapat 3 isu utama yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah
pesisir ini, antara lain;
• pertama isu degradasi biofisik lingkungan pesisir (karang,
stok ikan, erosi pantai, pencemaran, sedimentasi dan siltasi,
• kedua isu konflik pemanfaatan dan kewenangan di wilayah
pesisir sehingga mengurangi efektivitas pengelolaan pesisir
secara lestari, dan
• ketiga ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya
ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir.
PERSOALAN MENDASAR
Persoalan mendasar adalah tidak efektifnya pengelolaan
sumberdaya pesisir untuk mengalokasikan dan
memanfaatkan sumberdaya secara lestari.
Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul
dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir belum
diatur dengan peraturan perundang-undangan,
sehingga daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan sesuatu kebijakan.
PERSOALAN MENDASAR
• Pemanfaatan dan pengelolaan pesisir cendrung bersifat sektoral,
sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu
sama lain.
• Pemanfatan dan pengelolaan pesisir belum memperhatikan konsep
daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi
oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat
menimbulkan konflik kepentingan antar daerah
• Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami
secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap
daerah dan setiap sector timbul berbagai pemahaman dan
penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan
daerah pesisir.
ARAH POLITIK HUKUM PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL
1. Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil
2. Permasalahan di Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil
• Orientasi Keuntungan Ekonomi Jangka Pendek
• Kesadaran Akan Nilai Strategis Sumberdaya Dapat Pulih dan
Jasa Lingkungan Bagi Pembangunan Ekonomi Masih Rendah
• Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran Tentang Implikasi
Kerusakan Lingkungan Terhadap Kesinambungan
Pembangunan Ekonomi Masih Rendah.
• Ketiadaan Alternatif Pemecahan Masalah Lingkungan,
Pengawasan, Pembinaan, dan Penegakkan Hukum Masih
Lemah.
Hubungan Timbal Balik Antara Ekosistem Alamiah
dan Sistem Sosial Budaya Dalam Konsep
Pembangunan Berkelanjutan
3. Permasalahan Hukum dan Kelembagaan terkait dengan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil

• Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir laut dan pulau- pulau kecil yang
pembangunannya pesat sering muncul konflik antara berbagai pihak
yang berkepentingan. Dari hasil penelusuran, terdapat 21 Undang-
undang dan 6 ketentuan internasional, baik yang telah diratifikasi
maupun hanya sebagai acuan (soft law).
• Peraturan perundang-undangan tersebut memberi mandat kepada 14
sektor pembangunan dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir
laut dan pulau-pulau kecil, baik secara langsung maupun tidak langsung.
• Keempat belas sector tersebut yaitu meliputi pertanahan, pertambangan,
perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian,
kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan umum, pertahanan,
keuangan dan pemerintahan daerah.
• Berdasarkan peraturan sektoral tersebut, terjadi
konflik kepentingan antar institusi dalam mengelola
sumberdaya pesisir laut dan pulau-pulau kecil.
Bahkan, seiring dengan era otonomi daerah, ada
kecenderungan pemerintah daerah membuat
peraturan-peraturan daerah berdasarkan
kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD).
• Oleh karenanya, hal ini dikhawatirkan menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam pembangunan di wilayah
pesisir laut dan pulau-pulau kecil yang dapat berujung
pada kerusakan sumberdaya dan lingkungan (Ditjen
P3K-DKP, 2001).
• Lebih lanjut, Ditjen P3K-DKP mengelompokan
permasalahan hukum yang terkait dengan
pengelolaan pesisir laut dan pulau- pulau kecil,
yaitu:
– (1) konflik antar undang-undang,
– (2) konflik antara undang-undang dengan hukum adat,
dan
– (3) kekosongan hukum.
• Ketiga masalah tersebut bermuara pada
ketidakpastian hukum, konflik kewenangan dan
pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik
sumberdaya pesisir.
PERMASALAHAN HUKUM
A. Permasalahan terkait Aspek Materi Hukum

1. Konflik antara UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas


UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Terkait Izin Pengelolaan dan Izin
Pengusahaan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Peisisr
dan Pulau-Pulau Kecil memuat ketentuan izin pengelolaan
dan izin pengusahaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagaimana dalam PP No. 36 Tahun 2010.
2. Pasal 9 ayat (1) huruf e UU No 1/2014 menyatakan bahwa
setiap pengusaha Wisata Bahari yang melaksanakan usaha di
wilayah pesisir harus memiliki Izin Pengelolaan.
2. Konflik antara UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WP3K
terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWPPK)
Pasal 24 ayat (1) UU No. 26/2007 menjelaskan bahwa
rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan peraturan
daerah.
3. Tata ruang wilayah yang dimaksud mencakup ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi. Sementara itu Pasal 9 ayat (5) UU No. 27/2007 jo
UU No. 1/2014 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil juga ditetapkan melalui Peraturan Daerah.
3. Terjadi kekosongan hukum dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil di daerah kab/kota sebagai dampak
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
4. Adanya multi tafsir antara UU No 31/2004
tentang Perikanan dengan UU 27/2007 Jo UU
N0 1/2014 terkait sanksi pidana yang
berbeda terhadap tindak pidana yang sama.
B. Permasalahan Terkait Aspek
Kelembagaan

1. Konflik Kelembagaan Konservasi


Perairan
2 Kewenangan dalam Penyelidikan
dan Penyidikan
3 Keberadaan Masyarakat Hukum
Adat
C. Permasalaahan terkait Aspek Pelayanan
Hukum
1 Belum adanya standar prosedur dalam permohonan
maupun pengeluaran Izin lokasi dan izin pengelolaan
wilayah peisir
2 Belum adanya Pengaturan Investasi Asing di Pulau Kecil
Pasal 26APenanaman modal asing untuk wilayah pesisir
belum ada peraturan presidennya. Hal ini penting untuk
pengaturan lebih lanjut tentang pengalihan saham dan
luasan lahan. Apabila peraturan pelaksana tersebut tidak
segera ditetapkan maka dapat menghambat investasi.
3 Fasilitasi Perizinan

D. Permasalahaan terkait Aspek Budaya Hukum


ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
A Aspek Materi Hukum
1 Sinkronisasi Izin Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir Antara
Kementerian Kehutanan Dan Kementerian Kelautan Dan
Perikanan.
a. a.produksi garam;
b. b.biofarmakologi laut;
c. c.bioteknologi laut;
d. d.pemanfaatan air laut selain energi;
e. e.wisata bahari;
f. f.pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
g. g.pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib
memiliki Izin Pengelolaan.
Pengelolaan Kawasan Suaka
a. Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu;
b. Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa;
c. Taman Nasional (Laut) Bunaken;
d. Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi;
e. Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate;
f. Taman Nasional Teluk Cenderawasih; dan
g. Taman Nasional Kepulauan Togean.
2 Penyusunan RZWP-3-K dalam Perda
3 Perubahan Kewenangan Pemerintah Daerah
a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi,
dan pengelolaan kekayaan laut diluar minyak
dan gas bumi.
b. Pengaturan administratif.
c. Pengaturan tata ruang.
d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang
dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh pemerintah pusat.
e. Membantu memelihara keamanan di laut.
f. Membantu mempertahankan kedaulatan
negara.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengesahan UU No.
23 Tahun 2014 masih menyisakan permasalahan, yaitu:

1 Ketidakjelasan kewenangan Kabupaten/Kota


dalam pengelolaan sumber daya di wilayah
laut.
2 Ketidakjelasan pembagian fungsi dan peran
antara Pemerintah Provinsi dan Pemeriantah
Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ketidakjelasan ini akan menimbulkan
ketidakpastian hukum, sehingga diperlukan
kebijakan, yaitu:

1 Perlu segera diterbitkan Peraturan Pemerintah


yang mengatur pemberian kewenangan kepada
provinsi terkait pengelolaan wilayah pesisir.
2 Perlu penyesuaian norma di dalam UU No 1
Tahun 2014 dengan UU No 23 Tahun 2014
terkait dengan kewenangan pengelolaan
wilayah pesisir.
4 Adanya multi tafsir terkait sanksi pidana
terhadap tindak pidana yang sama
a. Penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan dan/atau alat yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan
lingkungannya;
b. Penambangan dan pengambilan karang;
c. Penangkapan yang berlebih;
d. Pencemaran perairan
e. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir;
f. Kegiatan pembangunan di wilayah hulu.
Secara lebih detail dapat dijabarkan bahwa
perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai
pidana menurut pasal tersebut yaitu:
a. menambang terumbu karang yang menimbulkan
kerusakan ekeosistem terumbu karang;
b. mengambil terumbu karang di kawasan konservasi;
c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun,
dan/atau bahan lain yang merusak ekosistem
terumbu karang;
d. menggunakan peralatan, cara dan metode lain
yang merusak ekosistem terumbu karang.
B. Aspek Kelembagaan
1 Konflik Kelembagaan Konservasi Perairan
a. Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu;
b.Taman Nasional Kepulauan Karimun Jawa;
c. Taman Nasional (Laut) Bunaken;
d.Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi;
e. Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate;
f. Taman Nasional Teluk Cenderawasih; dan
g. Taman Nasional Kepulauan Togean
2. Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan
Penyidikan Pasal 6 ayat (1) KUHAP
menyatakan bahwa:

(1) Penyidik adalah :


a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-
undang.
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil, dapat diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik pegawai
negeri sipil.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berwenang:
1 menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana bidang kelautan dan perikanan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
2 melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan tentang adanya tindak pidana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
3 memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
4 melakukan pemeriksaan prasarana Wilayah Pesisir dan
menghentikan peralatan yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
5. Menyegel dan/atau menyita bahan dan alat-alat
kegiatan yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagai alat bukti;
6. mendatangkan Orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tindak pidana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
7. membuat dan menandatangani berita acara
pemeriksaan;
8. melakukan penghentian penyidikan; dan
9. mengadakan tindakan lain menurut hukum.
Kewenangan penyidik yaitu:
a. menerima laporan atau pengaduan dan seseorang
tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;
b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
c. membawa dan menghadapkan seorang sebagai
tersangka dan/atau saksi untuk didengar
keterangannya;
d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang
diduga dipergunakan dalam atau menjadi tempat
melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa,
dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka
melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
Kewenangan penyidik yaitu:
f. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
perikanan;
g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana
di bidang perikanan;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan;
i. membuat dan menandatangani berita acara
pemeriksaan;
j. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang
digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k. melakukan penghentian penyidikan; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
3. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat
(1) masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya itu
masih hidup,
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
yang masih hidup harus memiliki wilayah dan paling kurang
memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:
a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama
dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. perangkat norma hukum adat.

(2) sesuaidenganperkembanganmasyarakat,
(2) Sesuai dengan perkembangan
masyarakat,
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan
masyarakat apabila:
a. keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang
yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai
yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik
undang- undang yang bersifat umum maupun bersifat
sektoral; dan
b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh
warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan
masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan
hak asasi manusia.
(3) sesuai pula dengan prinsip Negara
Kesatuan RI.
Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara
Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan
politik dan kesatuan hukum yang:
a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara
Kesatuan Republik lndonesia; dan
b. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
• Nyata jelas konstitusi kita
mengisyaratkan bahwa
kepentingan negara, yang
diidentifikasi pula sebagai
kepentingan nasional sebagaimana
yang harus dijaga oleh kekuasaan
nasional yang sentral, tetaplah
harus didahulukan.
1. Masalah bentuk peraturan
perundang-undangan
untuk pengaturan
pengakuan dan
penghormatan
masyarakat hukum adat
oleh Negara.
• Pengakuan dan penghormatan Negara terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, diatur
dalam undang-undang.
• Hal ini berarti bahwa baju hukum untuk sistem pengakuan dan
pe0nghormatan masyarakat hukum adat dalam bentuk undang-
undang.
• Selain merupakan perintah konstitusi, pengaturan “dalam undang-
undang” ini karena materi muatan pengakuan dan penghormatan
kesatuan masyarakat hukum adat terkait dengan hak asasi manusia.
• Bahwa melindungi hak-hak masyarakat hukum adat adalah sebagai
hak asasi manusia agar dapat hidup aman, tumbuh, dan
berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaannya serta terlindungi dari tindakan
diskriminasi
• Ekstsitensi hukum adat telah mendapatkan
pengakuannya dalam bnetuk undang-undang salah
satunya melalui UU No. 5 tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.
• Pada Tahun 2014, Kemendagri mengeluarkan
Peratruan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut
dengan Permendagri PPMHA).
Menurut Permendagri PPMHA, Masyarakat
Hukum Adat itu:

a. Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas,


b. Hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya,
c. Memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan
tempat tinggal,
d. Terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan
hidup, serta
e. Adanya system nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu
wilayah tertentu secara turun temurun.
Selanjutnya yang dimaksud dengan Wilayah
Adat adalah
a. Tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber
daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu,
b. dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan
secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat
yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan
kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
f. Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur
tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya bangsa
Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa
ditaati dan dihormati untuk keadilandan ketertiban masyarakat, dan
mempunyai akibat hukum atau sanksi.
• Menurut Permendagri PPMHA, Gubernur dan
Bupati/Walikota lah yang melakukan pengakuan
dan perlindungan masyarakat hukum adat (Pasal 2
Permendagri PPMHA).
• Dengan demikian, wilayah laut dan pesisir yang
diklaim sebagai wilayah adat, maka masyarakat
hukum adat yang mengklaimnya tersebut harus
telah mendapatkan pengakuan dari Gubernur dan
Bupati/Walikota.
Berdasarkan Permendagri PPMHA Pasal
4, PPMHA dilakukan melalui tahapan:

a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat;


b. verifikasi dan validasi Masyarakat
Hukum Adat; dan
c. penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Identifikasi dilakukan Bupati/walikota melalui Camat dengan
melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok
masyarakat (Pasal 5). Identifikasi dilakukan dengan
mencermati:

a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;


b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
• Hasil identifikasi tersebut dilakukan verifikasi dan
validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat
kabupaten/kota.
• Hasil verifikasi dan validasi, diumumkan kepada
Masyarakat Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu)
bulan. Panitia Masyarakat Hukum Adat
kabupaten/kotamenyampaikan rekomendasi kepada
Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi.
• Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat
berdasarkanrekomendasi Panitia Masyarakat Hukum
Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
Dalam hal masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih
kabupaten/kota, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah.

