Anda di halaman 1dari 24

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342048856

EKOSISTEM SUMBER DAYA HAYATI PESISIR DAN LAUT, DALAM


PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DI PROVINSI BENGKULU

Article · March 2020

CITATIONS READS

0 835

2 authors:

Mardiansyah Usman Indra Cahyadinata


Universitas Bengkulu Universitas Bengkulu
32 PUBLICATIONS   8 CITATIONS    29 PUBLICATIONS   51 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pengelolaan SDH Pesisir & Laut View project

Strategi pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan masyarakat desa, pesisir, dan pinggiran kota View project

All content following this page was uploaded by Mardiansyah Usman on 04 December 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TUGAS MATA KULIAH
EKOSISTEM SUMBER DAYA HAYATI PESISIR DAN LAUT

MAKALAH
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DI PROVINSI BENGKULU

Oleh :
MARDIANSYAH
NPM. E2A018034

DOSEN PENGAMPU :
Dr. INDRA CAHYADINATA, S.P. M.Si

PROGRAM PASCASARJANA
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU
BENGKULU, MARET 2020
BAB. I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat
laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah
laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan
oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran
(Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002


tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah Pesisir
didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga
dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat
batas administrasi kabupaten/kota.

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan dimana
batasnya dapat didefinisikan baik dalam konteks struktur administrasi pemerintah
maupun secara ekologis. Batas ke arah darat dari wilayah pesisir mencakup batas
administratif seluruh desa (sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal
Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah, Depdagri) yang termasuk dalam wilayah
pesisir menurut Program Evaluasi Sumber Daya Kelautan (MERP). Sementara batas
wilayah ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam proyek
MERP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) dengan skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), (Dahuri dkk.,1996).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Wilayah pesisir


adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-
sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan
kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami
yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang

2
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran.

Daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional melalui
kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya perikanan
(aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya. Seperti
diketahui bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan lingkungan bahari yang
paling produktif dengan sumber daya maritim utamanya seperti hutan bakau
(mangrove), terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass beds), estuaria,
daerah pasang surut dan laut lepas serta sumber daya yang tak dapat diperbaharui
lainnya seperti minyak bumi dan gas alam.

Manfaat ekosistem pantai sangat banyak, namun demikian tidak terlepas dari
permasalahan lingkungan, sebagai akibat dari pemanfaatan sumber daya alam di
wilayah pantai. Permasalahan lingkungan yang sering terjadi di wilayah perairan
pantai, adalah pencemaran, erosi pantai, banjir, inturusi air laut, penurunan
biodiversitas pada ekosistem mangrove dan rawa, serta permasalahan sosial
ekonomi.

Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena


merupakan daerah pertemuan kekuatan yang berasal darat dan laut . Perubahan ini
dapat terjadi secara lambat hingga cepat tergantung pada imbang daya antara
topografi, batuan, dan sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Oleh
karena itu didalam pengelolaan daerah pessisir diperlukan suatu kajian keruangan
mengingat perubahan ini bervariasi antar suatu tempat dengan tempat lain.

Banyak faktor yang menyebabkan pola pembangunan sumber daya pesisir dan
lautan selama ini bersifat tidak optimal dan berkelanjutan. Namun, kesepakatan
umum mengungkapkan bahwa salah satu penyebabnya terutama adalah
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan yang
selama ini dijalankan secara sektoral dan terpilah-pilah. Beberapa usaha untuk
menanggulangi erosi dan mundurnya garis pantai telah dilakukan oleh pihak-pihak
terkait, diantaranya adalah dengan melakukan kegiatan pengisian pantai (beach fill).
Tetapi pada kenyataannya pantai tersebut masih terjadi erosi dan terjadi mundurnya
garis pantai di sekitar pantai pasir buatan.

3
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dari tugas makalah berjudul Pengelolaan Wilayah Pesisit di Provinsi
Bengkulu ini adalah sebagai berikut :
a. Mengidentfikasi bagaimana pengelolaan wilayah yang ada di Provinsi
Bengkulu
b. Mengetahui bagaimana pemberlakuan peraturan perundang-undangan
dalam pengelolaan wilayah pesisir di Provinsi Bengkulu

4
BAB. II. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat


Pelaksanaan Tugas Makalah yang berjudul Potensi Sumberdaya Hayati
Pesisir Laut di Pulau Mega dilakukan pada bulan Februari 2020, yang
dilaksanakan di Sekretariat Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Daya
Alam, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

B. Lokasi
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara maritim kepulauan
terbesar di dunia dengan luas total daratan sebesar 187,8 juta hektar.
Karakterisitik negara maritim kepulauan yang teridiri dari 17.504 pulau, memiliki
sumber plasma nutfah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.

