Anda di halaman 1dari 17

STUDI KASUS

PRAKTIKUM TATA RUANG PESISIR DAN LAUT


DISKUSI SOLUSI PERMASALAHAN BANJIR ROB
DI KECAMATAN TUGU, KOTA SEMARANG

Disusun Oleh:
Dhica Dhamara
NIM. 26040121130063

Dosen Pengampu:
Dr. Ir. Chrisna Adhi Suryono, M.Phil.
NIP. 196406051991031004

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Banjir rob, yang disebut juga dengan pasang surut, merupakan fenomena alam yang
terjadi akibat naiknya permukaan air laut yang disebabkan oleh pengaruh astronomis,
meteorologis, dan oseanografis. Salah satu wilayah yang rentan terhadap banjir rob adalah
Kecamatan Tugu, Semarang. Kecamatan Tugu, yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa,
seringkali mengalami dampak serius dari banjir rob, yang dapat merugikan masyarakat,
merusak properti, dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Seperti pada hasil penelitian
Septiawan et al. (2023), selama bencana abrasi yang terjadi di sepanjang pesisir kecamatan
Tugu total luasan abrasi yang terjadi yaitu sebesar 675,55 ha. Selain itu, pada Tahun 2020 dari
luas wilayah Kecamatan Tugu, yakni 2.923,34 hektar, 1.211,20 hektare di antaranya terkena
abrasi. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas dan frekuensi banjir rob di Kecamatan Tugu,
Semarang, meningkat, kemungkinan disebabkan oleh perubahan iklim dan faktor-faktor
lainnya. Oleh karena itu, diperlukan studi kasus yang mendalam untuk mengidentifikasi
penyebab utama, dampak, dan mencari solusi yang efektif dalam mengatasi permasalahan
banjir rob di wilayah ini. Studi kasus ini akan merinci kondisi geografis, sosial, dan ekonomi
Kecamatan Tugu, serta menggali informasi tentang kejadian banjir rob yang telah terjadi.
Selain itu, studi ini juga akan mengeksplorasi upaya-upaya yang telah dilakukan sebelumnya
untuk mengatasi banjir rob, baik oleh pemerintah maupun masyarakat setempat. Dengan
merinci latar belakang ini, studi kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran menyeluruh
tentang masalah banjir rob di Kecamatan Tugu, Semarang, dan mengembangkan solusi yang
dapat diterapkan secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak buruknya. Dengan demikian,
hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap perencanaan mitigasi
bencana di wilayah ini serta memberikan panduan bagi pengembangan kebijakan yang efektif
dalam mengatasi banjir rob.

1.2. Tujuan
1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor utama yang menyebabkan banjir rob
di Kecamatan Tugu.
2. Melakukan evaluasi terhadap upaya mitigasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat setempat guna mengatasi banjir rob.
3. Merumuskan solusi terintegrasi yang dapat diterapkan secara berkelanjutan dalam
mengatasi permasalahan banjir rob di Kecamatan Tugu.
1.3. Manfaat
1. Mengetahui factor utama penyebab banjir rob di Kecamatan Tugu.
2. Mampu menilai upaya mitigasi banjir rob yang telah dilakukan oleh pemerintah dan
Masyarakat setempat.
3. Menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan banjir rob di Kecamatan
Tugu, Kota Semarang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Banjir Rob
Global warming atau pemanasan global merupakan permasalahan bersama umat
manusia. Pemanasan global ditandai meningkatnya suhu bumi dan menyebabkan beberapa
fenomena maupun bencana salah satunya adalah sea level rise atau kenaikan muka air laut.
