Anda di halaman 1dari 17

Pemetaan Batimetri Perairan Laut Dangkal di Perairan Teluk

Benoa, Kabupaten Badung, Bali Menggunakan Data Citra Satelite


Landsat 8 OLI/TIRS

PROPOSAL METODE PENELITIAN

Oleh:
IDA BAGUS ANDIKA PUTRA ANOM
1514511032

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
BADUNG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batimetri merupakan ukuran kedalaman daerah perairan laut yang diukur dari
permukaan air. Istilah batimetri (bathymetry) berasal dari bahasa yunani yang
didefisinikan sebagai pengukuran dan pemetaan topografi dasar laut (pipkin et al,
1987). Peta batimetri memberikan informasi bahwa dasar lautan bukanlah suatu
permukaan yang sederhana tetapi memiliki struktur, bentuk dan penampakan yang
sangat beragam. Pemetaan batimetri di perairan memiliki peran penting bagi
masyarakat di wilayah pesisir maupun di bidang Pendidikan. (Sager, 1998) Batimetri
perairan dangkal sangat penting untuk studi morfologi dasar laut, pengelolaan dan
manajemen sumber daya zona pesisir. Selain itu informasi batimetri juga dapat
digunakan dalam pembuatan peta lainnya, seperti pemetaan kondisi habitat karang.
Dewasa ini, teknologi dalam pemetaan batimetri di era sekarang terus berkembang
pesat, salah satu pengaplikasiannya adalah penginderaan jauh. Teknologi penginderaan
jauh ini telah banyak digunakan dan diterapkan karena lebih efektif dan efisiens dari
pada pengukuran di lapangan secara langsung. Prinsip dasar penggunaan penginderaan
jauh untuk memetakan batimetri adalah bahwa panjang gelombang setiap band dari
satelit dapat menembus air pada kedalaman tertentu sesuai dengan panjang
gelombangnya masing-masing. Akurasi informasi yang dideteksi oleh sensor dari
satelit sangat dipengaruhi oleh kondisi perairannya, oleh karena itu untuk mendapatkan
hasil informasi batimetri yang terbaik dibutuhkan kejernihan air pada wilayah perairan
tersebut. (Lillesand dan Kiefer, 1994)
Perairan Teluk Benoa dapat dikatakan sebagai salah satu wilayah perairan yang
sangat penting bagi Pulau Bali, khususnya bagi Kabupaten Badung. Teluk Benoa
menjadi muara bagi dua sungai besar yaitu Sungai Badung dan Sungai Mati, serta
menjadi tempat tumbuhnya 1373,5 Ha tumbuhan mangrove (Kemenhut, 1993;
Wiyanto dan Faiqoh, 2015) yang merupakan paru-paru kota Denpasar dan kabupaten
Badung serta merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal penangkap ikan di dermaga
pelabuhan benoa (I G. Hendrawan dkk, 2016). Teluk Benoa merupakan tipologi teluk
semi tertutup yang masih dipengaruhi oleh air tawar yang berasal dari aliran sungai.
Teluk Benoa merupakan teluk intertidal yang relatif dangkal, sehingga sebagian besar
dasar laut terlihat pada waktu air surut rendah (Sudiarta, K., dkk. 2013). Perairan Teluk
Benoa memiliki rerata total akumulasi deposit bersih sedimen atau sedimentasi yang
dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan dengan meningkatnya ketebalan lapisan
dasar laut karena terbawanya berbagai material dan kandungan padatan tersuspensi
oleh aliran sungai yang dapat mempercepat proses pendangkalan di perairan pantai.
(Izhad, Miftachurrozaq. 2016) sehingga untuk memanfaatkan dan menginventarisasi
sumber daya laut di perairan Teluk Benoa dengan optimal, serta untuk mendukung
studi-studi kelautan dan eksplorasi sumber daya alamnya, diperlukan data-data
batimetri sebagai modal utama dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah.
Mengingat masih belum banyaknya penelitian yang dilakukan berhubungan
dengan batimetri di perairan Teluk Benoa, serta pentingnya data tersebut untuk studi
ekosistem perairan maupun pengelolaan dan manajemen sumber daya zona pesisir
maka dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap ukuran kedalaman dan etakan
batimetri di perairan Teluk Benoa.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana memetakan perairan laut dangkal di perairan kawasan Teluk
Benoa dengan menggunakan citra satelite Landsat 8 ?
2. Bagaimana akurasi citra satelit yang digunakan terhadap indeks kedalaman
dengan menggunakan formula Root Mean Square Error (RMSE) ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memetakan perairan laut dangkal di perairan kawasan Teluk Benoa dengan
menggunakan citra satelite Landsat 8
2. Mengetahui akurasi citra satelit yang digunakan terhadap indeks kedalaman
dengan menggunakan formula Root Mean Square Error (RMSE).
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian dengan judul Pemetaan
Batimetri Perairan Laut Dangkal di Perairan Teluk Benoa, Kabupaten Badung, Bali
Dengan Menggunakan Data Citra Satelite Landsat 8 OLI/TIRS yakni dapat
memberikan informasi kedalaman di Perairan Teluk Benoa yang dapat digunakan
untuk menunjang studi ilmiah lainnya yang lebih spesifik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perairan Laut Dangkal


Menurut Nyabakken (1992) laut dangkal yaitu wilayah perairan dekat dan
berbatasan dengan daratan berada pada zone neritik pelagik. Perairan ini berada di
pinggiran daratan utama, lautan sangat dangkal menutupi bawah air benua yang disebut
paparan benua yang mencakup 7-8 % seluruh luas lautan, mempunyai kemiringan
sangat landai dari pantai samapai kedalaman 200 m.
Perairan laut dangkal dalam istilah oseanografi didefinisikan sebagai wilayah yang
terbentang mulai dari batas pantai sampai dengan kedalaman 200 m. Namun dalam
lingkup penginderaan jauh, perairan laut dangkal yang dimaksud merujuk pada
kemampuan citra satelit dalam menembus kolom perairan. Pemetaan perairan dangkal
dilakukan sampai batas kedalaman yang dapat dideteksi oleh sensor satelit. Khusus
untuk perairan dangkal yang relatif jernih metode penginderaan jauh optik mampu
menembus kedalaman perairan maksimal 25 m dan akan berkurang seiring semakin
keruhnya perairan (Green et al., 2000).
Sistem penginderaan jauh pasif hanya mampu mengestimasi kedalaman perairan
dangkal kurang lebih sampai kedalaman 30 m (Lyzenga 1978). Pada beberapa tempat
bahkan kurang dari 30 m, seperti Perairan Great Barrier Reef hanya mampu
mengestimasi kedalaman sampai dengan 11 meter. Stumpt et al. (2003) mampu
mengestimasi kedalaman pada perairan yang sedikit keruh sampai dengan kedalaman
25 meter. Penginderaan jauh sistem pasif untuk penelitian perairan dangkal banyak
memanfaatkan gelombang tampak (400-750 nm) yang terbagi pada saluran biru, hijau,
dan merah. Kemampuan penetrasi gelombang elektromagnetik di kolom air sangat
dipengaruhi karakteristik perairan tersebut. Guntur, dkk. (2012) menambahkan bahwa
semakin keruh air laut maka daya tembus kedua spektrum tersebut (band hijau dan
biru) akan semakin berkurang.
2.2 Batimetri
Istilah batimetri (bathymetry) berasal dari bahasa yunani yang didefisinikan
sebagai pengukuran dan pemetaan topografi dasar laut, (pipkin et al, 1987).
Poerbandono dan Djunarsjah (2005), menjelaskan bahwa batimetri adalah proses
penggambaran dasar perairan sejak pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya.
Batimetri perairan dangkal biasanya dapat dicirikan dari warna pada beberapa habitat,
seperti daerah terlindung, daerah cukup terlindung, dan daerah terekspos atau tak
terlindung (Green et al., 2000).
Batimetri atau kedalaman air laut merupakan ukuran kedalaman daerah perairan
laut yang diukur dari atas permukaan air ke dasar laut . Peta batimetri adalah data
spasial yang berisi informasi kedalaman suatu daerah peraiaran. Informasi batimetri
dapat mengambarkan tentang kondisi struktur dan bentuk dasar perairan dari suatu
daerah. Pemetaan batimetri di perairan dangkal memiliki peran penting untuk
perikanan, keselamatn pelayaran serta aktivitas kelautan . Teknologi pemetaan
batimetri terus berkembang , pertama kali batimetri diukur menggunakan tali. Metode
ini sulit dan hasilnya hampir selalu kurang akurat karena sangat tergantung arus air
dibawah permukaan yang dapat menarik tambang dan pemberat sehingga kedalaman
yang dihasilkan seringkali tidak tepat. Kemudian teknik pengukuran mengalami
perkembangan dengan ditemukannya echo sounder , dengan alat tersebut kedalaman
air lebih mudah diukur . Metode ini bekerja pada prinsip perambatan suara di dalam
air. Metode ini dapat menghasilkan kedalaman yang akurat untuk air yang dalam tetapi
metode tersebut sulit diterapkan di perairan dangkal (Sager, 1998). Namun sekarang
ini metode pengukuran kedalaman telah berkembang yaitu dengan menggunakan
sistem foto udara atau penginderaan jarak jauh dengan citra satelit. Prinsip dasar
penggunaan penginderaan jauh untuk memetakan batimetri adalah bahwa panjang
gelombang setiap band dari satelit dapat menembus air pada kedalaman tertentu sesuai
dengan panjang gelombangnya masing-masing. Pemetaan kedalaman perairan telah
banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan citra satelit. Citra satelit
yang umum digunakan untuk memetakan batimetri perairan terutama perairan dangkal
(shallow water), yaitu citra Landsat dan Landsat MSS, SPOT XS, dan Airborne MSS
(Green et al., 2000).
Umumnya pemetaan batimetri ini dilakukan dengan beberapa persyaratan kondisi
perairan, seperti kecerahan air yang cukup penting perannya pada saat satelit merekam
data. Perairan yang jernih memungkinkan sensor satelit untuk merekam data hingga ke
kedalaman lebih dari 30 m (Green et al., 2000). Hal ini berhubungan dengan atenuasi
cahaya pada perairan, dimana sensor satelit dengan cahaya biru dan hijau yang mampu
menembus hingga ke dasar perairan, sedangkan cahaya merah umumnya akan diserap
atau dihamburkan di kolom perairan sehingga tidak mampu menembus lebih jauh lagi
ke dasar perairan. Ada beberapa metode yang dikenal untuk memetakan batimetri,
seperti metode Benny dan Dawson, metode Jupp, Lyzenga dan metode Stumpf et al.
(2003) Algoritma yang dikembangkan oleh Stumpf, et al. (2003) digunakan untuk
mengekstrak nilai batimetri dengan melibatkan dua kanal yaitu kanal biru dan kanal
hijau. Kedalaman dasar perairan diturunkan dari rasio kanal citra satelit mengikuti
algoritma Stumpf et al. (2003)
2.3 Teknologi Penginderaan Jauh
Teknologi penginderaan jauh (Remote Sensing) banyak digunakan untuk penelitian
wilayah pesisir, termasuk pemetaan batimetri perairan dangkal. Teknologi ini
dipandang sebagai cara yang efektif dan effisien terutama didaerah yang sama sekali
belum ada data atau daerah yang berubah secara cepat. Sayangnya, Teknik ini terbatas
pada tingkat kemampuan cahaya menembus perairan yang berkisar antara 15-24 m,
(hanya pada perairan yang jernih/perairan karang). Meskipun demikian, banyak
penelitian diwilayah pesisir, seperti perikanan patai, erosi pantai, kualitas perairan,
tempat rekreasi dan lain-lain dilakukan pada perairan yang dangkal. Keuntungan lain
dari teknologi ini adalah bahwa peta perairan dangkal dapat direvisi dengan mudah dan
cepat setiap saatnya. (Wouthuyzen, Sam. 2001) Teknologi ini mampu mendapatkan
informasi secara sinoptik sehingga dapat mengamati fenomena yang terjadi di lautan
yang luas dan dinamis dan mampu memberikan informasi secara kontinu karena telah
diprogram melintas daerah yang sama dalam waktu tertentu. Pemetaan perairan
dangkal dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh (Lyzenga
1978; Lyzenga 1981; Spitzer and Dirks 1987; Hengel and Spitzer 1991; Bierwith 1993;
Leu and Chang 2005)
Teknologi penginderaan jauh memiliki beberapa keunggulan seperti memberikan
informasi secara kontinu, data yang dihasilkan berupa data digital dalam bentuk foto
atau citra yang memudahkan manusia untuk mengolahnya, cakupan daerah yang
diobservasi luas dan mampu mendeteksi daerah yang sulit dijangkau atau berbahaya
bagi manusia, dan tidak memerlukan pengeluaran yang besar karena biayanya yang
relatif murah. Teknologi ini juga dapat menimbulkan permasalahan apabila terjadi
variasi pemantulan yang signifikan pada karakteristik substrat dasar sehingga perlu
dilakukan validasi data kedalaman yang biasanya menggunakan metode survei lapang.
Dibutuhkan suatu uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian
dari data atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. (Ahmad, Mustary.
2013)
Metode penginderaan jauh juga memiliki kelemahan yang cukup signifikan.
Kelemahan yang utama adalah sifat pengukurannya yang tidak langsung ini tentunya
hanya menghasilkan suatu dugaan dan dugaan bagaimanapun akan mengandung
kesalahan (eror). Jadi jika ditinjau dari keakuratan dan ketelitian pengukuran maka
observasi langsung jelas masih lebih unggul. Kelemahan yang lain adalah metode ini
sangat mengandalkan sifat-sifat radiasi gelombang elektromagnetik yang sebenarnya
sangat terbatas daya tembusnya di dalam air. Jadi pendeketan untuk mengatasi masalah
tersebut adalah metode penginderaan jauh harus dikombinasikan dengan metode
pendugaan yang lain yaitu pendekatan dengan algoritma. (Praseno,1991).
Gambar 1. Satelite Landsat 8 OLI/TIRS
Salah Satu teknologi penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk interpretasi
kedalaman perairan dangkal adalah satelite Landsat 8. Landsat-8 merupakan Landsat
yang diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013 yang menggunakan dua sensor yaitu
sensor Operational Land Imager (OLI) dan sensor Thermal Infrared Sensor (TIRS)..
Sensor Operational Land Imager (Sensor OLI), terdiri atas 9 Band. Band yang
digunakan untuk interpretasi kedalaman perairan dangkal ini adalah band 2 (visible
blue) dan band 3 (visible green). Band-2 memiliki panjang gelombang berkisar dari
0.45 - 0.51 m dengan resolusi 30 m sedangkan band-3 memiliki panjang gelombang
berkisar dari 0.53 - 0.59 m dengan resolusi 30 m. Kanal biru (400-450 nm) merupakan
salah satu kanal baru yang tingkat absorbsi di kolom airnya paling kecil dan baik untuk
penelitian batimetri (DigitalGlobe, 2009). Penggunaan kanal hijau pada citra satelit
paling efektif untuk aplikasi batimetri (Doxani et al., 2012). Akurasi informasi yang
dideteksi oleh sensor dari satelit sangat dipengaruhi oleh kondisi perairannya, oleh
karena itu untuk mendapatkan hasil informasi batimetri yang terbaik dibutuhkan
kejernihan air pada wilayah perairan tersebut (Sitti, Radiyah.2015). Jupp (1988)
menyimpulkan bahwa citra LANDSAT dapat digunakan dalam menentukan
kedalaman air, untuk band 1 memiliki kemampuan menembus kedalaman air hingga
kedalaman 5 meter, band 2 mampu menembus hingga kedalaman 25 meter, band 3
mampu menembus hingga kedalaman 15 meter sedangkan band 4 mampu menembus
hingga kedalaman 0,5 meter.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November 2017 yang bertempat di
kawasan perairan Teluk Benoa, Bali. Secara geografis Teluk Benoa berada pada posisi
845'27" LS dan 11513'11" BT. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan di
Laboratorium Geographic Information System (GIS) Fakultas Kelautan dan Perikanan
Universitas Udayana.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di perairan Teluk Benoa, Bali.

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat yang akan digunakan ketika di lapangan yaitu GPS untuk menentukan
kordinat pengambilan data kedalam, Echosounder untuk menentukan kedalaman
lapangan, kapal bermotor untuk transportasi pengambilan data lapangan dan alat-alat
tulis. Alat untuk pengolahan data citra yaitu sebuah personal computer dengan
spesifikasi Intel Core i5-7200U CPU @ 2.50GHz 2.71 GHz dengan RAM 4GB
yang dilengkapi dengan perangkat lunak SAGA GIS (2.1.2) untuk mengolah data citra
Landsat 8 OLI/TIRS, Arc GIS Desktop (2.14.3) untuk layout peta, dan Microsoft excel
untuk mengolah data statistik. Sedangkan Bahan yang digunakan meliputi data digital
citra Landsat 8 OLI/TIRS yang sudah terkoreksi geometric dengan menggunakan band
2 (biru) dan band 3 (hijau), Serta data Lapangan di perairan Teluk Benoa.
3.4. Diagram Alir Pengolahan Data
Proses pengolahan dimulai dari mengunduh citra satellite landsat 8. Data citra
satelite landsat 8 kemudian dipotong sesuai daerah yang diinginkan dan dikonversi
menjadi nilai reflectance menggunakan ToA ( Top of Atmospheric). Nilai reflectance
tersebut kemudian digunakan untuk menghitung nilai Transformasi Algoritma. Proses
pengolahan data dapat digambarkan dalam diagram alir seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian


3.5 Pengolahan Citra Landsat 8
Pengolahan citra dilakukan dengan menggunakan komputer yang dilengkapi
dengan software SAGA GIS 2.1.2 dan ArcGIS 2.14.3 yang bertujuan memperbaiki
kualitas citra agar lebih mudah diinterpretasi..
Pemrosesan citra dilakukan secara bertahap, yaitu pengolahan citra awal dan
pengolahan citra lanjutan. Pemrosesan citra awal meliputi Pemulihan citra (image
restoration) dan penajaman citra (image enhancement). Pemulihan citra terdiri dari
koreksi geometrik dan radiometric. Selanjutnya adalah tahap pengekstraksian citra
untuk memperoleh nilai reflektansi atau digital number (DN) citra dengan
menggunakan algoritma Stumpf et al (2003) yang telah dikembangkan.
Proses pemotongan citra (Cropping Datasheet) hanya dipilih pada lokasi penelitian
yang diperlukan saja yaitu perairan sekitar Pulau Tiga. Potongan citra ini digunakan
untuk mengekstrak nilai Digital Number (DN) pada area kajian (training area) yang
diteliti.
Objek laut dan yang lainnya perlu dibedakan, pembedaan dilakukan dengan
masking citra yaitu memberikan nilai nol untuk obyek bukan laut (menghilangkan
objek bukan laut). Tahapan ini diperlukan agar obyek bukan laut tidak memberikan
kontribusi dalam analisis data pada tahap selanjutnya, hal ini bertujuan untuk
memfokuskan area kajian ke daerah perairan pada saat pengolahan data citra.
3.5.1 Koreksi radiometric
Metode koreksi radiometrik yang digunakan pada penelitian ini adalah
menggunakan koreksi Top of Atmosphere (ToA) yang terdapat di aplikasi perangkat
lunak SAGA GIS 2.1.2. Koreksi ToA pada sensor OLI dilakukan dengan
mengkonversi nilai DN menjadi nilai reflectance menggunakan persamaan 1.
Kemudian citra dikoreksi sudut matahari untuk menghilangkan perbedaan nilai DN
yang diakibatkan oleh posisi matahari menggunakan persamaan 2. Posisi matahari
terhadap bumi berubah bergantung pada waktu perekaman dan lokasi obyek yang
direkam (USGS, 2017).
Keterangan :
' = ToA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari
M = Reflectance_Mult_Band_x , di mana x adalah nomor Band
A = Reflectance_Add_Band_x , di mana x adalah nomor Band
Q_cal = Nilai digital number ( DN )
= ToA reflektansi
= Sudut elevasi matahari
3.5.2 Transformasi Algoritma Ratio (Stumpf et al., 2003)
Algoritma ratio transform dikembangkan oleh Stumpf et al. Tahun 2003 yang
digunakan ntuk memetakan batimetri. Algoritma ini digunakan utuk perairan dengan
kedalaman lebih dari 25 meter pada perairan yang jernih. Algoritma ini menggunakan
nilai dari reflektance dari band 2 (blue) dan band 3 (green) pada citra satelit landsat 8.
Persamaan dari algoritma ini dapat dilihat seperti persamaan 3.

Kemudian algoritma tersebut dikembangkan menjadi persamaan 4.


2
= 1 . ln ( 3) 0 (4)

Keterangan :
Z = nilai kedalaman,
m1 = offset dari persamaan regresi logaritmik.
m0 = gain dari persamaan regresi logaritmik.
3.6 Analisa Korelasi dan Regresi
Penggunaan Analisa korelasi bertujuan untuk menentukan besarnya hubungan
antara data kedalaman dan hasil klasifikasi spectral (nilai digital) kedalaman dari
algoritma Stumpf et al (2003), sedangkan analisa regresi digunakan untuk menentukan
besarnya pengaruh setiap perubahan yang dilakukan terhadap koefisien atau variabel
nilai dari operasi penajaman yang dilakukan terhadap nilai kedalaman.
Analisa korelasi untuk variabel bebas (x) dan variabel terikat (y) adalah sebagai
berikut (Walpole, 1995) :

Sedangkan rumus untuk regresi digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh


yang diakibatkan adanya perubahan-perubahan pada setiap satuan variabel (x) dimana
nilainya ditentukan dengan besarnya koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi
(r2) adalah sebagai berikut :

Dimana koefisien a dan b ditentukan dengan rumus :

Dimana (n) sebagai jumlah populasi sampel yang akan diuji


Secara umum terdapat dua variabel hubungan antara data kedalaman dengan nilai
digital yang dihasilkan dari transformasi kedalaman yaitu hubungan positif (+) dan
negative (-). Maksud dari hubungan (+) adalah apabila nilai digital semakin tinggi
makan nilai kedalaman juga akan semakin dalam dan sebaliknya.
Hasil Analisa hubungan diharapkan dapat mewakili uji ketelitian dalam
mengetahui tingkat kebenaran dan ketelitian informasi dalam pemetaan kedalaman laut
dangkal.

3.7 Analisa Root Mean Square Error (RMSE)


Perhitungan kedalaman dengan survey echo sounder maupun dengan data
penginderaan jauh dipastikan akan terdapat kesalahan (eror). Untuk dapat menghitung
kesalahan tersebut dilakukan estimasi akurasi citra satelit untuk mengetahui apakah
data yang diperoleh dari citra satelit sesuai digunakan untuk pemetaan batimetri atau
tidak. Estimasi akurasi dilakukan dengan membandingkan data dari citra dengan data
hasil survey lapangan sebagai validasi data kedalaman. Kalkulasi nilai akurasi untuk
estimasi data satelit menggunakan formula Root Mean Square Error (RMSE) sebagai
berikut (Walpole, 1997) :

Keterangan :
ai = nilai dari survey lapangan
bi = nilai hasil dari citra
N = total number dari nilai validasi
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mustary. 2013. Pemetaan Batimetri Perairan Laut Dangkal Di Gugusan Pulau
Tiga, Kabupaten Natuna Dengan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2.
Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan. Institute Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. (2012). Badung Dalam Angka 2012. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Badung.
Bierwirth PN., Lee TJ, Burne. 1993. On-Line Algorithm Development. 1997.
http://atlas/marine/coastal_atlas/remote_sensing/AGSO1_docs/report1/AGSOre
pt1b.html [23 Mei 2004].
Digital Globe. (2009). White Paper The Benefits of the 8 Spectral Bands of Worlview-
2. Tersedia pada: http://www.digitalglobe.com/downloads/WorldView-2_8
Band_Applications_Whitepaper.pdf. [3 Juli 2013].
Doxani, G., Papadopoulou, M., Lafazani, P., Pikridas, C., & Tsakiri-Strati, M. (2012).
Shallow-water bathymetry over variable bottom types using multispectral
worldview-2 image. International Archives of the Photogrammetry, Remote
Sensing and Spatial Information Sciences, 39(8):159-164.
Guntur, D. Prasetyo, dan Wawan. (2012). Pemetaan Terumbu Karang Teori, Metode,
dan Praktek. Ghalia Indonesia. Bogor.
Green, E.P., P.J. Mumby, dan A.J. Edwards. 2000. Mapping bathymetry. h. 219-234.
In A.J. Edwards (Ed.), Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal
Management. Coastal Management Sourcebook 3. UNESCO, Paris.
Hendrawan, I. G., Uniluha, Devi.,Ranu Fajar, I Pt., (2016). Karakteristik Total Padatan
Tersuspensi (Total Suspended Solid) Dan Kekeruhan (Turbidity) Secara Vertikal
Di Perairan Teluk Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences 2 (2016)
29-33.
Izhad, Miftachurrozaq. 2016. Pemodelan Pola Sebaran Sedimen Untuk Analisis
Dampak Reklamasi Terhadap Pendangkalan Di Teluk Benoa. Departemen
Teknik Geomatika. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Jupp, D.L.B. 1988. Background and Extensions to Depth of Penetration (DOP)
Mapping in Shallow Coastal Waters. Proceedings of the Symposium on Remote
Sensing of the Coastal Zone. Gold Coast. Quennsland. IV.2.1 IV.2.19.
Kemenhut. (1993). Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 544/Kpts-II/93, tentang
penetapan Taman wisata alam prapat Benoa sebagai TAHURA Ngurah Rai.
Jakarta-Indonesia: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Leu, L., and Chang, H., 2005. Remotely Sensing in Detecting the Water Depths and
Bed Oad of Shallow Water and Their Changes, Ocean Engineering 32, pp. 1174-
1198.
Lillesand, T.M., Kiefer RW. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. 3rd ed.
xvi + 750 pp. New York.
Lyzenga DR. 1978. Passive Remote Sensing Techniques for Mapping Water depth and
Bottom Features.. Applied Optics. Vol. 17:pp. 379-383.
Lyzenga, DR. 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation
Parameter in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International
Journal of Remote Sensing, Vol. 2:pp 71-82.
Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. M. Eidman,
Koesoebiono, Dietrich G.B., Malikusworo H. Dan Sukristijono S, Penerjemah.
Jakarta : PT. Gramedia 459 hlm.
Paredes, J.M., Spero RE. 1983. Water Depth Mapping from Passive Remote Sesnsing
Data Under a Generalized Ratio Assumption. Applied Optics 22:1134-1378.
Pipkin, B.W., Gorsline, R.E. casey dan D.E. Hammond, 1987. Laboratory Exercises in
Oceanography. Second Edition. W.H. Freeman and Company. New York.
Poerbandono dan Djunarsjah, 2005. Survei Hidrografi. Refika Aditama. Bandung.
Praseno,D.P, B.Sc. 1991. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Di Bidang
oseanologi dan Perikanan Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-
LIPI. Jakarta
Sager, W. 1998. Measuring The Depth. Quarterdeck Online Winter 1998 / Spring 1999;
Vol. 6, No. 3.
Siti, Radiyah. 2015. Aplikasi Citra Landsat-8 Untuk Estimasi Potensi Produksi Rumput
Laut Di Kabupaten Bantaeng Tahun 2014. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Spitzer D. and Dirks RW. 1987. Bottom Influence on The Reflection of The Sea.
International Journal of Remote Sensing, Vol. 8:pp 279-290.
Stumpf, R. P. and Holderied, K., 2003. Determination of water depth with high-
resolution satellite imagery over variable bottom types, Liminology and
Oceanography, 48(1), pp. 547-556.
Sudiarta, K., dkk. (2013). Kajian Modeling Dampak Perubahan Fungsi Teluk Benoa
Untuk Sistem Pendukung Keputusan Dalam Jejaring KKP Bali. Conservation
International, Indonesia
USGS. 2017. Landsat 8 Data User Handbook version 2.0. Department of the Interior
U.S. Geological Survey
Van Hengel, W. and Spitzer D. 1991. Multi-temporal Water Depth Mapping by Means
of Landsat TM. International Journal of Remote Sensing 12:703-712.
Walpole, E. R. 1993. Pengantar Statistika Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Wiyanto, D. B., & Faiqoh, E. (2015). Analisis vegetasi dan struktur komunitas
Mangrove Di Teluk Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 1(1),
1-7.
Wouthuyzen, Sam. 2001. Pemetaan Perairan Dangkal Dengan Menggunakan Citra
Satelite Landsat -5 TM Guna Pakai Dalam Pendugaan Potensi Ikan Karang :
Suatu Studi di Pulau-Pulau Padaido. Balitbang Sumberdaya Laut. Puslitbang
Oseanologi. LIPI: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai