Anda di halaman 1dari 26

Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta1

oleh
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor
(PKSPL-IPB)

1. Pendahuluan

Sea farming yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktivitas berbasis marikultur dengan
tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi
kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan
pariwisata. Dengan demikian, sea Farming (SF) pada dasarnya merupakan sebuah sistem
yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses)
dan sub-sistem output (Gambar 1). Sub-sistem pendukung merupakan prasyarat awal
pembentukan kelembagaan SF yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor
pendukung (supporting factors) bagi beroperasinya SF di lokasi yang dituju. Dalam sub-
sistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights sebagai
persyaratan batas sistem operasi SF secara geografis (system boundary). Pembentukan
sistem fishing rights (FR) ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset
partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan FR ini tidak dapat dilepaskan
dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi SF secara
teknis-ekologis.

1
Working Paper PKSPL-IPB, 12 Oktober 2006

1
Gambar 1. Sistem Kelembagaan Sea Farming

Sub-sistem kedua adalah marikultur (budidaya kelautan) di mana kegiatan pembenihan,


pendederan hingga pembesaran komoditas SF dilakukan. Sub-sistem ini merupakan
jantung dari implementasi SF karena input dan output ekonomi SF pada dasarnya berasal
dari sub-sistem marikultur ini. Agar akselerasi sub-sistem marikultur ini dapat dilakukan
sesuai dengan tujuan, maka dalam sub-sistem ini digunakan pendekatan community-
based agribusiness system (sistem agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam
SABM ini, sebagian besar pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat
ekonomi langsung maupun tidak langsung dari sistem SF ini akan bermuara pada
kesejahteraan masyarakat lokal. Sebagai contoh, dengan implementasi intermediary
mariculture process yang melibatkan pendeder 1, pendeder 2, dan seterusnya (lihat
Gambar 1) maka alur finansial dalam bentuk perdagangan benih dapat dilakukan
menggantikan sistem konvensional yang hanya terbatas pada grower (pembesaran).

Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output di mana komoditas SF akan diperdagangkan


melalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku SF dan pada saat yang
sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi kepentingan konservasi dan pengkayaan
stok ikan (stock enhancement). Fungsi konservasi ini dapat melibatkan pemerintah daerah
sebagai penjamin pasar bagi pelaku SF. Dengan kata lain, pemerintah daerah membeli
stok dari pelaku SF bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan
pengkayaan stok alam di perairan yang sesuai.

2. Tiga Pilar Kelembagaan Sea Farming

Berdasarkan sistem kelembagaan Sea Farming (SF) seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka pada prinsipnya terdapat 3 (tiga) pilar kelembagaan SF yaitu (1)
fishing right; (2) insentif teknis, sosial dan ekonomi; dan (3) pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya. Secara diagram, ketiga pilar kelembagaan SF dapat dilihat pada Gambar 2
berikut ini.

2
Gambar 2. Tiga Pilar Kelembagaan Sea Farming

Pilar 1 : Fishing Right

Secara teoritis, fishing right (FR) didefinisikan sebagai hak yang diberikan kepada
lembaga/individu lokal untuk melaksanakan kegiatan perikanan tertentu, dalam jangka
waktu tertentu setelah memenuhi persyaratan/kriteria yang telah ditetapkan oleh pemberi
hak (pemerintah). Dalam konteks ini maka FR adalah hak penggunaan (use rights) dan
bukan hak kepemilikan (property rights) serta tidak dapat diperjualbelikan (non-
tradable).

Proses inisiasi FR dalam kerangka SF dimulai dengan penentuan batas sistem (alam dan
sosial) yang akan dijadikan dasar bagi penentuan batas geo-ekologis SF dan FR itu
sendiri. Setelah itu, proses penetapan tapak teknis yang kemudian diikuti dengan proses-
proses sosial untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan FR, perencanaan perikanan
hingga penentuan lisensi FR dan kepada siapa diberikan. Secara diagram, Gambar 3
menyajikan roadmap pembentukan FR dalam kerangka SF. Sedangkan detil kegiatan
untuk setiap proses pembentukan FR disajikan secara diagramatik pada Gambar 4.

Gambar 3. Proses Inisiasi Fishing Rights Dalam Kerangka Implementasi Sea Farming

Set a bou
3
Peneta
perencanaan
Gambar 4. Detil Kegiatan Untuk Setiap Tahapan Pembentukan Fishing Rights

Pilar 2 : Insentif Teknis, Sosial dan Ekonomis

Implementasi SF tidak dapat berjalan dengan sempurna apabila tidak disertai dengan
pemberian insentif teknis, sosial dan ekonomis. Dalam konteks ini, pilar kedua ini
memiliki fokus pada pemberian insentif teknis berupa pelatihan dan pendampingan
teknis, khususnya dalam kerangka sub-sistem kedua marikultur. Selain itu, insentif sosial
ekonomi perlu diberikan dalam konteks pemberian pelatihan agribisnis bagi masyarakat
lokal, penjami

Implem 4
3. Identifikasi Kelompok Sea Farming

3.1. Tahapan/Proses

Identifikasi kelompok dalam proses pembentukan kelompok pengelolaan sea farming


dilakukan melalui beberapa metode yang berbasis pada pendekatan partisipatif
(participatory approach). Metode-metode tersebut antara lain adalah metode RRA (rapid
rural appraisal) dan PRA (participatory research action). Metode-metode ini antara lain
dilaksanakan dalam bentuk pengamatan secara langsung, wawancara mendalam (indepth
interview), FGD (focus group discusson), pendampingan dan penyebaran kuisioner.

Kegiatan RRA (rapid rural appraisal) dilakukan sebagai upaya mengenal kondisi sosial
ekonomi masyarakat Pulau Panggang secara cepat, dilaksanakan pada awal kegiatan
melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan masyarakat serta penelusuran
semua sumberdaya yang ada. Untuk memvalidasi data, dibantu dengan pendekatan dari
data-data sekunder yang telah tersedia. Pada tahap ini teridentifikasi isu dan
permasalahan pengelolaan serta peta individu,kelompok serta peran sosial budaya yang
ada di masyarakat Pulau Panggang. Tahapan selanjutnya yang diperlukan adalah PRA
(participatory research action) yang merupakan pendalaman dan pemantapan lanjutan
dari hasil-hasil yang diperoleh dari pelaksanaaan RRA. Untuk mendalami informasi awal
mulai terjunkan tenaga pendamping dan dilaksanakan beberapa kegiatan yang
berorientasi kepada ekplorasi harapan, ide dan minat masyarakat Pulau Panggang dalam
implementasi sea farming, yang dilaksanakan melalui FGD, diskusi intensif dan
wawancara mendalam (indepth interview) dengan masyarakat serta penelusuran semua
sumberdaya yang ada. Untuk mevalidasi data, dibantu dengan pendekatan dari data-data
sekunder yang telah tersedia.

Proses penerapan metodologi di atas merupakan implementasi kegiatan konstruksi


kelembagaan dalam rangka sea farming yang dilaksanakan di Kepulauan Seribu,
khususnya di Pulau Panggang sebagai entitas masyarakat yang akan diberi hak
pengelolaan sea farming di Perairan Semak Daun. Secara kelembagaan ada beberapa
tahapan yang dilaksanakan dalam rangka upaya menuju kepada pembangunan embrio
kelembagaan pengelolaan sea farming, yaitu :
(i) Tahapan identifikasi peran yang dapat dikembangkan sebagai kegiatan sea
farming, sebagai syarat mutlak bagi berjalannya sistem sea farming;
(ii) Tahapan identifikasi individu, sebagai calon-calon anggota yang terlibat
dalam pengelolaan sea farming ataupun individu sesuai dengan peran yang
dkembangkan dalam sistem sea farming;
(iii) Tahapan terakhir adalah identifikasi kelompok, yaitu mengidentifikasi
kelompok pengelola yang merupakan embrio (cikal bakal) kelompok
pengelola sistem sea farming di Pulau Panggang. Kelompok Pengelola
merupakan lembaga yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat yang
memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur pelaksanaan sistem sea farming
di Pulau Panggang, terdiri dari individu-individu yang merupakan representasi
dari peran individu yang ada dalam sistem sea farming.

5
3.1.1. Identifikasi Peran

Tahapan identifikasi peran yang dapat dikembangkan sebagai kegiatan sea farming,
merupakan salahsatu syarat mutlak bagi berjalannya sistem sea farming, selain adanya
hak pengelolaan perairan (fishing right) yang akan diberikan kepada masyarakat yang
didelegasikan kepada kelompok pengelola. Peran yang diidentifikasi adalah peran-peran
sosial ekonomi yang dibutuhkan sebagai prasyarat berjalannya suatu sistem sea farming,
atau dengan kata lain adalah merupakan kelommpk-kelompok sosial ekonomi yang akan
saling bekerjasama dan berhubungan (interconection) membentuk suatu mata rantai
kegiatan sosial ekonomi sehingga program sea farming berjalan secara organik tanpa
memerlukan campur tangan pihak luar secara berlebihan.

Komponen peran ini juga sekaligus merupakan agen kegiatan ekonomi utama masyarakat
Pulau Panggang yang dipandang akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Pulau
Panggang ke depan. Dengan demikian, peran yang didentifikasi adalah peran-peran lama
yang masih potensial dikembangkan dan atau peran baru yang diperlukan ke depan.
Dalam mengidentifikasi peran, dilakukan dengan melalui metode FGD (focus group
discusion). Melalui FGD (focus group discusion) I (pertama) yang mengundang seluruh
komponen masyarakat Pulau Panggang diarahkan kepada upaya mensosialisasikan
pengembangan sea farming dan menggali aspirasi masyarakat Pulau Panggang tentang
peran-peran apa saja yang akan bisa dikembangkan di Pulau Panggang untuk mendukung
keberhasilan sea farming.
FGD I dilaksanakan di Gedung Karang Taruna Pulau Panggang. Kegiatan FGD ini
dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari kelompok nelayan, pembudidaya ikan kerapu
dan rumput laut, Taman Laut Kepulauan Seribu, pendamping, dan anggota Karang
Taruna/LSM yang berjumlah 40 orang dan dipandu oleh Tim Konsultan.
Dari hasil identifikasi peran inilah, terdentifikasi pelaku / peran masyarakat Pulau
Panggang yang akan berperan dalam kelembagaan sea farming. Peran-peran tersebut
antara lain : (1). Nelayan, (2). Pembudidaya Ikan, (3). Hatchery, (4). Pendeder Ikan,
(5). Pengumpul Ikan Hias, (6). Aktivis/Pengelola DPL, (7). Aktivis/Pengelola Kawasan
Wisata Pulau, dan (8). Pedagang Ikan.
FGD ini berhasil juga mengungkapkan berbagai point penting dan permasalahan yang
dihadapi masyarakat dalam melakukan kegiatan budidaya laut dan berbagai solusi untuk
mengatasi permasalahan tersebut yang seluruhnya dirumuskan sendiri oleh masyarakat,
sedangkan Tim Konsultan hanya bertugas memandu dan mengarahkan jalannya diskusi.

3.1.2. Identifikasi Individu dan Kelompok

Proses terpenting dalam pembentukan kelompok adalah identifikasi individu. Dalam


proses identifikasi individu inilah diperlukan waktu yang cukup panjang karena untuk
mendapatkan peta individu dari masyarakat secara tepat dan benar dibutuhkan informasi
sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Selain itu setiap informasi yang diperoleh
harus melalui suatu tahapan validasi melalui pendalaman dan proses cross check,
sehingga tidak menimbulkan kegagalan dan salah sasaran (target failure).

6
Proses penelusuran dan identifikasi individu masyarakat Pulau Panggang, diawali dari
data resmi pemerintah (Kelurahan Pulau Panggang) yang mutakhir, untuk mendapatkan
data awal. Selanjutnya proses-proses yang dilakukan sampai kepada tahapan menemukan
individu-individu kunci yang dapat berperan dalam sea farming adalah sebagai berikut :

a. Memilah dan memetakan individu dan kelompok ekonomi masyarakat


berdasarkan mata pencaharian dan aktifitas ekonominya. Bagian ini penting
karena prioritas yang akan diidentifikasi lebih lanjut adalah masyarakat yang
menggantungkan kehidupannya kepada sumberdaya alam laut, dalam hal ini
adalah profesi nelayan, pembuat kapal, pedagang ikan, pembudidaya ikan,
pengumpul ikan hias dan karang serta pengolah ikan, dimana individu-individu
tersebut ada yang terorganisir dalam kelompok ataupun independen. Namun
mengingat atas spektrum kondisi sosial ekonomi Pulau Panggang yang mulai
heterogen, ditemukan adanya kelompok individu yang patut diidentifikasi dan
dilibatkan dalam program sea farming yakni kelompok organisasi sosial
kemasyarakatan seperti tokoh pemuda, Karang Taruna, Masjid dan kelompok
lingkungan hidup seperti LSM Bina Lestari dan APL (Area Perlindungan Laut).
Sebagaimana disajikan dalam Kajian Sosial Ekonomi, diketahui bahwa di Pulau
Panggang terdapat kelompok-kelompok ekonomi yang

b. Pemilahan selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi individu pada masing-


masing kelompok berdasarkan keaktifan dan perilaku selama ini, terutama
menyangkut keseriusan berusaha dan progresifitas terhadap masa depan pulau.

c. Setelah didapatkan cukup informasi akan individu-individu yang diperlukan,


tahapan selanjutnya adalah pendalaman terhadap individu tersebut melalui
pendekatan personal yang dilakukan oleh pendamping lapangan. Namun secara
bersamaan informasi dan masukan terus tetapi menjadi pertimbangan dalam
menilai individu yang ada, termasuk kemungkinan adanya individu-indvidu yang
tidak atau belum teridentifikasi.

Selain melalui tahapan/proses di atas, untuk menghindari bias penelusuran individu,


maka secara formal juga dilakukan penelusuran individu berdasarkan forum-forum resmi
seperti FGD, selain juga untuk membangun soliditas masyarakat Pulau. Dari forum-
forum yang dilaksanakan secara bertahap mulai tingkat RW dan tingkat Pulau inilah akan
bisa diperoleh identitas individu yang dapat dijadikan sebagai individu kunci dalam
kerangka pembentukan kelompok berdasarkan keaktifan mengikuti kegiatan, pendapat-
pendapat dan juga sikap serta jiwa kepemimpinannya.

Setelah individu-individu teridentifikasi, proses penelusuran tidak berarti berhenti, karena


aktifitas ini bersifat dinamis dan selalu mengikuti perubahan berdasarkan dimensi waktu
dan kondisional, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai keputusan akhir. Bila keputusan
akhir diambil dalam waktu cepat, maka potensi konflik di masyarakat menjadi muncul ke
permukaan dan dapat mengganggu jalannya proses konstruksi kelembagaan yang

7
memerlukan waktu bertahap, tidak sekaligus. Data-data inilah yang sebenarnya
merupakan embrio awal dari proses pembentukan kelompok pengelolaan sea farming.

3.2. Pemahaman dan Persepsi Terhadap Sea Farming

Dalam konteks Indonesia, implementasi sea farming di Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu sebagai aktifitas diformalisasi oleh sebuah wewenang pemerintah
merupakan hal sangat baru dan pertama kali diterapkan di Indonesia. Hal ini membawa
kepada suatu hambatan pemahaman dan salah persepsi tentang hakekat sea farming baik
di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Namun demikian, secara historis di
Indonesia dalam tataran kebijakan dan penerapan teknologi telah diterapkan sebagian
atau keseluruhan prinsip-prinsip sea farming di beberapa daerah dan wilayah.
Pada tingkat masyarakat Kepulauan Seribu khususnya Pulau Panggang, konsepsi sea
farming sampai saat ini juga belum bisa dikatakan memahami secara sempurna, namun
secara perlahan pemahaman ini terus disebarkan baik oleh pemerintah, tokoh masyarakat,
perguruan tinggi, LSM dan aparat kepada seluruh jajaran pemerintahan dan lapisan
masyarakat.

Pemahaman masyarakat terhadap sea farming pada dasarnya adalah bagaimana


memahami problem-problemnya sendiri serta kondisi sosial ekonominya saat ini, dan
memahami bagaimana masalah-masalah itu diatasi. Upaya-upaya inilah yang dilakukan
terhadap masyarakat, melalui berbagai pendekatan baik dalam sosialisasi, FGD maupun
secara informal.
Dalam FGD pertama dengan masyarakat Pulau Panggang, masyarakat sudah
menyepakati dan memahami bahwa dalam penerapan sea farming ada prasyarat
pelaksanaan sea farming yang harus dibangun di Pulau Panggang, yaitu :

a. Hak pengelolaan perairan (fishing right)


b. Pembagian peran dalam sistem sea farming.
FGD ini juga berhasil merumuskan point-pont yang sangat penting dalam pelaksanaan
program sea farming . Hal yang terungkap antara lain :
 Terungungkapnya permasalahan-permasalahan yang timbul selama melakukan
kegiatan budidaya (Tabel 1, Gambar 5 dan Gambar 6);
 Terungungkapnya permasalahan-permasalahan yang potensial akan menjadi
hambatan dalam kegiatan sea farming;
 Terungungkapnya beberapa pengalaman empiris selama ini dalam kegiatan budidaya
laut dan,
 Terumuskannya beberapa alternatif solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang
muncul.

8
Tabel 1. Hasil identifikasi permasalahan dan solusi dari masyarakat
No Permasalahan Solusi
I. Teknis
1. Kesulitan dalam - Jangka pendek dapat diatasi dengan
mendapatkan benih ikan melakukan usaha pendederan benih ikan
yang berkualitas, seperti - Jangka panjang, perlu dipikirkan untuk
benih ikan kerapu membangun hatchery di sekitar Kepulauan
Seribu untuk menghasilkan benih ikan laut
yang bekualitas
2. Masih sering timbul - Perlu dilakukan usaha pencegahan dari
penyakit yang awal kegiatan budidaya, seperti pemilihan
menyebabkan kegagalan lokasi yang tepat, menggunakan benih yang
budidaya berkualitas, dan monitoring selama
pemeliharaan yang intensif
- Perlu pendampingan teknis oleh SDM yang
ahli dan berpengalaman, termasuk
menguasai berbagai jenis penyakit ikan dan
cara penanganannya
- Perlu diterbitkan Buku Panduan/Pedoman
budidaya ikan laut
3. Sering terjadi pencemaran - Diserahkan kepada pemerintah daerah
lingkungan, seperti maupun pusat untuk mencari solusi yang
pencemaran minyak, tepat
sampah, dll. - Perlu adanya tindakan hukum yang tegas
dari pemerintah terhadap para pencemar
laut, terutama dari minyak mentah karena
sering terjadi
- Dapat diusahakan melalui pemerintah
kompensasi sebagai ganti rugi pencemaran
lingkungan jika menyebabkan kegagalan
kegiatan budidaya (kematian massal)
4. Lemahnya pendampingan Perlu diangkat beberapa pendamping teknis
teknis, baik dari sisi yang mengetahui dan memahami tentang
kemampuan teknis SDM teknis budidaya laut serta berpengalaman
pendamping maupun dari dalam kegiatan budidaya laut, baik dari
sisi intensitas kalangan Dinas Perikanan dan Kelautan,
pendampingan Perguruan Tinggi, maupun pihak lain.
5. Beberapa komoditas - Perlu dikaji secara teliti penyebab
budidaya laut, lampat pertumbuhan lambat
pertumbuhannya, seperti - Dapat diatasi dengan menggunakan pakan
kerapu di KJA yang berkualitas
- Menambahkan suplemen, seperti vitamin,
dicampur dengan pakan.

9
Tabel 1. (lanjutan)
No Permasalahan Solusi
6. Pulau Semak Daun lokasi - Perlu disediakan fasilitas pendukung,
cukup jauh dari Pulau seperti alat transportasi (perahu), alat
Panggang (domisili calon komunikasi (HT atau SSB), rumah jaga
pengelola kegiatan sea - Perlu pengaturan dalam sistim penjagaan
farming di Pulau Semak
Daun)
II. Non Teknis
7. Kemampuan SDM secara - Perlu dilakukan pelatihan dan pembinaan
umum dalam hal teknis kepada masyarakat, baik dalam hal teknis,
budidaya laut masih relatif manajemen maupun peningkatan kesadaran
rendah dalam hal tanggung jawab dan
kebersamaan (kerja kelompok)
- Perlu dilakukan studi banding ke lokasi-
lokasi budidaya laut yang cukup berhasil
- Perlu ada kesepakatan, baik antar sesama
anggota kelompok maupun antar kelompok,
termasuk disepakati sangsi apabila terjadi
pelanggaran terhadap kesepakatan
8. Kesulitan dalam pemasaran - Perlu adanya peran pemerintah dalam
dan dalam mendapatkan promosi dan membuka jaringan pemasaran
informasi perkembangan hasil kegiatan budidaya laut yang lebih luas
pasar produk-produk hasil lagi
budidaya laut dan - Perlu dibentuk kelembagaan yang kuat di
lemahnya promosi kelompok-kelompok budidaya
- Sebagai sarana promosi, dalam jangka
panjang kegiatan budidaya laut dapat juga
dijadikan kegiatan ekowisata dan perlu juga
dibangun homestay di pulua sekitar lokasi
budidaya
9. Lemahnya permodalan - Perlu dukungan dana dari pemerintah dan
masyarakat para investor
- Dukungan dana ini dalam bentuk
“pinjaman bergulir”
- Perlu ada pelatihan dan pembinaan
manajemen keuangan kepada masyarakat

10
Tabel 1. (lanjutan)
No Permasalahan Solusi
10. Biaya hidup sebelum - Dengan adanya sistim pengaturan
kegiatan sea farming ini penjagaan (rolling/shift) diantara anggota
berlangsung kelompok, anggota kelompok yang lain
masih bisa tetap melakukan kegiatan
penangkapan ikan (mancing)
- Anggota kelompok dapat melakukan
kegiatan sampingan sambil menjaga
kegiatan budidaya laut, seperti kegiatan
budidaya laut, memasang bubu, dll.
11. Peran pemerintah belum Pemerintah perlu mengoptimalkan
optimal dalam mendukung peranannya dalam hal:
kegiatan budidaya laut - Pembinaan dan penyuluhan, termasuk
menyediakan tenaga pendamping yang ahli
dan berpengalaman
- Membukan jaringan pemasaran dan
menjamin terpasarkannya hasil budidaya
laut

11
Pembinaan kurang

Kurangnya perhatian pemerintah Kurangnya tingkat


pusat maupun daerah terhadap silaturahmi (pertemuan)
pulau-pulau kecil antar pengurus/anggota

Kucuran dana dari pemerintah - kurang koordinasi


tidak menyentuh langsung untuk - rasa saling mencurigai/
kepentingan masyarakat berprasangka buruk terhadap
orang lain

Ketidakpahaman masyarakat
Kepulauan Seribu dikelola oleh
berbagai pemangku kewenangan
Kurangnya kepercayaan masyarakat yang belum mempunyai kesatuan
visi dan misi

Kurangnya koordinasi

Gambar 5. Kerangka Permasalahan Pengembangan Ekonomi di Pulau Panggang


Hasil FGD.

Penegakan hukum
kurang

Nelayan luar masuk ke Hukum tidak tentu


Kepulauan Seribu

Bagaimana kalau nelayan masuk Perda/aturan PHPA (zonasi)


ke areal perlindungan laut ADL-
BM, dasar hukum apa yang kita
pakai

Pengambilan batu karang pasir

Limbah yang datang dari


daratan Jakarta

Pengguna potasium
Kurangnya kepercayaan masyarakat

Gambar 6. Kerangka Permasalahan Pengelolaan di Pulau Panggang hasil FGD

12
Dengan melihat hal di atas terlihat bahwa secara umum sebagian besar masyarakat Pulau
Panggang secara empirik pengelolaan sudah mempunyai cukup pengalaman dalam
melaksanakan kegiatan budidaya laut, dengan berbagai komoditas budidaya, seperti ikan
kerapu, rumput laut, ikan hias; dan berbagai sistim budidaya, seperti KJA, jaring tancap,
long line, dan juga aspek pengelolaannya termasuk aspek penegakan hukum dan
restocking. Hal ini merupakan satu modal yang cukup penting dalam melancarkan
rencana kegiatan sea farming ke depan. Disamping itu masyarakat Pulau Panggang
juga sangat bersemangat merespon rencana kegiatan sea farming dan sangat menaruh
harapan terhadap program sea farming ini, terutama sebagai sarana untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka.
Oleh karena itu, untuk menjaga agar semangat masyarakat Pulau Panggang dalam
mendukung kegiatan sea farming ini tidak kendur, maka harus segera disusun
perencanaan teknis yang matang dan terarah serta terukur dengan mempertimbangkan
hasil FGD dan dengan tetap menjaga koordinasi dengan masyarakat. Hal tersebut sangat
membutuhkan keseriusan dan kesungguhan serta kepedulian, terutama dari pihak Pemkab
Kepuluan Seribu, terhadap peningkatan kesejahteraan hidup masyarakatnya melalui
kegiatan sea farming. Kecepatan pihak Pemkab dengan dibantu Tim Konsultan dalam
merespon positif dukungan masyarakat terhadap program sea farming ini juga
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan program ini.
Semakin cepat pihak Pemkab Kepulauan Seribu merealisasikan program ini dengan
perencanaan yang matang dan sungguh-sungguh, dapat meningkatkan semangat dan
kesungguhan masyarakat dalam mendukung program ini dan yang cukup penting juga
kepercayaan masyarakat terhadap Pemkab akan semakin meningkat dan mereka semakin
yakin bahwa pihak Pemkab peduli terhadap peningkatan kesejahteraan warganya.

Proses pemahaman terhadap sea farming semakin menunjukkan hasil yang memuaskan
pada FGD IV di tingkat pulau Panggang. FGD ini memang bertujuan salah satunya untuk
pemantapan pemahaman sea farming. Dalam FGD, peserta diminta untuk
mengungkapkan pemahaman dan pendapatnya tentang terminologi sea farming yang
sudah mereka pahami selama ini. Peserta diminta menuliskanya di kertas (metaplan) yang
dibagikan. Setelah peserta menuliskan pendapatnya melalui penjaringan pendapat peserta
dengan metaplan menunjukkan bahwa masyarakat (peserta) sudah semakin memahami
dan mengerti maksud dan hakekat seafarming yang akan dilaksanakan di Pulau
Panggang.
Dari 53 peserta, diketahui bahwa hampir semua peserta memahami bahwa sea farming
berkaitan dengan pembudidayaan ikan di laut (51%), tapi masih belum memahami sistem
yang akan dikembangkan lebih luas. Tetapi 49 % peserta sudah memahami bahwa yang
akan dibangun adalah sistem/kelembagaan pengaturan laut sebagai sumber ekonomi
masyarakat. Diakhir acara tim ahli memberikan pelurusan, pemantapan dan pendalaman
pengertian seafarming. Proses pemahaman terhadap masyarakat tidak berhenti, meskipun
secara formal tidak dilakukan lagi pertemuan.

3.3. Kelompok Pengelolaan Sea Farming

Meskipun tahapan penelusuran individu dan kelompok di tingkat masyarakat sudah


berjalan lancar, proses pembentukan kelompok pengelolaan sea farming secara formal

13
tidaklah bisa dilakukan secara cepat dan mudah, karena perlu kehati-hatian dan harus
melihat dahulu bagaimana di tingkat pemerintahan dan masyarakat. Penjelasan berikut
akan merinci tahapan proses pembentukan emrio kelembagaan, mulai kelompoknya
(hardware/organisasi), aturan main (software) sampai aspek sumberdaya manusianya,
yang dirunut melalui rangkaian FGD kedua dan ketiga (tingkat RW) dan FGD keempat
tingkat Pulau Panggang, dimana pembahasan sudah memasuki tahapan rencana
pembentukan kelompok pengelolaan Seafarming. FGD ini dimulai melalui tingkat RW
(melibatkan RT). Pada FGD II di tingkat RW I dihadiri 21 orang terdiri dari tokoh
nelayan, tokoh masyarakat, pemerintah kelurahan, RW dan tokoh pemuda.
Hasil-hasil yang diperoleh dari FGD kedua ini antara lain :

a. Adanya pertanyaan tentang mekanisme kerjasama tim sea farming dengan


masyarakat, apalagi penerapan seafarming di Kepulauan Seribu adalah yang pertama
di Indonesia sehingga menjadi percontohan nasional. Masyarakat setuju bahwa
tahapan implementasi sea farming perlu contoh ujicoba, tetapi berdasar pengalaman
yang lalu harus ada pendampingan kepada masyarakat agar dibangun keterbukaan
dan saling percaya diantara tim dan antar masyarakat.

b. Ada juga masyarakat yang menginginkan agar warga langsung dilibatkan dalam
seafarming tanpa ada percontohan dulu, sehingga masyarakat bisa ikut menikmati
hasilnya tanpa menunggu lama. Setelah dijelaskan bahwa keterlibatan masyarakat
adalah belajar dulu sambil menunggu percontohan berhasil, termasuk dilibatkan
dalam kerja konstruksi.

c. Namun ada juga masyarakat yang setuju agar pengelolaan seafarming pada tahap
awal dengan didahului pengelolaan oleh tim konsultan, setelah masyarakat siap,
berhasil dan mantap diambil alih oleh masyarakat setelah masyarakat belajar melalui
pendampingan teknis yang dilakukan sehingga interaksi terus dengan warga. Interaksi
dengan masyarakat adalah sangat penting.

d. Dipahami oleh masyarakat bahwa kegiatan SF ini akan berjalan kurang lebih 5-10
tahun jadi diharap kesabaran dari masyarakat. Langkah-langkah yang akan dilalui
adalah :
 Mulai dari pembuatan kandang (pen culture) yang dilakukan sepenuhnya oleh
tim SF, sembari dibangun kandang, dilakukan penyiapan pembentukan lembaga
dan aturan-aturan yang sepenuhnya melibatkan masyarakat.
 Setelah kandang dan bibit Sian maka mulailah dilakukan restocking ikan
tertentu, terutama ikan-ikan demersal, seperti kerapu, teripang dll.

e. Jika seafarming sudah berjalan, jika ada masyarakat luar pulau Panggang yang
akan mengambil di Semak Daun, maka harus disepakati peraturan yang mengatur
seafarming, termasuk cakupannya, karena peraturannya bukan saja untuk Pulau
Panggang saja, tetapi mencakup seluruh wilayah kepuluan seribu dalam bentuk
Perda), dan dalam penyusunan Perda tiap pasalnya masyarakat akan diberikan
desempatan untuk mengkritisi.

14
f. Diperoleh nilai strategis dari masyarakat pada saat Implementasi ketika sefarming
sudah berjalan yaitu :
 Pengawasan akan dilakukan oleh masyarakat sendiri
 Pengelolaan dan pengaturan juga dilakukan bersama-sama oleh pemerintah
dan masyarakat
 Agar lebih kuat aturan-aturan akan dituangkan dalam perda.
 Kendala yang mungking timbul adalah : aktifitas penangkapan oleh
masyarakat pulau lain.
Berdasar hasil diatas, maka dapat diperoleh suatu titik terang tentang sistem pengelolaan
yang akan melibatkan kelompok masyarakat yaitu dari :

a. Mengambil kelompok pembudidaya yang sudah ada


b. Menggabungkan antara kelompok yang sudah ada dan ditambah kelompok
baru yang memiliki interest cukup tinggi terhadap seafarming.

Sedangkan pada pertemuan tingkat RW II dan RW III (FGD III) yang dihadiri lebih
kurang 60 orang mulai Ketua-ketua RT dan RW, tokoh nelayan, tokoh masyarakat, tokoh
pemuda diperoleh hasil yang lebih kurang sama dengan pertemuan di RW I, yaitu adanya
pemahaman yang makin baik dari masyarakat dan penegasan bahwa Seafarming ini akan
berhasil bila masyarakat juga mempersiapkan diri sebagai kelompok yang menjadi tulang
punggung keberhasilannya nanti, bukan dari konsultan, apalagi dari pihak pemerintah,
sepenuhnya dari pemerintah. Dan masyarakat memahami bahwa untuk tahun pertama ini
baru dilaksanakan pilot project, sehingga bila di tingkat masyarakat kelembagaannya
sudah siap baru diserahkan kepada masyarakat.

Proses memahamkan masyarakat dan penyerapan aspirasi kelembagaan sea farming


semakin menunjukkan kemajuan dalam kegiatan FGD IV di tingkat Pulau Panggang,
yang merupakan proses penyerapan aspirasi yang terakhir dalam rangka pembentukan
kelompok dan pemantapan penyiapan kelembagaan pengelolaan seafarming di Pulau
Panggang. Kegiatan yang dilaksanakan di Aula kantor Kelurahan Pulau Panggang
dihadiri sekitar 53 orang yang merupakan wakil-wakil dari 3 (tiga) RW di Pulau
Panggang.

Dalam penjaringan aspirasi kelembagaan pengelolaan Seafarming, masyarakat memiliki


pandangan yang berbeda, tetapi terpola ke dalam 2 pola :
• Segera membentuk kelembagaan pengelolaan baru, dengan pengurus baru, dan
harus segera dibentuk.
• Menjaring kelompok-kelompok yang sudah ada di masyarakat baik dari
kelompok nelayan, budidaya,pedagang ikan dan lainnya yang proses
pembentukannya tidak boleh terburu-buru tetapi akan berproses secara organik.

15
Namun tim memandang bahwa kelembagaan sea farming akan efektif bila yang
menjalankan adalah para elaku-pelaku langsung kegiatan ekonomi, dan harus sejauh
mungkin dibebaskan dari unsur pemanfaatan oleh pihak-pihak yang menginginkan
keungungan sesaat (rent seeker), oleh karena itu proses pembentukan kelompok akan
dilakukan secara perlahan, yang terpenting adalah sudah mantapnya embrio kelembagaan
berdasarkan penyusuran peran masyarakat yang sudah disepakati maka pengembangan
seafarming di Pulau Panggang ini dilakukan berbasis pada 8 (delapan) bentuk peran
masyarakat yang mendukung kegiatan Seafarming yaitu :

1. Nelayan
2. Pembudidaya Ikan
3. Hatchery
4. Pendeder Ikan
5. Pengumpul Ikan Hias
6. Aktivis/Pengelolan DPL/APL
7. Aktivis/Pengelola Kawasan Wisata Pulau
8. Pedagang Ikan

Dari penjaringan minat terhadap 8 peran tersebut, diperoleh hasil, bahwa masyarakat
Pulau Panggang masih tetap berminat ke nelayan (32%), pembudidaya ikan 23 %,
pedagang 19 %, pendeder ikan 6 %, wisata 8%, Ikan hias 10% dan aktivis APL 2 %.
Sementara yang berminat ke hatchery tidak ada (0%). Hasil lengkap sebagaimana
Gambar 7 berikut :
Pedagang Ikan
19%
Nelayan
32%
Pengelola
Wisata
8%

Pengelolan
APL
2%

Pengumpul
Ikan Hias
10% Pembudidaya
Pendeder Ikan Hatchery
Ikan
6% 0% 23%

Gambar 7. Minat Masyarakat Pulau Panggang terhadap Peran dalam Sea Farming

Hasil ini adalah keluaran formal dari kegiatan penelusuran terhadap individu dan
kelompok yang akan dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan kelembagaan
pengelolaan sea farming. Daftar nama-nama masyarakat Pulau Panggang yang memiliki
minat terhadap peran dalam sea farming sebagaimana Tabel 2.

16
Tabel 2. Daftar Minat Masyarakat P. Panggang dalam Kegiatan sea farming hasil FGD
No. Nama Peran yang diminati
1. Mujahab Pengelola APL
2. Syaifudin Nelayan bubu dan ikan hias
3. Djayadi Nelayan bubu besar
4. Abdul Munir Nelayan
5. Al Nelayan
6. Johar Nelayan
7. Sony Nelayan
8. Muhammat Nelayan
9. Lukman Nelayan
10. Nachdji Nelayan
11. Nawawi Nelayan
12. Muhayar Nelayan
13. Jikin Nelayan
14. Maliki Bubu
15. Maman Bubu
16. Mualip Macing
17. Rusli Pendeder
18. A. Kadir Pendeder
19. Yakub Pendeder
20. Dulhoi Nelayan
21. Ramli Pedagang/Pemandu wisata
22. Gojali Pedagang
23. Yusa Pedagang
24. M. Suradi Pedagang
25. Mastur Pedagang
26. Warta Pedagang
No. Nama Peran
27. Ruslan Pedagang
28. Jamino Pedagang
29. Jayadi Pedagang
30. A. Mastur Wisata
31. Sarnubi Pemburu
32. Kahar Wisata
33. Abdul Halim Wisata
34. M. Darip Budidaya
35. Ismail Budidaya dan Pedagang
36. Mahmudin Budidaya
37. Ahmad S. Budidaya
38. Jailin Budidaya

17
No. Nama Peran yang diminati
39. Saiman Budidaya
40 Abubakar Budidaya
41. Muhadi Budidaya

18
Tabel 2. (lanjutan)
No. Nama Peran yang diminati
42. Marjuki Budidaya
43. Rahman Budidaya
44. Abdul Halim Budidaya
45. H.M. Ali M. Budidaya
46. M. Asrat Ikan Hias
47. Suradi Ikan Hias
48. Amsin Ikan Hias
49. Abdul Majid Ikan Hias
50. Abdullah Ikan Hias
51. A. Kasim Pengelola APL

Sumber : Hasil FGD, 2005

4. Algoritma Pengembangan Kelembagaan Sea Farming

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, pengembangan kelembagaan Sea
Farming diarahkan pada perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya perikanan dari
open-access/quasi open access menjadi limited entry. Dalam konteks ini, maka
pemberian hak pengelolaan dan pemanfaatan (user fishing rights) secara rasional baik
dalam dimensi ekologis maupun ekonomis adalah pilar utama limited entry. Untuk
mencapai tujuan tersebut, beberapa faktor penting yang perlu disiapkan adalah penetapan
aturan main antar kelompok yang telah diidentifikasi sebelumnya. Arah pencapaian
pengembangan kelembagaan sea farming di perairan Semak Daun secara diagram dapat
dilihat pada Gambar 8 berikut ini.

Gambar 8. Beberapa Elemen Penting Pengembangan Kelembagaan SF

19
Dengan menggunakan diagram di atas, pengembangan kelembagaan sea farming di
perairan Semak Daun bertumpu salah satunya dari pengembangan modal sosial pelaku
(agent) yang akan terlibat dalam pengelolaan sea farming. Dari hasil identifikasi peran
dan kelompok, keseluruhan fungsi peran dan kelompok yang diperlukan dalam
pengelolaan sea farming sudah dapat diidentifikasi, sehingga memudahkan
pengembangan kelembagaan sea farming melalui kesepakatan lokal yang mengarah pada
terciptanya perangkat hukum lokal sea farming.

Selanjutnya, pengembangan kelembagaan sea farming berbasis fungsi peran dan


kelompok dapat dibagi menjadi 2 yaitu pengembangan fungsi primer dan sekunder.
Terminologi primer dan sekunder merujuk pada fungsi produksi dan turunannya di mana
fungsi primer memiliki fungsi utama yang terkait dengan produksi ikan berbasis
marikultur (pembudidaya ikan) maupun penangkapan ikan berkelanjutan (nelayan), dan
fungsi sekunder lebih terkait dengan paska-produksi dan fungsi pendukungnya seperti
pengawasan sumberdaya, perdagangan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pemetaan
fungsi kelembagaan berbasis pada peran dan kelompok dapat dilihat pada Gambar 9
berikut ini.

Gambar 9. Pemetaan Fungsi Kelembagaan Berbasis Peran dan Kelompok Dalam Sea
Farming

Sementara itu, berdasarkan fungsi setiap peran individu tersebut di atas, pengembangan
kelembagaan sea farming mengarah pada pembentukan kelembagaan secara organik dan
bukan mekanistik. Ini berarti bahwa setiap unsur peran dalam sea farming akan
membentuk fungsi kelembagaannya sendiri-sendiri (bahkan beberapa sudah ada
kelompoknya) namun kemudian berfungsi secara sinergis ketika masuk dalam sistem
pengelolaan sea farming. Dengan demikian pemetaan “siapa berbuat apa” menjadi
sangat penting seperti yang telah digambarkan secara sederhana pada Gambar 6 di atas.
Secara kelompok, dari 8 (delapan) fungsi/peran individu tersebut dapat dikelompokkan
menjadi 4 kelompok yaitu (1) kelompok pembudidaya ikan (hatchery, pendeder ikan, dan
pembudidaya ikan); (2) kelompok nelayan (nelayan ikan hias dan non-ikan hias); (3)
kelompok pengelola lingkungan (pengelola DPL dan wisata bahari); dan (4) kelompok

20
pedagan ikan. Tabel 3 menyajikan pengembangan kelompok organik serta fungsinya
dalam sistem pengelolaan sea farming berbasis masyarakat.

Tabel 3. Pengembangan Kelompok Dalam Kerangka Pengelolaan Sea Farming di


Perairan Semak Daun
No Kelompok Unsur Fungsi Dalam Sea Farming
1 Pembudidaya Hatchery Menyediakan bibit ikan bagi
Perikanan kegiatan budidaya maupun
peningkatan stok ikan di
perairan
Pendeder Ikan Memproduksi ikan dengan
ukuran tertentu untuk dijual
kepada pembudidaya ikan
berikutnya (pembesaran ikan)
Pembudidaya Ikan Memproduksi ikan ukuran
(pembesaran) konsumsi
2 Penangkapan Nelayan Ikan Hias Menangkap ikan hias yang
Ikan berasosiasi dengan terumbu
karang di kawasan perairan
sea farming. Penangkapan
harus berbasis pada kelestarian
ikan maupun ekosistem
terumbu karang
Nelayan Umum Menangkap ikan hasil
peningkatan stok di perairan
sea farming. Penangkapan
harus berbasis pada kelestarian
ikan maupun ekosistem
terumbu karang

3 Pengelola Pengelola DPL Membantu otoritas pengelola


Lingkungan DPL mengawasi dan
mengendalikan pemanfaatan
sumberdaya perikanan di
kawasan DPL sehingga
sinergis dengan pengawasan
kualitas lingkungan perairan di
mana kegiatan sea farming
dilakukan

21
Tabel 1. (lanjutan)
No Kelompok Unsur Fungsi Dalam Sea Farming
Pengelola Kawasan Membantu otoritas pengelola
Wisata wisata dalam mengawasi dan
mengendalikan kegiatan
wisata sehingga sinergis
dengan pengawasan kualitas
lingkungan perairan di mana
kegiatan sea farming
dilakukan

4 Pedagang Pedagang Ikan Melakukan kegiatan distribusi


dan perdagangan produk sea
farming
Sumber : Analisis Data

5. Kaidah Ko-Manajemen Sea Farming

Secara umum, proses pengelolaan sea farming berbasis masyarakat mengadopsi prinsip
pengelolaan berbasis masyarakat pada umumnya, yaitu dimulai dari proses kerjasama
(cooperative), advisory hingga pemberian (sharing) informasi. Adrianto (2005a)
menyajikan diagram ko-manajemen perikanan seperti yang disajikan pada Gambar 10
berikut ini.

Gambar 10. Kerangka Umum Ko-Manajemen Perikanan

22
Gambar 10 menyajikan kerangka koneksitas antara pemerintah dan masyarakat dalam
pengelolaan sea farming. Selain memiliki fungsi instruksi, pemerintah mempunyai
fungsi sebagai konsultan bagi komunitas pembudidaya ikan khususnya yang terkait
dengan pengelolaan sea farming. Dalam konteks ini, maka peran pendamping
(fasilitator) sebagai agen perubahan menjadi sangat penting. Selanjutnya, dalam praktek
pencegahan, monitoring dan evaluasi sea farming, masyarakat dapat melakukan fungsi
kerjasama, advisory dan tukar menukar informasi yang diperlukan.

Menurut Adrianto (2005), paling tidak ada 4 (empat) elemen penting dalam proses
inisiasi pengelolaan sea farming berbasis pada masyarakat yang harus dilakukan sebagai
sebuah proses tanpa henti (endless process) seperti yang disajikan berikut ini.

(1). Persiapan sosial dan organisasi masyarakat. Pada elemen ini, identifikasi dan
analisis pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan sea farming menjadi faktor penting.
Persiapan sosial dilakukan dengan mengidentifikasi siapa saja yang menjadi
”stakeholders” perikanan budidaya, kemudian merancang pengorganisasian mereka.
Pengorganisasian tidak selalu harus membentuk kelompok atau organisasi secara fisik
(hard-institution), tapi juga mencakup aturan, norma dan sistem nilai yang akan
diterapkan dalam pengelolaan sea farming.

(2). Pendidikan lingkungan dan peningkatan kapasitas. Proses pengorganisasian


komunitas tidak cukup efektif apabila tidak diikuti dengan pendidikan lingkungan dan
peningkatan kapasitas rumah tangga perikanan. Dalam kondisi dinamika sea farming
yang kompleks dan bersifat site-specific, maka identifikasi dini terhadap gangguan sistem
sea farming sangat penting yang dapat dicapai melalui pendidikan dan peningkatan
kapasitas. Gambar 11 berikut ini menyajikan skema peningkatan kapasitas bagi
pengelolaan sea farming berbasis pada masyarakat.

Gambar 11. Skema Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Kerangka Pengelolaan Sea
Farming

23
(3) Perencanaan Pengelolaan Sea farming. Dalam kerangka ini, perencanaan yang
matang tentang pengelolaan sea farming diperlukan sebagai hasil sinergi antara
pemerintah dan masyarakat. Dalam perencanaan ini sudah dapat diidentifikasi peran dan
fungsi setiap unsur pemerintah dan masyarakat khususnya yang terkait dengan
pengelolaan sea farming. Perencanaan ini harus dapat mengadopsi keinginan
masyarakat, misalnya tentang perlunya pos konsultasi perikanan budidaya kelautan di
lokasi sea farming, dan lain sebagainya.

(4) Penetapan sistem insentif bagi masyarakat dalam pengelolaan sea farming.
Dalam konteks ini, identifikasi sistem insentif dapat dilakukan berbasis kerangka kerja
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah ini.

Langkah 1:
Pengumpulan in
Mengenai sistem
perikanan dan m
Gambar 12. Kerangka Kerja Penetapan Insentif Bagi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sea
farming (Diadopsi dari Adrianto, 2005b)

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa interaksi antara kegiatan komunitas perikanan

masyarakat
budidaya maupun penangkapan ikan dalam kerangka sistem sea farming dan
lingkungannya menjadi fokus penting untuk kemudian ditindaklanjuti dengan analisis
terhadap kemungkinan dampak negatif kegiatan sea farming terhadap publik maupun
lingkungan (negative externalities). Dengan demikian, sistem insentif untuk mengurangi
kemungkinan eksternalitas negatif tersebut dapat diidentifikasi, misalnya melalui insentif
harga baik harga input maupun output.

24
Sistem Monitoring dan Evaluasi Sea Farming Berbasis Masyarakat

Sistem monitoring dan evaluasi sea farming berbasis masyarakat dapat didisain dengan
menggunakan kerangka seperti yang disajikan pada Gambar 13 berikut ini.

Gambar 13. Kerangka Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Sea farming (diadopsi dari
Adrianto, 2004)

Seperti yang disajikan pada Gambar 13, monitoring dan evaluasi dilakukan secara
sistemik dan holistik dengan menggunakan indikator yang terukur. Indikator tersebut
mencakup indikator sosial, ekonomi dan ekosistem. Indikator sosial meliputi beberapa
hal seperti pendapatan masyarakat pembudidaya ikan, tingkat edukasi dan lain-lain.
Sedangkan indikator ekonomi mencakup beberapa parameter penting seperti volume dan
nilai produksi perikanan budidaya, penyerapan tenaga kerja, dan lain sebagainya.
Terakhir, indikator kesehatan ekosistem mencakup tingkat partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kesehatan ekosistem (ecosystem health) dan lingkungan, persepsi
masyarakat, dan lain-lain.

aquaculture 25
Referensi Terpilih

Adrianto, L. 2004. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan Kesehatan Ikan dan
Lingkungan : Revitalisasi Community-Based Fish Disease and Environmental
Management. Makalah disampaikan pada Workshop Forum Koordinasi
Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta, 28 September 2005

Allison, E and Ellis, F. 2001. The Livelihood Approach and Management in Small Scale
Fisheries. Marine Policy 25; 377-388

Anonymous. 2001. The Livelihood System Analysis in Project Planning. CATAD.

Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK.

Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui
Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi
Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.

Emerton, L. 2001. Community-Based Incentives for Nature Conservation. IUCN.

FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome.

Hanna, S. 1999. Strenthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological


Economics Vol. 31 : pp. 275-286.

Overseas Fishery Cooperation Foundation. 2001. Fisheries Administration and Policy of


Japan.

Turton, C. 2000. The Sustainable Livelihood Approach and Development in Cambodia.


Overseas Development Institute.

26

Anda mungkin juga menyukai