Anda di halaman 1dari 14

BAHAN AJAR

PELATIHAN PENUMBUHAN BIOFLOK DI KOLAM UDANG


VANNAMEI DENGAN MODEL DARING

TANGGAL 29 JULI 2021

Oleh :

Tim Budidaya

BADAN RISET DAN SUMBERDAYA MANUSIA KELAUTAN DAN PERIKANAN


BALAI PELATIHAN DAN PENYULUHAN PERIKANAN (BPPP)
BANYUWANGI
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb
Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
petunjukNya bahan ajar yang berisi tentang teknologi bioflok sebagai teknologi alternatif
budidaya udang vannamei di Indonesia dapat kami selesaikan.
Bahan ajar ini membahas teknologi bioflok tentang definisi bioflok, konsep dan
keunggulan teknologi bioflok, bioflok dan fungsinnya di dalam tambak, memilih jenis bakteri
probiotik, pembuatan starter/ booster bioflok, pembentukan dan pemeliharaan di dalam
tambak dan permasalahan flok serta penanggulangannya.
Semoga bahan ajar ini bermanfaat bagi para pembudidaya dan masyarakat kelautan
perikanan dan khususnya peserta pelatihan Open Akses di Balai Pelatihan dan Penyuluhan
Perikanan (BPPP) Banyuwangi. Kami menyadari bahwa isi bahan ajar ini masih belum
sempurna, oleh karena itu, saran dan masukan sangat kami harapkan guna kesempurnaan
bahan ajar ini.

Wassalamu’alaikum wr wb

Banyuwangi, Juli 2021

Kepala Balai,
1. PENDAHULUAN

1.1. Perkembangan budidaya udang di Indonesia

Budidaya udang di Indonesia berkembang sejak ditemukannya teknik ablasi mata


pada tahun 1978 oleh DR. Made L. Nurjana. Sejak saat itu perkembangan budidaya udang
sangat pesat. Dalam kurun waktu 10 tahun, pembangunan tambak sudah menyebar di
hampir seluruh kawasan nusantara. Meliputi Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat),
Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Lampung, Bangka, Bengkulu, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali, Lombok, Maluku dan lain-lain. Hingga tahun
2000, perkembangan tambak masih terus meluas. Apalagi setelah dikembangkannya
pembenihan skala rumah tangga, sehingga sangat membantu dalam penyediaan benih yang
tepat waktu dan mencukupi jumlahnya.
Seiring dengan semakin intensifnya usaha budidaya, tanpa diimbangi dengan
penataan ruang yang memadai, kurangnya daerah penyangga karena hampir semua lahan
yang tersedia digunakan untuk berbudidaya, akibatnya berkembang penyakit yang
menyebabkan kegagalan dalam berbudidaya.
Pada awalnya budidaya udang windu dilakukan dengan kepadatan 30 ekor per meter
persegi dengan hasil yang cukup memuaskan 5 – 7 ton per ha. Untuk meningkatkan hasil
produksinya maka petambak berusaha terus meningkatkan penebaran hingga 35 ekor /m2,
50 ekor/m2, 70 ekor/m2 bahkan ada yang menebar dengan 100 ekor/m2.
Begitu pula yang dialami pada tambak tradisional, yang awalnya melakukan
penebaran yang sangat rendah yaitu 0,5 ekor/m2. Karena harga benur semakin murah maka
penebaran ditingkatkan menjadi 1 ekor/m2, 2 ekor/m2 bahkan 5 ekor/m2 dan diberi pakan
tambahan berupa pelet atau pakan buatan sendiri tanpa diimbangi dengan penambahan
peralatan seperti aerator.
Peningkatan bahan organik di perairan pun terus terjadi. Sehingga kandungan
amonia, fosfat, Total Organik (TOM), BOD, COD, terus meningkat. Seiring dengan itu,
berbagai jasad renik seperti bakteri, plankton juga berkembang pesat. Maka terjadi proses
eutrofikasi dalam perairan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah plankton maupun
bakteri serta berbagai kandungan mineral (kalsium, amonia, fosfat, nitrit, nitrat) dan bahan
organik.

1.2. Kegagalan budidaya akibat penurunan kualitas lingkungan dan serangan penyakit

Dengan semakin banyaknya kasus serangan penyakit baik yang disebabkan oleh

4
bakteri maupun virus, maka akibatnya banyak petambak yang menanggung kerugian cukup
besar. Adanya penurunan kualitas air laut dan berkembangnya bakteri pathogen
menimbulkan resiko masuknya bibit penyakit bila mengambil air laut secara langsung tanpa
melalui tandon dan sterilisasi. Untuk itu, perlu dilakukan upaya mengurangi air masuk dari
luar secara langsung, air baru yang diambil dari laut atau lingkungan luar harus disterilkan
dan ditampung dalam reservoir, menerapkan sistem sedikit / tanpa ganti air dengan
menggunakan sistem semi / ter-tutup maupun resirkulasi serta menerapkan biosecurity
semaksimal mungkin.

1.3. Pilihan teknologi budidaya

Penerapan sistem sedikit atau tanpa ganti air memiliki resiko / konsekuensi antara lain
terjadi penumpukan bahan organik di dasar tambak, terjadi penumpukan amonia di dalam
lingkungan tambak, perkembangan populasi plankton yang cepat pekat (over-bloom) dan
terjadi kematian masal plankton, aktivitas perombakan bahan organik tinggi sehingga
kebutuhan oksigen menjadi sangat tinggi, berkembangnya populasi bakteri baik yang
pathogen maupun non pathogen serta semakin besarnya kemungkinan udang menjadi stress
dan bermasalah.
Antisipasi terhadap penurunan kualitas lingkungan antara lain dapat dilakukan dengan
menggunakan pakan yang berkualitas (keseimbangan asam amino lebih penting daripada
kadar protein), pengelolaan pakan yang tepat (hindari kelebihan pakan), tambahan aerasi
yang cukup, menggunakan probiotik untuk mengurai bahan organik, menetralkan
(menurunkan amonia), dominasi bakteri menguntungkan dan menekan bakteri yang
merugikan. Serta bahan lain yang dapat meningkatkan kualitas air dan dasar tambak.
Sedangkan antisipasi terhadap kondisi kesehatan udang dapat dilakukan dengan
memberikan vitamin (terutama vit C dan E) untuk anti stress dan meningkatkan kekebalan,
menggunakan immunostimulant untuk meningkatkan kekebalan udang terhadap serangan
penyakit, selalu memantau kondisi kesehatan dan pertumbuhan udang, dan berusaha
menghindari terjadinya stress akibat penanganan yang salah (sampling, kontrol anco, panen
parsial).

5
2. PENERAPAN TEKNOLOGI BIOFLOK

2.1. Definisi Bioflok

Bio-Flok berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan flok, flok yang berarti
gumpalan. Menurut Rod McNeil dalam Boyd (2002) flok dalam tambak, adalah bahan organik
hidup yang menyatu menjadi gumpalan. Sedangkan menurut Conguest and Tacon, (2006)
Bio-Flok adalah partikel yang teraduk oleh aerasi dan sirkulasi, yang terdiri dari kumpulan
organisme autotrof dan heterotrof (bakteri, fitoplankton, fungi, ciliate, nematoda dan detritus)
dan bahan tak hidup.
Sementara Tacon et al. (2002) mendefinisikan Flok adalah kumpulan berbagai
microorganisme termasuk bakteri, algae, fungi, protozoa, metazoa, rotifera, nematoda dan
gastrotricha. Rosenbery (2006), Flok adalah gampalan yang merupakan kumpulan dari
bakteri.

Serfling (2006) microbial flok adalah kumpulan yang terdiri dari bermacam-macam
bakteri, fungi, microalgae, dan organisme lain yang tersuspensi dengan detritus dalam air
media budidaya. Menurut Aiyushirota, Flokk = Flok = Bioflokk = Biofloks merupakan istilah
bahasa slang dari istilah bahasa baku “Activated Sludge” (“Lumpur Aktif”) yang diadopsi dari
proses pengolahan biologis air limbah (biological wastewater treatment ). Biofloks terdiri atas
partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium
karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan
zooplankton.

2.2. Konsep dan keunggulan teknologi bioflok serta persyaratannya

Konsep penerapan bioflok adalah mengubah senyawa nitrogen anorganik yang bersifat
racun (amonia) menjadi bacterial protein, sehingga bisa dimakan hewan pemakan detritus
seperti udang vannamei. Prosesnya, bahan organik dalam tambak diaduk dan diaerasi agar
terlarut dalam kolom air untuk merangsang bakteri heterotrof aerobik menempel pada partikel
organik, selanjutnya menyerap mineral seperti amonia, fosfat dan nutrient lain dalam air.
Hasilnya, kualitas air menjadi lebih baik dan bahan organik didaur ulang menjadi detritus yang
diperkaya.
Budidaya udang dengan sistem bioflok pada prinsipnya adalah mengembangkan
komunitas bakteri di dalam tambak. Menumbuhkan dan menjaga dominasi bakteri di dalam
tambak adalah lebih stabil daripada dominasi algae (plankton) karena tidak tergantung sinar
matahari. Kualitas air lebih stabil sehingga penggunaan air sedikit (hanya nambah) karena ada

6
pembuangan lumpur. Microba penyebab penyakit tertekan. Bakteri terkumpul dalam suatu
gumpalan yang disebut Floc. Semakin banyak floc yang terbentuk akan semakin besar pula
perannya dalam merombak limbah nitrogen 10 – 100x lebih efisien daripada algae. Dapat
bekerja siang maupun malam. Sedikit dipengaruhi cuaca. Merubahan limbah nitrogen menjadi
makanan berprotein tinggi bagi udang. Budidaya udang dengan Bio-Floc dapat dilakukan
dimana saja. Baik di daerah tropis, sub tropis, dikota, dalam bangunan maupun green house
(Chamberlain,, 2000).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan budidaya udang dengan
sistem Bio-Flok, antara lain :
− Pemasangan Filter pada air masuk
− Reservoir dan tambak pengendapan
− Benur bebas penyakit dengan padat tebar yang cukup tinggi.
− Tanpa/sedikit pergantian air
− Biosecurity
− Aerasi dan pengadukan cukup memadai
− Tambak plastik (HDPE) atau semen
− Pembuangan lumpur dari sentral (central drain)
− Karbon (gula, molase, tepung terigu) untuk merangsang
perkembangan bakteri
− Suhu dijaga di atas 30 oC
− Laboratorium untuk analisa mutu air dan penyakit

2.3. Bioflok dan fungsinya di dalam tambak

Sebagaimana telah disebutkan bahwa bioflok tersusun atas microorganisme terutama


bakteri yang membentuk floc, microalgae, fungi, protozoa, rotifera, cacing, organik detritus
dan serat (selulosa). Bioflok yang terbentuk dari berbagai macam mikroorganisme yang ada
di dalam tambak diharapkan memiliki fungsi antara lain :

1. Mengurai bahan organik dan menghilangkan senyawa beracun,

Bakteri pembentuk floc, akan mengurai bahan organik (protein, karbohidrat, lemak,
dll.) yang berasalah dari sisa pakan, kotoran udang dan bangkai dari jasad yang mati di dalam
tambak. Dengan kondisi yang cukup oksigen (aerob) bahan organik akan diurai menjadi
mineral anorganik yang sangat diperlukan oleh fitoplankton. Amonia akan disintesis menjadi
protein sel oleh beberapa jenis bakteri, dan sebagian lagi dioksidasi oleh bakteri nitrifikasi

7
menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomonas dan selanjutnya dari nitrit menjadi nitrat oleh bakteri
Nitrobacter.

2. Menstabilkan dan memperbaiki mutu air,

Sebagai ciri dari floc yang sudah terbentuk di dalam tambak adalah kondisi pH yang
cenderung lebih rendah dan sangat stabil (pada umumnya kurang dari 8,2) dan goncangan
pH sangat rendah (0,1 – 0,3). Dengan pH yang lebih rendah maka pengaruh dari amonia
menjadi lebih kecil. Karena terjadi saling ketergantungan antara organisme pembentuk floc di
dalam tambak (bakteri, plankton, bahan organik dan mineral) maka kondisi air menjadi stabil.
Disamping itu, dengan perannya menurunkan bahan yang bersifat racun maka dapat
memperbaiki mutu air air tambak menjadi lebih baik sehingga dapat mengurangi stres pada
udang.

3. Mengubah amoniak menjadi protein sel dengan menambahkan karbohidrat,

Diantara jenis bakteri yang ada, ada sebagian bakteri heterotrof aerrobic yang dapat
memanfaatkan secara langsung N anorganik (amonia) menjadi protein. Salah satu contoh
jenis bakteri tersebut adalah Bacillus megaterium. Jenis bakteri tersebut harus diupayakan
ada dalam sistem floc. Upaya untuk mendapatkan jenis-jenis bakteri yang diharapkan muncul
secara alami atau sengaja diberikan inokulan dari probiotik yang dijual di pasaran.

4. Menekan organisme pathogen.

Bioflok yang merupakan kumpulan dari berbagai microorganisme (bakteri) diharapkan


dapat menekan bakteri pathogen atau bakteri yang merugikan. Beberapa bakteri diketahui
dapat menekan populasi vibrio di dalam air tambak. Bakteri tersebut mengeluarkan bahan
antibiotik atau senyawa asam organik.

5. Berfungsi sebagai makanan tambahan bagi udang.

Kandungan nutrisi yang terdapat pada bioflok diharapkan cukup baik dan cocok untuk
nutrisi udang dan sebagai makanan tambahan sehingga dapat mengurangi kebutuhan pakan
dan menghasilkan konversi pakan yang baik.

2.4. Memilih Jenis Bakteri Probiotik

Bakteri probiotik merupakan bahan yang sangat dibutuhkan dalam penerapan sistem
budidaya dengan sedikit / tanpa ganti air. Bakteri probiotik komersial banyak dijual di pasaran

8
sehingga petambak tidak perlu menyiapkan sendiri inokulan yang diperlukan karena biayanya
cukup mahal. Namun untuk tambak yang memiliki perlengkapan laboratorium dan tenaga ahli
(mikrobiologi), tidak ada salahnya bila membuat isolat sendiri karena isolat lokal biasanya
lebih adaptif daripada isolat dari luar (pasaran bebas).
Jenis bakteri yang dipilih harus sesuai dengan kebutuhan. Salah satu jenis bakteri
yang dapat membentuk flok karena dapat menghasilkan polimer PHA dan pengurai protein
yang handal adalah Bacillus subtilis. Jenis bakteri ini banyak dijual di pasaran. Dan hampir
semua produk probiotik yang dijual mengandung Bacillus subtilis. Bila menghendaki bakteri
pembentuk flok yang lain bisa dipilih jenis Bacillus cereus. Disamping mampu membentuk flok
bakteri ini dapat mengendalikan blue green algae.
Selain bakteri pembentuk flok, masih diperlukan isolat bakteri lain antara lain bakteri
denitrifikasi, yang mengubah nitrat menjadi gas nitrogen (Bacillus licheniformis), bakteri
pengoksidasi H2S (bakteri fotosintesis seperti Rhodopseudomonas, Rhodobacter) yang juga
dapat menurunkan amonia dan nitrat. Bakteri yang dapat menekan perkembangan bakteri
pathogen (vibrio) selain Bacillus subtilis (misalnya, Bacillus polymyxa, B. megaterium,
Alteromonas, Lactobacillus). Bakteri nitrifikasi yang dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit
(Nitrosomonas dan Nitrobacter). Dan masih banyak lagi pilihan isolat bakteri yang bisa
diperoleh sesuai dengan kebutuhannya.

2.5. Pembuatan starter / booster bioflok

Langkah awal yang menentukan kesuksesan penerapan teknologi bioflok adalah


pembuatan starter atau booster bioflok. Pembuatan starter bioflok pada prinsipnya adalah
sama dengan teknik kultur masal bakteri atau yang sering disebut fermentasi oleh para
petambak. Ada sedikit perbedaan antara pembuatan starter bioflok dengan teknik pembuatan
fermentasi yang biasa dilakukan di tambak. Pada teknik kultur masal yang biasa dilakukan di
tambak lebih dititik beratkan pada jumlah bakteri yang dihasilkan dari proses pembelahan
selama kultur. Sedangkan pada pembuatan starter bioflok lebih banyak penekanannya.
Disamping jumlah bakteri, juga enzym dan poly hidroksi alkanoat atau PHA (lebih specifiek
lagi poly -hydroksi butirat atau PHB) yang dihasilkan harus terjaga agar tidak rusak karena
penurunan pH maupun kontaminasi mikroba perusak PHA. Untuk itu pH harus terjaga di atas
6 dengan menambahkan buffer pada media kulturnya.

9
Dalam pembuatan starter bioflok yang harus diperhatikan adalah peralatan, tempat,
media dan cara kultur.

− Peralatan kultur starter bioflok

Semua peralatan yang dipakai harus disterilkan terlebih dahulu. Bersihkan peralatan
dengan menggunakan detergen. Tahap berikutnya peralatan harus disterilkan sesuai dengan
bahannya. Untuk alat-alat yang memungkinkan, seperti erlenmeyer, petri dish, dll. disterilkan
dengan autoclaf. Untuk alat –alat seperti bak fiber, ember plastik dan lain-lain dapat
disterilkan dengan menggunakan kaporite 500 ppm.

− Tempat atau ruangan untuk pembuatan starter bioflok

Tempat atau ruangan yang digunakan untuk pembuatan starter bioflok harus bersih,
terlindung dari angin (untuk menghindari kontaminasi), tidak boleh ada orang keluar masuk,
beraktivitas disekitarnya, dalam keadaan tertutup.

− Media dan Cara kultur

Media untuk pengembangan / pembuatan starter bioflok (bakteri heterotrof) yang dibutuhkan
antara lain :
Sumber karbon antara lain : dedak halus, tepung beras, tepung terigu, molase, dll.
Sumber nitrogen antara lain: tepung ikan, tepung kedelai, kaldu, urea, dll

Mineral : garam non iodium

Vitamin B komplek.

Contoh, formula media yang umum digunakan di tambak dan cara pembuatannya.

Bahan : dedak halus 3 kg, tepung ikan 1 kg, molase 2 liter, garam non iodium ½ kg, inokulan
yang mengandung Bacillus subtilis 2 liter, vitamin B kompleks 10 butir dan air 100 liter.

Cara pembuatan media dan cara kultur :


1. Sterilkan air secukupnya (150 liter). Dengan menggunakan kaporite 50 ppm tunggu 1
malam.

10
2. Tambahkan sodium thiosulfat 25 ppm, aduk sampai rata (aerasi kuat) untuk menetralkan
kaporit, tunggu 1 malam baru boleh dipakai. Lebih baik dicek dulu kandungan residu
chlorine apakah sudah netral atau masih ada sebelum air digunakan.
3. Rebus air 15 liter dalam wadah berkapasitas 25 – 30 liter.
4. Setelah mendidih masukkan dedak halus dan tepung ikan. Aduk-aduk selama 30 menit.
5. Masukkan molase aduk sebentar, masukkan garam non iodium kemudian angkat dari
pemanas.
6. Masukkan adonan tersebut ke dalam wadah kultur (tangki plastik atau fiber berkapasitas
120 liter) yang telah diisi air steril 85 liter.
7. Cek suhunya. Bila suhunya di bawah 40 oC, masukkan inokulan bakteri probiotik yang
mengandung Bacillus dan tambahkan vitamin B komplek.
8. Putar air dengan menggunakan pompa submersible kecil (pompa untuk akuarium) atau
gunakan aerasi yang kuat.
9. Tutup wadah dengan menggunakan penutup atau kain hitam.
10. Tunggu hingga 2 – 3 hari (kepadatan bakteri min 1 x 109 sel/ml).
11. Pantau penurunan pH. Bila pH turun di bawah 6,5 lakukan penambahan larutan kapur
secukupnya untuk menahan pH. Jaga pH di atas 6 hingga selesai pembuatan starter.

2.6. Pembentukan dan pemeliharaan flok di dalam tambak

Mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa kabon (C),
hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit available posfor (P) menjadi massa
sludge berupa biofloks dengan menggunakan bakteri pembentuk floks (floks forming bacteria)
yang mensintesis biopolimer polihidroksi alkanoat sebagai ikatan biofloks.
Bakteri pembentuk floks dipilih dari genera bakteri yang non pathogen, memiliki
kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin
terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan
dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan.
Biofloks yang terbentuk lebih jauh berfungsi bagi purifikasi air di tambak, dengan
fungsi sebagai pengoksidasi bahan organik lebih lanjut, melangsungkan nitrifikasi, dan
pembatas pertumbuhan plankton. Bahan organik yang digunakan berupa pakan udang
dengan proporsi C:N:P = 100:10:1. Sumber karbon tambahan dari kalsium karbonat (kaptan).
Sumber Nitrogen tambahan dari pupuk ZA (Ammonium sulfat) (Aiyushirota).

11
2.7. Permasalahan flok dan penanggulangannya

1. Flok susah jadi


Ada beberapa penyebab sehingga flok susah jadi atau tidak terbentuk diantaranya ada
kemungkinan tidak terdapat bakteri pembentuk flok (yang menghasilkan polimer PHA),
kekurangan bahan organik terutama C, nilai C/N ratio tidak sesuai, tambak sudah terlebih
dahulu ditumbuhi lumut sutera (Chaetomorpha sp). Perlu ditinjau ulang inokulan bakteri apa
yang digunakan sebagai starter, jumlah pasokan C organik ke dalam tambak dan
penyesuaian nilai C/N ratio. Bila disebabkan oleh lumut sutera, maka perlu diberi perlakuan
dengan bakteri fotosintetik, memberikan starter dengan dosis yang lebih tinggi hingga lumut
sutera kehabisan nutrisi karena persaingan. Saat persiapan, sisa – sisa lumut sutera harus
dibersihkan dan diberi perlakuan larutan asam (HCl 1%) untuk membasmi spora-sporanya.

2 Biofloks ketebalannya berkurang ( normal 10-20 cm sechi disk ) dan warna air
mengarah ke hijau :

Hentikan pengenceran, tahan air selama 5-6 hari, aplikasikan pupuk ZA 1 ppm setiap harinya
untuk menekan pertumbuhan chrollera atau aplikasikan pupuk ZA 5 ppm setiap harinya untuk
menekan pertumbuhan blue green algae. Pada hari ke 7 sirkulasi / pengenceran secara over
flow dapat dilakukan kembali. (Aiyushirota)

3 Biofloks ketebalannya berkurang ( normal 10-20 cm sechi disk ) dan warna air
mengarah ke coklat merah :
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5-6 hari, aplikasikan CaCO3 / kaptan 20 ppm setiap
harinya dan 1-2 x treatment dengan Kalsium peroksida. Pada hari ke 7 sirkulasi/pengenceran
secara over flow dapat dilakukan kembali.(Aiyushirota)

4 Warna hijau biru (BGA) atau merah (Dinoflagellata) tetap ada setelah 5- 6 hari
treatment:
Berlakukan pola sistem “minimal exchange water” terhadap tambak tersebut, hindari
pengenceran/sirkulasi. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang
hilang/susut akibat penguapan, perembesan dan susut air akibat pembuangan lumpur rutin
harian saja. (Aiyushirota)

12
5 Flok terlalu pekat
Kurangi pakan hingga 30% dari konsumsi normal agar udang makan sebagian flok. Lakukan
beberapa hari sampai ketebalan flok berkurang. Cara ini seperti yang dilakukan oleh McIntosh
(2000).

6 Flok diikuti kematian udang


Ada beberapa kemungkinan penyebab, antara lain : adanya serangan penyakit IMNV, LvNV,
vibriosis. Kemungkinan faktor mutu air seperti kekurangan DO (BOD sangat tinggi), flok terlalu
kental dan sebagian mengendap sehingga muncul gas H2S yang meracuni udang, flok
didominasi algae beracun atau bakteri pathogen (vibrio). Untuk itu, penerapan teknologi Bioflok
harus dilengkapi dengan fasilitas laboratorium seperlunya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aiyushirota. Konsep Budidaya Sistem Bakteri Heterotrof dengan Bioflok. www.aiyushirota.com

Avnimeleh, Y. 2009. Bioflok Technology. A Practical guide book. World aquaculture society.
Baton Rouge, Lousiana, United state.181p

Boyd, C.E. and J.W. Clay, 2002. Evaluation of Belize Aquaculture, Ltd: A Superintensive
Shrimp aquaculture System. Report prepared under the World Bank, NACA,
WWF, and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment.
Work in progress for Public Discussion. Published by the Consortium.

Conquest, L. and Albert Tacon, 2006. Utilization of Microbial Flok in Aquaculture System : A
Review. Presentation in Vegas 2006. http://flok.aesweb.org/

McIntosh, R. P. 2000. Changing paradigms in shrimp farming: V. Establishment of


heterotrophic bacterial communities. The Global Advocate Alliance. December
2000. p : 52 – 54.

Panjaitan, P. and Yoram Avnimeleh, 2006. Effect of C/N ratio on Water Quality in Zero Water
Exchange Microcosms. Presentation in Firenze 2006. http://flok.aesweb.org/

Serfling, Steven A. 2006. Microbial floks – Natural Treatment Method Support Freshwater,
Marine Species in Recirculating Systems. Global Aquaculture Advocate
Magazine. June 2006. vol. 9, Issue 3. p : 34 – 36.

Suprapto, 2013. Penerapan Teknologi Bioflok dalam Budidaya Udang Vannamai di Indonesia.
Bidang Pengembangan Teknologi/Inonasi Budidaya dan SDM Shrimp Club
Indonesia.

Tacon, A.G.J. 2002. Thematic Review of Feeds and Feed Management Practices in Shrimp
Aquaculture. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO
Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress
for Public Discussion. Published by the Consortium. 69 pages.

14

Anda mungkin juga menyukai