Kenaikan muka air laut ini selain menyebabkan erosi pantai seperti abrasi juga seringkali
diiringi dengan kejadian banjir rob, banjir yang disebabkan pasang tinggi. Banjir ini biasanya
akan segera surut kembali namun jika kondisi sekitar pantai nya sudah rusak atau drainase nya
buruk dapat menggenangi wilayah pesisir. Wilayah pesisir seringkali merupakan wilayah
perkembangan kebudayaan dan konsentrasi pembangunan, perkembangan perkotaan dan
aktivitas manusia terpusat terkonsentrasi di daerah tersebut. Aktivitas manusia untuk
menggunakan wilayah pantai menjadi tambak dan pemukiman membuat wilayah pesisir
menjadi lebih rentan. Beberapa desa atau kelurahan di Indonesia yang berada di pesisir bahkan
sudah ada yang sebagian besar wilayahnya tergenang permanen seperti Kecamatan Tugu di
Kota Semarang. Bencana banjir rob yang terjadi berulang kali menyebabkan masyarakat perlu
menyusun strategi untuk beradaptasi dengan kejadian tersebut baik adaptasi fisik, sosial,
maupun ekonomi sehingga dapat hidup berdampingan sekaligus mengurangi risiko bencana
banjir rob. Strategi adaptasi dalam menghadapi banjir rob berbeda antar wilayah bahkan untuk
tingkat desa, hal ini dikarenakan setiap wilayah mempunyai karakterisitik fisik maupun sosial
ekonomi yang berbeda-beda (Cahyadi et al., 2022).
Menurut Putri et al. (2022) kerusakan garis pantai tersebut disebabkan salah satunya
karena adanya perubahan tata guna lahan area hijau hutan mangrove menjadi area pemukiman
dan industri. Area hutan mangrove yang selama ini sebagai benteng alami penahan abrasi arus
air laut mengalami perubahan menjadi area yang ditempati oleh manusia dalam menjalankan
aktivitasnya hidupnya. Efek dari perubahan tata guna lahan tersebut mengakibatkan daerah
pesisir kota Semarang sangat rawan akan bencana banjir rob. Akibat dari banjir rob tersebut
menyebabkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat secara drastis menurun.
Beberapa dampak negatif lainya dari banjir rob ini antara lain kekurangan air bersih, rusaknya
fasilitas umum serta mengganggu mobilitas penduduk terlebih lagi kota Semarang berada
dijalur utama pantai utara jawa yang begitu ramai mobilitas penduduknya. Hutan mangrove
merupakan kelompok vegatasi seperti pohon, semak, palmae, dan paku-pakuan yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Secara ekologis hutan mangrove berperan sebagai sabuk
hijau guna melindungi wilayah pesisir dari erosi gelombang laut dan memerangkap sedimen
sebagai aktivitas akresi.

2.2. Dampak Banjir Rob


Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan terluas di dunia, memiliki garis pantai
yang sangat panjang dibandingkan dengan negara kepulauan lainnya. Kondisi ini membuat
wilayah pesisir Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bencana alam. Beberapa bencana
yang dapat terjadi di daerah pesisir Indonesia meliputi tsunami, banjir, abrasi, kenaikan
permukaan air laut (sea level rise), dan berbagai bencana laut lainnya. Salah satu ancaman
serius terhadap daerah pesisir di Indonesia adalah perubahan garis pantai, yang mencakup
proses sedimentasi atau akresi serta abrasi. Perubahan garis pantai di daerah pesisir dapat
disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam melibatkan arus gelombang,
perubahan suhu global, dan topografi daerah. Sementara itu, faktor manusia terkait dengan
kegiatan merusak mangrove di daerah pesisir, penebangan hutan bakau, dan aktivitas
penambangan pasir di wilayah pantai. Dampak dari bencana abrasi ini sangat besar, termasuk
penyusutan atau penyempitan garis pantai, potensi tenggelamnya daerah rendah, rusaknya
pantai sebagai objek wisata, dan terancamnya kawasan tempat tinggal masyarakat serta
tambak. Akibatnya, sejumlah warga di daerah pesisir terpaksa direlokasi sebagai langkah
menghadapi dampak serius abrasi pantai (Septiawan et al., 2023).
Perubahan zaman berdampak pada transformasi ekosistem wilayah pesisir, terutama di
Kota Semarang. Kawasan pesisir Kota Semarang mencakup empat kecamatan: Tugu,
Semarang Barat, Semarang Utara, dan Genuk. Daerah pesisir, khususnya pantai, menjadi lokasi
yang banyak dimanfaatkan untuk pemukiman, pariwisata, budidaya, reklamasi, dan fasilitas
umum lainnya. Salah satu dampak negatif perkembangan wilayah pantai adalah erosi, yang
dapat mengubah garis pantai. Perubahan ini disebabkan oleh faktor alam dan aktivitas manusia
seperti pembukaan lahan dan eksploitasi bahan galian di daratan pesisir. Garis pantai, yang
dapat berubah karena erosi, memiliki sifat dinamis dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Keberadaan garis pantai sangat penting untuk perencanaan pembangunan dan perlindungan
wilayah pesisir. Proses geografis di wilayah pesisir pantai Semarang sangat dinamis, dengan
faktor seperti erosi dan akresi yang disebabkan oleh kerentanan pantai itu sendiri. Interaksi
antara aspek oseanografi dapat memicu perubahan garis pantai. Informasi mengenai perubahan
garis pantai dan kerentanan pesisir menjadi penting untuk pengelolaan perairan dan perikanan
di wilayah pesisir Kota Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk memahami perubahan garis
pantai (luasan erosi dan akresi) dari tahun 2003 hingga 2018 di pesisir Kota Semarang dan
menilai tingkat kerentanan pesisir Kota Semarang dengan menggunakan metode CVI (Coastal
Vulnerability) (Safitri et al., 2019).

2.3. Upaya Mitigasi Banjir Rob


Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kota Semarang mencatat memiliki 38
kasus banjir rob tahun 2018 dan 4 kasus di tahun 2019. Salah satu upaya mitigasi terhadap
bencana banjir rob dibentuklah Kelurahan Siaga Bencana beranggotakan kelurahan
Bandarharjo, Tanjung Mas, Kemijen, Muktiharjo Lor, Genuksari, Mangkang Kulon, Trimulyo,
Mlatiharjo, Tambakrejo, Sawah Besar, dan Banjardowo. Salah satu upaya mitigasi terhadap
perubahan iklim yang cepat saat ini adalah dengan memanfaatkan ketersediaan vegetasi
khususnya di daerah pesisir seperti mangrove. Kegunaan mangrove di daerah pesisir untuk
mengurangi energi yang dihasilkan dari gelombang pasang laut dapat mengurangi terjadinya
bencana banjir pesisir atau rob. Manfaat lain yang diperoleh dari pemberdayaan mangrove
seperti melindungi sektor tambak, sebagai habitat satwa, serta dapat dijadikan kawasan
pariwisata. Teknologi penginderaan jauh yang semakin berkembang dapat dimanfaatkan untuk
melihat persebaran vegetasi mangrove dengan karakternya yang tersebar di daerah pesisir dan
sifat klorofilnya yang dapat memantulkan spektrum merah. Manfaat penginderaan jauh juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kawasan rawan longsor dengan menggunakan
variabel curah hujan dan kemiringan lereng. Data digital yang berisi rekaman gambar topografi
atau morfologi permukaan bumi yang disebut digital terrain model (DEM) juga dapat
dimanfaatkan untuk pemodelan genangan banjir rob dilengkapi dengan peta penurunan tanah
dan data pasang surut. Pemodelan wilayah persebaran vegetasi mangrove di kawasan
berpotensi banjir pesisir akan menggunakan kombinasi metode NDVI dan DEM. Tujuan
pemodelan adalah untuk melihat persebaran vegetasi mangrove di daerah potensi bencana
banjir pesisir wilayah kota Semarang (Kurniawan et al., 2021).
Berdasarkan kondisi permasalahan tersebut perlu adanya upaya konservasi lahan
mangrove oleh masyarakat pesisir di Kecamatan Tugu Kota Semarang berupa program
“PELITA” (Pelestarian Lingkungan Kita). Program ini merupakan program yang berfokus
terhadap kegiatan sosial. Ada beberapa program melalui kegiatan PELITA ini salah satunya
edukasi terhadap pelestarian hutan mangrove. Konservasi hutan mangrove selama ini tanpa
diimbangi dengan edukasi kepada masyarakat akan manfaat dari hutan mangrove. Upaya
konservasi yang dilakukan melalui edukasi dilakukan secara bertahap kepada masyarakat
pesisir karena selama ini mereka hidup berdampingan dengan lingkungan alam yang telah
mengalami alih fungsi lahan. Melalui edukasi kepada masyarakat pesisir diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat (social awareness) untuk bersama-sama menjaga
lingkungan alam disekitar tempat tinggal mereka yang dekat dengan wilayah laut yang semakin
mengalami degradasi lingkungan. Penguatan social awarness merupakan bagian dari
kompetensi sosial yakni bentuk usaha individu untuk memahami dan mengerti bagaimana
membangun sebuah hubungan secara emosional dengan individu lain yang berada di wilayah
sekitarnya tanpa melihat golongan dan status sosial mereka. Hal ini berhubungan dengan
indikator Social Awareness yakni 1). empati, dimana seseorang mengerti perasaan orang lain,
memahami berbagai perspektif mereka, dan berpartisipasi aktif dalam setiap topik yang
dibahas, 2). kesadaran berorganisasi, menelisik apa yang sedang terjadi, menentukan pola
jaringan, dan bagaimana mengatur pada level kelompok atau tim, dan 3). mengenali satu sama
lain dan saling mengetahui kebutuhan agar tujuan tercapai. Keberhasilan konservasi mangrove
juga perlu dibarengi dengan adanya social awarness pada masyarakat Kecamatan Tugu Kota
Semarang. Berbagai macam kebijakan mengenai konservasi lingkungan pesisir khusunya
pelestarian hutan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah tentunya perlu dipahami dan
dukungan dari masyarakat. Kebijakan akan berjalan sukses jika semua pihak bersinergi karena
memiliki pemahaman akan tujuan yang akan dirasakan secara kolektif. Maka dengan adanya
program PELITA ini, penguatan Social Awareeness menjadi salah satu fokus guna
mengedukasi masyarakat khususnya warga Kecamatan Tugu agar dapat menguatkan kembali
kompetensi sosialnya. agar dapat secara bersama-sama bergotong royong dalam pelestarian
hutan mangrove (Putri et al., 2022).

2.4. Kecamatan Tugu


Menurut Putri et al. (2022), kota Semarang secara geografis memiliki daerah pesisir
pantai yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Beberapa aktivitas yang ada di wilayah pesisir Semarang antara lain Bandara,
Pelabuhan, Industri, dan pemukiman. Wilayah pesisir kota Semarang memiliki topografi yang
landai dengan kemiringan 0%-2% dengan sebagian daerahnya hampir sama tingginya dengan
permukaan air laut. Wilayah pesisir Kota Semarang memiliki garis pantai dengan lebar 2,5-10
km rata-rata perubahan garis pantai di Kota Semarang mengalami penambahan sebesar 176,28
meter. Perubahan garis pantai tersebut dipengaruhi oleh penurunan muka tanah yang
mengakibatkan kenaikan muka air laut (banjir rob) dan juga abrasi di beberapa daerah pesisir
Kota Semarang. Kerusakan pantai tersebut terjadi sepanjang kurang lebih 2,25 km di
Kecamatan Tugu meliputi Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan
Randugarut, Kelurahan Karanganyar, Kelurahan Tugurejo dan kurang lebih 0,5 km di
Kecamatan Semarang Barat.
Tantangan perkotaan Semarang dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu guncangan
(shock) dan tekanan (stress). Guncangan adalah peristiwa berbahaya yang terjadi secara
tibatiba seperti gempa bumi, longsor, dan banjir bandang, sedangkan tekanan adalah situasi
yang melemahkan struktur kota baik sehari-hari maupun secara berkala. Bentuk tekanan yang
dihadapi Kota Semarang berupa banjir rob, penurunan muka tanah, dan kenaikan air laut. Salah
satu bentuk tekanan (stress) yang ada di Kota Semarang adalah banjir rob karena fenomena ini
sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Pemerintah Kota Semarang mengatakan bahwa
banjir rob ini merupakan tekanan kronis karena bencana ini melemahkan struktur kota baik
sehari-hari maupun secara berkala (Pemerintah Kota Semarang, 2016). Perubahan iklim di
Semarang saat ini berdampak pada abrasi pesisir dan penurunan tanah pada daratan muda hasil
sedimentasi. Abrasi pesisir menyebabkan garis pantai bergeser ke arah darat sejauh 2.6 km
(Wicaksono dalam Pemerintah Kota Semarang, 2016). Berdasarkan riset yang dilakukan oleh
MercyCorps dan ARUP pada tahun 2012, Kota Semarang dinyatakan sebagai salah satu kota
yang tangguh terhadap perubahan iklim. Pada tahun 2014 Kota Semarang terpilih mengikuti
program 100 Resilient Cities (100 RC). Yuniawan (2015) melakukan penelitian mengenai
tingkat ketangguhan terhadap dampak perubahan iklim di kawasan pesisir Kota Semarang.
Dalam penelitian Yuniawan tersebut terdapat enam sektor yang dikaji dan didapatkan hasil
bahwa hanya sektor lingkungan berupa keberadaan pohon mangrove yang tangguh dalam
menghadapi dampak perubahan iklim di Kota Semarang dengan studi kasus Kelurahan
Tugurejo, Kecamatan Tugu. Berangkat dari ungkapan yang menyatakan bahwa Kota Semarang
sudah tangguh dalam menghadapi bencana banjir rob maka peneliti ingin melakukan
pembuktian terhadap pernyataan tersebut dengan menggunakan konsep kota tangguh yang
nantinya akan menurunkan aspek-aspek ketangguhan dan dijadikan variabel dalam pengukuran
tingkat ketangguhan Kota Semarang dalam menghadapi bencana banjir rob.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
Penelitian dilakukan di Kecamatan pesisir Kota Semarang, yaitu Kecamatan Tugu.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif eksploratif yaitu penelitian yang
menyajikan data secara sistematik berdasarkan fakta yang ada di lapangan serta bertujuan
untuk melihat keadaan suatu fenomena dan menggambarkannya dengan tidak menguji
hipotesa. Sedangkan lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan metode purposive
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan sengaja dan berdasarkan suatu
pertimbangan dan tujuan tertentu. Kriteria penentuan titik sampling dalam penelitian ini
dilakukan dengan menyesuaikan titik terjadinya perubahan garis pantai akibat erosi.
3.2. Waktu dan Tempat
3.3. Metode
Salah satu metode untuk mengetahui seberapa rentan suatu pantai adalah dengan
menggunakan modifikasi metode CVI. Metode CVI merupakan metode yang baik digunakan
untuk penilaian kerentanan di wilayah pantai karena selain mudah dipahami dan dilakukan,
metode CVI juga bisa diterapkan di setiap kondisi wilayah pesisir dan ketersediaan variabel
dapat disesuikan dengan kondisi dan lokasi wilayah pesisir ataupun objek yang akan dikaji.
Data variabel yang digunakan dalam penentuan nilai CVI pada ekosistem pantai yaitu
geomorfologi, didapatkan dengan cara pengamatan langsung di lapangan berdasarkan jenis
pantai yang terdapat dalam tabel kategori penilaian Indeks Kerentanan Pantai. Variabel
kemiringan pantai dilakukan dengan pengukuran in situ, untuk mengetahui seberapa besar
kemiringan pantai dari lokasi penelitian yang diambil pada setiap kecamatan. Pengukuran
kemiringan pantai menggunakan modifikasi alat yang menyerupai cara kerja kompas yaitu
berupa kayu sepanjang 2 m dengan tambahan roll meter. Variabel erosi dan akresi didapatkan
dengan cara interpretasi dari data citra satelit Landsat dan Sentinel 2 pada kurun waktu 2003-
2018. Tujuan pengambilan rentang waktu mulai dari 2003, 2008, 2013, hingga 2018 adalah
untuk mengetahui seberapa besar perubahan luas wilayah di pesisir Kota Semarang baik yang
disebabkan oleh erosi maupun akresi. Data kenaikan muka air laut berupa data sekunder yang
diperoleh melalui pengamatan satelit altimetri TOPEX/Poseidon dengan resolusi 0.5⁰ yang
diambil dari website https://www.aviso.altimetry.ft tahun 1993-2009.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Gambar 1.1, perubahan garis pantai di Kota Semarang pada periode 2013-
2017 terlihat sangat signifikan dengan pengurangan garis pantai yang cepat akibat dampak
bencana abrasi. Menurut Kepala Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP Jateng,
garis pantai kota Semarang mundur sejauh 2,7 kilometer selama periode tersebut. Bencana
abrasi juga menyebabkan tenggelamnya lahan seluas 1.900 hektar. Data luasan abrasi pada
tabel menunjukkan bahwa seluruh kelurahan di Kecamatan Tugu terdampak oleh abrasi,
dengan total luasan abrasi mencapai 675,55 hektar. Pada tahun 2020, dari luas wilayah
Kecamatan Tugu sebesar 2.923,34 hektar, 1.211,20 hektar di antaranya mengalami abrasi.
Abrasi ini terjadi di sekitar kawasan industri Wijayakusuma, mengancam industri di Kota
Semarang. Antara tahun 2011-2019, daerah pesisir di Kecamatan Tugu mundur dari 2,0 km
menjadi 6,5 km akibat abrasi. Dampaknya mencakup kerusakan rumah, rusaknya infrastruktur,
bahkan tenggelamnya beberapa bangunan. Warga terpaksa beralih profesi karena mata
pencaharian awal mereka hilang akibat abrasi pantai, memberikan kesulitan dan mengganggu
aktivitas masyarakat setempat. Permasalahan serius di daerah pesisir Kota Semarang akibat
abrasi yang hampir setiap tahun terjadi menjadi ancaman yang signifikan. Kecamatan Tugu
menjadi salah satu wilayah pesisir yang paling terdampak oleh bencana abrasi ini. Meskipun
telah ada upaya mitigasi pemerintah, dampak abrasi belum dapat diatasi sepenuhnya. Oleh
karena itu, penelitian tentang upaya penanggulangan, khususnya mitigasi bencana abrasi di
Kecamatan Tugu oleh Pemerintah Kota Semarang, sangat diperlukan. Tujuannya adalah untuk
meminimalisir dan mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh bencana abrasi
Pantai (Septiawan et al., 2023).
Terjadinya erosi pantai menyebabkan tanah mengalami penurunan kualitas dalam
menyerap air. Dampak lanjutan yang akan ditimbulkan dari genangan rob adalah meningkatnya
laju erosi, perubahan kondisi ekosistem pantai, mundurnya garis pantai, meningkatnya
kerusakan bangunan di dekat pantai dan terganggunya aktivitas penduduk di daerah
pemukiman, pertambakan, dan perindustrian. Selain Kecamatan Genuk, Kecamatan Tugu juga
merupakan kecamatan pesisir yang mengalami erosi. Daerah ini banyak mengalami perubahan
dari yang awalnya hutan mangrove dialih fungsikan menjadi tambak. Sehingga saat terjadinya
erosi, banyak warga pesisir di Kecamatan Tugu kehilangan lahan tambak. Selain itu, akibat
erosi dan air laut naik sehingga masuk ke dalam sungai dengan intensitas yang cukup tinggi
menyebabkan akses jalan di pesisir Kecamatan Tugu menjadi tenggelam. Proses erosi dan
akresi di wilayah pesisir Kota Semarang disebabkan oleh beberapa faktor alam, diantaranya
angin dan gelombang, arus, pasang surut, serta transpor sedimen. Telah banyak upaya yang
dilakukan oleh masyarakat pesisir Kota Semarang, seperti penanaman mangrove serta
membangun alat pemecah ombak (break water) yang berguna untuk menanggulangi dampak
terjadinya erosi pantai. Pencegahan erosi yang terjadi di Pantai Semarang pendekatan
penanggulangan dengan dilakukan pembangunan bangunan pantai dengan alasan bangunan
pantai relatif lebih cepat untuk pencegahan terhadap terjadinya erosi, bangunan yang dipilih
yaitu groin. Hasil analisis citra satelit dari tahun 2003, 2008, 2013, dan 2018 diperoleh data
mengenai daerah erosi dan akresi yang dapat dilihat pada Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar
6. Luas erosi dan akresi di Pesisir Kota Semarang menunjukkan bahwa luasan erosi terbesar
tahun 2008 sampai 2013 dengan luas 337,986 ha dan akresi terbesar pada tahun 2013 sampai
2018 dengan luas 195,338 ha. Sedangkan luasan erosi terkecil terjadi antara tahun 2013 hingga
2018 yaitu dengan luas 263,957 ha dan luasan akresi terkecil terjadi pada tahun 2003 hingga
2008 dengan luas 104,589 ha.
