Di INDONESIA
(Dosen MK : Ibu Nevy)
mangrove menjadi kawasan industry dan pemukiman umum terjadi di kawasan padat penduduk
seperti DKI Jakarta, Tanggerang dan Bekasi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung
Timur.
Rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang tersebut telah mengakibatkan
penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi pantai. Penurunan kualitas
lingkungan ini menyebabkan banyak tambak tidak berfungsi dengan baik, rusaknya tempat
pemijahan ikan (spawning ground) berkurangnya populasi benur dan nener, serta berkurangnya
daerah asuhan perikanan (nursery ground). Erosi pantai jugadiperburuk oleh perencanaan dan
pengembangan wilayah pesisir yang tidak tepat, pengambilan pasir pantai untuk reklamasi, hotel
dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menutup garis pantai dan perairannya.
Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan Indonesia pada saat ini telah
berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Beban pencemaran (pollution load) di
Indonesia dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu kategori dengan tingkat pencemaran tinggi,
tingkat pencemaran sedang, dan tingkat pencemaran rendah. Kawasan dalam kategori dengan
tingkat pencemaran yang tinggi adalah Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung, dan Sulawesi
Selatan; kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang adalah Propinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, di Aceh, Sumatera Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Nusa
Tenggara Barat, Bali dan Maluku; sedangkan kawasan yang termasuk kategori tingkat
pencemaran rendah adalah Irian Jaya, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Nusa
TenggaraTimur.
Sumber utama pencemaran pesisir dan lautan berasal dari darat (land-based pollution sources)
(UNEP 1995) yang terdiri dari tiga jenis, yaitu dari kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan
kegiatanpertanian. Sementara itu, bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dari
ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsure hara, pestisida, organism patogen, logam
beracun, dan sampah. Jika dianalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa kawasankawasan yang masuk dalam kategori dengan tingkat pencemaran yang tinggi merupakan
kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk, kawasan industry dan juga pertanian.
Dalam banyak kasus, pendekatan pembangungan sektoral tidak mempromosikan
penggunaan sumber daya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya
memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap
sektor lain. Sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan lautan
karena belum adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor yang dapat
dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan.
Pada dasarnya hampir di seluruh kawasan pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik
-konflik antara berbagai kepentingan. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak
adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi sumber daya yang
terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan,
target dan rencana untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran dan
rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan SDK (user conflict) dan konflik
kewenangan (jurisdictional conflict). (Cincin-Sain and Knetch 1998).
Sebagai contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di Pantai Indah Kapuk Jakarta
yaitu ruang untuk konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan pemukiman
mewah, konflik nelayan tradisional dengan trawl, konflik antara kepentingan untuk konservasi
dengan pariwisata di Taman Laut Kepulauan Seribu. Di perairan Taman Nasional Bunaken,
sector perikanan bertujuan meningkatkan produksi ikan tangkap. Sektor pariwisata bertujuan
meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan snorkeling dan scuba diving. Pengembang
bertujuan membangun kota pantai Manado yang bisa menikmati keindahan Pulau Manado Tua
dan Bunaken, sementara Balai Pengelola TNL Bunaken ingin mengkonservasi keanekaragaman
hayati lautnya (Manado Post 1997). Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, masing-masing
pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Perencanaan dari berbagai sector ini sering tumpang tindih dan dan masing-masing berkompetisi
memanfaatkan ruang yang sama. Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan
sumber ini memicu munculnya konflik pemanfaatan antar berbagai pelaku dan konflik
kewenangan antar instansi yang berkepentingan (Sapta Putra 1998).
Hal lain yang sering terjadi adalah ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir
(Bromley danCernea 1989). Biasanya sumber daya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access
property resources), tetapi berdasarkan undang-undang pokok perairan No. 6/1996 milik
pemerintah (state property). Berbagai stake holder mengeksploitasi sumber daya wilayah pesisir
ini untuk kepentingannya, jika tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, sehingga
tidak ada insentif untuk melestarikannya, sehingga dalam pemanfaatannya terjadi the tragedy of
commons
(Hardin
pemanfaatannya.
1968).
Untuk
itu
pemerintah
berwenang
mengatur
mekanisme
Penanganan wilayah pesisir terpadu harus dimulai dari perencanaan. Perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu merupakan dasar bagi penyusunan dan alat koordinasi dari berbagai
perencanaan pesisir yang bersifat sektoral dan dunia usaha yang menjadi asosiasinya serta
perencanaan pembangunan daerah. Setiap daerah memiliki karakteristik, sosial budaya dan
biogeofisik lingkungan pesisirnya serta kebijakan pembangunan daerah yang berbeda. Sehingga
yang disusun setiap daerah akan berbeda dalam hal penentuan prioritas kebijakan, ruang lingkup
dan tingkat rincian, tetapi pendekatan yang digunakan dan unsur-unsur Pengelolaan Wilayah
Pesisir Terpadu tetap sama