Menurut draft RUU PPMHA inisiatif DPR pertanggal 1 november


2013, MHA memiliki karakteristik (Pasal 4):
a. sekelompok masyarakat secara turun temurun
b. bermukim di wilayah geografis tertentu
c. adanya ikatan pada asal usul leluhur
d. adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah,
sumberdaya alam
e. memiliki pranata pemerintahan adat.
f. Adanya tatanan hukum adat di wilayah adatnya.
Selanjutnya dalam Bab II Ruang Lingkup
Pengakuan dan Perlindungan pada Pasal
5, mengatur cara melakukan PPMHA,
yaitu:
a. identifkasi MHA
b. verifikasi MHA
c. penetapan MHA.
Baik idenifikasi, verifikasi maupun penetapan sebenarnya
merupakan suatu tahapan bukan cara melakukan PPMHA.
Dalam RUU PPMHA, identifikasi MHA dilakukan sendiri
oleh MHA dan/atau Pemerintah Daerah.
Identifikasi tersebut pali sedikit memuat data dan informasi
mengenai:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
• Hal yang berbeda dengan Permendagri
PPMHA adalah bahwa MHA tidak
melakukan sendiri identifikasi MHA nya,
• sementara itu dalam RUU PPMHA hanya
melibatkan Bupati/Walikota melalui
Camat.
• Kedudukan MHA dalam tahapan
identifikasi MHA bahwa cukup MHA
sebagai pihak yang dilibatkan.
• Selanjutnya menurut RUU PPMHA, hasil identifikasi
diverifiaksi dan divalidasi oleh Panitia MHA
Kabupaten/Kota.
• Hasil verifikasi dan validasi diserahkan kepada
Bupati/Walikota untuk mendapatkan penetapan dengan
Keputusan Bupati. Jika hasil identifikasi tersebut berada
di wilayah paling sedikit 2 kabupaten dalam 1 provinsi
maka hasil identifikasi diserahkan kepada Panitia MHA
Provinsi untuk dilakukan verifikasi.
• Hasil verifikasii Panitia MHA Provinsi diserahkan
kepada Gubernur untuk mendapatkan penetapan
hasil akhir dengan Keputusan Gubernur.
• Jika hasil identifikasi tersebut berada di
wilayah minimal 2 provinsi dalam maka
hasil identifikasi diserahkan kepada
Panitia MHA Nasional untuk dilakukan
verifikasi.
• Hasil verifikasii Panitia MHA Nasional
diserahkan kepada Presiden untuk
mendapatkan penetapan hasil akhir
dengan Keputusan Presiden.
• Jika merujuk pada UU Desa Pasal 96, Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan
kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan
menjadi Desa Adat.
• Dalam penjelasan Pasal 96, Penetapan kesatuan
masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang sudah
ada saat ini menjadi Desa Adat hanya dilakukan
untuk 1 (satu) kali. Selanjutnya dalam Pasal 97,
Penetapan Desa Adat memenuhi syarat:
a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang
bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat
fungsional;
b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat; dan
c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Desa Adat
ditetapkan dengan Peraturan Daerah
• Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
(Pasal 98 UU Desa).
• Yang dimaksud dengan “Penetapan Desa Adat “ adalah penetapan
kesatuan MHA dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama
kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
• (penjelasan Pasal 7 ayat (4) huruf e UU Desa.
• Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak
asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang
ada di tengah masyarakat.
• Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang
secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang
terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
• Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk
berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial,
dan/atau gabungan genealogis dengan teritorial. Yang diatur
dalam Undang- Undang ini adalah kesatuan masyarakat
hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis
dan teritorial (Penjelasan Umum UU Desa).
• Mengacu pada data di atas maka persyaratan penetapan
Desa sama dengan persyaratan pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat sebagaimana amanat Pasal 18 B
UUD NRI Tahun 1945 sehingga jika untuk menetapkan Desa
Adat dilakukan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,
maka penetapan pengakuan dan perlindungan MHA
dilakukan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
3. Masalah terkait dengan perlu/tidaknya mendapatkan pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat terkait dengan hak-hak
masyarakat adat di wilayah tersebut.
• Masyarakat hukum pada dasarnya hadir sebelum negara ini
terbentuk. Hal ini berarti masyarakat hukum adat sebagai salah
satu pembentuk negara ini. Oleh karena itu muncul pertanyaan
apakah masyarakat hukum adat perlu mendapat pengakuan.
• Bahwa masyarakat hukum adat perlu mendapatkan pengakuan
dari Negara. Hal ini mengingat kemungkinan masyarakat hukum
adat yang dahulu masih hidup namun saat ini sudah punah.
• Kemungkinan lain adalah bahwa masyarakat hukum adat ada
juga yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan RI.
• Pengakuan dan perlindungan dari Negara itu tidak hanya
bersifat deklaratif melainkan juga konstitutif sehingga
pengakuan itu menimbulkan konsekuensi hukum.
• Terhadap perlindungan dari Negara secara konstitutif
mengarah pada bagaimana negara menjaga dan
mempertahankan hak-hak masyarakat hukum adat dari
intervensi dari pihak lain.
• Pengakuan dan perlindungan masyarakatm bagi
pemerintah dalam memenuhi hak-hak masyarakat
hukum adat serta sebagai dasar dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pengembangan program
pemerintahan
C. Aspek Pelayanan Hukum
1. Pengaturan Investasi Asing di Pulau Kecil
• Pulau kecil memiliki potensi ekonomi yang cukup besar
untuk dimanfaatkan dalam membangun perekonomian
nasional, salah satunya melalui investasi.
• Peluang investasi di pulau-pulau kecil masih terbuka,
tidak hanya wisata bahari tetapi juga meliputi usaha
perikanan dan kelautan, pertanian organik,
peternakan, industri, permukiman, perkebunan, usaha
pertambangan, transportasi, dan pelabuhan.
• Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa investasi di pulau-
pulau kecil tidak dilarang sepanjang sesuai dengan
persyaratan yang telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun
2014.
• Menurut Pasal 26A ayat (1) UU No. 1 Tahun 2014,
pemanfaatan pulau- pulau kecil dan pemanfatan perairan di
sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus
mendapat izin Menteri.
• Penanaman modal asing tersebut harus mengutamakan
kepentingan nasional (Pasal 26A ayat 2).
• Pemberian izin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan terlebih
dahulu harus mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Wali Kota
(Pasal 26 ayat 3). Lebih lanjut, Pasal 26A ayat (4) memuat
persyaratan izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan
pemanfaatan perairan di sekitarnya, yaitu:
a. badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b. menjamin akses publik;
c. tidak berpenduduk;
d. belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal;
e. bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f. Melakukan pengalihan saham secara bertahap
kepada peserta Indonesia;
g. melakukan alih teknologi; dan
h. memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan
ekonomi pada luasan lahan.
• Dengan demikian, investasi asing di pulau-pulau
kecil bukanlah sesuatu yang dilarang, sepanjang
investor mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
• Khusus untuk pengalihan saham secara bertahap
kepada peserta Indonesia dan luasan lahan dengan
memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi
diamanatkan untuk ditetapkan melalui Peraturan
Presiden (Pasal 26A ayat 5).
• Oleh karena itu, diperlukan pengaturan mengenai
investasi asing di Pulau-Pulau Kecil.
• Sebagaimana disebutkan di atas, hal penting yang harus
diperhatikan, yaitu pengaturan Presiden tentang pengalihan
saham secara bertahap kepada peserta Indonesia dan
luasan lahan.
• Menurut UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan (PT)
dapat melakukan pengalihan saham dengan syarat sudah
disetujui dalam rapat pemegang saham (RUPS).
• Bila dalam anggaran dasar perusahaan dicantumkan
adanya keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada
pemegang saham lainnya atau di internal, prioritas pertama
hak untuk membeli saham ditawarkan secara internal baru
kemudian ditawarkan kepada pihak eksternal (Pasal 57 UU
No. 40 Tahun 2007)
• Dalam konteks penanaman modal terjadi pengalihan seluruh (100%)
kepemilikan saham asing dalam perusahaan penanaman modal
asing yang telah memiliki izin prinsip atau izin usaha dan sudah
berbadan hukum (PT) kepada penanam modal dalam negeri
sehingga seluruh modal perseroan menjadi modal dalam negeri,
perusahaan wajib mengajukan izin prinsip atau izin usaha (Pasal 24
ayat (2) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009) dan status
perusahaan berubah dari penanaman modal asing menjadi
penanaman modal dalam negeri.
• Hal ini sesuai definisi penanaman modal asing (Pasal 1 ayat (3)
Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009) menyebutkan bahwa
Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal
asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam
modal dalam negeri. Jadi karena modal asing tidak ada lagi yang
tersisa maka perusahaan disebut penanaman modal dalam negeri.
• Demikian juga perusahaan penanaman modal
dalam negeri mempunyai izin prinsip dan izin usaha
sudah badan hukum (PT) terjadi perubahan dalam
modal perseroan karena masuknya modal asing
seratus persen (100%) atau hanya sebagian saja,
wajib mengajukan izin prinsip atau izin usaha
penanaman modal asing karena status perusahaan
berubah dari penanaman modal dalam negeri
menjadi penanaman modal asing. Jadi sekecil
apapun modal asing masuk kedalam perusahaan
penanaman modal dalam negeri akan mengubah
status penanaman modal dari penanaman modal
dalam negeri menjadi penanaman modal asing.
• Persyaratan utama proses pengalihan saham perusahaan
penanaman modal asing atau dalam negeri adalah
persetujuan seluruh pemegang saham mengalihkan atau
menjual saham perusahaan kepada pihak lain yang dicatat
kemudian didokumentasikan dalam RUPS. Bagi perubahan
kepemilikan saham asing menjadisaham dalam negeri
diperlukan surat pengantar dari BKPM dan permohonan
diajukan kepada PTSP daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota)
karena kewenangan urusan penanaman modal dalam
negeri ada di daerah. Untuk perubahan saham dalam
negeri menjadi saham asing dan permohonan
diajukan kepada PTSP BKPM karena PMA bukan
kewenangan daerah.
• Perusahaan punya pertimbangan sendiri dalam kegiatan penanaman
modal apakah memiliki atau tidak memiliki pendaftaran karena tidak
butuh fasilitas fiskal atau memiliki izin prinsip karena membutuhkan
fasilitas fiskal. Bagi perusahaan penanaman modal negeri berbadan
hukum (PT) yang tidak memiliki izin prinsip atau belum memiliki izin
usaha dan izin prinsip, kemudian melakukan perubahan penyertaan
modal perseroan karena masuknya seluruh atau sebagian modal asing
sehingga modal perseroan (PT) terdapat modal asing wajib melakukan
pendaftaran penanaman modal asing sehingga status perusahaan
menjadi perusahaan penanaman modal asing.
• Sedangkan perusahaan penanaman modal asing sudah berbadan
hukum (PT) yang memiliki pendaftaran dan kemudian terjadi perubahan
penyertaan modal perseroan karena keluarnya seluruh modal asing
wajib melakukan pendaftaran dan status perusahaan berubah dari pma
menjadi pmdn. Permohonan pendaftaran penanaman modal diajukan
ke PTSP BKPM bagi PMA dan ke daerah bagi PMDN.
Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) UU 25/2007,
jenis-jenis bidang usaha yang tertutup bagi
penanaman modal asing yaitu:
a. produksi senjata, mesin, alat peledak, dan
peralatan perang; dan
b. bidang usaha yang secara eksplisit
dinyatakan tertutup berdasarkan undang-
undang.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Perka BKPM 5/2013, untuk memulai
kegiatan usahanya, PMA wajib memiliki izin prinsip. Yang termasuk
dalam “memulai kegiatan usaha” antara lain (Pasal 23 ayat (1) Perka
BKPM 5/2013):
a) pendirian usaha baru, baik dalam rangka Penanaman Modal
Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Asing,
b) memulai kegiatan usaha dalam rangka Penanaman Modal
Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing, sebagai akibat dari
terjadinya perubahan pemilikan seluruh/sebagian modal
perseroan dalam badan hukum, atau
c) memulai kegiatan usaha di lokasi baru, untuk Penanaman Modal
Dalam Negeri dengan bidang usaha yang merupakan
kewenangan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, sebagai
akibat dari terjadinya perpindahan lokasi proyek.
Perubahan tersebut meliputi (Pasal 31 ayat (2) Permendag
27/2012):
a. perubahan bentuk badan usaha, susunan pengurus/direksi, nama
dan alamat perusahaan serta Nomor Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) atau surat izin usaha dari instansi terkait,
Nomor Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) dan/atau Nomor Surat Keterangan Domisili, untuk
perusahaan pemilik API-U; atau
b. perubahan bentuk badan usaha, susunan pengurus/ direksi,
nama dan alamat perusahaan dan Nomor Izin Usaha Industri
(IUI) atau izin usaha industri lain dari instansi terkait, Nomor
Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dan/atau Nomor Surat Keterangan Domisili, untuk
perusahaan pemilik API-P.
2. Standar Operasional Prosedur
Pelaksanaan

• Sesuai ketentuan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 2014, bahwa


setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian
perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil
secara menetap wajib memiliki izin lokasi dan izin lokasi tersebut
menjadi dasar pemberian izin pengelolaan. Ketentuan Pasal 16
ini merupakan perubahan dari Pasal 16 UU No. 27 Tahun 2007
yang mengatur mengenai Hak Penguasaan Perairan Pesisir
(HP3) yang dianggap memberi keleluasan kepada investor asing
dengan hak pengelolaan dan pengusahaan perairan atas izin
pemerintah daerah setempat sehingga banyak pemda dengan
mudahnya memberikan hak kelola itu kepada asing.
2. Standar Operasional Prosedur
Pelaksanaan
• Hal inilah menjadi salah satu materi gugatan yang diajukan
oleh LSM terhadap UU No. 27 Tahun 2007 melalui Putusan
MK No. 3/PUU-VIII/2010.
• Terdapat dua bagian penting dalam putusan tersebut yakni
pertama, membatalkan keseluruhan pasal- pasal yang
terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3);
dan kedua, menilai Pasal 14 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007
yang meniadakan partisipasi masyarakat pesisir dalam
penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dan dinyatakan melanggar UUD 1945.
3. Fasilitasi Perizinan
• Dalam Pasal 20 UU No. 1 Tahun 2014 dinyatakan bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberian
izin lokasi dan izin pengelolaan kepada masyarakat lokal dan
masyarakat tradisional.
• Artinya bahwa masyarakat lokal dan masyarakat tradisional tetap
harus memperoleh izin pengelolaan wilayah pesisir meskipun itu
untuk pemenuhan kebutuhan sehari- hari.10 Meskipun difasilitasi
oleh pemerintah,
• hal tersebut berarti telah melakukan pembiaran persaingan antara
nelayan tradisional dengan pengusaha padahal kondisinya
berbeda antara pengusaha dan nelayan /masyarakat lokal baik
dari sisi aakses permodalan, teknologi maupun pengetahuan.
D. Aspek Budaya Hukum
• Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat kesadaran hukum
warganya. Semakin tinggi kesadaran hukum penduduk suatu negara,
akan semakin tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
• Faktor kesadaran hukum ini mempunyai peran penting dalam
perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran
masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya. Sebaliknya,
semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor
kepatuhan hukum.
• Kesadaran hukum masyarakat yang pada gilirannya akan
menciptakan suasana penegakan hukum yang baik, yang dapat
memberikan rasa keadilan, menciptakan kepastian hukum dalam
masyarakat dan memberikan kemanfaatan bagi anggota masyarakat.
KESIMPULAN
1. Arah pengaturan dan kebijakan dalam
pembangunan hukum nasional terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
untuk mewujudkan kepastian hukum dan
keberlanjutan pengelolaan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.
2. Masih ada beberapa permasalahan terkait
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
diantaranya:
a. Aspek Materi Hukum:
- Koordinasi antara Pasal 9 ayat (1) huruf e UU No 1/2014 terkait dengan izin pengelolaan dan
izin pengusahaan sebagaimana dalam Pasal 8 PP No 36/2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman
- Wisata Alam;
- Konflik antara UU No. 26/2007 tentang Penataan ruang terkait rencana rinci tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UU 26/2007 menjelaskan bahwa rencana
rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan
peraturan daerah dengan Pasal 9 ayat (5) UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang juga ditetapkan melalui Peraturan Daerah;
- Adanya perbedaan kewenangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil
antara UU No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Tahun 2014
tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
- Adanya multitafsir antara Pasal 84 UU No. 31/2004 tentang Perikanan dengan Pasal 73 UU
No. 27/2007 Jo UU N0 1/2014 dimana adanya sanksi pidana yang berbeda terhadap tindak
pidana yang mengakibatkan kerusakan yang sama terhadap terumbu karang.
b. Aspek Kelembagaaan:
- Tumpang tindih lembaga pengelola kawasan
konservasi. Secara hukum sudah diatur
peralihan kawasan konservasi dari
kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehuatanan ke Kementerian Kelautan dan
Perikanan namun dalam prakteknya di
lapangan masih dikelola oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
- Kewenangan penyelidikan dan
penyidikan
- Belum adanya pengakuan pemerintah
terhadap masyarakat adat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan,
dalam arti perlu pengaturan masyarakat
hukum adat yang tidak mendelegitemasi
masyarakat hukum adat.
c. Aspek Pelayanan Hukum:
- Belum adanya pengaturan lebih lanjut terkait izin lokasi dan
izin pengelolaan yang meliputi syarat, tata cara pemberian,
pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya Izin
Lokasi dan Izin Pengelolaan;
- Belum adanya pengaturan lebih lanjut terkait investasi
asing di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terutama
terkait pengalihan saham dan luasan lahan;
- Belum adanya pengaturan lebih lanjut terkait kewajiban
pemerintah untuk memfasilitasi pengurusan izin oleh
masyarakat, dan tidak ada sanksi apabila kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan.
d. Aspek Budaya Hukum:
- Kepatuhan hukum terhadap hukum adat; Nelayan dan pembudidaya ikan lebih
mematuhi hukum adat dibanding hukum formal.

3. Permasalahan tersebut diatas menimbulkan ketidakpastian hukum, mengganggu


rasa keadilan masyarakat, pembebanan yang berlebihan pada anggaran daerah
karena harus membuat dua Perda yang berbeda, konflik pengalihan kelembagaan
yang berlarut-larut akan menimbulkan tidak efektif dan tidak efisiennya organisasi.
• Selain itu pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dapat
semakin tergerus eksistesinya apabila tidak diberikan pengaturan yang
seharusnya. Apabila pengaturan lebih lanjut terkait perizinan dan fasilitasi
perizinan tidak segera ditetapkan maka dapat berakibat pada ketidakjelasan
prosedur perizinan, Ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pusat dan
daerah serta akan menghambat investasi.
• Bentuk fasilitasi/pemberdayaan masyarakat yang tidak memperhatikan
kebutuhan masyarakat dapat merugikan kepentingan/keberadaan masyarakat
lokal.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai