Anda di halaman 1dari 6

1

a. Negara pada hakikatnya berdasarkan kodrat manusia sebagai zoon politicon memang benar
adanya, manusia merupakan mahluk sosial (zoon politicon) yang tidak dapat dipisahkan dari
Masyarakat/negara, dimana manusia satu dengan lainnya akan saling membutuhkan dan
berinteraksi satu sama lain, terjadinya negara pun karena penggabungan keluarga menjadi
kelompok, kelompok bergabung menjadi desa, dan desa tersebut menjadi kota/negara.
b. Antara kepentingan manusia (masyarakat) dengan kepentingan negara maka yang utama
adalah kepentingan negara, karena apabila kepentingan negara dapat terpenuhi dan
terpelihara dengan baik, maka dengan sendirinya kepentingan warga negaranya juga akan
terpenuhi dan terpelihara dengan baik pula. Hal ini sesuai dengan paham yang
dikemukakan Aristoteles yang dikenal dengan pahan “Universalisme” karena secara individu
manusia tidak akan mempunyai dasar kehidupan, karena yang mempunyai dasar kehidupan
tersebut adalah negara.
c. Negara adalah suatu bentuk persekutuan hidup yang paling tinggi, karena memiliki tujuan
yang paling tinggi, yaitu kebaikan yang tertinggi bagi manusia. Hal ini berarti negara harus
senantiasa mengupayakan serta menjamin adanya kebaikan yang seoptimal mungkin bagi
warga negaranya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Biasanya tujuan negara itu
tercantum dengan tegas dalam konstitusi negara. Di dalam negara, manusia yang menjadi
warga negaranya harus dapat menikmati kehidupan yang aman dan tenteram. Oleh karena
itu, negara harus dapat melindungi warga negaranya dari berbagai serangan dari luar, juga
harus dapat melindungi warga negaranya dari berbagai gangguan yang berasal dari dalam
negara seperti ketidakteraturan dan ketidaktertiban. Negara harus mengupayakan dan
menjamin sebesar-besarnya kesejahteraan bersama warga negaranya, karena hanya di
dalam kesejahteraan bersama itulah, kesejahteraan individual dapat diperoleh. Negara ideal
adalah negara yang memanusiakan manusia.
2
a. Dalam uraiannya Mac Iver tentang bentuk-bentuk pemerintahan sesungguhnya yang
dimaksudkan adalah uraian tentang bentuk negara, Mac Iver mengatakan bahwa
sebenarnya bentuk-bentuk pemerintahan itu sangatlah sulit untuk diklasifikasikan, hal ini
disebabkan karena sistem pemerintahan yang pernah ada dalam sejarah ketatanegaraan
tidaklah banyak yang dapat mempertahankan dirinya agak lama. Sistem itu mesti
mendapatkan pengaruh dari kekuatan-kekuatan baru karenanya secara cepat ataupun
secara perlahan-lahan tentu mengalami perubahan. Akibatnya meskipun namanya itu masih
tetap, tetapi pengertiannya telah mengalami perubahan-perubahan. Sebagai contoh
misalnya nama atau istilah demokrasi, ini pengertiannya adalah berlainan sekali apabila kita
bandingkan pengertian demokrasi kuno, misalnya yang berkembang pada jaman Yunani
kuno, dengan pengertian demokrasi pada jaman modern.
b. Monarki konstitusional adalah monarki yang didirikan di bawah sistem konstitusional yang
mengakui raja (atau kaisar) sebagai kepala negara. Monarki konstitusional yang modern
biasanya menggunakan konsep trias politico, atau politik tiga serangkai. Ini berarti, raja
ketua simbolis cabang eksekutif. Jika seorang raja mempunyai kekuasaan pemerintahan
yang penuh,. Monarki konstitusional lazimnya digabung dengan demokrasi representatif.
Oleh karena itu, kerajaan masih di bawah kekuasaan rakyat, tetapi raja mempunyai peranan
tradisional di dalam sebuah negara. Pada hakikatnya, perdana menteri, pemimpin yang
dipilih oleh rakyat, yang memerintah negara. Beberapa sistem monarki konstitusional
mengikuti keturunan, sedangkan yang lain melalui sistem demokratis, seperti di Malaysia,
Yang dipertuan-agong dipilih oleh Majelis Raja-raja setiap lima tahun.
c. Dalam sistem pemerintahan Malaysia, Negara Malaysia merupakan sebuah negara federasi
yang terdiri atas tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan di Asia Tenggara.
Sistem pemerintahan Malaysia bermodelkan sistem parlementer Westminter, warisan
Penguasa Kolonial Britania. Akan tetapi, di dalam praktiknya, kekuasaan lebih terpusat pada
eksekutif daripada legislatif, dan yudikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari
pemerintah selama zaman Mahathir, kekuasaan yudikatif dibagikan antara pemerintah
persekutuan dan pemerintah negara bagian. Mengingat malaysia menganut sistem raja
namun sistem tersebut terbatas menikuti sistem monarki konstitusional keturunan.
3
a. Negara federasi merupakan negara yang di dalamnya terdapat pembagian kekuasaan
antara pemerintahan pusat dengan unsur-unsur kesatuannya (provinsi, negara bagian,
wilayah, kawasan, atau republik). Bentuk negara federasi sesuai untuk negara dengan
kawasan geografis yang luas, ketimpangan ekonomi yang cukup tajam, banyaknya ragam
budaya yang terdapat dalam negara tersebut. Pada negara federasi, kedaulatan hanya ada
di tangan pemerintah federal. Namun, negara-negara bagian memiliki kekuasaan yang lebih
besar dalam mengatur penduduknya daripada kekuasaan pemerintah daerah yang terdapat
di dalam negara kesatuan. Kekuasaan negara bagian pada negara federasi diatur dalam
konstitusi federal.
b. Sistem Federal mengharuskan kebijakan dasar dibuat dan diimplementasikan melalui
negosiasi dalam beberapa bentuk, sehingga semua anggota dapat berbagi dalam membuat
dan melaksanakan keputusan. Dalam sebuah federasi, status pemerintahan dari negara-
negara bagian, serta pembagian kekuasaan antara negara-negara bagian dan pemerintah
pusat, biasanya secara konstitusional mengakar dan tidak boleh diubah oleh keputusan
sepihak dari salah satu pihak, negara bagian atau badan politik federal. Sebagai alternatif,
federasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan kedaulatan secara formal
dibagi antara otoritas pusat dan sejumlah daerah konstituen sehingga masing-masing
daerah mempertahankan tingkat kontrol atas urusan internalnya. Yang perlu diingat bahwa
negara federalis adalah suatu bentuk negara yang memiliki pemerintahan dimana negara
bagianya bekerjasama dalam membentuk suatu kesatuan yang disebut dengan federalis.
Sehingga dari masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan juga
pemerintahan pusat yang mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional.
c. Alasan masing-masing negara mengadakan kesepakatan membentuk sebuah negara
federal yaitu karena beberapa alasan : adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-
kesatuan politik yang hendak membentuk federasi itu, dan adanya keinginan pada
kesatuan-kesatuan politiik yang hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan
terbatas, dan beberapa keuntungan yang didapat seperti Kewenangan pejabat daerah lebih
luas sehingga diharapkan lebih kreatif, daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam
yang bagus bisa lebih cepat berkembang daripada yang tidak, tokok-tokoh yang berasal dari
daerah di tingkat nasional sangat merata berasal dari keseluruhan daerah walaupun ada
juga yang tidak berkualitas, pejabat daerah mempunyai wewenang yang lebih luas sehingga
diharapkan bisa lebih kreatif.

a. Dalam checks and balances system, masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan


mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolak
ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi. Upaya
pengawasan dan keseimbangan antara badan-badan yang mengatur Trias
Politica memiliki prinsip-prinsip dengan berbagai macam fariasi, misalnya:
 The four branches: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di gunakan
sebagai bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki kemampuan
kontrol, dan memberikan informasi.
 Di Amerika Serikat, tingkat negara bagian menganut Trias Politica sedangkat tingkat
negara adalah badan yudikatif.
 Di Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensi
 Sementara itu, di Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara keseluruhan.
Legislatif di isi dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan presiden, dan yudikatif oleh
mahkamah konstitusi dan mahkamah agung.
b. Kekuasaan kehakiman senantiasa ditegaskan sebagai kekuasaan yang terpisah dengan
lembaga kekuasaan lainnya dan merupakan kekuasaan yang merdeka. Dengan adanya
checks balance system masih diragukan dan harusnya diberi peraturan yang lebih ketat
lagi. Ada beberapa dasar pemikiran mengapa hal itu dilakukan. Pertama, pemegang
kekuasaan kehakiman harus netral terhadap segala bentuk sengketa antara pemegang
kekuasaan dan rakyat. Karenanya, kekuasaan kehakiman harus lepas dari pengaruh
kekuasan lainnya. Kedua,Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang lemah
dibanding kekuasan legislatif dan eksekutif. Maka dari itu, perlu penguatan secara normatif,
misalnya larangan tentang segala bentuk campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman.
Ketiga, Kekuasaan kehakiman akan menjamin tidak dilanggarnya prinsip “setiap kekuasaan
tunduk pada hukum”. Keempat, Dalam konteks demokrasi, untuk menjamin terlaksananya
undang-undang sebagai wujud kehendak rakyat, diperlukan badan netral yaitu kekuasaan
kehakiman yang mengawasi, menegakkan, atau mempertahankan undang-undang.
c. Prinsip checks and balances relatif masih baru diadopsi ke dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, utamanya setelah amandemen UUD 1945, sehingga dalam prakteknya masih
sering timbul “konflik kewenangan” antar lembaga negara atau pun dengan/atau antar
komisi-komisi negara. Indonesia menerapkan prinsip tersebut memang belumlah sempurna
karena desain kelembagaan negara paska reformasi masih sangat banyak jumlahnya,
terkadang tumpang tindih kewenangannya, dan belum ideal untuk menampung kebutuhan
ketatanegaraan Indonesia.  Akibatnya, konflik kewenangan antar lembaga/komisi/badan
negara tak terhindarkan. Disisi lain, konflik kewenangan antar lembaga/komisi/badan
negara juga belum dapat sepenuhnya ditampung oleh Mahkamah Konstitusi, karena
kewenangan Mahkamah Konstitusi baru sebatas pada konflik antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Ke depan perlu ada perluasan pemaknaan
terhadap lembaga negara sehingga konflik-konflik kewenangan antar kelembagaan negara
atau pun daerah ada saluran untuk menyelesaikannya secara yuridis. Adanya pergeseran
kewenangan membentuk undang-undang dari eksekutif ke legislatif memberikan satu
pertanda ditinggalkannya prinsip “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan
prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (separation of power) dengan
prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran
lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.

Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki
jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Dalam pembentukan undang-undang, belum
sepenuhnya ideal. Kehadiran DPR dan DPD yang oleh UUD 1945 keduanya diberi
kewenangan bidang legislasi,  praktek checks and balances belum dapat dijalankan
sepenuhnya karena kedudukan dan kewenangan antara DPR dan DPD tidak seimbang.
Sehingga dalam pembentukan undang-undang lebih didominasi oleh DPR. Andaipun ada
usulan RUU dari DPD, disain UUD 1945 belum memungkinkan DPD ikut membahas RUU
tersebut bersama-sama DPR dan Presiden.

Dalam pengujian peraturan perundang-undangan juga belum ideal karena terpecahnya


kewenangan untuk menguji peraturan di bawah UU terhadap UU ada pada Mahkamah
Agung, dan Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD. Undang-Undang sebagai
produk DPR dan Presiden, manakala menurut pengujian Mahkamah Konstitusi norma-norma
di dalamnya bertentangan dengan UUD 1945, dapat dibatalkannya. Bahkan dalam beberapa
hal putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya menyatakan norma tertentu atau undang-
undang bertentangan dengan UUD, tetapi juga menambah norma baru, sehingga fungsinya
sebagai negative legislator bergeser menjadi positive legislator. Pengawasan terhadap
perilaku hakim yang kewenangannya dilimpahkan ke Komisi Yudisial juga belum ideal,
karena hakim konstitusi tidak dapat diawasi oleh Komisi Yudisial. Ke depan harus lebih
ditegaskan dalam UUD 1945 apa yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Berbagai
perkembangan ketatanegaraan Indonesia setelah 13 tahun reformasi sudah sepatutnya
menjadi bahan pencermatan MPR untuk mengkaji kembali disain UUD 1945 dan
kelembagaan kenegaraannya agar lebih efektif dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai