Disusun Oleh:
Dhica Dhamara
NIM. 26040121130063
Dosen Pengampu:
Dr. Ir. Chrisna Adhi Suryono, M.Phil.
NIP. 196406051991031004
1.2. Tujuan
1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor utama yang menyebabkan banjir rob
di Kecamatan Tugu.
2. Melakukan evaluasi terhadap upaya mitigasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat setempat guna mengatasi banjir rob.
3. Merumuskan solusi terintegrasi yang dapat diterapkan secara berkelanjutan dalam
mengatasi permasalahan banjir rob di Kecamatan Tugu.
1.3. Manfaat
1. Mengetahui factor utama penyebab banjir rob di Kecamatan Tugu.
2. Mampu menilai upaya mitigasi banjir rob yang telah dilakukan oleh pemerintah dan
Masyarakat setempat.
3. Menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan banjir rob di Kecamatan
Tugu, Kota Semarang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Banjir Rob
Global warming atau pemanasan global merupakan permasalahan bersama umat
manusia. Pemanasan global ditandai meningkatnya suhu bumi dan menyebabkan beberapa
fenomena maupun bencana salah satunya adalah sea level rise atau kenaikan muka air laut.
Kenaikan muka air laut ini selain menyebabkan erosi pantai seperti abrasi juga seringkali
diiringi dengan kejadian banjir rob, banjir yang disebabkan pasang tinggi. Banjir ini biasanya
akan segera surut kembali namun jika kondisi sekitar pantai nya sudah rusak atau drainase nya
buruk dapat menggenangi wilayah pesisir. Wilayah pesisir seringkali merupakan wilayah
perkembangan kebudayaan dan konsentrasi pembangunan, perkembangan perkotaan dan
aktivitas manusia terpusat terkonsentrasi di daerah tersebut. Aktivitas manusia untuk
menggunakan wilayah pantai menjadi tambak dan pemukiman membuat wilayah pesisir
menjadi lebih rentan. Beberapa desa atau kelurahan di Indonesia yang berada di pesisir bahkan
sudah ada yang sebagian besar wilayahnya tergenang permanen seperti Kecamatan Tugu di
Kota Semarang. Bencana banjir rob yang terjadi berulang kali menyebabkan masyarakat perlu
menyusun strategi untuk beradaptasi dengan kejadian tersebut baik adaptasi fisik, sosial,
maupun ekonomi sehingga dapat hidup berdampingan sekaligus mengurangi risiko bencana
banjir rob. Strategi adaptasi dalam menghadapi banjir rob berbeda antar wilayah bahkan untuk
tingkat desa, hal ini dikarenakan setiap wilayah mempunyai karakterisitik fisik maupun sosial
ekonomi yang berbeda-beda (Cahyadi et al., 2022).
Menurut Putri et al. (2022) kerusakan garis pantai tersebut disebabkan salah satunya
karena adanya perubahan tata guna lahan area hijau hutan mangrove menjadi area pemukiman
dan industri. Area hutan mangrove yang selama ini sebagai benteng alami penahan abrasi arus
air laut mengalami perubahan menjadi area yang ditempati oleh manusia dalam menjalankan
aktivitasnya hidupnya. Efek dari perubahan tata guna lahan tersebut mengakibatkan daerah
pesisir kota Semarang sangat rawan akan bencana banjir rob. Akibat dari banjir rob tersebut
menyebabkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat secara drastis menurun.
Beberapa dampak negatif lainya dari banjir rob ini antara lain kekurangan air bersih, rusaknya
fasilitas umum serta mengganggu mobilitas penduduk terlebih lagi kota Semarang berada
dijalur utama pantai utara jawa yang begitu ramai mobilitas penduduknya. Hutan mangrove
merupakan kelompok vegatasi seperti pohon, semak, palmae, dan paku-pakuan yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Secara ekologis hutan mangrove berperan sebagai sabuk
hijau guna melindungi wilayah pesisir dari erosi gelombang laut dan memerangkap sedimen
sebagai aktivitas akresi.