Provinsi Bengkulu secara georafis berada di 2°16’ - 3°16 LS dan 101° 1 - 101° 41’
Bujur Timur dengan luas wilayah 19.919,3 Km² yang berada di bagian pantai barat
pulau sumatera. Provinsi Bengkulu memiliki garis pantai sepanjang ± 525 Km
dari perbatasan Kabupaten Mukomuko – Provinsi Sumbar sampai dengan
perbatasan Kabupaten Kaur – Provinsi Lampung, yang wilayahnya terdiri dari 9
Kabupaten dan 1 Kota (BPS Prov. Bengkulu, 2018)

Wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand,


Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini (PNG),
Timor Leste dan Australia. Kawasan perbatasan laut termasuk juga pulau-pulau
kecil terluar dengan jumlah mencapai 92 pulau. Beberapa pulau diantaranya
masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai
kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga. Provinsi Bengkulu
memilii 2 (dua) pulau kecil terluar yaitu Pulau Enggano dan Pulau Mega yang
terletak di Kabupaten Bengkulu Utara (RIPPTN, 2011)

Dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu Tahun 2012 -
2032 bahwa kawasan strategis nasional terdiri dari kawasan lingkungan hidup
TNKS dan TNBBS dan pada kawasan perbatasan negara yaitu Pulau Enggano
dan Pulau Mega.

5
Dalam wilayah perairan laut Provinsi Bengkulu juga terdapat beberapa pulau kecil
yaitu Kawasan Pulau Enggano dengan beberapa pulau-pulau kecil disekitarnya
(Pulau Dua, Pulau Merbau, Pulau Bangkai, Pulau Satu dan Pulau Karang Baru),
Pulau Tikus dan Pulau Mega. Dua diantara pulau-pulau kecil tersebut, merupakan
pulau kecil terluar dari 92 pulau kecil terluar yang ada di seluruh wilayah perairan
laut Indonesia, yaitu Pulau Enggano dan Pulau Mega (RAD Kemaritiman, 2017)

C. Jurnal I
The use of ocean color remote sensing in integrated coastal zone
management—A case study from Himmerfjärden, Sweden
Penggunaan penginderaan jauh warna laut di zona pesisir terintegrasi
manajemen - Studi kasus dari Himmerfjärden, Swedia

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode sistem informasi geografis


(SIG) dan penginderaan jauh (remote sensing).

D. Jurnal II
International Conference on Tropical and Coastal Region Eco Development
2014 (ICTCRED 2014)
Konferensi Internasional tentang Pengembangan Lingkungan Wilayah Tropis dan
Pesisir 2014 (ICTCRED 2014)

STAKEHOLDERS ANALYSIS : MANAGING COASTAL POLICY


IMPLEMENTATION IN REMBANG DISTRICT

ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN : MENGELOLA IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN PANTAI DI KABUPATEN REMBANG

Penelitian dilakukan dengan Metode yang digunakan untuk menganalisis


alternatif kebijakan adalah dengan Multi Kriteria Pembuatan Keputusan atau Multi
Criteria Decision Making (MCDM).

6
E. Jurnal III
2nd International Seminar on Ocean and Coastal Engineering, Environment
and Natural Disaster Management, ISOCEEN 2014
Seminar Internasional ke-2 tentang Rekayasa Kelautan dan Pesisir, Lingkungan
dan Bencana Alam Manajemen, ISOCEEN 2014

Determination of Shoreline Changes from 2002 to 2014 in The Mangrove


Conservation Areas of Pamurbaya using GIS
Penentuan Perubahan Garis Pantai dari 2002 hingga 2014 di Kawasan
Konservasi Mangrove Pamurbaya menggunakan GIS

Dalam penelitian ini, dilakukan dengan Metode yang digunakan yaitu survei dan
metode analisis GIS.

7
BAB. III. PEMBAHASAN

A. Pembahasan Jurnal
1. Jurnal I
Dalam penelitian ini penggunaan data warna laut sebagai alat diagnostik dalam
pengelolaan zona pesisir terintegrasi adalah diselidiki sebagai bagian dari proyek
Integrasi Kebijakan Ilmu Pengetahuan untuk Sistem Pesisir (SPICOSA).

Sejalan dengan ini, sistem pemantauan pesisir operasional telah dibentuk dalam
kolaborasi erat dengan pihak pengguna. Pekerjaan inti dari bagian bio-optik
dalam proyek ini adalah untuk mengembangkan kedalaman dan redaman Secchi
ringan sebagai indikator untuk pengelolaan zona pantai, dengan menghubungkan
penginderaan jauh dengan sosial-ekonomi dan model ekologi dikembangkan
dalam SPICOSA.

Dalam jurnal ini menekankan manfaat dari keterlibatan pemangku kepentingan


dan umpan balik pengguna akhir untuk pengembangan sistem yang efisien dan
ditingkatkan.

Selanjutnya, model konseptual dikembangkan tentang bagaimana


mengintegrasikan data penginderaan jauh ke dalam pengelolaan zona pesisir dan
ke dalam model fisik-biologis Laut Baltik. Salah satu paket kerja dalam proyek
SPICOSA adalah pelatihan akademik. Dalam paket pekerjaan ini, bahan ajar
online di bidang penginderaan jauh dan bio-optik dikembangkan dan
disebarluaskan di halaman web SETnet. Artikel yang disajikan di sini dapat
bertindak sebagai materi pendukung untuk pelatihan bio-optik dan penginderaan
jauh.

2. Jurnal II
Karimunjawa adalah salah satu kepulauan di Indonesia yang kaya akan sumber
daya alam. Meski sudah menjadi kebijakan sebagai kawasan taman nasional,
masih ada degradasi lingkungan yang parah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa berkelanjutan


pembangunan berbasis ekologi, ekonomi dan sosial dilaksanakan di kepulauan

8
Karimunjawa; dan untuk menganalisis beberapa kebijakan pengembangan
alternatif untuk memilih kebijakan yang paling tepat direkomendasikan kepada
pemerintah, mengingat keberlanjutan dipertahankan di kepulauan
Karimunjawa; juga untuk membuat strategi untuk implementasi.

Metode yang digunakan untuk menganalisis alternatif kebijakan adalah dengan


Keputusan Multi Kriteria Pembuatan (MCDM). Metode ini adalah semacam teknik
analisis kebijakan yang mengakomodasi berbagai kriteria. Di dalam penelitian ini,
kriteria yang digunakan adalah dimensi ekologis, ekonomi, dan sosial. Analisis
SWOT digunakan untuk memperoleh strategi implementasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kepulauan Karimunjawa bila


dianalisis dari sisi sosial dan dimensi ekonomi, itu menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi dan sosial di kepulauan Karimunjawa bisa jadi dirasakan
oleh publik. Sebaliknya, dari dimensi ekologis, terlihat bahwa kondisi ekologis
berada di degradasi lingkungan yang parah. Ada beberapa potensi kebijakan
pengembangan alternatif untuk dikembangkan di Indonesia Karimunjawa, yaitu:
pengembangan pariwisata, upaya pengembangan ekonomi berdasarkan potensi
local

3. Jurnal III
Garis pantai di sepanjang ekosistem mangrove di Pantai Timur Surabaya
( Pamurbaya ) berubah dari tahun ke tahun. Penelitian ini digunakan Landsat
Thematic Mapper (TM) 2002 dan gambar Google Earth pada 2002 dan 2014,
serta data lapangan. Informasi geografis teknologi sistem (GIS) digunakan untuk
melapisi beberapa citra satelit untuk mempelajari perubahan garis pantai. Hasil
penelitian menunjukkan garis pantai itu di wilayah studi yang ditentukan telah
berubah, yaitu 5,387 m, 5,428 m, 5,128m, dan 7,431 m masing-masing pada
tahun 2002, 2007, 2011 dan 2014. Selama 12 tahun terakhir bidang studi
cenderung meningkat. Area yang berubah pada tahun 2007, 2011, dan 2014
berdasarkan garis pantai di 2002 masing-masing adalah 683.970 m², 1.617.807
m², dan 2.397.289 m². Total area konservasi mangrove yang dialami
pertambahan 287,16 hektar sedangkan abrasi 11,02 hektar.

9
Dapat disimpulkan bahwa (1). Perubahan panjang garis pantai tidak selalu diikuti
oleh pertambahan lahan pantai area; (2) Pola perubahan garis pantai di Wilayah
Mangrove Utara dan Selatan Pamurbaya cenderung pertambahan tetapi
penyimpangan di timur; (3) Secara keseluruhan, luas lahan bertambah (akresi)
sebesar 287,16 hektar, sedangkan luasnya total area seluas 11,02 hektar telah
terkikis. Daerah yang mengalami pertambahan termasuk Mulyorejo dan Gunung
Anyar sedangkan daerah yang mengalami abrasi adalah pantai-pantai di
Wonorejo.

Hasil ini penting bagi pemerintah di Indonesia membuat strategi pengelolaan


wilayah pesisir.

B. Permasalahan Pesisir
Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang terus berlangsung dampak
negatif pun muncul. Dampak-dampak utama saat ini berupa polusi, abrasi, erosi dan
sedimentasi, kerusakan kawasan pantai seperti hilangnya mangrove, degradasi
daya dukung lingkungan dan kerusakan biota pantai/laut. Termasuk diantaranya isu
administrasi, hukum seperti otonomi daerah, peningkatan PAD (Pendapatan Asli
Daerah), konflik-konflik daerah dan sektoral merupakan persoalan yang harus
dipecahkan bersama melalui manajemen kawasan pantai terpadu.

Selain itu berdasarkan pemantauan Departemen Kelautan dan Perikanan serta


Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, kenaikan muka air laut di
Indonesia rata-rata 5-10 milimeter per tahun. Strategi adaptasi dan mitigasi belum
menyeluruh sehingga garis pantai semakin mundur. Luas daratan hilang setiap tahun
mencapai 4.759 hektar. Terkikisnya daratan pesisir itu memusnahkan vegetasi
mangrove karena tidak mampu bermigrasi. Mangrove sebagai penahan gelombang
air laut terancam punah.

C. Konsep Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir


Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang mengelola adalah semua orang
dengan objek segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh pengelolaan
wilayah pesisir adalah ; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan
dan kesehatan. Yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah
fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep

10
pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif,
terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial.

Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan
untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara
berkelanjutan; menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong
inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
agar tercapai keadilan, keseimbangan, keberkelanjutan, meningkatkan nilai sosial,
ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam pengelolaan pantai juga harus diperhatikan upaya pengendalian kerusakan


pantai. Selain itu diperhatikan juga upaya pengawasan. Pengendalian kerusakan
pantai merupakan upaya untuk mencegah, menanggulangi, serta melakukan
pemulihan kualitas lingkungan yang rusak yang disebabkan oleh alam dan manusia.
Pengendalian Kerusakan pantai yang dapat merugikan kehidupan, dilakukan secara
menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
Upaya pencegahan dilakukan melalui perencanaan pengendalian kerusakan pantai
yang disusun secara terpadu dan menyeluruh.

Pencegahan dilakukan baik melalui kegiatan fisik dan/atau nonfisik. Kegiatan


fisik dapat berupa pembangunan sarana dan prasarana daerah pantai serta upaya
lainnya dalam rangka pencegahan kerusakan/ bencana pantai. Upaya pencegahan
lebih diutamakan pada kegiatan nonfisik berupa kegiatan penyusunan dan/atau
penerapan piranti lunak yang meliputi antara lain pengaturan, pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian. Pengendalian kerusakan pantai ini menjadi
tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola pantai
dan masyarakat.

Mitigasi bencana adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat meringankan penderitaan


akibat bencana. Penanggulangan dilakukan secara terpadu oleh instansi-instansi

11
terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi penanggulangan bencana
pada tingkat nasional, Propinsi, dan kabupaten/kota.

Pemulihan kerusakan daerah pantai dilakukan dengan memulihkan kembali


fungsi lingkungan hidup dan sistem prasarana daerah pantai. Contoh upaya
pemulihan terhadap kerusakan pantai dapat dijumpai pada :
• Pantai berpasir yang mengalami kerusakan akibat pengaruh adanya angkutan
pasir sejajar pantai atau angkutan pasir tegak lurus yang melebihi
pasokannya. Pemulihan dapat dilakukan dengan cara pengisian (suplai) pasir
sampai pada kedudukan garis pantai awal ditambah dengan pengisian pasir
awal dan pengisian pasir secara periodik sehingga pasir yang keluar seimbang
dengan pasir yang masuk. Untuk mengurangi jumlah pasir yang diisikan secara
periodik, maka pada lokasi pantai yang dipulihkan dapat dipasang krib tegak
lurus atau krib sejajar pantai yang berfungsi mengurangi besarnya angkutan
pasir sejajar pantai.
• Pantai berbakau, maka pemulihan dapat dilakukan dengan usaha penanaman
bakau. Agar bakau yang masih muda tahan terhadap hempasan gelombang,
didepan lokasi yang di tanami bakau, perlu dipasang struktur semacam
pemecah gelombang yang bersifat sementara. Apabila bakau telah tumbuh dan
mampu menahan gelombang, pemecah gelombang tidak berfungsi lagi.
• Pantai berkarang, pemulihan kerusakan karang dapat dilakukan dengan usaha
penanaman karang, dengan cara menempelkan potongan karang pada akar
karang yang masih ada. Untuk pemulihan pantai berbakau dan pantai berkarang
perlu keahlian khusus dalam kedua bidang tersebut, antara lain ahli biologi dan
lingkungan.

Perlindungan dan pengamanan daerah pantai terhadap ancaman gelombang,


diutamakan menggunakan perlindungan alami yang ada. Kalau ternyata
perlindungan alami sudah tidak dapat dimanfaatkan atau sudah tidak dapat diaktifkan
kembali untuk kegiatan perlindungan pantai, maka baru dipilih alaternatif lain yaitu
dengan menggunakan perlindungan buatan (artificial protection).

Alam pada umumnya telah menyediakan mekanisme perlindungan pantai secara


alamiah yang efektif. Perlindungan alamiah ini dapat berupa hamparan pasir di pantai
yang cukup banyak, atau tanaman pantai yang tumbuh di daerah berlumpur seperti

12
pohon mangrove dan nipah, atau terumbu karang yang berada di sepanjang pantai.
Perlindungan alami ini sudah berjalan sangat lama, sehingga telah membentuk suatu
keseimbangan yang dinamis. Bilamana perlindungan alami ini terganggu maka akan
terjadi ketidakstabilan di pantai tersebut.

Undang-Undang No.27/2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir


dan Pulau-pulau Kecil, disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menyusun
RZWP3K sesuai dengan kewenangan masing-masing. Kemudian, dalam UU
No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 14 disebutkan bahwa
penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energidan
sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan provinsi.

Pembagian kerja dan kewenangan pengelolaan perairan untuk 0 sampai 12 mil dari
bibir pantai, itu juga akan terkena dampaknya. Untuk bentang tersebut, pengelolaan
dilaksanakan oleh pemerintah provinsi. Provinsi seluruh Indonesia wajib untuk
menyusun RZWP3K dan menetapkannya menjadi perda. Perda tersebut, menjadi
instrumen yang sangat penting, karena menjadi dasar izin lokasi dan izin pengelolaan
untuk investasi kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Instrumen arah ataupun pengaturan pemanfaatan sumberdaya yang jelas di wilayah


pesisir dan pulau-pulau kecil, maka konflik pemanfaatan sumber daya akan terus
terjadi dan harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Tak hanya itu,
dampak negatif yang lebih luas juga mengancam kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil jika tidak dilakukan pengaturan dan pengelolaan wilayahnya, seperti Degradasi
kualitas lingkungan, ketidakpastian lokasi investasi, dan konflik antar pemangku
kepentingan.

Dalam UU No.1/2014 pasal 16 ayat 1 dijelaskan bahwa pemanfaatan ruang dari


sebagian perairan pesisir dan pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin
lokasi. Kemudian, pada pasal17 dijelaskan bahwa izin lokasi sebagaimana dimaksud
diberikan berdasarkan RZWP3K yang telah ditetapkan.

Selanjutnya,pada UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 14,


disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan,
kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan

13
Daerah Provinsi dengan cakupan 0 sampai 12 mil laut. Ketetapan tersebut
berimplikasi pada kewajiban pemerintah provinsi untuk menetapkan Perda RZWP3K.

Dalam Peraturan Presiden No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia


Lampiran II menyebutkan bahwa pembangunan poros maritim meliputi 7 (tujuh) pilar,
yang salah satunya adalah pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut.

Tata Ruang Laut melalui RZWP3K yang berlaku di daerah, Pemerintah Pusat saat ini
tengah menyusun rencana tata ruang laut (RTRL), RZ kawasan antar wilayah (Laut,
Selat dan Teluk), RZ kawasan strategis nasional, dan RZ kawasan strategis nasional
tertentu (Pulau-Pulau Kecil Terluar). Kemudian, rancangan peraturan pemerintah
tentang izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, rancangan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang tata cara
pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Peraturan tersebut meruapakan salah satu upaya mendorong
perkembangan ekonomi di wilayah pesisir. Perda RZWP3K yang sudah disahkan,
ternyata tumpang tindih dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang
sebelumnya sudah ada di provinsi tersebut. Kemudian, kondisi itu diperparah tidak
adanya penyelesaian konflik dan mekanismenya seperti apa yang melibatkan pihak-
pihak terkait.

Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
yang merupakan turunan dari Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, dan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU 31/2004,
menjelaskan bahwa konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya
ikan. Dalam konteks konservasi sumber daya ikan, konservasi ekosistem merupakan
upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat
penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang.

Dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 lebih jauh dikemukakan bahwa kawasan
konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan

14
pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara keberlanjutan.

Berdasarkan Perda Kabupaten Bengkulu Utara Nomor : 11 Tahun 2015 tentang


RTRW Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2015-2035, bahwa Pulau Mega dan Pulau
Enggano, termasuk dalam kawasan konservasi strategis nasional dari sudut
kepentingan pertahanan dan keamanan negara.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor : 5 Tahun 2019 tentang


Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Bengkulu
Tahun 2019-2039, bahwa RZWP3K adalah rencana yang menentukan arah
penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penatapan
struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam Perda Gubernur Prov. Bengkulu Nomor : 5 Tahun 2019, bahwa Alokasi
rencana ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Mega telah
direncanakan sebagai Kawasan Pemanfaatan Umum (KPU) dan Kawasan Strategis
Nasional Tertentu (KSNT).

15
BAB. IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Dalam makalah berjudul Pengelolaan Wilayah Pesisir di Provinsi Bengkulu ini adalah
sebagai berikut, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengelolaan terpadu Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Bengkulu Utara Nomor : 11 Tahun 2015 tentang
RTRW Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2015-2035. Peraturan Daerah Provinsi
Bengkulu Nomor : 5 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Bengkulu Tahun 2019-2039, bahwa
RZWP3K merupakan rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya
tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penatapan struktur dan pola ruang
pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

B. Saran
Saran dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Provinsi Bengkulu dapat dilaksanakan
secara baik oleh seluruh pihak yang terkait dan dengan prinsip pembangunan
pengelolaan wilayah persisir yang berkelanjutan (sustainable development coastal
management).

16
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Teknis


Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP3K) Kabupaten/Kota. Jakarta
[TIES] The International Ecotourism Society, 1991. Regional Prepatory conference
for the World Ecotourism summit. Belize. http://www.ecotourism.org.
[UNCLOS] United Nations Convention of the Law on the Sea. 1982. Sea Law. 10
Desember 1982. United Nations.
Abubakar M. 2004. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Perbatasan:
Studi kasus Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur.
Tesis Institut Pertanian Bogor. Bogor
Affandi, A. K., S. Heron. 2012. Persebaran sedimen dasar di perairan pesisir
Banyuasin, Sumatera Selatan. Maspari Journal, 4:33-39
Ahmad Cahyadi. 2012. Permasalahan Sumberdaya Air Pulau Karang Sangat Kecil
(Studi Kasus di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta).
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Universitas Diponegoro Semarang, 11 September 2012
Allen, G. 2000. Marine Fishes Of South East Asia. A Field Guide For Anglers And
Divers. Periplus Editions (Hk) Ltd. Western Australian Museum : 292 pp
Ammar MSA, Hassanein M, Madkour HA, Abd-Elgawad AA. 2011. Site Suitability to
Tourist Use or Management Programs South Marsa Alam, Red Sea, Egypt.
Nusantara Bioscience. 3(1): 36-43.
Arifin,T., D.G. Bengen, J.J. Pariwono. 2002. Evaluasi Kesesuaian Kawasan Pesisir
Teluk Palu untuk Pengembangan Pariwisaata Bahari. Jurnal Pesisir dan
Lautan, 4 (2): 25-35.
Bakhtiar, D.; A. Djamali; Z. Arifin dan T. Sarwono. 2012. Struktur Komunitas Ikan
Karang Di Perairan Pulau Tikus Kota Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional
dan Rapat Tahunan Bidang Ilmu-ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat,
Medan 3-5 April 2012.
Bato M., F. Yulianda, A. Fahruddin. 2013. Kajian manfaat kawasan konservasi
perairan bagi pengembangan ekowisata bahari: Studi kasus di kawasan
konservasi perairan Nusa Penida, Bali. Depik, 2(2): 104-11
Bayhaqi A. dan C.M.A. Dungga. 2015. Distribusi butiran sedimen di pantai Dalegan,
Gresik, Jawa Timur. Depik, 4(3):153-159.

17
Beller, W. 1990. How to sustain a small island. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, dan P.
Hein (ed): Sustainable development and environmental management of small
islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon
Publshing Group, Paris, p : 15-22
Bengen D.G. 2001. Ekosistem Dan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Serta Pengelolaan
Secara Terpadu Dan Berkelanjutan. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah
Pesisir Terpadu, Bogor, 29 Oktober - 3 November 2001. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir Dan Lautan (Pkspl) IPB dan Proyek Pesisir
Bengen D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(PKSPL) IPB, Bogor.
Bengen, D.G. 2003. Definisi, batasan dan realitas pulau-pulau kecil. Makalah
disampaikan pada Seminar Sehari Validasi Jumlah Pulau-pulau dan Panjang
Garis Pantai di Indonesia, 17 April 2003, Jakarta.
Bruce D, Hoctor Z, Garrod B, Wilson J. 2002. Planning for Marine Ecotourism in the
UE Atlantic Area. META-Project. Bristol: University of the Weat England.
Budihardjo S, Hadi SP, Sutikno S, Purwanto P. 2013. The Ecological Footprint
Analysis for Assessing Carrying Capacity of Industrial Zone in Semarang.
Journal of Human Resource and Sustainability Studies. 1(2): 14-20.
Bapedalda Propinsi Bengkulu dan PPL UNIB. 2006. Daya Dukung Lingkungan Pulau
Enggano. Bapedalda Propinsi Bengkulu. Bengkulu
BPS Prov. Bengkulu. 2018. Provinsi Bengkulu dalam Angka 2017. Badan Pusat
Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Dahuri, R. 2003. Paradigma baru pembangunan Indonesia berbasis kelautan. Orasi
Ilmiah Guru Besar Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fak.
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor.
Delinom, R.M. dan Lubis, R.F. 2007. Air Tanah di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
dalam Delinom, R.M., 2007, Sumber Daya Air di Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil di Indonesia, Bandung: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pusat Penelitian Geoteknologi.
Djamhur M. 2014. Model Pengembangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil Berbasis Zonasi (Kasus di Teluk Weda). [Disertasi]. Institut
Pertanian Bogor
DKP Provinsi Bengkulu. 2015. DED Pulau Mega untuk Wilayah Kelautan. Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu.

18
DKP. 2007. Laporan Akhir Model Pengembangan dan Valuasi Ekonomi Kawasan
Wisata Bahari di Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan,
Jakarta.
Ginoga D.A., D.Y. Katili, A. Papu. 2016. Kondisi Tutupan Karang di Desa Ratatotok
Timur Kabupaten Minahasa Tenggara. JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 5 (1)
14-19
Gladstone W, Curley B, Shokri MR. 2013. Environmental Impacts of Tourism in The
Gulf and The Red Sea. Marine Pollution Bulletin. 72(2): 375-388.
Gossling S. 1999. Ecotourism: a Means to Safeguard Biodiversity and Ecosystem
Functions. Ecological Economics. 12 (99) -9. 303-320.
Hasan H. 2005. Pengembangan Wilayah Perbatasan Untuk Menjaga Keutuhan
Wilayah Indonesia. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVI. Surabaya.
Hein, P.L. 1990. Economic problems and prospects of small islands. Dalam Beller,
W., P. d’Ayala, dan P. Hein (ed): Sustainable development and environmental
management of small islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO
and The Parthenon Publshing Group, Paris, p :35-42
Hidayati D, L. Mujiyani, Rachmawati, A. Zaelani. 2003. Ekowisata: Pembelajaran dari
Kalimantan Timur. Jakarta: Pustakan Sinar Harapan.
Hutabarat A, Yulianda F, Fahruddin A, Harteti S, dan Kusharjani. 2009. Pengelolaan
pesisir dan laut terpadu (Edisi I). Bogor: Pusdiklat Kehutanan, Deptan, SECEN-
KOREA International Cooperation Agency.
Hutabarat, S., S. M. Evans. 2006. Pengantar oseanografi. Universitas Indonesia
Press: Jakarta.159 hal.
Langga, A.N.T. 2010. Kajian sumberdaya terumbu karang untuk pengembangan
Ekowisata Bahari di Perairan Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor
Mangkudilaga, S. 2001. Pemberdayaan Potensi Kelautan Pembangunan Pariwisata
Di Indonesia. Lingkungan Manejemen Ilmiah. 3(2) : 1-9.
Muflih A., A. Fahrudin, Y. Wardiatno. 2015. Kesesuaian dan Daya Dukung Wisata
Pesisir Tanjung Pasir dan Pulau Untung Jawa. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia
(JIPI), 20 (2): 141-149
Nontji A. 2009. Laut Nusantara. Djambatan.Jakarta

19
Nugroho, S.H., A. Basit. 2014. Sebaran Sedimen Berdasarkan Analisis Ukuran Butir
di Teluk Weda, Maluku Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
6(1):229-240.
Nurjanah, Abdullah A, Kustiariyah. 2011. Pengetahuan dan Karakteristik Bahan Baku
Hasil Perairan. IPB Press Bogor
Nybakken JW. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah. M.
Ediman, Koesoebiono, DG. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo. PT. Gramedia
Jakarta. Terjemahan dari: Marine Biology An Ecological Approach.
Plathong S., G.J. Inglis, M. Huber. 2000. Effects of Self-Guide Snorkeling Trails on
Corals in a Tropical Marine Park. Journal Conservation Biology, 14 (6): 1821-
1830.
Purba, M., D. Hartono, Z. Ta’alidin, A. Purwoko, D. Bakhtiar, B. Sulistyo, W. Arianto,
dan K.S. Hindarto. 2003. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Propinsi
Bengkulu. Kerjasama BAPPEDA Propinsi Bengkulu dengan P. T. Tricon Inter
Multijasa Konsultan. Bengkulu.
Purnomo T., S. Hariyadi, Yonvitner. 2013. Kajian Potensi Perairan Dangkal untuk
Pengembangan Wisata Bahari dan Dampak Pemanfaatannya Bagi Masyarakat
Sekitar (Studi Kasus Pulau Semak Daun Sebagai Daerah Penunjang Kegiatan
Wisata Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Depik, 2
(3): 172-183
Putera, F.H.A. 2013. Kajian keberlanjutan pengelolaan wisata pantai di pantai Pasir
Putih Bira, Bulukumba Sulawesi Selatan. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, 8
(3) : 241-254.
Rahantoknam S.P.T., S.Nurisjah dan F. Yulianda. 2012. Kajian Potensi Sumberdaya
Alam Dan Lingkungan Untuk Pengembangan Ekowisata Pesisir Nuhuroa
Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Lanskap Indonesia 4 (1) : 29-36
Retraubun, A.S.W. 2005. Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Makalah
disampaikan pada Pelatihan Pelatih untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Bogor, 8-9 Maret 2005.
Romimohtarto K dan Juwana S, 2009. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang
Biologi Laut. Djambatan, Jakarta
Ross S, G. Wall. 1999. Evaluating ecotourism: The case of North Sulawesi, Indonesia.
Tourism Managrment. 5177(99): 40-0. 673-682.

20
Schleyer, M.H., B.J. Tomalin. 2000. Damage on South African coral Rrefs and an
assessment of their sustainable diving capacity using a fisheries approach.
Bulletin of Marine Science, 67(3): 1025-1042
Setiawan F. 2011. Panduan Lapangan Identifikasi Ikan Karang dan Invertebrata Laut.
Wildlife Conservation Society, Manado.
Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring
A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan, Terapan
Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut. Bogor. Makaira FPIK
IPB
Susilo, B.S. 2005. Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil: Studi kasus
Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Maritek 5 (2) : 85-110.
Tahir A., M. Boer, S.B. Susilo, dan I. Jaya. 2009. Indeks Kerentanan Pulau-Pulau
Kecil : Kasus Pulau Barrang Lompo-Makasar. ILMU KELAUTAN 14 (4): 183-
188.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik pantai. Beta Offset: Jakarta. 397 hal Triatmodjo, B. 1999.
Teknik pantai. Beta Offset: Jakarta. 397 hal
Tyas DW, S Dibyosaputro. 2012. Pengaruh Morfodinamika Pantai Glagah,
Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Keselamatan
Pengunjung Pantai. Jurnal Bumi Indonesia 1 (3): 336-346
Unga KO. 2011. Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Kepulauan Banda. [Tesis].
Unhas, Makassar.
Widhianingrum I., A. Indarjo, dan I. Pratikto. 2013. Studi Kesesuaian Perairan Untuk
Ekowisata Diving Dan Snorkeling Di Perairan Pulau Keramat, Kebupaten
Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Journal Of Marine Research. 2 (3) :
181-189
Yulianda F, A.Fahrudin, A.A. Hutabarat, S. Harteti, Kusharjani, H.S. Kang. 2010.
Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu (Integrated Coastal and Marine
Management). Bogor (ID): Pusdiklat Kehutanan-Departemen Kehutanan Ri,
Secem–Korea International Cooperation Agency.
Idrus, Rijal M.,2009. Hard Habits To Break: Investigating Coastal Resources
Utilisation and Management System in Sulawesi Indonesia.
Denhardt, Janet P and Denhardt, Robert B., 2003. The New Public Service: Serving,
not Steering. M.E. Sharpe.
Bridgman, P. and Davis, G. 2000. The Australian Policy Handbook. 2nd Ed.

21
Dahuri R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumber daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Dunn, William N. 2000. Analisis Kebijakan Publik. Edisi kedua. Yogyakarta:
Terjemahan Samodra Wibawa dkk. Gajah Mada University Press.
Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. New
Jersey: Princeton University Press.
Quade, E.S. 1984. Analysis for Public Decisions. New York: The Rand Corporation.
Badan Pusat Statistik, 2012. Profil Kemiskinan di Indonesia, Berita Resmi Statistik
No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013
Freeman, R. E. 1984. Strategic management: A stakeholder approach.
Boston:Pitman
Hovik, Sissel and Stokke, Knut Bjorn. 2007. yang berjudul Network Governance and
Policy Integration—the Case of Regional Coastal Zone Planning in Norway.
European Planning Studies. Vol 15: 927-944
Crosby, Benjamin L. 1991 “Stakeholder Analysis: A Vital Tool for Strategic
Managers”. A publication of USAID’s Implementing Policy Change Project.2: 1-
19
Brinkerhoff, Derick W. and Crosby, Benjamin. 2002. Managing Policy Reform.
Kumarian Press. Blue Hills Avenue. Bloomfield. USA.
Stojanovic, Tim and Barker, Natasha. 2008. Improving governance through local
Coastal Partnerships in the UK. The Geographical Journal. Vol 147. Cardiff.
Ondee P. and Pannarunothai S. 2008. Stakeholder Analysis: Who are the Key Actors
in Establishing and Developing Thai Independent Consumer Organizations.
International Journal of Human and Social Sciences vol 3:4
Lincoln, Y.S. and Cuba, E.B. 1985. Naturalistic incuiry. Dalam Denzin Norman K. and
Ivonna S. Loncoln (Editorial). 1994. Handbook of Qualitative Research. London
Sage Publication.
Cuba, E.S. and Lincoln, Y.S., 2005, Competing Paradigms in Qualitative research
dalam Miller G.J.M and Yang, Kaifeng, 2008 Handbook of Research Methods
in Public
Rahmawaty. 2004. Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan
Berkelanjutan. e-USU Repository.
Sherlock Stephen, 2007. Parliamentari Indicators Indonesia, World Bank Institute.
Diah Auliyani , Budi Hendratno, Kismartini., 2014. Partisipasi Masyarakat dalam
Rehabilitasi Mangrove di Beberapa di Kabupaten Rembang; Jurnal Maspari
Volume 6 nomer 1.
Law No. 27 Year 2007 about Management Coastal Area and Small Island
Gainau, O.Y.S. Remote sensing analysis for identification of shoreline changes in the
East Coast of Surabaya (Analisa penginderaan jarak untuk mengidentifikasi

22
perubahan garis pantai di Pantai Timur Surabaya), Theses of Magister
Program. The Department of Ocean Engineering, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya ; 2011.
Prasita, V. Dj. and E.A. Kisnarti. Prediction of sea level rise impacts on the coastal
areas of Surabaya using GIS, The International Journal of Engineering and
Science. ISSN(e): 2319 – 1813 ISSN(p): 2319 – 1805 201 3:2:7.
www.theijes.com
Mc. Dowell, D.M. and O’Connor, B.A. Hydraulic Behavior of Estuaries. The
Macrchollan Press. London ;1977
Olson, T.A. and Burgess, F.J. Pollution and Marine Ecology. John Wiley and Sons
Publisher, New York : 1967
Carefoot, T. Seashore Ecology. University of Queensland Press. St. Lucia-London –
Newyork; 1977.
King, C.A. Coast in geomorphology in environmental management an introduction.
Clarendon Press. Oxford ; 1974.
Arifin, Samsul. Mangrove management based on society empowerment (Pengelolaan
mangrove berbasis emberdayaan masyarakat), Dinas Pertanian – Pemerintah
Kota Surabaya, Indonesia ; 2011.
Moko, G. I., T. Hariyanto, Wiweka, S. Julimantoro. Evaluation of land cover changes
in the coastal zone of Sidoarjo with multi-temporal satellite (Evaluasi perubahan
tutupan lahan wilayah perairan pesisir Surabaya Timur Sidoarjo dengan
menggunakan citra satelit multitemporal). Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya; 2012. http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-15983-
3507100025Paper.pdf.
Pemkot (Pemerintah Kota) Surabaya. Plan of Spatial Arrangement (Rencana Tata
Ruang Wilayah/RTRW) Kota Surabaya. Surabaya; 2007
Doerffer R, Sorensen K, Aiken J. MERIS potential for coastal zone application.
International Journal of Remote Sensing 1999;20(9):1809–18.
Kratzer S, Brockmann C, Moore G. Using MERIS full resolution data (300 m spatial
resolution) to monitor coastal waters—a case study from Himmerfjärden,a fjord-
like bay in the north-western Baltic Sea. Remote Sensing of Environment
2008;112(5):2284–300.
Cui T, Zhang J, Groom S, Sun L, Smyth T, Sathyendranath S. Validation of MERIS
ocean-color products in the Bohai Sea: a case study for turbid coastal waters.
Remote Sensing of Environment 2010;114:2326–36.
Kononen K, Leppänen J-M. Patchiness, scales and controlling mechanisms
ofcyanobacterial blooms in the Baltic Sea: application of a multiscale research
strategy. Monitoring algal blooms. New techniques for detecting large-scale
environmental change. Heidelberg New York: Berlin: Springer-Verlag; 63–84.

23

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai