Latar belakang
Deskripsi singkat
Tujuan
Materi 1
Klasifikasi
Penyebaran
Daur hidup
Pertumbuhan
Pematangan gonad
Pemijahan
Perkembangan embrio
Perkembangan larva
Materi 2
Persiapan budidaya
Pemilhan lokasi
Pengolahan lahan
Materi 3
Penebaran benur
Pemilihan benur
Aklimatisasi
Perhitungan SR tebar
Materi 4
Materi 5
Wfd
Wss
Imnv
Ems
Yhd
Materi 6
Panen
Teknik panen
Pendahuluan
Latar belakang
Kegiatan budidaya udang di Indonesia sudah lama diilakukan oleh masyarakat pembudidaya pada
periode 80-an, dari mulai penerapan teknologi yang sangat sederhana hingga penerapan teknologi
intensif. Berkembangnya penerapan teknologi ini karena permintaan jumlah konsumsi udang yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun baik dari pasar dalam negeri mauun pasar luar negeri.
Sehingga menuntut pula produktivitas udang semakin meningkat.
Masyarakat pembudidaya udang telah mempunyai prinsip bahwa budidaya udang mampu
menjanjikan hasil yang tinggi namun juga sebanding dengan biaya dan resiko yang cukup tinggi
dalam proses budidayanya, sehingga bermunculan perorangan maupun kelompok yang membuka
lahan untuk melakukan budidaya udang serta tidak sedikit pula perusahaan yang telah lama
bergerak dibidang budidaya udang mengalami gulung tikar.
Fenomena timbul tenggelamnya para pembudidaya udang ini dikarenakan adanya berbagai masalah
baru yang menjadi momok kegagalan dalam budidaya, tetapi hal ini merupakan tantangan bagi para
ilmuwan baik dilingkup swasta maupun pemerintahan untuk terus melakukan penelitian agar
masalah-masalah yang dihadapi para pembudidaya udang bisa teratasi.
Tujuan penulisan
Pembuatan materi pembelajaan ini adalah sebagai tambahan pengetahuan serta panduan bagi para
pelaku usaha maupun penyuluh perikanan khususnya di bidang udang vanamei, serta dengan
dibuatnya buku modul ini diharapkan :
a. Pelaku usaha maupun penyuluh perikanan di bidang udang vanamei memahami sifat
biologis, serta pengetahuan dasar tentang budidaya udang vanamei.
b. Pelaku usaha maupun penyuluh perikanan di bidang udang vanamei dapat mengetahui
bagaimana penentuan lokasi serta persiapan lahan yang baik dan benar.
c. Pelaku usaha maupun penyuluh perikanan di bidang udang vanamei dapat mengelola pakan
serta memahami bagaimana pengelolaan kualitas air budidaya udang vanamei yang baik
selama proses pemeliharaan dari awal pemeliharaan hingga masa panen.
d. Pelaku usaha maupun penyuluh perikanan di bidang udang vanamei dapat menerapkan cara
panen udang dengan baik dan benar.
Materi 1
Udang vanamei
Kingdom : Animalia
Sub-kingdom : Metazoa
Fillum : Arthropoda
Sub-fillum : Crustacea
Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Umumnya tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian kepala dan bagian badan.
Bagian kepala menyatu dengan dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas yaitu 5 ruas di
bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap
ruas mempunyai sepasang kaki renang. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas, 4 lembar dan 1
telson yang berbentuk runcing. Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau carapace bagian
depan meruncing dan melengkung yang disebut cucuk kepala atau rostrum (Kordi. G, 2007).
Lingkungan hidup optimal yang menunjang pertumbuhan dan sintasan atau kelangsungan hidup dari
udang vanamei yaitu salinitas 15 - 25 ppt, suhu optimal 26 – 300C. Di negara Amerika Selatan,
Amerika Tengah dan Cina, udang vanamei juga dipelihara di lingkungan tawar dan menunjukkan
perbedaan produktivitas yang tidak signifikan dengan yang dipelihara dihabitatnya. Udang vanamei
juga merupakan organisme laut yang menghabiskan siklus hidupnya di muara air payau.
L. Vanamei adalah binatang catadroma artinya ketika dewasa ia bertelur dilaut lepas berkadar
garam tinggi. Sedangkan ketika stadia larva ia migrasi ke daerah estuaria berkadar garam rendah.
Pada awalnya udang vanamei ditemukan setelah matang kelamin akan melakukan perkawinan di
laut dalam sekitar 70 m di wilayah pasifik lepas pantai (depan) Mexico dan Amerika Tengah dan
Selatan pada suhu 26 - 280C dan salinitas 35 ppt. Telurnya menyebar dalam air dan menetas menjadi
nauplius diperairan laut lepas bersifat zooplankton. Selanjutnya, dalam perjalanan migrasi ke arah
estuaria, larva L. vannamei mengalami beberapa metamorfosa, seperti halnya pada udang P.
Monodon.
Di wilayah estuaria yag subur dengan pakan alaminya, larva udang-udang itu berkembang cepat
sampai stadia juwana dimana telah terbentuk alat kelaminnya. Tetapi, tidak dapat matang telur
karena masih berada pada salinitas rendah. Sehingga ia bermigrasi kembali ke tengah laut yang
berkadar garam tinggi, tempat udang itu menjadi dewasa, dapat matang kelamin dan kawin serta
bertelur.
Semula udang Penaeid dikenal sebagai hewan bersifat omnivorous-scavenger artinya ia pemakan
segala bahan makanan dan sekaligus juga pemakan bangkai. Namun penelitan selanjutnya dengan
cara memeriksa isi usus, mengindikasikan bahwa udang Penaeid bersifat karnivora yang memangsa
berbagai krustasea renik amphipoda, dan polychaeta (cacing). L. vannamei bersifat nokturnal, sering
ditemukan L. vannamei memendamkan diri dalam lumpur pasir dasar kolam pada siang hari dan
tidak mencari makanan. Akan tetapi pada kolam budidaya jika siang hari diberi pakan maka udang
vanamei akan bergerak untuk mencarinya, ini berarti sifat nokturnal udang vanamei tidak mutlak.
Udang L. vannamei memerlukan pakan dengan kandungan protein 35%. Ini lebih rendah dibanding
dengan kebutuhan untuk udang P. monodon dan P. japonicus yang kebutuan protein pakannya
mencapai 45% untuk tumbuh baik. Ini berarti dari segi pakan L. vannamei lebih ekonomis, sebab
bahan pakan yang mengandung protein tinggi tentunya lebih mahal. L. vannamei tumbuh lebih
cepat jika pakannya mengandung cumi-cumi. Cumi-cumi telah diketahui mengandung lebih banyak
lemak tak jenuh (HUFA) antara lain kolesterol yang diperlukan untuk pertumbuhan gonad udang,
maupun untuk percepatan pertumbuhannya.
Pertumbuhan
Kecepatan tumbuh pada udang dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu frekuensi molting (ganti kulit) dan
kenaikan berat tubuh setelah setiap kali ganti kulit. Karena daging tubuh tertutup oleh kulit keras,
secara periodik kulit keras itu akan lepas dan diganti dengan kulit baru yang semula lunak untuk
beberapa jam, memberi kesempatan daging untuk bertambah besar, lalu kulit menjadi keras
kembali.
Proses molting dimulai dari lokasi kulit diantara karapas dan intercalary sclerite (garis molting) yang
retak/pecah memungkinkan cephalotorax dan kaki-kaki depan ditarik keluar. Udang dapat lepas
sama sekali dari kulit yang lama dengan cara sekali melentikkan ekornya. Semula kulit yang baru itu
lunak, lalu mengeras yang lamanya tak sama menurut ukuran/umur udang. Udang yang masih kecil,
kulitnya yang baru akan mengeras dalam 1 – 2 jam, pada udang yang besar bisa sampai 1-2 hari.
Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga mempengaruhi frekuensi molting. Misalnya, suhu semakin
tinggi semakin sering molting. Ketika sedang molting, penyerapan oksigen kurang maksimal sehingga
seringkali udang mati disebabkan hypoxia (kurang oksigen). Udang yang menderita stress dapat
melakukan molting secara tiba-tiba, karena itu teknisi harus waspada dengan keadaan yang
menyebabkan stress itu (molting merupakan proses fisiologis). Secara ilmiah, udang yang sedang
molting membenamkan diri didalam pasir dasar perairan untuk menyembunyikan diri dari predator.
Perkembangan embrio
Perkembangan embrio udang terjadi secara cepat setelah pembuahan. Pembelahan pertama terjadi
sekitar 50 menit setelah pembuahan, pada suhu 270C dan terbagi embrio dan yolk (kuning telur)
menjadi 2 sel, secara kontinyu sampai menjadi banyaksel dan mencapai bentuk blastula. Setelah 12
jam, naupilus pada setiap telur telah terbentuk sempurna dan setelah 16 jam telur mulai menetas.
Naupli yang baru menetas berenang pperlahan dan phototaksis positif.
Materi 2
Pemilihan lokasi
Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya udang adalah pemilihan lokasi. Lahan budidaya
selanjutnya akan berpengaruh terhadap tata letak dan konstruksi kolam yang akan dibuat. Lokasi
untuk mendirikan lahan budidaya udang ditentukan setelah dilakukan studi dan analisis terhadap
data atau informasi tentang topografi tanah, pengairan, ekosistem (hubungan antara flora dan
fauna), dan iklim. Usaha budidaya yang ditunjang dengan data tersebut memungkinkan dibuat
desain dan rekayasa perkolaman yang mengarah kepada pengelolaan budidaya udang yang baik.
Lokasi tambak budidaya udang vaname yang dipilih mempunyai persyaratan antara lain :
a. Lahan mendapatkan air pasang surut air laut. Tinggi pasang surut yang ideal adalah 1,5 – 2,5
meter. Pada lokasi yang pasang surutnya dibawah 1 meter, maka pengelolaan air
menggunakan pompa.
b. Tersedianya air tawar. Pada musim kemarau salinitas dapat meningkat drastis apalagi jika
budidaya udang dilakukan secara intesif dengan sistem tertutup sehhingga air tawar
diperlukan untuk menurunkan salinitas.
c. Lokasi yang cocok untuk budidaya udang pada pantai dengan tanah yang mempunyai tanah
bertekstur liat atau berpasir.
d. Lokasi ideal terdapat jalur hijau yang ditumbuhi hutan mangrove/bakau dengan panjang
minimal 100 m dari garis pantai.
e. Keadaan sosial ekonomi mendukung untuk kegiatan budidaya udang. Seperti keamanan
kondusif, aset jalan cukup baik, lokasi cukup mudah mendapatkan sarana produksi seperti
pakan, kapur, obat-obatan dan lain-lain.
Pengolahan lahan
Dalam budidaya udang vaname terdapat dua wadah yang digunakan untuk menampung media
budidaya, yaitu : kolam dengan konstruksi tanah dan kolam dengan konstruksi plastik atau beton.
Yang jelas adalah keduanya memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai wadah pemeliharaan.
Pengeringan dilakukan menggunakan pompa untuk membuang lumpur dan sisa kotoran
metabolisme selama pemeliharaan sebelumnya. Selanjutnya dilakukan pembilasan
dengan menyemprot seluruh bagian permukaan plastik dan mengumpulkan kotoran di
bagian kolam yang rendah untuk selanjutnya dibuang keluar kolam, setelah itu
dilanjutkan penjemuran selama 2 hari untuk memutus siklus organisme yang dapat
mengganggu pada saat kegiatan operasional berjalan.
Beberapa petambak tidak melakukan pengolahan tanah dasar karena tekstur tanah
dasar/pelataran berpasir dan kuat menahan air dan tidak porous, serta dasar tambak dilapisi
plastik.
Tujuan pengolahan tanah adalah :
a. Mengoksidasi tanah dengan oksigen dari udara
b. Menghilangkan gas-gas beracun setelah pemeliharaan
c. Menambah suplai oksigen (O2) pada bakteri aerob untuk merombak dan menguraikan
bahan oerganik melalui proses nitrifikasi
d. Memutus siklus penyakit
e. Memperbaiki tekstur tanah
c. Pengisian air
Pengisian air dilakukan bisa menggunakan pompa atau dengan menggunakan energi
gravitasi (perbedaan tinggi antara air tandon dengan petakan tambak). Air yang digunakan
adalah air yang sudah diendakan selama ± 3- 7 hari sehingga partikel terlarut sudah
mengendap dan tidak ikut masuk ke dalam petakan tambak yang digunakan untuk
pemeliharaan.
Jika menggunakan pompa untuk mengisi air, maka letak dasar pompa diusahakan tidak
menyentuh dasar tandon sehingga partikel yang mengendap tidak tersedot pompa. Bagian
ujung paralon diberikan saringan tiga lapis, pertama saringan paralon yang berlubang
dengan diameter 0,5 cm, saringan lapis kedua berbahan waring dengan diameter 0,2 mm,
dan saringan lapis ketiga juga berbahan waring dengan diameter 0,1 mm, sehingga kotoran
yang mungkin tersedot pompa dapat tersaring dan tidak masuk ke petakan tambak.
Materi 3
Penebaran benur
Ketersediaan benur pada saat jadwal penebaran harus disiapkan jauh hari sebelum tahap persiapan,
yaitu dengan cara memesan benur sejumlah yang diinginkan di perusahaan pembenihan udang,
sehingga jadwal tebar benur disesuaikan dengan panen naupli dari perusahaan tersebut.
a. Pemilihan benur
Kualitas benur yang ditebar sangat menentukan keberhasilan budidaya udang, benur yang
berkualitas dapat diperoleh dari hatchery yang telah memiliki sertifikat SPF (Spesific
Pathogen Free) sehingga benur yang ditebar dapat tumbuh dengan baik.
Secara morfologi benur yang mempunyai kualitas yang baik adalah dengan memiliki kriteria
sebagai berikut :
- Umur benur sudah mencapai PL (Post Larva) 9 di panti pembenihan.
- Gerakannya lincah dan apabila terjadi perubahan lingkungan yang mendadak maka
benur akan melompat.
- Ukuran seragam, pada umur PL 12 panjang telah mencapai > 10 mm.
- Di badan air benur menyebar, tidak menggerombol dan atau menggumpal pada saat
transportasi.
- Responsif terhadap cahaya (Fototaxis positif), gerakan atraktif dari sumber cahaya.
- Warna badan dan kaki serta kulit jernih, tidak terdapat penempelan parasit.
- Hepatopancreas penuh dengan pakan berwarna gelap.
b. Waktu penebaran benur
Penebaran benur vaname harus segera dilakukan setelah petakan tambak siap untuk
pemeliharaan. Waktu penebaran sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum jam 08.00 atau
pada malam hari atau saat kondisi cuaca teduh. Karena pada waktu kondisi tersebut
fluktuasi suhu tidak mencolok, parameter air yang lain seperti pH, salinitas tidak banyak
berubah. Kondisi lingkungan demikian mengurangi tingkat stress pada benur yang akan
ditebar.
c. Aklimatisasi
Aklimatisasi yaitu proses penyesuaian terhadap lingkungan yang baru dari biota yang akan
dipindahkan ke lingkungan pemeliharaan sehingga tidak menimbulkan stress yang
mengakibatkan kematian. Waktu penebaran dilakukan ketika kondisi suhu lingkungan tidak
tinggi, penebaran dapat dilakukan pagi, sore, atau malam hari sehingga dapat mengurangi
tingkat stress. Sebelum benur ditebar terlebih dahulu dilakukan pengecekan salinitas serta
suhu dari air tambak maupun kantong benur. Kemudian kantong benur diapung-apungkan
disalah satu sudut tambak ± 30 – 45 menit, untuk mempermudah proses aklimatisasi dibagia
sudut diberi bambu sebagai alat untuk menahan agar kantong benur tidak menyebar
keseluruh petakan tambak, tujuan cara ini untuk mempercepat penyesuaian suhu air
tambak dengan suhu di kantong benur.
Setelah 45 menit kantong benur dibuka dan secara perlahan-lahan ditambahkan air dari
tambak, dilakukan secara manual menggunakan tangan atau menggunakan alat bantu
gayung sehingga proses aklimatisasi salinitas lebih cepat, volume air yang ditambahkan ke
dalam kantong benur disesuaikan (± 1/3 dari volume kantong benur). Untuk mengetahui
kesesuaian salinitas tambak dengan salinitas di kantong benur dilakukan pengukuran
menggunakan refraktometer, sebagai indikatornya bisa dicoba mengeluarkan sebagian
benur di kantong air tambak, jika benur telah keluar dan tidak masuk lagi ke kantong benur
maka benur bisa dilepaskan semua.
d. Perhitungan SR tebar
Data jumlah benur yang ditebar dapat diperoleh dari jumlah benur di setiap kantong benur
dikalikan jumlah kantong benur, tetapi data ini kurang akurat karena memungkinkan
terjadinya kematian benur saat transportasi, sehingga perlu dilakukan perhitungan kembali
setelah benur ditebar ditambak, sehingga data yang diperoleh lebih akurat untuk acuan
menentukan jumlah pakan.
Tempat untuk menghitung jumlah benur yang hidup dinamakan baby box yaitu jarin g
terapung dengan ukuran tertentu yang dipakai untuk menghitung kelulushidupan benur
setelah 24 jam ditebar di tambak. Hasil dari perhitungan ini dikalikan dengan jumlah kantong
benur yang ditebar, maka akan diperoleh populasi tebar.
Materi 4
Pakan merupakan komponen penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang dan lingkungan
budidaya serta memiliki dampak fisiologis dan ekonomis. Pada tambak intensif biaya pakan lebih
dari 60% dari keseluruhan biaya operasional. Kelebihan penggunaan pakan akan mengakibatkan
bahan organik yang mengendap terlalu banyak sehingga menurunkan kualitas air, demikian juga
kekurangan pakan akan berdampak pada pertumbuhan udang yang tidak maksimal dan dapat
menyebabkan kanibal, daya tahan tubuh turun dan daya tahan terhadap penyakit menurun.
Beberapa pakan yang digunakan di tambak adalah pakan buatan dan pakan alami.
1. Pengelolaan pakan
a. Menentukan kebutuhan pakan selama masa pemeliharaan
Langkah-langkah menentukan kebutuhan pakan selama masa pemeliharaan dapat
diketahui dengan cara :
- Menentukan Food Conversion Rate (FCR), FCR diupayakan antara 1 – 1,5
- Menentukan size panen dan target biomassa
- Menentukan Survival Rate (SR)
Contoh perhitungan :
Maka diperoleh jumlah pakan yang diperlukan selama proses budidaya udang sebanyak
1.885 Kg.
- Sampling biomass
Sampling untuk mengetahui biomassa udang dapat dilakukan ketida udang telah
berumur 30 hari dengan frekuensi 7 hari sekali. Alat yang disarankan untuk sampling
adalah jala tebar dengan ukuran mess size disesuaikan dengan besar udang. Waktu
sampling pada pagi atau sore hari, agar udang tidak mengalami tingkat stress yang
tinggi, penentuan titik sampling disesuaikan dengan luasan tambak, jumlah titik
sampling 2-4 titik, titik lokasi sampling erada di sekitar kincir dan di wilayah antar
kincir.
Perhitungan :
1. Mencari rata-rata luasan tebaran jala :
= rata-rata bukaan jala x luas jala
= 0,75 x 3 m
= 2,25 m2
2. Menghitung rata-rata padat tebar per meter :
= rata-rata jumlah udang yang ditangkap di tiap titik sampling / bukaan jala
= 210 ekor/2,25 m2
= 93 ekor/ m2
3. Menghitung populasi
= rata-rata per meter x luas tambak
= 93 ekor/m2 x 1.000 m2
= 93.000 ekor
4. Menghitung SR (Survival Rate)
= populasi/jumalh tebar x 100%
= 93.000 ekor/100.000 ekor x 100%
= 93%
5. Menghitung biomassa
= rata-rata berat udang x populasi sekarang
= 3 gr x 93.000 ekor
= 279.000 gram
= 279 kg
6. Menentukan dosis pakan
= biomassa x dosis pakan
= 279 kg x 0,04
= 11,2 kg
Sehingga diperoleh jumlah pakan per hari yang diberikan selama 7 hari kedepan
sebanyak 11,2 kg. Selain melihat hasil sampling perlu juga diperhatikan kisaran Feeding Rate
pada tabel berikut ini :
c. Penyimpanan pakan
Prinsip dasar peyimpanan pakan adalah mampu mempertahankan kualitas pakan selama
proses budidaya berlangsung, pakan ditumpuk maksimal 6 tumpukan, bagian dasar di
beri alas agar sirkulasi udara lancar. Gudang pakan diberi ventilasi dan penyusunan
tumpukan disesuaikan dengan nomor pakan yang terkecil sehingga tidak merepotkan
dalam pengambilan pakan atau sering menggunakan istilah FIFO (First In First Out).
2. Pengelolaan air media pemeliharaan
a. Aplikasi probiotik
Latar belakang pemberian probiotik di tambak udang intensif adalah adanya
keseimbangan lingkungan yang telah terganggu, ditimbulkan karena padat tebar yang
tinggi sehingga feses yang dihasilkan meningkat, banyaknya sisa pakan dan plankton
yang mati. Kondisi ini menyebabkan bakteri pengurai dari alam tidak mampu
menguraikan, bila kondisi ini dibiarkan akan merusak kualitas air serta menyebabkan
timbulnya penyakit.
Probiotik adalah mikroorganisme yang dikembangkan dan diaplikasikan melalui pakan
maupun lingkungan yang bertujuan memperkuat daya tahan tubuh udang dan
memperbaiki kualitas air tambak. Probiotik ini bersifat non pathogenik dan
dikembangkan secara masal pada media kultur sesuai dengan tujuannya. Jenis mikroba
ini berkembang dan menghasilkan endo dan ekto-enzyme yangberfungsi merombak
senyawa beracun dan bahan organik. Penggunaan probiotik bermutu baik, yang diikuti
dengan budidaya yang benar akan membantu penguraian timbunan bahan organik di
dasar tambak, menstabilkan kualitas air tambak, menjaga kesehatan udang dan
diharapkan hasil panen yang sesuai.
Beberapa jenis bakteri dapat hidup pada toleransi kisaran pH yang berbeda, secara rinci
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
d. Penyiphonan
Masa pemeliharaan setelah mencapai umur 45 hari, biasanya ditemukan endapan
lumpur hitam dan berbau. Lokasi mengumpulnya endapan hitam ini tergantung pada
letak kincir karena letak kincir menentukan arus yang mempengaruhi letak
mengumpulnya endapan. Jika kincir dipasang bersilangan pada sudut yang berbeda
maka biasanya endapan lumpur hitam akan mengumpul di bagian tengah tambak, sudut
tambak yang berarus kecil di belakang kincir.
Lumpur hitam ini berasal dari sisa pakan yang tidak termakan oleh udang, akibat dari
plankton mati dan hasil buangan udang. Karena kuantitas yang banyak sehingga
kemampuan bakteri pengurai terbatas, yang mengakibatkan lumpur hitam berbau
menyengat, keadaan ini sangat membahayakan udang, karena jika teraduk di perairan
akan menyebabkan racun terhadap udang, sehingga keadaan ini harus dihindari dengan
cara membuang endapan lumpur tersebut dengan melakukan shipon, alat shipon yang
dapat digunakan antara lain dengan pompa alchon 2 inch, dengan pompa submersible 2
inch atau jika kondisi tambak lebih tinggi dibandingkan dengan saluran pembuangan
maka bisa dilakukan dengan teknik gravitasi.
Penyiphonan pada kolam yang berada di bawah rata-rata permukaan laut maka
digunakan pompa alchon. Pompa alchon diletakkan diatas pematang, kemudian bagian
inlet disambung dengan selang spiral, sehingga panjang selang spiral disesuaikan dengan
lokasi mengumpulnya lumpur.