Anda di halaman 1dari 7

ICM ( INTEGRATED COASTAL MANAJEMEN )

Di INDONESIA
(Dosen MK : Ibu Nevy)

Yan Abdian Nugraha


C252140011 / SPL

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

A. Latar Belakang Adanya ICM di Indonesia


Dalam satu decade belakangan ini, laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai
tingkat yang mengkhawatirkan. Kerusakan fisik sumber daya pesisir umumnya terjadi pada
ekosistem mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Berdasarkan survei line transect
penutupan karang hidup, 6,20 % terumbu karang Indonesia yang masih berada dalam kondisi
sangat baik, 23.72 % dalam kondisi baik, 28.30 % kondisi sedang dan 41.78 % dalam kondisi
rusak (Suharsono 1998). Dari kondisi terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di
kawasan barat Indonesia memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu
karang di kawasan tengah dan timur Indonesia.
Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang
bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun cyanida, dan juga
aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, pembuangan jangkar perahu, dan
sedimentasi akibat meningkatnya erosi dari lahan atas. Kegiatan perikanan destruktif ini tidak
hanya dilakukan oleh nelayan tradisional, tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern, dan juga
nelayan asing yang melakukan kegiatan pencurian ikan di perairan nusantara.
Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove. Selama periode 1982-1993
telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari sekitar 4 juta Ha menjadi sekitar 2,5 juta Ha
(Dahuri.et.al,1996). Penyebab penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya
peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti
pembukaan tambak, pengembangan kawasan industry dan pemukiman di kawasan pesisir serta
penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan kayu bakar, arang dan bahan bangunan. Konversi
mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi di Propinsi Sunatera Utara, Lampung,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, konversi lahan

mangrove menjadi kawasan industry dan pemukiman umum terjadi di kawasan padat penduduk
seperti DKI Jakarta, Tanggerang dan Bekasi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung
Timur.
Rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang tersebut telah mengakibatkan
penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi pantai. Penurunan kualitas
lingkungan ini menyebabkan banyak tambak tidak berfungsi dengan baik, rusaknya tempat
pemijahan ikan (spawning ground) berkurangnya populasi benur dan nener, serta berkurangnya
daerah asuhan perikanan (nursery ground). Erosi pantai jugadiperburuk oleh perencanaan dan
pengembangan wilayah pesisir yang tidak tepat, pengambilan pasir pantai untuk reklamasi, hotel
dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menutup garis pantai dan perairannya.
Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan Indonesia pada saat ini telah
berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Beban pencemaran (pollution load) di
Indonesia dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu kategori dengan tingkat pencemaran tinggi,
tingkat pencemaran sedang, dan tingkat pencemaran rendah. Kawasan dalam kategori dengan
tingkat pencemaran yang tinggi adalah Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung, dan Sulawesi
Selatan; kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang adalah Propinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, di Aceh, Sumatera Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Nusa
Tenggara Barat, Bali dan Maluku; sedangkan kawasan yang termasuk kategori tingkat
pencemaran rendah adalah Irian Jaya, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Nusa
TenggaraTimur.

Sumber utama pencemaran pesisir dan lautan berasal dari darat (land-based pollution sources)
(UNEP 1995) yang terdiri dari tiga jenis, yaitu dari kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan
kegiatanpertanian. Sementara itu, bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dari
ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsure hara, pestisida, organism patogen, logam
beracun, dan sampah. Jika dianalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa kawasankawasan yang masuk dalam kategori dengan tingkat pencemaran yang tinggi merupakan
kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk, kawasan industry dan juga pertanian.
Dalam banyak kasus, pendekatan pembangungan sektoral tidak mempromosikan
penggunaan sumber daya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya
memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap
sektor lain. Sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan lautan
karena belum adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor yang dapat
dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan.
Pada dasarnya hampir di seluruh kawasan pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik
-konflik antara berbagai kepentingan. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak
adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi sumber daya yang
terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan,
target dan rencana untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran dan
rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan SDK (user conflict) dan konflik
kewenangan (jurisdictional conflict). (Cincin-Sain and Knetch 1998).

Sebagai contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di Pantai Indah Kapuk Jakarta
yaitu ruang untuk konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan pemukiman

mewah, konflik nelayan tradisional dengan trawl, konflik antara kepentingan untuk konservasi
dengan pariwisata di Taman Laut Kepulauan Seribu. Di perairan Taman Nasional Bunaken,
sector perikanan bertujuan meningkatkan produksi ikan tangkap. Sektor pariwisata bertujuan
meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan snorkeling dan scuba diving. Pengembang
bertujuan membangun kota pantai Manado yang bisa menikmati keindahan Pulau Manado Tua
dan Bunaken, sementara Balai Pengelola TNL Bunaken ingin mengkonservasi keanekaragaman
hayati lautnya (Manado Post 1997). Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, masing-masing
pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Perencanaan dari berbagai sector ini sering tumpang tindih dan dan masing-masing berkompetisi
memanfaatkan ruang yang sama. Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan
sumber ini memicu munculnya konflik pemanfaatan antar berbagai pelaku dan konflik
kewenangan antar instansi yang berkepentingan (Sapta Putra 1998).

Hal lain yang sering terjadi adalah ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir
(Bromley danCernea 1989). Biasanya sumber daya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access
property resources), tetapi berdasarkan undang-undang pokok perairan No. 6/1996 milik
pemerintah (state property). Berbagai stake holder mengeksploitasi sumber daya wilayah pesisir
ini untuk kepentingannya, jika tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, sehingga
tidak ada insentif untuk melestarikannya, sehingga dalam pemanfaatannya terjadi the tragedy of
commons

(Hardin

pemanfaatannya.

1968).

Untuk

itu

pemerintah

berwenang

mengatur

mekanisme

Penanganan wilayah pesisir terpadu harus dimulai dari perencanaan. Perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu merupakan dasar bagi penyusunan dan alat koordinasi dari berbagai
perencanaan pesisir yang bersifat sektoral dan dunia usaha yang menjadi asosiasinya serta
perencanaan pembangunan daerah. Setiap daerah memiliki karakteristik, sosial budaya dan
biogeofisik lingkungan pesisirnya serta kebijakan pembangunan daerah yang berbeda. Sehingga
yang disusun setiap daerah akan berbeda dalam hal penentuan prioritas kebijakan, ruang lingkup
dan tingkat rincian, tetapi pendekatan yang digunakan dan unsur-unsur Pengelolaan Wilayah
Pesisir Terpadu tetap sama

B. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yang bisa diterapkan di


Indonesia

1. Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal


Integrasi perencanaan horisontal, mengintegrasikan perencanaan dari Sektor Pertanian
dan Konservasi yang berada di DAS hulu, Sektor Perikanan baik budidaya tambak udang dan
ikan maupun perikanan tangkap, Pariwisata alam dan bahari, PerhubunganLaut, Industri
Maritim, Pertambangan Lepas Pantai, Konservasi Laut, dan Pengembangan Kota.

2. Integrasi Perencanaan Secara Vertikal


Integrasi Perencanaan Vertikal meliputi integrasi kebijakan operasional dan perencanaan
mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kodya, Propinsi, sampai Nasional.

3. Integrasi antara ekosistem terrestrial dengan marine.


Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, menggunakan pendekatan batas-batas
ekologis, dengan menempatkan Daerah Aliran Sungai sebagai basis perencanaan. Sehingga
dampak dari kegiatan pertanian dan industry serta pembangunan perkotaan di DAS hulu perlu
diperhitungkan.

4. Integrasi antara Sains dan Manajemen


Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input sain yang
memberikan berbagai alternative rekomendasi bagi pengambilan keputusan yang relevan sesuai
dengan kondisi karakteristik yang sosial-ekonomi budaya dan biogeofisik lingkungannya.

5. Integrasi antara negara


Pada wilayah pesisir di perbatasan antar Negara perlu di integrasikan kebijakan masing-masing
negara, seperti di SelatMalaka.
"Pengelolaan sumber daya hayati pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan
hanya dapat terwujud jika pengelolaan wilayah pesisir dilakukan secara terpadu dengan
definisi yang jelas. Salah satu kunci dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu tersebut adalah
adanya visi, tujuan dan sasaran bersama (common vision, goals and target), serta batasanbatasan pengelolaan pesisir wilayah".

Anda mungkin juga menyukai