Anda di halaman 1dari 10

Permasalah Kawasan Pesisir di Kalimantan Barat, Indonesia dan Australia

Oleh : Fajriati Lestari (D1091171011), Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota 2017

Wilayah pesisir atau coastal zone adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang
alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay dan Alder 1999
dalam Asyiawati, 2010). Sorensen dan McCreary (1990) dalam Asyiawati (2010) mendefinisikan
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan yang didefinisikan sebagai
daerah interface atau daerah transisi dimana segala macam proses yang terjadi tergantung dari
interaksi yang sangat intens dari daratan dan lautan. Dengan demikian, wilayah pesisir meliputi
suatu kawasan peralihan antara ekosistem dan daratan yang sempit, dengan garis rata-rata pasang
tertinggi sampai 200 meter ke arah darat dan ke arah laut meliputi garis pantai pada saat rata-rata
pasang terendah. Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem
darat dan laut. Batas wilayah pesisir ke arah darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses kelautan (seperti pasang surut, percikan air gelombang, intrusi air laut dan angin
laut), sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi
oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan, termasuk air sungai dan aliran air
permukaan (run off), sedimentasi, pencemaran dan antara lain yang merupakan penghubung
(channels) bagi dampak yang dihasilkan dari kegiatan manusia di daratan ke lingkungan laut. Pada
dasarnya pemahaman tentang pengertian wilayah pesisir sangat beragam dan berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Perbedaan pengertian wilayah pesisir ini bergantung pada penentuan batas
definitif dari wilayah pesisir baik ke arah darat maupun ke arah laut.

Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan
antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak arbitrer dari rata-
rata pasang tertinggi (mean high tide) dan batas ke arah laut adalah batas yuridiksi wilayah atau
negara. Definisi lain menerangkan bahwa wilayah pesisir merupakan suatu sistem yang terdiri dari
beberapa sumberdaya yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan maupun
sumberdaya dana yang merupakan satu kesatuan dan saling berinteraksi antara satu dengan yang
lainnya. Secara umum wilayah pesisir merupakan kawasan yang mempunyai sumberdaya alam
yang potensial untuk dikembangkan, sehingga secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan wilayah pesisir perlu memperhatikan keterpaduan
dan keberlanjutan agar sumberdaya yang ada (terutama sumberdaya yang tidak dapat pulih), tidak
punah dan tidak terjadi degradasi sumberdaya.

Dalam Pasal 1 UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (Anonim 2007c) dijelaskan bahwa wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara
ekosisten darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, yang mempunyai
keanekaragaman sumberdaya pesisir. Sumberdaya pesisir tersebut terdiri dari sumberdaya hayati
(meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lainnya); sumberdaya
nonhayati (meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut); sumberdaya buatan (meliputi infrastruktur
laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan); dan jasa-jasa lingkungan (berupa keindahan
alam, permukaan dasar laut, tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan
serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir). Wilayah pesisir mempunyai tiga
karakteristik, yaitu : 1) Merupakan wilayah pertemuan antara berbagai aspek yang ada di darat,
laut dan udara, yang merupakan bentuk dari hasil keseimbangan dinamis suatu penghancuran dan
pembangunan dari ketiga unsur tersebut; 2) Berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) dan
habitat dari berbagai jenis sumberdaya hayati; 3) Memiliki tingkat kesuburan yang tinggi karena
merupakan sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan laut.

Wilayah pesisir terdiri dari bermacam-macam aktivitas manusia yang mempengaruhi


wilayah pesisir secara langsung dan tidak langsung, baik di lingkungan daratan maupun
lingkungan perairan (Chua 2006). Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir itu
merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub sistem lingkungan daratan dan lingkungan perairan
serta aktivitas manusia baik aktivitas sosial maupun ekonomi. Secara diagramatis dapat
dideskripsikan seperti Gambar 1.
Dari Gambar 1 dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir merupakan suatu sistem pesisir
dimana pada wilayah pesisir terdapat berbagai komponen yang mengisi ruang wilayah
(permukiman, sumberdaya manusia beserta kegiatannya, sumberdaya alam, sarana dan prasarana)
yang saling berinteraksi dalam suatu bentuk saling ketergantungan yang teratur untuk mencapai
tujuan. Tujuan dari interaksi antar subsistem yang terdapat dalam sistem wilayah pesisir adalah
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu untuk mewujudkan keserasian dan keseimbangan
lingkungan pesisir di masa yang akan datang.
Daerah pesisir dan laut merupakan salah satu dari lingkungan perairan yang mudah
terpengaruh dengan adanya buangan limbah dari darat. Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan
perairan pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan
hanya merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian,
tetapi merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan minyak bumi
serta pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia,
perairan pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran.
Di daratan pesisir, terutama di sekitar muara sungai besar, berkembang pusat-pusat
pemukiman manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar muara sungai besar dan tersedianya
prasarana angkutan yang relatif mudah dan murah, dan pengembangan industri juga banyak
dilakukan di daerah pesisir. Jadi tampak bahwa sumberdaya alam wilayah pesisir Indonesia telah
dimanfaatkan secara beranekaragam. Namun perlu diperhatikan agar kegiatan yang
beranekaragaman dapat berlangsung secara serasi. Suata kegiatan dapat menghasilkan hasil
samping yang dapat merugikan kegiatan lain. Misalnya limbah industri yang langsung dibuang ke
lingkungan pesisir, tanpa mengalami pengolahan tertentu sebelumnya dapat merusak sumber daya
hayati akuatik, dan dengan demikian merugikan perikanan. Lingkungan pesisir terdiri dari
bermacam ekosistem yang berbeda kondisi dan sifatnya. Pada umumnya ekosistem kompleks dan
peka terhadap gangguan. Dapat dikatakan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan
pengembangannya di manapun juga di wilayah pesisir secara potensial dapat merupakan sumber
kerusakan bagi ekosistem di wilayah tersebut. Rusaknya ekosistem berarti rusak pula sumber daya
di dalamnya. Agar akibat negatif dari pemanfaatan beranekaragam dapat dipertahankan sekeci-
kecilnya dan untuk menghindari pertikaian antarkepentingan, serta mencegah kerusakan ekosistem
di wilayah pesisir, pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan wilayah perlu berlandaskan
perencanaan menyeluruh dan terpadu yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi dan ekologi.
Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumber daya pesisir
dan lautan di Indonesia yaitu : pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumber daya
alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan
bencana alam.

a) Permasalahan Kawasan Pesisir di Kalimantan Barat (Perubahan Garis Pantai di


Perairan Batu Burung Singkawang oleh Gelombang Laut)
Kawasan Batu Burung Singkawang merupakan perairan yang berhadapan langsung
dengan laut Natuna yang mempunyai perbedaan kondisi geografis dan merupakan wilayah
dengan topografi yang cukup datar dengan kemiringan antara 0-8% pada ketinggian antara
0-12 meter di atas permukaan laut.

Gambar 2 : Peta Lokasi Perubahan Garis Pantai Perairan Batu Burung

Perubahan garis pantai di perairan Batu Burung diketahui berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan FMIPA Universitas Tanjungpura
(Apriansyah, Arie A. Kushadiwijayanto, Risko). Berdasarkan penelitian tersebut
disimpulkan bahwa tinggi gelombang signifikan (Hs) di perairan Batu Burung Singkawang
diperoleh ketinggian maksimal hingga 0.13 meter dengan frekuensi gelombang antara 0.12
– 0.71 Hz dan energi gelombang sebesar 21.87 Joule/m. Salah satu gaya pembangkit
gelombang tersebut adalah kecepatan angin. Rata-rata kecepatan angin maksimum pada
musim barat dan timur adalah 5.06 m/s dan 5.46 m/s.
Hasil analisis perubahan garis pantai selama 10 tahun terlihat adanya abrasi dan akresi
yang terjadi masing-masing pada setiap bagian (grid A dan B). Pada grid A jarak pergeseran
garis pantai ke arah darat berkisar 3.8-16.4 meter dan akresi dengan jarak garis pantai ke
arah laut berkisar 1-39.8 meter sepanjang 2.03 km, sedangkan pada grid B garis pantai ke
arah darat berkisar 2.6-36.6 meter dan akresi dengan jarak garis pantai ke arah laut berkisar
3.2-18 meter sepanjang 2.12 km garis pantai.
Hasil ini menunjukkan bahwa besarnya perubahan garis pantai yang terjadi diduga
karena pengaruh dari akibat besarnya energi gelombang yang terjadi di perairan Batu Burung
Singkawang. Hal ini dibuktikan dengan hasil dari nilai energi maksimum gelombang yang
didapatkan di perairan Batu Burung Singkawang sebesar 21.87 Joule/m. Faktor lain yang
menyebabkan perubahan garis pantai adalah kecepatan arus. Kecapatan arus maksimum
yang diperoleh selama pengamatan di perairan Batu Burung Singkawang adalah sebesar 0.75
m/s. Gelombang dan arus ini sama-sama saling erat kaitannya dimana arus dapat terbentuk
akibat angin yang bertiup, dapat juga disebabkan oleh gelombang yang membentur pantai
secara miring sehingga akan merusak pantai. Mekanisme transfer energi yang terjadi terdiri
dari dua bentuk yaitu akibat adanya variasi tekanan angin pada permukaan air yang diikuti
oleh pergerakan gelombang dan akibat transfer momentum dan energi dari gelombang
frekuensi tinggi ke gelombang frekuensi rendah.

b) Permasalahan Kawasan Pesisir di Indonesia (Jawa Barat, Indonesia)


Jawa Barat memiliki kawasan pesisir dan laut yang potensial untuk dikembangkan
dengan cara memanfaatkan wilayah pesisir dan laut tersebut melalui berbagai kegiatan
pembangunan guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Panjang garis pantai propinsi
Jawa Barat membentang di utara dari Kabupaten Cirebon sampai Kabupaten Bekasi
sepajang kurang lebih 365 km dan di selatan membentang dari Kabupaten Ciamis sampai
Kabupaten Sukabumi sepanjang kurang lebih 355 km. Kawasan pesisir Jawa Barat dapat
dikelompokkan menjadi dua kawasan, yaitu kawasan pesisir utara (Pantai Utara Jawa), dan
kawasan pesisir selatan (Pantai Selatan Jawa). Kedua kawasan memiliki beberapa
perbedaan, baik yang menyangkut karakteristik fisik, potensi sumberdaya dan ekosistem
maupun tingkat pembangunan dan tekanan lingkungan.
Akan tetapi dibalik potensi yang dimiliki, terdapat berbagai permasalahan yang
menjadikan semakin tidak optimalnya pengelolaan wilayah pesisir dan laut tersebut.
Permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir pantai Jawa Barat pada umumnya meliputi
terjadinya perubahan fungsi lahan, intrusi air laut, abrasi dan akresi pantai, kerusakan dan
berkurangnya luasan mangrove dan terumbu karang.
Sebagai gambaran permasalahan wilayah pesisir pantai Jawa Barat, berikut ini
disajikan perbandingan kasus yang terjadi di pesisir pantai selatan dengan pesisir pantai
utara.
 Perubahan fungsi lahan dari pantai pasir menjadi lahan pertambakan (terlihat pada
landsat 1990 dengan spot 2003)
 Berkurangnya hutan bakau sebanyak 6.000 batanng di Legan kulon dan
Pusakanagara (Rakornis, 2002).
 Abrasi pantai sepanjang 5 m/thn di Legan kulon dan Pusakanagara dan timbulnya
tanah timbul di Pamanukan; pada tahun 1999 tercatat bahwa di Kabupaten Subang
terjadi tanah timbul 3.441 Ha dan tahun 2002 tercatat 6.000 Ha, sedangkan tanah
yang hilang seluas 164 Ha (tahun 1999).
 Potensi pencemaran dari ceceran solar perahu nelayan di blanakan.

Gambar 3: Perbandingan dari landsat 1990 dan spot 5 2003 untuk menggambarkan terjadinya perubahan fungsi
lahan di pesisir utara Kabupaten Subang
Sumber: BPLHD, Jabar.
Gambar 4 : Beberapa kasus kerusakan pesisir pantai utara Jawa Barat diakibatkan oleh abrasi, akresi,
penambangan pasir, dan perubahan fungsi lahan
Sumber: BPLHD, Jabar.

c) Permasalahan Kawasan Pesisir di Dunia (Australia)

Pesisir Australia sedang mengalami tekanan yang besar oleh manusia. Menurut data
statistik, 86% penduduk Australia tinggal di daerah pesisir (Natural Resource Management
Ministerial Council 2006, hal.44). Tekanan-tekanan ini termasuk meningkatnya jumlah
penduduk dan pergeseran demografis, industri pariwisata dan berkembangnya industri baru,
termasuk akuakultur, penurunan jumlah habitat di air dan kualitas air dan perkiraan dampak
dari perubahan iklim (Natural Resource Management Ministerial Council 2006, CES
2008a). Diambil dari National State of Environment Reports (DEST 1996, Environment
Australia 2001, DEH 2006), semakin jelas bahwa tekanan ini menambah beban di wilayah
pesisir. The Australian State of the Environment Committee menyatakan, “Tidak ada isu
baru sejak tahun 2001. Namun ada kebutuhan yang mendesak untuk mencegah penurunan
kualitas lingkungan yang walaupun sangat kecil namun bersifat menerus dan kumulatif,”
(DEH 2006, hal.49). Maka dapat disimpulkan bahwa diperlukan adanya ‘pembaruan dalam
sistem pemerintahan, dari pendekatan yang jangka pendek dan sektoral menuju pendekatan
yang lebih sistematik, terintegrasi, dan terencana dalam pengelolaan dan pemantauan’ (DEH
2006, hal.102).
Wilayah pesisir Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi yang signifikan
yang menyebabkan perubahan dalam demografi spasial dan bentuk lingkungan hidup. State
of the Environment Report tahun 2006 (DEH 2006) memperkirakan lebih dari 86 persen
penduduk Australia tinggal di wilayah pesisir dan meramalkan akan terjadi migrasi internal
yang telah terjadi selama 10 tahun belakangan (2001 – 2011).

Gambar 5 : Peta Perubahan Populasi Tahun 2001-2011

Seperti yang tergambar pada peta, pertumbuhan penduduk terdapat pada pantai timur
Australia antara Sydney dan Brisbane, juga pada kota-kota satelit Melbourne dan bagian
selatan Perth di Australia Barat. Migrasi penduduk ke daerah pesisir telah menciptakan
‘perubahan muka laut’ dan telah menjadi topik diskusi publik dan akademik (Salt 2001,
Burnley & Murphy 2004, Hugo 2004, Smith & Doherty 2006, Gurran et al. 2008).
Burney & Murphy (2004) menyatakan, “The movement of Australians from
metropolitan cities to non-metropolitan parts of the country has been the focus by social
scientists since the mid 1970s. Around then, for the first time in the 20th century, the
demographic dominance of the large cities appeared to be on the wane and country areas
seemed to be on the verge of a demographic and economic renaissance. We refer to this as a
‘sea change’.” (Burnley & Murphy 2004, p.ix) Namun pernyataan di atas tidak hanya tertuju
pada kawasan pesisir, tapi juga berlaku untuk semua perubahan pemanfaatan ruang.
Ditekankan pula bahwa perubahan di Australia sebagian besar terjadi di pesisir timur bagian
selatan,pada kota-kota satelit, dan sebagian di pesisir Australia Selatan dan Australia Barat.
erlu diketahui bahwa migrasi ke wilayah pesisir tidak hanya datang dari kota-kota
metropolitan, namun juga pada kota-kota nonmetropolitan. Smith & Doherty (2006) pada
latar belakang makalah untuk National State of Environment Report 2006 mempelajari lebih
jauh tentang konsep perubahan muka laut dengan menitikberatkan kepada ‘tekanan-tekanan’
yang ada seperti: pertumbuhan penduduk pesisir, pariwisata, perubahan dan variasi iklim,
dan pengaturan tata kelola pemerintahan. Smith & Doherty (2006, hal.10) menyatakan
bahwa suburbanisasi wilayah pesisir menimbulkan dua jenis tekanan, yang pertama
tekananan ‘langsung’ yang terjadi pada lingkungan hidup sebagai akibat pembangunan
pesisir dan, yang ke dua, tekanan ‘terus-menerus’ akibat pengelolaan pengembangan kota
seperti air pembuangan.
Dampak-dampak yang terjadi akibat tekanan tersebut antara lain;
 Miningkatnya pengembangan wilayah pesisir
 Bergesernya garis pasang surut
 Meningkatnya suhu permukaan laut yang berdampak pada ekosistem laut dengan
bertambahnya tingkat oksidasi
 Produksi dampak perubahan iklim di pesisir Victoria termasuk kekeringan,
kebakaran lahan, gelombang badai dan peningkatan permukaan air laut
 Degadrasi lingkungan secara kontinyu pada wilayah pesisir, estuary, dan laut.
Daftar Pustaka

M.Tumengkol, Drs. Selvie. 2013. Potensi dan Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir dan
Lautan, Universitan Sam Ratulangi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Manado

Butaru, Redaksi. From integrated coastal management (ICM) to sustainable coastal planning
Pendekatan baru dalam Penguatan Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terintegrasi

Asyiawati, Yulia. Identifikasi Dampak Perubahan Fungsi Ekosistem Pesisir Terhadap


Lingkungan Di Wilayah Pesisir Kecamatan Muaragembong, Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota

Anda mungkin juga menyukai