Berdasarkan Gambar 1.1, perubahan garis pantai di Kota Semarang pada periode 2013-
2017 terlihat sangat signifikan dengan pengurangan garis pantai yang cepat akibat dampak
bencana abrasi. Menurut Kepala Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP Jateng,
garis pantai kota Semarang mundur sejauh 2,7 kilometer selama periode tersebut. Bencana
abrasi juga menyebabkan tenggelamnya lahan seluas 1.900 hektar. Data luasan abrasi pada
tabel menunjukkan bahwa seluruh kelurahan di Kecamatan Tugu terdampak oleh abrasi,
dengan total luasan abrasi mencapai 675,55 hektar. Pada tahun 2020, dari luas wilayah
Kecamatan Tugu sebesar 2.923,34 hektar, 1.211,20 hektar di antaranya mengalami abrasi.
Abrasi ini terjadi di sekitar kawasan industri Wijayakusuma, mengancam industri di Kota
Semarang. Antara tahun 2011-2019, daerah pesisir di Kecamatan Tugu mundur dari 2,0 km
menjadi 6,5 km akibat abrasi. Dampaknya mencakup kerusakan rumah, rusaknya infrastruktur,
bahkan tenggelamnya beberapa bangunan. Warga terpaksa beralih profesi karena mata
pencaharian awal mereka hilang akibat abrasi pantai, memberikan kesulitan dan mengganggu
aktivitas masyarakat setempat. Permasalahan serius di daerah pesisir Kota Semarang akibat
abrasi yang hampir setiap tahun terjadi menjadi ancaman yang signifikan. Kecamatan Tugu
menjadi salah satu wilayah pesisir yang paling terdampak oleh bencana abrasi ini. Meskipun
telah ada upaya mitigasi pemerintah, dampak abrasi belum dapat diatasi sepenuhnya. Oleh
karena itu, penelitian tentang upaya penanggulangan, khususnya mitigasi bencana abrasi di
Kecamatan Tugu oleh Pemerintah Kota Semarang, sangat diperlukan. Tujuannya adalah untuk
meminimalisir dan mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh bencana abrasi
Pantai (Septiawan et al., 2023).
Terjadinya erosi pantai menyebabkan tanah mengalami penurunan kualitas dalam
menyerap air. Dampak lanjutan yang akan ditimbulkan dari genangan rob adalah meningkatnya
laju erosi, perubahan kondisi ekosistem pantai, mundurnya garis pantai, meningkatnya
kerusakan bangunan di dekat pantai dan terganggunya aktivitas penduduk di daerah
pemukiman, pertambakan, dan perindustrian. Selain Kecamatan Genuk, Kecamatan Tugu juga
merupakan kecamatan pesisir yang mengalami erosi. Daerah ini banyak mengalami perubahan
dari yang awalnya hutan mangrove dialih fungsikan menjadi tambak. Sehingga saat terjadinya
erosi, banyak warga pesisir di Kecamatan Tugu kehilangan lahan tambak. Selain itu, akibat
erosi dan air laut naik sehingga masuk ke dalam sungai dengan intensitas yang cukup tinggi
menyebabkan akses jalan di pesisir Kecamatan Tugu menjadi tenggelam. Proses erosi dan
akresi di wilayah pesisir Kota Semarang disebabkan oleh beberapa faktor alam, diantaranya
angin dan gelombang, arus, pasang surut, serta transpor sedimen. Telah banyak upaya yang
dilakukan oleh masyarakat pesisir Kota Semarang, seperti penanaman mangrove serta
membangun alat pemecah ombak (break water) yang berguna untuk menanggulangi dampak
terjadinya erosi pantai. Pencegahan erosi yang terjadi di Pantai Semarang pendekatan
penanggulangan dengan dilakukan pembangunan bangunan pantai dengan alasan bangunan
pantai relatif lebih cepat untuk pencegahan terhadap terjadinya erosi, bangunan yang dipilih
yaitu groin. Hasil analisis citra satelit dari tahun 2003, 2008, 2013, dan 2018 diperoleh data
mengenai daerah erosi dan akresi yang dapat dilihat pada Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar
6. Luas erosi dan akresi di Pesisir Kota Semarang menunjukkan bahwa luasan erosi terbesar
tahun 2008 sampai 2013 dengan luas 337,986 ha dan akresi terbesar pada tahun 2013 sampai
2018 dengan luas 195,338 ha. Sedangkan luasan erosi terkecil terjadi antara tahun 2013 hingga
2018 yaitu dengan luas 263,957 ha dan luasan akresi terkecil terjadi pada tahun 2003 hingga
2008 dengan luas 104,589 ha.
Berdasarkan hasil perhitungan dan pengamatan variabel yang memengaruhi kerentanan
ekosistem pantai, diketahui bahwa variabel geomorfologi yang diperoleh dari pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa tipe pantai pada pesisir Kota Semarang didominasi pantai
berpasir serta bermangrove dan beberapa berbatu kerikil, dalam indeks kerentanan pantai
termasuk dalam kategori kerentanan tinggi dan sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada
pantai dengan tipe berpasir memiliki daya tahan yang rendah untuk menahan terjadinya erosi
pantai, sedangkan pantai dengan tipe bertebing lebih tahan terhadap erosi pantai. Pengamatan
dan pengukuran erosi dan akresi pantai menggunakan citra satelit pada Tabel 6, khususnya
Kecamatan Tugu telah terjadi erosi seluas 591.604,8 m², hal tersebut dipicu oleh penurunan
muka tanah serta kenaikan muka air laut yang disebabkan karena pemanasan global. Terjadinya
erosi di kecamatan tersebut termasuk dalam kategori kerentanan tinggi. Berdasarkan variabel-
variabel fisik tersebut, diketahui bahwa nilai indeks kerentanan pesisir tertinggi terjadi pada
Kecamatan Tugu dengan nilai 32,27. Pesisir Kota Semarang tidak dapat dikatakan dalam
kondisi baik, karena masih terdapat beberapa variabel yang memengaruhi tingginya suatu nilai
kerentanan pantai di pesisir Kota Semarang seperti variabel geomorfologi, kemiringan pantai,
dan erosi/akresi.
Marfai dan King (2008) mengatakan fenomena banjir rob di kawasan pesisir Semarang
merupakan akibat dari berbagai proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dengan
dibangunnya lahan tambak, rawa, dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang
air laut dan kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan
lainnya. Selain karena perubahan penggunaan lahan terjadinya banjir rob di Kota Semarang
dipengaruhi oleh adanya penurunan tanah (land subsidance). Penurunan tanah ini disebabkan
oleh penurunan permukaan air tanah, kondisi tutupan lahan terkait dengan beban bangunan,
dan konsolidasi. Penurunan muka air tanah semakin ke arah timur semakin besar. Pengambilan
air tanah untuk kegiatan industri secara besar-besaran membuat permukaan air tanah di wilayah
timur semakin turun. Penurunan permukaan ABT (Air Bawah Tanah) di Kota Semarang di
tahun 1970-an baru 0.5– 3.5 meter. Namun penurunan dari tahun ke tahun terus meningkat dan
diperkirakan ditahun 2000-an mencapai 11.5–24.6 meter. Penurunan permukaan ABT disekitar
Pelabuhan Tanjung Emas mencapai 15 cm/tahun. Penurunan muka air tanah ini dipengaruhi
oleh jenis lapisan tanah di pantai Semarang yang mengalami pemadatan alami. Faktor
selanjutnya yaitu terjadinya konsolidasi (pemadatan alami). Menurut Yuwono et al. (2013)
wilayah yang memiliki tingkat pemadatan tinggi berada di wilayah bagian utara Kota
Semarang dengan kecenderungan meningkat ke arah timur (arah Kecamatan Genuk). Selain
itu juga adanya faktor beban bangunan di atas tanah. Industri di Kota Semarang lebih banyak
terdapat di bagian wilayah tengah dan timur. Keberadaan industri ini membuat beban yang
ditanggung tanah semakin besar sehingga membuat tanah mudah mampat dan akhirnya
mengalami penurunan permukaan tanah. Pada wilayah Kecamatan Tugu penurunan muka
tanah yang terjadi tergolong rendah dan hanya terjadi karena faktor pembebanan saja.
Penurunan muka tanah ini yang menyebabkan banjir rob ketika terjadi pasang air laut dan
kondisi tersebut terparah berada di wilayah penanganan timur dan tengah. Namun pada saat ini
dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah wilayah tengah sudah terbebas dari banjir rob
dan hanya menunggu waktu saja wilayah timur juga terbebas dari banjir rob karena proses
pembangunan proyek-proyek sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang.
Upaya penanganan banjir rob di Kota Semarang tentu saja butuh kerjasama antara
pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat. Upaya penanggulangan bencana banjir rob ini
tertuang dalam Masterplan Drainase Kota Semarang tahun 2007 yang selanjutnya menjadi
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Sistem
Drainase Kota Semarang tahun 2011-2031. Selanjutnya dalam masterplan drainase tersebut
dijabarkan program-program penanganan bencana banjir rob yang meliputi kegiatan:
1) Pembangunan waduk Jatibarang
2) Pembuatan dan pemaksimalan sistem drainase
3) Pembuatan stasiun pompa
4) Pembangunan tanggul laut
5) Peninggian jalan
6) Pembangunan tanggul
7) Pembuatan parapet (tembok penghalang air)
8) Pembuatan rumah pompa dan kolam retensi
9) Pembersihan Saluran Drainase
Selain kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, upaya yang dilakukan oleh
masyarakat antara lain dengan melakukan kegiatan sebagai berikut.
1) Peninggian bangunan rumah
2) Pembersihan saluran drainase di saluran permukiman
3) Pembuatan tanggul darurat dalam skala kecil
4) Pembentukan kelompok sadar bencana
Dalam rangka menangani banjir rob di Kota Semarang, pemerintah telah melakukan
upaya-upaya yang tak sedikit dan membutuhkan waktu lama. Kerja keras pemerintah ini
ternyata telah terlihat hasilnya walaupun belum maksimal. Selama kurun waktu 11 tahun
(2007–2017) pemerintah telah banyak melakukan upaya untuk mengatasi bencana banjir dan
rob yang seringkali melanda Kota Semarang dan mengganggu aktivitas yang ada, baik aktivitas
perekonomian, pendidikan, pemerintahan, layanan umum, maupun kegiatan lainnya. Selain
pemerintah, pihak swasta dan masyarakat juga turut serta dalam upaya penanggulangan
bencana. Keterlibatan masyarakat dan pihak swasta sangat besar pengaruhnya dalam upaya ini.
Untuk mengidentifikasi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat
dalam menghadapi banjir rob dilakukan berdasarkan siklus penanganan bencana yang
dikeluarkan oleh BNPB. Dalam siklus ini, terdapat empat periode penanganan yang pada
masing-masing tahapnya berperan cukup besar dalam mengatasi banjir rob di Kota Semarang.
Sementara itu penilaian ketangguhan kota terhadap bencana banjir rob dilakukan dengan
mengamati dan menilai komponen ketangguhan secara fisik, sosial, ekonomi, dan institusi
yang variabel penilaiannya didapat dari pendapat para ahli dan dalam pembobotannya
menggunakan pendapat dari BNPB. Dalam penanggulangan bencana ini terdapat hubungan
antara pemerintah dan masyarakat. Pada skema upaya penanggulangan bencana terdapat area
merupakan irisan dari upaya pemerintah dan upaya masyarakat. Di area tersebut terdapat
program pemerintah yaitu KSB (Kelurahan Siaga Bencana) yang dalam pelaksanaannya
membutuhkan partisipasi dari masyarakat secara langsung. Namun dalam pelaksanaannya di
lapangan KSB ini tidak terlalu aktif dalam kegiatan penanggulangan bencana. BPBD Kota
Semarang melakukan sosialisasi aktif setiap dua minggu sekali atau minimal sebulan sekali
untuk memantau kegiatan PRB (pengurangan risiko bencana) di Kota Semarang. Sementara
itu hubungan antara pemerintah dengan pihak swasta sendiri yaitu swasta sebagai pengkaji dan
pemberi dana dalam kegiatan proyek-proyek yang dilakukan oleh pemerintah, sementara
pemerintah sebagai pelaksana proyek. Dan terakhir, hubungan swasta dengan masyarakat yaitu
pihak swasta sebagai pemberi bantuan kepada masyarakat apabila terjadi bencana. Hubungan
ketiga komponen stakeholders tersebut yang digambarkan dalam area berwarna abu-abu
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Apabila penanganan bencana banjir rob dilakukan
secara bersama-sama maka akan menghasilkan suatu ketangguhan Kota Semarang dalam
menghadapi bencana banjir rob.
Selama kurun waktu 2007–2015 pemerintah Kota Semarang memfokuskan penanganan
banjir rob di wilayah tengah dan barat karena wilayah ini merupakan jantung perekonomian
dan kegiatan lainnya di Kota Semarang. Seperti pembangunan Polder Banger yang
bekerjasama dengan Pemerintah Belanda, pembangunan Waduk Jatibarang, Polder Tawang dan
Polder Kali Semarang yang bekerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation
Agency). Setelah program dan kegiatan penanganan banjir rob di wilayah tengah dan barat
dirasa cukup berhasil kini pemerintah fokus pada penanganann banjir rob di wilayah timur
karena genangan di wilayah timur ini semakin lama semakin memprihatinkan keadaannya.
Apabila dibiarkan maka akan menimbulkan kerugian yang besar karena aksesibilitas yang
terganggu sehingga roda perekonomian juga ikut terganggu. Dalam penelitian ini menemukan
hasil alasan terjadinya perbedaan antara capaian ketangguhan Kota Semarang dalam
menghadapi bencana banjir rob dengan fakta di lapangan. Pada tahun 2014, Kota Semarang
mendapat penghargaan dari RC100 yang didanai oleh yayasan Rockefeller Foundation.
Penghargaan tersebut diberikan karena Kota Semarang dianggap telah berhasil dalam
menangani banjir rob di Kota Semarang. Padahal kenyataannya masih mengalami banjir rob,
khususnya Semarang wilayah timur. Penghargaan tersebut didapat karena keberhasilan Kota
Semarang dalam menangani banjir rob di wilayah kritis Kota Semarang. Wilayah tersebut
merupakan sedikit wilayah Semarang bagian barat dan keseluruhan wilayah Semarang bagian
tengah dengan kegiatan yang padat seperti pusat perekonomian dan kegiatan lainnya yang
krusial. Prioritas penanganan banjir rob yang dilakukan oleh pemerintah selama kurun waktu
2007–2015 berada pada wilayah tengah dan wilayah barat. Wilayah Semarang bagian timur
tetap mendapatkan program-program dan bantuan dalam penanganan banjir rob namun
porsinya lebih sedikit dibanding kedua wilayah lainnya. Setelah tidak ada banjir rob di wilayah
tengah dan wilayah barat saat ini pemerintah Kota Semarang fokus pada penanganan di wilayah
timur. Penanganan banjir rob di wilayah timur ini sudah dimulai dengan kegiatan normalisasi
BKT (Banjir Kanal Timur), Kali Tenggang, Kali Sringin, dan pembuatan tanggul laut yang
nantinya juga akan berfungsi sebagai tol laut SemarangDemak. Hingga akhir Januari 2018,
progres pekerjaan pada sistem Kali Sringin sudah mencapai 36% dan progres Kali Tenggang
sudah mencapai 57%. Sementara untuk tanggul laut sendiri sudah selesai proses desain
detailnya dan proses konstruksi dimulai pada bulan Mei 2018. Dengan adanya tanggul laut dan
normalisasi sungai-sungai di wilayah timur ini diharapkan dapat menghilangkan banjir rob dari
wilayah timur. Pada Maret 2018, normalisasi BKT sudah dimulai dengan pembersihan
sempadan sungai dari bangunanbangunan. Nantinya sempadan sungai tersebut akan
dibangun taman-taman rekreasi seperti di sempadan sungai BKB.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat ketangguhan Kota
Semarang secara keseluruhan berada pada level ketangguhan “sedang”. Hal ini dapat dikatakan
bahwa Kota Semarang belum tangguh. Apabila dilihat secara fisik genangan banjir rob sudah
banyak berkurang. Sampai saat ini hanya wilayah penanganan timur yang masih sering terkena
banjir rob dan hanya tinggal menunggu waktu tidak terjadi genangan lagi karena proyek-
proyek penanggulangan bencana yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang. Namun
apabila dilihat secara keseluruhan menggunakan konsep kota tangguh, baik secara fisik, sosial,
ekonomi, maupun institusi, Kota Semarang belum termasuk dalam kota tangguh. Secara sosial
ekonomi masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kesejahteraan dan kondisi fisik
lingkungan tempat tinggal mereka masih jauh dari kata tangguh (rumah-rumah penduduk
banyak yang hanya seadanya dan terkesan kumuh karena sering terpapar banjir rob). Selain itu
masih banyak masyarakat yang memiliki mata pencahariaan yang rentan apabila terpapar
bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, F. D., Rudi, M., & Andari, R. E. (2022). Strategi Adaptasi Masyarakat Di Desa Pantai
Bahagia, Muara Gembong, Bekasi Terhadap Dampak Banjir Rob. PAPALELE (Jurnal
Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan), 6(2), 84-90.
Erlani, R., & Nugrahandika, W. H. (2019). Ketangguhan Kota Semarang dalam menghadapi
bencana banjir pasang air laut (Rob). Journal of Regional and Rural Development
Planning (Jurnal Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan), 3(1), 47-63.
Gultom, H. T., Juhadi, J., & Aji, A. (2018). Fenomena banjir rob di Kota Semarang sebagai
sumber belajar. Edu Geography, 6(3), 198-205.
Hakam, A. M., & Harsasto, P. (2019). Evaluasi Proses Kebijakan Penanganan Banjir Rob di
Kota Semarang oleh Pemerintah Kota Semarang. Journal of Politic and Government
Studies, 8(01), 281-290.
Kurniawan, D., Prasetyo, S. Y. J., & Fibriani, C. (2021). Sebaran Vegetasi pada Kawasan
Berpotensi Bencana Banjir Pesisir (Rob) Kota Semarang. Indonesian Journal of
Computing and Modeling, 4(1), 10-13.
Putri, N. A., Nisa, A. N. S., Ginanjar, A., & Hermanto, F. (2022). Optimalisasi gerakan
konservasi hutan mangrove melalui program PELITA sebagai upaya penguatan social
awareness pada masyarakat Tugu Kota Semarang. Harmony: Jurnal Pembelajaran
IPS dan PKN, 7(2), 119-126.
Ramdhany, A. D., Wiranegara, H. W., & Luru, M. N. (2021). Zonasi Tingkat Kerentanan Fisik
atas Banjir Rob Kecamatan Tugu di Kota Semarang. Jurnal Bhuwana, 137-146.
Safitri, F., Suryanti, S., & Febrianto, S. (2019). Analisis Perubahan Garis Pantai Akibat Erosi
di Pesisir Kota Semarang. GEOMATIKA, 25(1), 37-46.
Septiawan, M. D., Dwimawanti, I. H., & Yuniningsih, T. (2023). Mitigasi Bencana Abrasi Di
Kecamatan Tugu Oleh Pemerintah Kota Semarang. Journal of Public Policy and
Management Review, 12(2), 635-649.