Anda di halaman 1dari 14

Tugas : Kesehatan Lingkungan Pesisir dan Kepulauan

Dosen : dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc, Ph.D


Semester : III (Tiga)

Kebijakan dan Pengelolaan Pembangunan


Wilayah Pesisir dan Kepulauan

OLEH:

KELOMPOK 1

ARPAN TOMBILI (P1801213004)


ASRIANI (P1801213011)
FITRIANI SUDIRMAN (P1801213402)
AHMAD FAARIS HUMAAN (P1801213406)
ABDILLAH (P1801213412)
LILISKARLINA (P1801213417)
SYAMSIR (P1801213423)

KONSENTRASI KESEHATAN LINGKUNGAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PPS UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanu wa taala yang

telah memberikan rahmat karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul Kebijakan dan

Pengelolaan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Kepulauan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak yang telah

membantu memberikan ide dan saran dalam pembuatan makalah ini. Penulis juga

menyampaikan terima kasih kepada dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc, Ph.D sebagai dosen

penanggung jawab mata kuliah.

Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga kekurangan dalam

makalah ini dapat diperbaiki. Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala

usaha kita. Amin ya Rabb.

Makassar, 9 Oktober 2014

Kelompok I
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara geografis Indonesia membentang dari 60o LU sampai 110o LS dan 920o
sampai 1420o BT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih
17.504 pulau. Tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan panjang
garis pantai 95.161 km, terpanjang kedua setelah Kanada.
Bahkan Pasal 25A UUD 1945 (hasil amandemen kedua UUD 1945),
menyebutkan bahwa NKRI adalah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan
wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-undang. Ini
semakin mengukuhkan eksistensi Indonesia sebagai negara maritim. Selain itu,
diberlakukannya secara efektif Konvensi Hukum Laut Internasional pada tahun 1994
menetapkan Indonesia, sebagai suatu negara kepulauan yang terbesar di dunia, secara
hukum internasional.
Wilayah laut dan pesisir adalah kawasan yang sangat penting bagi sebagian besar
penduduk Indonesia. Menurut Departemen Kelautan Dan Perikanan (2003), bahwa lebih
dari 14 juta penduduk atau 7,5% dari total penduduk Indonesia menggantungkan
hidupnya pada kegiatan yang ada di kawasan pesisir. Sekitar 26% dari total Produk
Domestik Bruto Indonesia disumbangkan dari kegiatan dan sumberdaya laut dan pesisir.
Namun kekayaan sumber daya pesisir yang dimiliki Indonesia, tidak diimbangi
dengan penjagaan lingkungan wilayah pesisir sehingga kondisi kawasan pantai
diberbagai lokasi di Indonesia sangat mengkhawatirkan yang diakibatkan oleh adanya
kejadian abrasi. Sekitar 100 lokasi di 17 provinsi dengan panjang pantai kurang lebih 400
Km telah mengalami erosi pantai yang mengkhawatirkan. Jumlah catatan kejadian
bencana abrasi di Indonesia mulai dari 1815 sampai dengan 2013 adalah sebanyak 192
kali.
Sebagai contoh, wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, dari tahun
ke tahun mengalami kerusakan yang cukup parah, terutama kawasan yang berhadapan
langsung dengan selat Malaka yang memiliki karakteristik gelombang laut yang cukup
kuat. Selain itu, Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Riau (2014), terjadinya kerusakan
kawasan pesisir disebabkan berkurangnya luas Hutan Mangrove di Kecamatan Tebing
Tinggi kabupaten Bengkalis. Kondisi ini diperparah dengan belum adanya peraturan
daerah Kabupaten Bengkalis atau kebijakan dari Pemerintah Daerah maupun dari Dinas
Kehutanan Kabupaten Bengkalis sendiri terhadap perlindungan hutan mangrove.
Sumber daya perikanan di sekitar wilayah pesisir merupakan sumber mata
pencaharian bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Mengingat sifat hakikat
perairan disekitar wilayah pantai yang aksesnya terbuka maka sumber daya yang
terkandung didalamnya cenderung untuk mengalami pengurasan, terutama di daerah
perairan pantai yang penduduknya padat.
Sebagai contoh, beberapa titik kawasan pantai di Kota Cirebon Provinsi Jawa
Barat, saat ini menjadi kawasan permukiman nelayan yang mempunyai cirri-ciri
kekumuhan dan tidak sejahtera secara materi. Padahal produk hukum mengenai
lingkungan hidup hingga penataan ruang maupun otonomi daerah sudah ada, sehingga
seharusnya penataan penggunaan kawasan pesisir tidak selayaknya menjadi kumuh dan
mengalami kerusakan.
Disamping itu adanya peraturan hukum mengenai konservasi sumber daya hayati
(UU No. 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem) belum
cukup mendukung konservasi kawasan pesisir yang seharusnya efektivisasinya dapat
bersinergi dengan peraturan pengelolaan kawasan pesisir itu sendiri dalam UU No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

B. PERTANYAAN MASALAH
1. Apa saja peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mendasari pengelolaan
Kawasan Pesisir dan kepulauan ?
2. Apa saja dampak lingkungan dan kesehatan yang dapat terjadi jika kebijakan
pembangunan wilayah pesisir dan kepulauan tidak dijalankan ?
3. Bagaimana solusi dalam pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan kepulauan ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mendasari
pengelolaan Kawasan Pesisir dan kepulauan.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab tidak maksimalnya pelaksanaan kebijakan
pembangunan wilayah pesisir dan kepulauan
3. Untuk mengetahui solusi dalam pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan
kepulauan
BAB II
PEMBAHASAN

A. HASIL

Tabel Rekapitulasi
Kebijakan Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Kepulauan di Berbagai Daerah

No. Kebijakan Isi Kebijakan Aplikasi

Kebijakan telah diterapkan oleh Pemerintah


Undang-undang Nomor 32 Pengendalian lingkungan hidup merupakan urusan wajib
Daerah Kabupaten Bengkalis dengan
tahun 2004 Pasal 14 yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
menetapkan Visi dalam melakukan
Kabupaten/Kota
penanggulangan abrasi di Kabupeten
1
Bengkalis, yakni : Terwujudnya upaya
mengatasi abrasi pantai di Kabupaten
Bengkalis melalui upaya Struktural dan Non
Struktural
Surat Perintah Kepala Dinas Perihal pemeriksaan ataupun peninjauan kelapangan Berdasarkan laporan tim dari Dinas
Kehutanan Kabupaten terkait pengelolaan lahan hutan mangrove di Kecamatan Kehutanan dan Perkebunan maka pemerintah
2
Bengkalis Tebing Tinggi. daerah mengeluarkan kebijakan untuk
memberi sanksi kepada pengusaha pengelolah
hutan bakau yang melakukan pelanggaran
dengan mencabut izin yang telah diberikan
ataupun mengenakan denda dan sanksi pidana
oleh Dinas Kehutanan.
Terdapat tujuh program utama dalam Chapter 17 dari
Rekomendasi Earth Summit
Agenda 21 yaitu (a) Kawasan laut dan pesisir, termasuk Pengaplikasian rekomendasi ini di Indonesia
United Nations Conference on
ZEE harus dikelola secara terpadu dan berkelanjutan; (b) belum maksimal karena menurut Pusat
Environment and Development
Perlindungan lingkungan hidup laut; (c) Sumberdaya dan Penelitian Oseanografi LIPI (2000),
(UNCED ) PBB Tahun 1992
biota laut yang berada di laut bebas (highseas) harus melaporkan bahwa lebih dari 70% terumbu
dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan; (d) karang di Indonesia dalam kondisi buruk dan
Sumberdaya dan biota laut yang berada di perairan sedang, hanya sekitar 29% dari total seluruh
nasional (national jurisdiction) harus dilindungi dan karang di Indonesia dalam kondisi baik dan
3 dikelola secara berkelanjutan; (e) Memecahkan masalah sangat baik (Nontji, 2000).
ketidakpastian dalam pengelolaan lingkungan hidup laut
dan perubahan iklim; (f) Memperkuat kerjasama
internasional, termasuk kerjasama dan koordinasi
regional; dan (g) Pulau-pulau kecil harus dibangun
secara berkelanjutan
UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem
UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
Pasal 7 ayat (1) butir f UU
negara melalui regulasi tentang perikanan harus
No.45 Tahun 2009 tentang
memberikan batasan yang mensyaratkan penangkapan
perubahan UU No. 31 Tahun
ikan Beberapa titik kawasan pantai di Kota
2004 tentang Perikanan
Cirebon saat ini bahkan terpuruk menjadi
kawasan permukiman nelayan yang
..dalam pengelolaan perikanan diupayakan untuk
UU No. 31 Tahun 2004 Pasal 6 mempunyai ciri-ciri kekumuhan dan tidak
memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan,
ayat 1 sejahtera secara materi. Padahal produk
4 serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan
hukum mengenai lingkungan hidup hingga
penataan ruang maupun otonomi daerah
setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai,
sudah ada, sehingga seharusnya penataan
membawa, dan/ atau alat bantu penangkapan ikan dan/
penggunaan kawasan pesisir tidak selayaknya
atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan
menjadi kumuh dan mengalami kerusakan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah
Pasal 85 UU No.45 Tahun 2009
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
sebagaimana di maksud dalam Pasal 9, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
daerah perbatasan NKRI terdapat 92 pulau-pulau kecil
terluar yang perlu di kelola. Tujuan dari Perpres ini
Perpres RI No.78 tahun 2005 Peraturan ini belum berjalan maksimal karena
adalah untuk menjaga keutuhan NKRI, keamananan
tentang Penge-lolaan Pulau- masih banyak pulau kecil terluar yang belum
nasional, pertahanan negara, menciptakan stabilitas
pulau Kecil Terluar dikelolah dan dikembangkan dengan baik
kawa-san, pemanfaatan SDA secara berkelanjutan dan
pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil
5
World Summit on Sustainable
Development (WSSD), Di tingkat global, isu-isu perubahan iklim global
Millenium Development Goals (climate change), penge-lolaan berbasis ecoregion Dalam pelaksanaannya masih belum
(MDGs) dan Code of Conduct (misalnya : coral triangle), dan konservasi lingku-ngan maksimal
for Responsible Fisheries mendapat perhatian yang sangat penting
(CCRF)
Kenyataan menunjukkan bahwa pengelolaan
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
wilayah pesisir Kota Makassar cenderung
Hidup yaitu pemerintah dan pemerintah daerah wajib
dilakukan secara parsial dengan
membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip
UU Nomor 32 Tahun 2009 mengandalkan egosektoral masing-masing
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
6 Pasal 15 instansi yang menyebabkan pengelolaannya
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
menjadi tidak optimal dan syarat dengan
kebijakan, rencana, dan/atau program.
konflik kepentingan yang sangat mengancam
keberlanjutan dalam pengelolaannya.
Kawasan konservasi hutan mangrove TNS di
Tentang Konvensi Perubahan Iklim
UU Tahun 1996 No. 14 Banyuasin (Provinsi Sumatera Selatan),
7
memiliki potensi dapat dikelola dengan
Tentang Ratifikasi Protokol Kyoto
UU Tahun 2004 No. 17 pendekatan kredit karbon

Sumber : Jurnal Arpan Tombili (1), Liliskarlina (2), Ahmad Faaris Humaan (3), Fitriani Sudirman (4), Abdillah (5), Syamsir (6)
dan Asriani (7)
B. FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK KESEHATAN
Beberapa faktor yang menjadi penyebab utama tidak efektifnya pelaksanaan
kebijkan sebagai upaya melindungi dan mempertahankan kesehatan lingkungan pesisir
dan kepulauan adalah
1. Rendahnya kesadaran masyarakat khususnya yang tinggal didaerah pesisir sehingga
meningkatkan aktifitas eksploitasi hutan mangrove secara berlebihan yang tidak
memperhatikan dampak keadaan lingkungan.
2. Adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman nelayan, industri,
dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan.
3. Kurangnya pengontrolan dan pengamatan dari Dinas Kehutanan dilapangan terkait
pengelolaan hutan mangrove
4. Lemahnya penegakan hukum;
5. Lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah;
6. Ekspoitasi berlebih yang dilakukan nelayan yang menyebabkan tekanan terhadap
ekosistem laut juga semakin tinggi;
7. Tidak adanya kebijakan nasional dalam pengelolaan pesisir;
8. Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan ekosistem laut yang terintegrasi,
bijaksana dan berkesinambungan (integrated coastal zone management)
9. Masyarakat nelayan belum memiliki kemampuan maksimal untuk mengelola sumber
daya wilayah pesisir sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial,
10. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang tidak berkelanjutan
11. Konflik pemanfaatan ruang

Beberapa dampak yang terjadi jika tidak efektifnya pelaksanaan kebijkan sebagai
upaya melindungi dan mempertahankan kesehatan lingkungan pesisir dan kepulauan
adalah
1. Penyusutan lebar pantai sehingga menyempitnya lahan bagi penduduk yang tinggal
di pinggir pantai.
2. Kerusakan hutan bakau di sepanjang pantai, karena terpaan ombak yang didorong
angin kencang begitu besar.
3. Kehilangan tempat berkumpulnya ikan perairan pantai karena terkikisnya hutan
bakau. Lama kelamaan jika dibiarkan dapat merusak berbagai infastruktur seperti
jalan, jembatan serta bangunan yang ada disekitar garis pantai yang terjadi abrasi.
Bahkan kritisnya dapat menggelamkan sebuah pulau.
4. Penurunan kualitas lingkungan, kerusakan fisik pada ekosistem pesisir umumnya
terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Terumbu
karang dalam kondisi baik tidak lebih dari 30%, sedangkan degradasi ekosistem
mangrove hampir merata terjadi diseluruh kawasan pesisir Indonesia

C. SOLUSI

Beberapa solusi berikut dapat dipilih sebagai upaya optimalisasi penerapan


kebijakan pengelolaan dan perlindungan wilayah pesisir dan kepulauan :
1. Pengelolaan Kawasan Pesisir secara terintegrasi (Integrated Coastal Zone
Management/ ICZM ), adalah suatu pendekatan yang menyeluruh yang
dikenal dalam pengelolaan kawasan pesisir. Metodologi dari ICZM ini telah
dikembangkan secara hati-hati sejak beberapa dekade yang lalu. Menurut organisasi
perdagangan dunia, ICZM adalah suatu kesatuan sistem yang terintegrasi yang
memiliki hubungan terhadap tujuan lokal, regional, nasional dan internasional.
Menurut OECD (1993), ICZM ini memfokuskan diri kepada interaksi antar berbagai
kegiatan dan pengelolaan sumberdaya yang ada didalam kawasan pesisir dan antar
kegiatan-kegiatan yang berada di suatu kawasan pesisir dengan kegiatankegiatan
lainnya yang berada di daerah lain. Menurut Hinrichsen (1998), konsep ini
membutuhkan kemampuan kelembagaan untuk menangani masalah lintas sektoral
seperti lintas disiplin ilmu, kewenangan lembaga pemerintah dan batas kelembagaan
2. Solusi yang paling tepat guna mengatasi permasalahan nelayan adalah melalui
pembangunan kultur hukum yang positif, kreatif dengan dukungan kebijakan
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu yang bersifat integral-komprehensif
holistik
3. Penguatan kelembagaan (UU pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil)
Implementasi berbagai kebijakan dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil selama ini mengalami kendala karena tidak adanya payung hukum, untuk
dijadikan landasan kebijakannya. Untuk menjawab permasalahan ini, lahirlah UU
No.27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU
ini mempunyai arti penting dan strategis bagi pembangunan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil di Indonesia. Dan juga menjadi momentum penting dan strategis
sebagai pengakuan negara akan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil.
4. Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan
Dalam upaya pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan, selain
memberikan penya-daran tentang pentingnya manfaat dari sumberdaya kelautan dan
perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga perlu ditanamkan
tentang falsafah dalam mengelola sumberdaya tersebut, harus dengan pendekatan
ekonomi, ekologi dan sosial, sehingga tercapai keseim-bangan antara eksploitasi dan
konservasi. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, telah menyusun rencana
strategis pembangunan sektor kelautan dan perikanan dengan visi : Pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan yang lestari dan bertanggung jawab bagi
kesatuan serta kesejahteraan anak bangsa
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Undang Undang dan Peraturan Daerah tentang pengelolaan kawasan pesisir dan
kepulauan yang telah dibuat harus menjadi landasan bagi setiap stakeholder dan
masyarakat dalam melakukan pengelolaan kawasan pesisir dan kepulauan sehingga
tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan
2. Kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan kepulaun yang tidak berjalan maksimal
dapat memberikan dampak terhadap lingkungan, ekonomi dan kesehatan
3. Pengelolaan Kawasan Pesisir secara terintegrasi (Integrated Coastal Zone
Management/ ICZM) merupakan solusi yang baik dalam mengata si
permasalahan pengelolaan kawasan pesisir

B. SARAN
1. Perlu ada koordinasi yang tepat guna antara pemerintah daerah dengan instansi terkait
serta aparat penegak hukum untuk saling mengawasi terhadap terjadinya konversi
hutan mangrove yang secara berlebihan
2. Dalam pengelolaan wilayah pesisir, pemerintah harus melibatkan masyarakat
sehingga dapat menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat dalam melaksanankan
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
3. Harus ada banyak lagi kajian pengembangan wilayah pesisir sehingga menjadi
masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan
DAFTAR PUSTAKA

(Abdillah) : Ridwan Lasabuda, 2013. Tinjauan teoritis Pembangunan wilayah pesisir dan
lautan Dalam perspektif negara kepulauan republik indonesia, Jurnal Ilmiah Platax
Vol. I-2, Januari

(Ahmad Faaris Humaan) : Dirhamsyah, 2012. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terintegrasi Di


Indonesia. Oseana, Volume XXXI, Nomor 1, Tahun 2012 : 21 26

(Arpan Tombili) : Hidayat, Rahmad.2014.Upaya Pemerintah Kabupaten Bengkalis


Dalam Penanggulangan Abrasi (Studi Pada Pesisir Pantai Kabupaten Bengkalis
Tahun 2010-2012).Jom FISIP Volume 1 No. 2

(Asriani) : Sadelie, Agus. 2011. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis


Perdagangan Karbon. Jurnal Hutan dan Masyarakat. Volome. 6, No.1, Bogor

(Fitriani Sudirman) : Sutrisno, Endang. 2014. Implementasi Pengelolaan Sumber


Daya Pesisir Berbasis Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Untuk
Kesejahteraan Nelayan (Studi di Pedesaan Nelayan Cangkol Kelurahan
Lemahwungkuk Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon). Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 14 Nomor 1, Jawa Barat.

(Liliskarlina) : Fitri, R., Y. 2014. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelestarian Hutan


Mangrove Di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Bengkalis. Jom FISIP Vol. 1
No. 2

(Syamsir) : Bohari , Ridwan. 2012. Sustainable Management Policy Strategy Of Coastal


Area On Makassar Coastal Territorial Water. IPB, Bogor

Anda mungkin juga menyukai