Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI DI KECAMATAN SUKAWATI KABUPATEN

GIANYAR PROVINSI BALI DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN


JAUH

Oleh

Kadek Ayun Wardimas

1514511012

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan pesisir merupakan laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh
12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-
pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (Kementerian Kelautan dan
Perikanan, 2014). Perairan pesisir merupakan zona yang sangat dinamis. Dinamika di pesisir
dipengaruhi oleh faktor oseanografi diantaranya gelombang, angin, arus. Dampak dari adanya
dinamika pesisir adalah proses erosi dan abrasi. Berdasarkan Peraturan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Bali Nomor 6 Tahun 2009 (Pemprov Bali, 2009) terjadi erosi di
beberapa daerah di pesisir Bali pada tahun 1987, 1997, 2003, dan 2004 berturut-turut sepanjang
51.50 km, 64.65 km, 70.11 km dan 89.29 km atau 20,73% dari total panjang pantai di Bali.

Kawasan pantai bersifat dinamis, artinya ruang pantai (bentuk dan lokasi) berubah
dengan cepat sebagai reaksi terhadap proses alam dan aktivitas manusia. Perubahan terhadap
garis pantai adalah satu proses tanpa henti (terus menerus) melalui berbagai proses baik
pengikisan (abrasi) maupun penambahan (akresi) pantai yang diakibatkan oleh pergerakan
sedimen, tindakan ombak dan penggunaan tanah. Gelombang yang terjadi akibat pergeseran
lempeng dasar laut atau tsunami menyapu daratan, sehingga dapat merubah daratan pantai dan
penutupan lahan yang ada di pesisir daratan tersebut. Perubahan daratan pantai itu sendiri yaitu
akibat tumpukan sedimen yang terbawa oleh gelombang maupun sedimen pantai yang terkikis
dan terbawa oleh gelombang atau arus laut. Kajian perubahan garis pantai sendiri penting
dilakukan sebagai acuan dalam pembangunan wilayah pesisir dan pelabuhan, pariwisata serta
kegiatan penangkapan dan budidaya perikanan (Dawin, 2017).

Garis pantai adalah batas wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan lautan. Garis
pantai dapat diidentifikasi ketika batas air laut pada waktu pasang tertinggi telah mencapai
daratan (Tarigan, 2007). Mendeteksi perubahan garis pantai membutuhkan pengambilan sampel
setiap 10-20 tahun untuk mendapatkan perubahan dalam hitungan sentimeter hingga beberapa
puluh meter (Boak and Turner, 2005).

Kabupaten Gianyar memiliki wilayah pesisir yang meliputi tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Sukawati, Blahbatuh dan Gianyar, membentang sepanjang lebih kurang 15 km garis
pantai yang berhadapan dengan perairan Selat Badung. Perairan pesisir Kabupaten Gianyar
menyimpan potensi sumberdaya ikan yang belum secara optimal dikelola bagi peningkatan
perekonomian masyarakatnya. Berbagai jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan pengembangan
pariwisata juga belum secara optimal didayagunakan, sehingga perkembangan pariwisata
Kabupaten Gianyar masih terdapat ketimpangan antar destinasi yang ada. Pantai-pantai
diwilayah pesisir Kabupaten Gianyar selain berfungsi ekonomi juga mengandung nilai-nilai
budaya baik sebagai kawasan suci maupun tempat-tempat suci yang perlu dilestarikan.

Geomorfologi wilayah pesisir Kabupaten Gianyar pada umumnya mempunyai corak


yang sama yaitu berupa pedataran dengan ketinggian 0 – 425 m dpl. Wilayah pesisir Kecamatan
Sukawati berada pada ketinggian 0 – 125, Kecamatan Blahbatuh antara 0 – 175 m dpl dan
Kecamatan Gianyar antara 0 – 425 m dpl. Kemiringan lahan wilayah pesisir Kabupaten Gianyar
berkisar 0 – 15%. Proses geologi yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Gianyar adalah
erosi/abrasi pantai dan kegempaan BPS Kabupaten Gianyar (2010).Menurut data Balai Wilayah
Sungai Bali-Penida (2010), panjang pantai yang mengalami erosi/abrasi di Kabupaten Gianyar
tahun 2009 adalah 6 km yaitu Pantai Gumicik 2 km, Pantai Saba 1 km, Pantai Lebih 2 km dan
Pantai Siyut 1 km. Pantai abrasi yang telah tertangani yaitu Pantai Lebih sepanjang 1.250 meter.
Sedangkan hasil survei Juni 2011, pantai yang mengalami erosi/abrasi parah yang belum
ditangani baik oleh pemerintah maupun privat di Kabupaten Gianyar sepanjang 4.341 meter dan
pantai yang rawan erosi/abrasi sepanjang 2.544 meter. Selain itu, tribunnews.com memberitakan
di tahun 2017 terdapat beberapa dampak dari kerasnya ombak di pantai sekitaran kecamatan
sukawati, gianyar dimana dua pura yaitu Pura Kubu Mas yang berada di pesisir Pantai Purnama
Sukawati, Gianyar, Bali dilaporkan ambrol, Kamis (27/7/2017) pagi dan Sebelumnya sekitar
bulan Juni di tahun yang sama, Pura Sang Hyang Aye yang berada di pesisir Pantai Pabean, Desa
Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali juga dilaporkan amblas terkikis oleh
kerasnya ombak yang menghantam.

Dengan melihat wacana diatas maka dilakukan pengamatan perubahan garis pantai
dipantai yang berada di Kecamatan Sukawati, Gianyar menggunakan teknologi penginderaan
jauh dengan data citra landsat dari tahun 2008-2017. Penggunaan data satelit merupakan cara
yang efektif untuk pemetaan penutup lahan dan vegetasi, karena data satelit memiliki rentang
waktu yang dapat diatur untuk pengambilan data citra untuk lokasi yang sama. Perkembangan
teknologi penginderaan jauh saat ini mengarah pada peningkatan resolusi spasial dan temporal
untuk perolehan informasi dan keperluan monitoring.

Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui Laju perubahan garis pantai dengan
menggunakan citra pengindraan jauh dan bagaimana tingkat akurasi dalam menganalisis
perubahan garis pantai dikawasan pesisir pantai Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Laju perubahan garis pantai dengan menggunakan citra pengindraan jauh
dikawasan pesisir pantai Kecamatan Sukawati, kabupaten gianyar?
2. Bagaimana tingkat akurasi dalam menganalisis perubahan garis pantai dikawasan pesisir
pantai Kecamatan Sukawati, kabupaten gianyar?
1.3 Tujuan Penelitian

1 Untuk mengetahui Laju perubahan garis pantai dengan menggunakan citra pengindraan
jauh dikawasan pesisir pantai Kecamatan Sukawati, kabupaten gianyar
2 Untuk mengetahui tingkat akurasi dalam menganalisis perubahan garis pantai dikawasan
pesisir pantai Kecamatan Sukawati, kabupaten gianyar

1.4 Manfaat Penelitian

1 Sebagai informasi terhadap masyarakat yang bermukim didaerah pesisir pantai penelitian
agar lebih waspada dan siap untuk menghadapi dampak dari terjadinya hal buruk seperti
abrasi
2 Sebagai informasi untuk pemerintah dalam membuat kebijakan dari data kuantitatif yang
ada, sehingga ada gambaran terjadinya abrasi berkelanjutan dari tahun ke tahun dan juga
untuk memprediksi besaran proses abrasi di tahun kedepannya
3 Mengetahui bagaimana terjadinya perubahan garis pantai di daerah penelitian sebagai
informasi dan bahan rujukan untuk para pekerja konstruksi di pesisir pantai penelitian
4 Sebagai informasi tambahan untuk para ahli dibidangnya agar bisa melakukan tindakan
seperti penelitian lebih lanjut untuk mendukung pengelolaan dan terjaganya kelestarian
wilayah pesisir
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari berbagai
macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai berpasir dan lainnya yang
satu sama lain saling terkait. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan
menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai
macam kegiatan manusia baik langsung atau tidak langsung maupun proses-proses alamiah yang
terdapat diatas lahan maupun lautan (Djau, 2012).

Ekosistem di wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan
habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut.
Ekosistem di wilayah peisisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak
kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung
berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir (Dahuri, 2001). Konsentrasi pembangunan
kehidupan manusia dan berbagai pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan
ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang produktif di bumi,
wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai kegiatan serta wilayah pesisir memiliki
pesona yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di
dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga
menjadi rusak (Dahuri, 1998 dalam Djau, 2012).

2.2 Pantai

Pantai merupakan salah satu ekosistem yang berada di wilayah pesisir, dan terletak antara
garis air surut terendah dengan air pasang tertinggi. Ekosistem ini berkisar dari daerah yang
substratnya berbatu dan berkerikil (yang mendukung flora dan fauna dalam jumlah terbatas)
hingga daerah berpasir aktif (dimana populasi bakteri, protozoa, metazoa ditemukan) serta
daerah bersubstrat liat, dan lumpur (dimana ditemukan sebagian besar komunitas binatang yang
jarang muncul ke permukaan (infauna) (Bengen, 2001 dalam Rakhmawaty, 2009).
Pengertian pantai sangat penting untuk dijelaskan agar dalam penanganan permasalahan
pantai tidak terjadi perbedaan pandangan dan arti kata mengenai istilah-istilah berkaitan dengan
pantai. Beberapa definisi yang berkaitan dengan pantai telah diseminarkan di Manado. Definisi
hasil seminar tersebut pada tahun-tahun terakhir ini telah dikembangkan lagi dalam beberapa
seminar lanjutan, yang intinya adalah dibedakan antara definisi untuk keperluan pengelolaan dan
keperluan teknik (engineering) agar ada kesamaan sudut pandang dan arti kata (Yuwono, 2005).
2.2.1 Definisi Pantai Untuk Keperluan Pengelolaan Pantai
Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan
surut terendah. Pantai merupakan batas antara wilayah yang bersifat daratan dengan wilayah
yang bersifat lautan. Dimana daerah daratan adalah daerah yang terletak diatas dan dan
dibawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Sedangkan daerah
lautan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut
pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya
(Triadmodjo,1999). Beberapa istilah kepantaian yang perlu diketahui dan dipahami
diantaranya:
1. Daerah pantai atau pesisir
Adalah suatu daratan beserta perairannya dimana pada daerah tersebut masih dipengaruhi
baik oleh aktivitas darat maupun oleh aktivitas marine.Dengan demikian daerah pantai
terdiri dari perairan pantai dan daratan pantai yang saling mempengaruhi. Daerah pantai
sering disebut juga daerah pesisir atau wilayah pesisir.
2. Pantai
Adalah daerah di tepi perairan sebatas antara surut terendah dan pasang tertinggi.
3. Garis Pantai
Adalah garis batas pertemuan antara daratan dan lautan.
4. Daratan Pantai
Adalah daerah ditepi laut yang masih dipengaruhi oleh aktivitas marine
5. Perairan Pantai
Adalah perairan yang masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan
6. Sempadan Pantai
Adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian
pantai.

Gambar 1. Definisi Pantai (wilayah pesisir) untuk keperluan pengelolaan pantai


(Yuwono, 2005)
2.2.2 Definisi Pantai Untuk Keperluan Rekayasa/Teknik Pantai
Beberapa definisi pantai untuk keperluan rekayasa/teknik pantai (Triadmodjo,1999) yang
perlu diketahui dan dipahami diantaranya:
1. Surf zone
Adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah sampai batas
naik-turunnya gelombang di pantai.
2. Breaker zone
Adalah daerah dimana terjadi gelombang pecah.
3. Swash zone
Adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas
terendah turunnya gelombang di pantai.
4. Offshore
Adalah daerah dari gelombang (mulai) pecah sampai ke laut lepas.
5. Foreshore
Adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat surut terendah sampai batas
atas dari uprush pada saat air pasang tertinggi.
6. Inshore
Adalah daerah antara offshore dan foreshore.
7. Backshore
Adalah daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat
terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tertinggi.
8. Coast
Adalah daratan pantai yang masih terpengaruh laut secara langsung, misalnya pengaruh
pasang surut, angin laut, dan ekosistem pantai (hutan bakau, sand dunes ).
9. Coastal area
Adalah daratan pantai dan perairan pantai sampai kedalaman 100 atau 150 m (Sibayama,
1992).

Gambar 2. Definisi pantai untuk keperluan rekayasa pantai (Triadmodjo, 1999)


2.2.3 Morfologi Pantai di Indonesia
Pantai-pantai yang terdapat di Indonesia secara morfologi terbagi atas tujuh bentuk
Dahuri (2003), yaitu :
1. Pantai Terjal Berbatu
Pantai bentuk ini biasanya terdapat di kawasan tektonis aktif yang tidak pernah stabil
karena proses geologi. Kehadiran vegetasi penutup ditentukan oleh 3 faktor, yaitu tipe
batuan, tingkat curah hujan, dan cuaca.
2. Pantai Landai Dan Datar
Pantai tipe ini ditemukan di wilayah yang sudah stabil sejak lama karena tidak terjadi
pergerakan tanah secara vertikal. Kebanyakan pantai di kawasan ini ditumbuhi oleh
vegetasi mangrove yang padat dan hutan lahan basah lainnya.
3. Pantai Dengan Bukit Pasir
Pantai dengan bukit pasir terbentuk akibat transportasi sedimen clastic secara horizontal.
Mekanisme transportasi tersebut terjadi karena didukung oleh gelombang yang besar dan
arus yang menyusur pantai yang dapat menyuplai sedimen yang berasal dari daerah
sekitaranya.
4. Pantai Beralur
Proses pembentukan pantai beralur lebih ditentukan oleh faktor gelombang daripada
angin. Gelombang yang pecah akan menciptakan arus yang menyusur pantai yang
berperan dalam mendistribusikan sedimen. Proses penutupan yang berlangsung cepat
oleh vegetasi menyebabkan zona supratidal tidak terakumulasi oleh sedimen yang berasal
dari erosi angin.
5. Pantai Lurus Di Dataran Pantai Yang Landai
Pantai lurus di dataran pantai yang landai ini ditutupi oleh sedimen berupa lumpur hingga
pasir kasar. Pantai tipe ini merupakan fase awal untuk berkembangnya pantai yang
bercelah dan bukit pasir apabila terjadi perubahan suplai sedimen dan cuaca (angin dan
kekeringan).
6. Pantai Berbatu
Pantai tipe ini dicirikan oleh adanya belahan batuan cadas. Berbeda dengan komunitas
pantai berpasir, dimana organismenya hidup di bawah substrat sedangkan komunitas
organisme pada pantai berbatu hidup di permukaan. Bila dibandingkan dengan habitat
pantai lainnya, pantai berbatu memiliki kepadatan mikroorganisme yang tinggi,
khususnya di habitat intertidal di daerah angin (temperate) dan subtropik.
7. Pantai Yang Terbentuk Karena Adanya Erosi
Pantai yang terbentuk karena adanya erosi disebabkan oleh adanya sedimen yang
terangkut oleh arus dan aliran sungai akan mengendap di daerah pantai. Pantai yang
terbentuk dari endapan semacam ini dapat mengalami perubahan dari musim ke musim,
baik secara alamiah maupun akibat kegiatan manusia yang cenderung melakukan
perubahan terhadap bentang alam.
2.3 Proses Pantai
Pantai merupakan kenampakan alam dimana terjadi interaksi keseimbangan dinamis antara
air, angin, dan material (sedimen). Angin dan air bergerak membawa material (sedimen) dari
satu tempat ke tempat yang lain, mengikis dan kemudian mengendapkannya lagi di daerah lain
secara berkesinambungan. Fenomena transport sedimen tersebut mengakibatkan terjadinya
perubahan bentuk morfologi pantai. Pantai mempunyai pertahanan alami dari serangan arus dan
gelombang dimana bentuknya akan terus-menerus menyesuaikan sehingga dapat meminimalkan
energi gelombang yang menerpanya. Sistem pertahanan alami ini dapat berupa karang
penghalang, atol, sand dune, longshore bar, kemiringan dasar pantai dan vegetasi yang hidup di
pantai ( bakau, api-api, dan sebagainya ) Ada dua tipe tanggapan dinamis pantai terhadap gerak
gelombang, yaitu tanggapan terhadap kondisi gelombang normal dan tanggapan terhadap kondisi
gelombang badai. Pada saat badai terjadi, pertahanan alami pantai tidak mampu menahan
serangan energi gelombang yang besar, sehingga pantai dapat tererosi. Setelah gelombang besar
reda ,berangsur-angsur pantai akan kembali ke bentuk semula oleh pengaruh gelombang normal.
Tetapi ada kalanya pantai yang tererosi tersebut tidak dapat kembali ke bentuk semula karena
material pembentuk pantai terbawa arus dan tidak dapat kembali ke lokasi semula. Proses
dinamis pantai sangat dipengaruhi oleh littoral transport, yang di definisikan sebagai gerak
sedimen di daerah dekat pantai (nearshore zone) oleh gelombang dan arus. Littoral transport
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu transport sepanjang pantai (longshore-transport) dan
transport tegak lurus pantai (onshore-offshore transport). Material (pasir) yang di transpor
disebut dengan littoral drift (Triadmodjo,1999).

Gambar 3. Proses pembentukan pantai (Triatmodjo, 1999)


2.4 Erosi Dan Abrasi Pantai
Erosi pantai adalah proses mundurnya garis pantai dari kedudukan semula yang disebabkan
oleh tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan kapasitas angkutan sedimen. Erosi pantai
terjadi apabila pada suatu pantai yang ditinjau mengalami kehilangan/pengurangan sedimen.
Artinya sedimen yang diangkut lebih besat daripada sedimen yang diendapkan. Abrasi adalah
proses terkikisnya batuan atau material keras seperti dinding atau tebing batu, yang biasanya
diikuti dengan longsoran atau runtuhan material. Berikut adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya erosi dan abrasi pada suatu wilayah. Abrasi pantai merupakan salah
satu bencana yang sangat merugikan bagi kehidupan masyarakat khususnya yang berada di
pesisir pantai. Abrasi pantai merupakan fenomena alam sehubungan dengan perubahan kenaikan
permukaan air laut, iklim dan juga ekosistem yang sebagian besar dipengaruhi oleh aktivitas
manusia yang merusak dan mengakibatkan banyak permasalahan yang ada di wilayah pesisir
pantai (Yuwono, 2005).
Kerusakan serta hilangnya terumbu karang juga berpengaruh pada meningkatnya aktivitas
abrasi pantai, dimana terumbu karang berfungsi sebagai pemecah gelombang. Akibat dari abrasi
pantai mengakibatkan hilangnya lahan pemukiman, lahan pertambakan dan mata pencaharian
yang berdampak langsung pada penurunan kualitas hidup masyarakat yang berada di wilayah
pesisir pantai seperti nelayan, petani dan petambak yang kehidupannya tergantung pada
sumberdaya alam, namun kondisi lingkungan dan sumberdaya alam pesisir pantai yang rentan
tersebut berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya penduduk (Damaywanti,
2013).
2.4.1 Faktor Alam
1. Pemanasan Global
Kegiatan manusia yang meningkatkan jumlah gas rumah kaca di atmosfer dapat
mengakibatkan naiknya suhu bumi. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan tinggi
permukaan air laut yang disebabkan oleh pemuaian air laut dan mencairnya gunung-gunung
es di kutub. Kenaikan permukaan air laut ini akan mengakibatkan mundurnya garis pantai
sehingga menggusur daerah pemukiman sepanjang pesisir pantai, membanjiri lahan produktif
dan mencemari persediaan air tawar (Triadmodjo, 1999).
2. Perubahan Sedimen Pantai
Pantai dapat mengalami keseimbangan dinamis, erosi dan akresi (sedimentasi) secara
stabil tergantung pada keseimbangan jumlah sedimen yang masuk (suplai) dan yang
meninggalkan pantai tersebut (Triadmodjo, 1999). Perubahan pola cuaca dan musim di bumi
dapat mengakibatkan kekeringan pada bulan-bulan tertentu sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya banjir yang turut serta membawa suplai sedimen dari sungai kearah
pantai, apabila pantai tidal mendapatkan suplai sedimen pada muara sungai, maka pantai
akan mengalami perubahan garis pantai akibat ketidakstabilan kondisi tersebut.
3. Gelombang Badai
Gelombang badai dan tsunami adalah salah satu faktor alam yang menyebabkan erosi dan
abrasi. Akibat gelombang yang besar (gelombang badai), maka pasir akan tererosi kemudian
mengendap pada daerah lain membentuk longshore bar. Setelah gelombang biasa datang
endapan pasir akan berangsur-angsur mengisi daerah yang tererosi kembali.
2.4.2 Faktor Non Alam (Campur Tangan Manusia)
Beberapa factor non alam yang sering mengakibatkan terjadinya erosi pantai antara lain
sebagai berikut:
1. Pengaruh adanya bangunan pantai yang menjorok ke laut
2. Penambangan material pantai dan sungai
3. Perpindahan (pergerakan) muara sungai
4. Pencemaran yang mengakibatkan kerusakan alam di area pantai
5. Pengaruh pembuatan waduk di hulu dan bangunan melintang sungai (bendung) yang
mempunyai kecenderungan menyebabkan berkurangnya transpor sedimen ke hihir.

2.5 Perubahan Garis Pantai


Perubahan garis pantai pada dasarnya meliputi proses abrasi dan akresi (sedimentasi)
yang dapat terjadi secara alami karena faktor alam. Akresi dan abrasi yang terjadi disertai dengan
maju dan mundurnya garis pantai. Perubahan garis pantai tersebut dapat diprediksi dengan
membuat model matematik yang didasarkan pada keseimbangan sedimen pantai yang ditinjau.
Akibat pengaruh transpor sedimen sepanjang pantai, sedimen dapat terangkut sampai jauh dan
menyebabkan perubahan garis pantai. Proses pengembalian garis pantai pada kondisi semula
memerlukan waktu cukup lama. Bahkan apabila gelombang dari satu arah lebih dominan
daripada gelombang dari arah yang lain, sulit untuk mengembalikan garis pantai pada posisi
semula. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa transpor sedimen sepanjang
pantai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan garis pantai (Triatmodjo, 1999).

2.6 Pengertian Dan Jenis-Jenis Bangunan Pelindung Pantai


Alam pada umumnya telah menyediakan mekanisme perlindungan pantai secara alamiah
yang efektif (Yuwono N, 1982).
1. Pantai Pasir
Lindungan alamiah berupa hamparan pasir yang dapat berfungsi sebagai
penghancur energi gelombang yang efektif, serta bukit pasir (sand dunes) yang
merupakan cadangan pasir dan berfungsi sebagai tembok laut. Sand Dunes berfungsi
sebagai dinding tempat penyimpanan pasir selama air pasang dan juga berfungsi
sebagai semacam tanggul/perlindungan untuk menghalangi air pasang dan gelombang
yang merusak kawasan backshore. Sand Dunes adalah salah satu pengaman pantai non
rigid (tidak kaku) yang terbentuk secara alami oleh kombinasi gerakan pasir, angin, dan
tumbuhan pantai. Jika tidak terganggu oleh aktivitas manusia, sand dunes seringkali
membentuk sistem perlindungan kontinyu yang dapat diandalkan dari waktu ke waktu.
2. Pantai Lumpur
Pantai berlumpur terjadi di daerah pantai dimana terdapat banyak muara sungai
yang membawa sedimen suspensi dalam jumlah besar ke laut. Selain itu, kondisi
gelombang di pantai tersebut relatif tenang sehingga tidak mampu membawa sedimen
tersebut ke perairan dalam di laut lepas. Sedimen suspensi tersebut dapat menyebar
pada suatu daerah perairan yang luas sehingga membentuk pantai yang luas, datar, dan
dangkal. Kemiringan dasar laut/pantai sangat kecil. Biasanya pantai berlumpur sangat
rendah dan merupakan daerah rawa yang terendam air saat muka air tinggi (pasang).
Daerah ini sangat subur bagi tumbuhan pantai seperti pohon bakau (mangrove).
Mangrove dengan akar tunjang dan akar pernapasannya dapat menangkap lumpur
sehingga terjadi sedimentasi. Guguran daun dan ranting menjadi serasah organik
sehingga mempersubur perairan pantai. Hutan ini dapat berfungsi sebagai peredam
energi gelombang, sehingga pantai dapat terlindung dari bahaya erosi.
3. Pantai Karang
Gelombang sebelum mencapai pantai akan pecah di batu karang (reef), dan
energinya berkurang atau hancur. Dengan demikian pada saat gelombang tersebut
mencapai tepi pantai sudah relatif kecil sehingga tidak punya daya untuk
menghancurkan pantai. Karang pelindung yang bagus bilamana masih tumbuh dan
dengan demikian bila terjadi kerusakan akibat gempuran gelombang (musim
gelombang), terumbu karang tersebut dapat tumbuh dan pulih kembali pada saat musim
tenang. Apabila tidak ada lindungan alamiah pantai, atau sudah tidak efektif karena
rusak/punah, maka dapat dibuat perlindungan buatan. Ada lima pendekatan dalam
perencanaan perlindungan buatan pada pantai, yaitu :
1) Mengubah laju angkutan sedimen sejajar pantai (dengan bangunan groin).
2) Mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai (dengan bangunan
breakwater).
3) Memperkuat tebing pantai sehingga tahan terhadap gempuran gelombang (dengan
bangunan revretment atau seawall).
4) Menambah suplai sedimen ke pantai (dengan cara “sand by passing” atau “beach
nourishment”).
5) Melakukan penghijauan daerah pantai (dengan pohon bakau, api-api, atau nipah).

2.7 Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh atau inderaja (remote sensing) adalah seni dan ilmu untuk mendapatkan
informasi tentang obyek, area atau fenomena melalui analisa terhadap data yang diperoleh
dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah ataupun fenomena yang
dikaji (Lillesand dan Kiefer,1997). Penginderaan jauh merupakan suatau teknik untuk
mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan
fisik.Tujuan utama penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan
lingkungan.Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses
dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian,
arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya (Lo, 1995).
Penginderaan jauh menggunakan data berupa citra dengan keluaran terbaru untuk
mendapatkan informasi yang lebih akurat dari laju perubahan permukaan bumi yang setiap saat
semakin cepat. Hal ini tentu saja membutuhkan biaya yang relatif besar, sehingga masih banyak
data lama yang digunakan oleh para pengguna dalam perolehan informasi. Selain itu, kegiatan
perekaman yang dilakukan oleh satelit sangat dipengaruhi oleh alam, seperti keberadaan awan,
hujan yang dapat menyebabkan citra yang dihasilkan rusak/cacat, sehingga tidak dapat
digunakan dalam kegiatan interpretasi. Kesalahan juga dapat terjadi pada manusia sebagai
pengguna ketika sedang melakukan interpretasi dengan menggunakan konsep penginderaan jauh
(Riswan, 2001).
Berdasarkan jenis sensor yang dibawa, satelit penginderaan jauh digolongkan menjadi dua,
yaitu: 1. Satelit pasif, yaitu satelit yang membawa sensor pasif. Satelit ini hanya menangkap
gelombang yang dipancarkan oleh suatu objek dari permukaan bumi. Contoh satelit pasif antara
lain: Landsat, NOAA, Ikonos, SPOT, dan Iain-lain. 2. Satelit aktif, yaitu satelit yang membawa
sensor aktif. Sensor yang ada pada satelit memancarkan gelombang mikro, gelombang mikro
tersebut diterima sekaligus dipantulkan kembali oleh objek di permukaan bumi. Gelombang
pantul ini yang kemudian diterima oleh sensor satelit. Contoh satelit aktif antara lain: JERS,
ERS, Radarsat, dan Iain-lain (Sutanto, 1994).

2.8 Citra Landsat


Citra Landsat merupakan citra hasil perekaman permukaan bumi oleh sensor yang dibawa
oleh satelit Landsat. Satelit ini menggunakan informasi perekaman multispektral, yaitu suatu
informasi yang menggunakan beberapa panjang gelombang (spektral) untuk merekam bentuk,
objek dan fenomenafenomena yang ada di permukaan bumi. Jika dibandingkan dengan generasi
sebelumnya, citra Landsat TM mempunyai kelebihan, baik dari segi resolusi spasial maupun
resolusi spektral, resolusi spasial 30x30 meter dan resolusi spektral sebanyak 7 band (Lo, 1996).
Satelit Landsat TM merupakan perbaikan dari generasi Landsat sebelumnya, yaitu satelit
Landsat Multi Spectral Scanner (Landsat MSS). Satelit ini sangat baik untuk digunakan dalam
studi vegetasi, karena selain memiliki resolusi spasial yang cukup bagus, juga memiliki saluran
spektral yang lengkap mulai dari saluran sinar tampak sampai saluran inframerah thermal.
Landsat TM mempunyai 7 saluran spektral (band), yaitu saluran 1 dengan gelombang biru (0,45-
0,52µm), saluran 2 dengan gelombang hijau (0,52-0,60µm), saluran 3 dengan gelombang merah
(0,63-0,69µm), saluran 4 dengan gelombang inframerah dekat (0,76-0,90µm), saluran 5 dengan
gelombang inframerah tengah (1,55-1,75µm), saluran 6 dengan gelombang thermal (10,40-
12,50µm), saluran 7 dengan gelombang inframerah tengah (2,08-2,35 µm). Jenis saluran landsat
TM beserta kegunaannya dapat dilihat pada tabel 1. (Lo,1996).
Tabel 1. Karakteristik Sensor Landsat TM
No Panjang Warna Resolusi Aplikasi
Gelombang (m)
1 0,45-0,52 Biru 30 x 30 Untuk memetakan daerah pesisir,
membedakan jenis vegetasi dan tanah,
tipe hutan, dan mengidentifikasi hasil
budidaya
2 0,52-0,60 Hijau 30 x 30 Mengidentifikasi tingkat pertumbuhan
vegetasi, mengukur nilai pantulan
spektrum hijau (klorofil), dan
memperkirakan sedimentasi serta
kekeruhan air
3 0,63-0,69 Merah 30 x 30 Dapat melihat daerah yang menyerap
klorofil, dan pendugaan jenis
tumbuhan berdasarkan penyerapan
sinar oleh klorofil
4 0,70-0,90 Inframera Dekat 30 x 30 Dapat membedakan objek air dan
bukan air, kelembaban lahan, dan area
banjir.
5 1,55 - 1,75 Inframerah 30 x 30 Membedakan awan dengan salju,
Tengah mengidentifikasi kelembaban
tumbuhan dan lahan
6 10,40-12,50 Inframerah 120 x 120 Pemetaan hidrotermal, dan penentuan
Termal lokasi geothermal
7 2,08-2,35 Inframerah 30 x 30 Untuk menganalisis tumbuhan
Tengah berdasarkan tingkat kelembabannya,
dan menentukan jenis tanah serta
batuan

2.9 Interpretasi Citra


Proses penerjemahan data menjadi informasi disebut analisis atau interpretasi data,
dimana data penginderaan jauh tersebut dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Data
tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah, fenomena yang
diindra atau diteliti. Apabila proses penerjemahan tersebut dilakukan secara dijital dengan
bantuan computer disebut interpretasi dijital (Purwadhi, 2001). Interpretasi citra merupakan
pembuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan
menilai arti pentingnya obyek tersebut. Didalam interpretasi citra, penafsir citra mengkaji citra
dan berupaya melalui proses penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai arti
pentingnya obyek yang tergambar pada citra. Dengan kata lain maka penafsir citra berupaya
untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra dan menterjemahkannya ke dalam disiplin
ilmu tertentu seperti geologi, geografi, ekologi, dan disiplin ilmu lainnya. Di dalam pengenalan
obyek yang tergambar pada citra, ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu deteksi,
identifikasi, dan analisis (Sutanto, 1994).
Perbaikan radiometrik adalah teknik perbaikan atau penajaman citra dengan memperbaiki
nilai dari individu-individu piksel pada citra. Berbeda dengan perbaikan spasial (spatial
enhancement) yang memperbaiki nilai suatu piksel berdasarkan piksel-piksel yang ada di
sekitarnya. Perbaikan citra pada suatu band adalah sangat unik dan biasanya tidak cocok dengan
band lainnya, karena sangat bergantung pada nilai statistik piksel-piksel yang terdapat pada
setiap band. Kegiatan interpretasi citra maupun foto udara dilakukan dengan memperhatikan
kriteria/unsur interpretasi, yaitu terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola,
bayangan, situs dan asosiasi (Sutanto, 1994).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu


Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari 2018 sampai dengan bulan Juni
2018. Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data citra Landsat dikawasan pesisir pantai
Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar dari tahun 2008-2017. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis deskriptif kuantitatif. Pengolahan data
yang deilakukan meliputi pengorganisasian data, perhitungan perubahan garis pantai dan
perhitungan tingkat akurasi.

Gambar 4. Lokasi Penelitian

Table 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2018

Tahun 2018
No Kegiatan
Jan Feb Mer Apr Mei Jun
1 Studi Literatur
2 Pengumpulan Data
3 Pengolahan Data
4 Analisis Data
5 Penyusunan Lapaoran
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

Table 3. Alat dan Bahan Penelitian

No Alat dan Bahan Jumlah Kegunaan


1 GPS 1 Untuk mengetahui titik kordinat
pengambilan titik
2 Laptop 1 Untuk mendownload dan mengolah data
3 Data Citra Landsat Tahun Sumber data yang akan didownload dan
2008-2017 diolah
4 Aplikasi ENVI 1 Aplikasi yang akan digunakan untuk
mengolah data
5 Aplikasi arcGIS 1 Aplikasi yang akan digunakan untuk
mengolah data

3.3 Prosedur Kerja


Adapun prosedur kerja dari penelitian ini adalah :
1. Tahap memperoleh citra
Tahapan pertama atau awal yang perlu dilakukan adalah mendownload data citra Landsat
dari situs resmi USGS.
2. Proses Pra-Interpretasi
Setelah selesai mendownload data langkah selanjutnya yaitu melakukan pengolahan
terhadap data citra. Proses ini menggunakan aplikasi ENVI. Pada tahap ini selain
persiapan software, dilakukan juga persiapan vektor file dari daerah penelitian untuk
membuat ROI (Region Of Interest) yang akan digunakan untuk memotong citra yang
diinginkan untuk wilayah penelitian.
3. Proses mendigitasi/interpretasi citra
Data citra yang sudah selesai disiapkan, selanjutnya dilakukan proses
mendigitasi/interpretasi citra agar dapat dilakukan proses pengolahan berikutnya. Proses
digitasi yang dilakukan akan menghasilkan peta garis pantai dalam bentuk Shapefile yang
nantinya dilakukan proses selanjutnya yaitu pengolahan pada ArcGIS sehingga
perubahan garis pantai dapat diketahui.
4. Tahap mengoverlay garis pantai
Pada tahap ini digunakan aplikasi ArcGIS yang digunakan untuk pengolahan data
berikutnya. Penggunaannya dilakuakn dengan membuka file shp yang telah dilakukan
proses digitasi yaitu shapefile
5. Output (layout peta)
Tahap akhir dari proses pengolahan data citra adalah pembuatan berupa peta perubahan
garis pantai, baik itu berupa softcopy maupun hardcopy.
Daftar Pustaka

Balai Wilayah Sungai Bali-Penida (2010). Penanganan erosi pantai di pulau bali sampai tahun
2009. Ditjen sumber daya air.

Boak, E. H., & Turner, I. L. (2005). Shoreline Definition and Detection: A Review. Journal of
Coastal Research, 21(4), 688–703.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT. Gramedia: Jakarta

Dahuri, R.. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
P.T.Pradnya Paramita: Jakarta

Damaywanti, K. 2013. Dampak Abrasi Pantai terhadap Lingkungan Sosial. Seminar Nasional
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (hal. 363-367). Semarang: Magister Ilmu
Lingkungan UNDIP

Dawin, 2017. Analisis Perubahan Garis Pantai Dengan Menggunakan Citra Penginderaan Jauh
(Studi Kasus Di Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara. Medan

Djau MS. 2012. Analisis keberlajutan perikanan di kawasan konservasi laut daerah (KKLD)
Olele dan perairan sekitarnya Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. [Tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.

KKP. (2014). Undang-undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta, Indonesia:
Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Lillesand dan Kiefer, 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri (Penerjemah).
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Lo, C.P. 1995. Penginderaan jauh Terapan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Pemprov Bali. (2009). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD Provinsi Bali Tahun 2005-2025. Pemerintah
Daerah Provinsi Bali.

Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT. Grasindo. Jakarta.

Rakhmawaty, M. 2009. Kajian Sumberdaya Pantai Untuk Pengelolaan Taman Rekreasi Pantai
Kartini Kabupaten Kembang Jawa Tengah.Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Riswan. 2001. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Konservasi dan Peng elolaan
Lingkungan. Medan.
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Tarigan, M. S. (2007). Perubahan garis pantai di wilayah pesisir perairan Cisadane, Provinsi
Banten

Triatmojo, B. (1999). Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta.

Yuwono, N., 1982, Teknik Pantai Volume I, Biro Penerbit Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Yuwono, Nur. 2005. Draft Pedoman Pengamanan dan Penanganan Pantai. Jakarta : Departemen
Pekerjaan Umum.

Anda mungkin juga menyukai