Berdasarkan hasil perhitungan dan pengamatan variabel yang memengaruhi kerentanan
ekosistem pantai, diketahui bahwa variabel geomorfologi yang diperoleh dari pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa tipe pantai pada pesisir Kota Semarang didominasi pantai
berpasir serta bermangrove dan beberapa berbatu kerikil, dalam indeks kerentanan pantai
termasuk dalam kategori kerentanan tinggi dan sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada
pantai dengan tipe berpasir memiliki daya tahan yang rendah untuk menahan terjadinya erosi
pantai, sedangkan pantai dengan tipe bertebing lebih tahan terhadap erosi pantai. Pengamatan
dan pengukuran erosi dan akresi pantai menggunakan citra satelit pada Tabel 6, khususnya
Kecamatan Tugu telah terjadi erosi seluas 591.604,8 m², hal tersebut dipicu oleh penurunan
muka tanah serta kenaikan muka air laut yang disebabkan karena pemanasan global. Terjadinya
erosi di kecamatan tersebut termasuk dalam kategori kerentanan tinggi. Berdasarkan variabel-
variabel fisik tersebut, diketahui bahwa nilai indeks kerentanan pesisir tertinggi terjadi pada
Kecamatan Tugu dengan nilai 32,27. Pesisir Kota Semarang tidak dapat dikatakan dalam
kondisi baik, karena masih terdapat beberapa variabel yang memengaruhi tingginya suatu nilai
kerentanan pantai di pesisir Kota Semarang seperti variabel geomorfologi, kemiringan pantai,
dan erosi/akresi.
Marfai dan King (2008) mengatakan fenomena banjir rob di kawasan pesisir Semarang
merupakan akibat dari berbagai proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dengan
dibangunnya lahan tambak, rawa, dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang
air laut dan kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan
lainnya. Selain karena perubahan penggunaan lahan terjadinya banjir rob di Kota Semarang
dipengaruhi oleh adanya penurunan tanah (land subsidance). Penurunan tanah ini disebabkan
oleh penurunan permukaan air tanah, kondisi tutupan lahan terkait dengan beban bangunan,
dan konsolidasi. Penurunan muka air tanah semakin ke arah timur semakin besar. Pengambilan
air tanah untuk kegiatan industri secara besar-besaran membuat permukaan air tanah di wilayah
timur semakin turun. Penurunan permukaan ABT (Air Bawah Tanah) di Kota Semarang di
tahun 1970-an baru 0.5– 3.5 meter. Namun penurunan dari tahun ke tahun terus meningkat dan
diperkirakan ditahun 2000-an mencapai 11.5–24.6 meter. Penurunan permukaan ABT disekitar
Pelabuhan Tanjung Emas mencapai 15 cm/tahun. Penurunan muka air tanah ini dipengaruhi
oleh jenis lapisan tanah di pantai Semarang yang mengalami pemadatan alami. Faktor
selanjutnya yaitu terjadinya konsolidasi (pemadatan alami). Menurut Yuwono et al. (2013)
wilayah yang memiliki tingkat pemadatan tinggi berada di wilayah bagian utara Kota
Semarang dengan kecenderungan meningkat ke arah timur (arah Kecamatan Genuk). Selain
itu juga adanya faktor beban bangunan di atas tanah. Industri di Kota Semarang lebih banyak
terdapat di bagian wilayah tengah dan timur. Keberadaan industri ini membuat beban yang
ditanggung tanah semakin besar sehingga membuat tanah mudah mampat dan akhirnya
mengalami penurunan permukaan tanah. Pada wilayah Kecamatan Tugu penurunan muka
tanah yang terjadi tergolong rendah dan hanya terjadi karena faktor pembebanan saja.
Penurunan muka tanah ini yang menyebabkan banjir rob ketika terjadi pasang air laut dan
kondisi tersebut terparah berada di wilayah penanganan timur dan tengah. Namun pada saat ini
dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah wilayah tengah sudah terbebas dari banjir rob
dan hanya menunggu waktu saja wilayah timur juga terbebas dari banjir rob karena proses
pembangunan proyek-proyek sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang.
Upaya penanganan banjir rob di Kota Semarang tentu saja butuh kerjasama antara
pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat. Upaya penanggulangan bencana banjir rob ini
tertuang dalam Masterplan Drainase Kota Semarang tahun 2007 yang selanjutnya menjadi
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Sistem
Drainase Kota Semarang tahun 2011-2031. Selanjutnya dalam masterplan drainase tersebut
dijabarkan program-program penanganan bencana banjir rob yang meliputi kegiatan:
1) Pembangunan waduk Jatibarang
2) Pembuatan dan pemaksimalan sistem drainase
3) Pembuatan stasiun pompa
4) Pembangunan tanggul laut
5) Peninggian jalan
6) Pembangunan tanggul
7) Pembuatan parapet (tembok penghalang air)
8) Pembuatan rumah pompa dan kolam retensi
9) Pembersihan Saluran Drainase

Selain kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, upaya yang dilakukan oleh
masyarakat antara lain dengan melakukan kegiatan sebagai berikut.
1) Peninggian bangunan rumah
2) Pembersihan saluran drainase di saluran permukiman
3) Pembuatan tanggul darurat dalam skala kecil
4) Pembentukan kelompok sadar bencana
Dalam rangka menangani banjir rob di Kota Semarang, pemerintah telah melakukan
upaya-upaya yang tak sedikit dan membutuhkan waktu lama. Kerja keras pemerintah ini
ternyata telah terlihat hasilnya walaupun belum maksimal. Selama kurun waktu 11 tahun
(2007–2017) pemerintah telah banyak melakukan upaya untuk mengatasi bencana banjir dan
rob yang seringkali melanda Kota Semarang dan mengganggu aktivitas yang ada, baik aktivitas
perekonomian, pendidikan, pemerintahan, layanan umum, maupun kegiatan lainnya. Selain
pemerintah, pihak swasta dan masyarakat juga turut serta dalam upaya penanggulangan
bencana. Keterlibatan masyarakat dan pihak swasta sangat besar pengaruhnya dalam upaya ini.
Untuk mengidentifikasi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat
dalam menghadapi banjir rob dilakukan berdasarkan siklus penanganan bencana yang
dikeluarkan oleh BNPB. Dalam siklus ini, terdapat empat periode penanganan yang pada
masing-masing tahapnya berperan cukup besar dalam mengatasi banjir rob di Kota Semarang.
Sementara itu penilaian ketangguhan kota terhadap bencana banjir rob dilakukan dengan
mengamati dan menilai komponen ketangguhan secara fisik, sosial, ekonomi, dan institusi
yang variabel penilaiannya didapat dari pendapat para ahli dan dalam pembobotannya
menggunakan pendapat dari BNPB. Dalam penanggulangan bencana ini terdapat hubungan
antara pemerintah dan masyarakat. Pada skema upaya penanggulangan bencana terdapat area
merupakan irisan dari upaya pemerintah dan upaya masyarakat. Di area tersebut terdapat
program pemerintah yaitu KSB (Kelurahan Siaga Bencana) yang dalam pelaksanaannya
membutuhkan partisipasi dari masyarakat secara langsung. Namun dalam pelaksanaannya di
lapangan KSB ini tidak terlalu aktif dalam kegiatan penanggulangan bencana. BPBD Kota
Semarang melakukan sosialisasi aktif setiap dua minggu sekali atau minimal sebulan sekali
untuk memantau kegiatan PRB (pengurangan risiko bencana) di Kota Semarang. Sementara
itu hubungan antara pemerintah dengan pihak swasta sendiri yaitu swasta sebagai pengkaji dan
pemberi dana dalam kegiatan proyek-proyek yang dilakukan oleh pemerintah, sementara
pemerintah sebagai pelaksana proyek. Dan terakhir, hubungan swasta dengan masyarakat yaitu
pihak swasta sebagai pemberi bantuan kepada masyarakat apabila terjadi bencana. Hubungan
ketiga komponen stakeholders tersebut yang digambarkan dalam area berwarna abu-abu
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Apabila penanganan bencana banjir rob dilakukan
secara bersama-sama maka akan menghasilkan suatu ketangguhan Kota Semarang dalam
menghadapi bencana banjir rob.
Selama kurun waktu 2007–2015 pemerintah Kota Semarang memfokuskan penanganan
banjir rob di wilayah tengah dan barat karena wilayah ini merupakan jantung perekonomian
dan kegiatan lainnya di Kota Semarang. Seperti pembangunan Polder Banger yang
bekerjasama dengan Pemerintah Belanda, pembangunan Waduk Jatibarang, Polder Tawang dan
Polder Kali Semarang yang bekerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation
Agency). Setelah program dan kegiatan penanganan banjir rob di wilayah tengah dan barat
dirasa cukup berhasil kini pemerintah fokus pada penanganann banjir rob di wilayah timur
karena genangan di wilayah timur ini semakin lama semakin memprihatinkan keadaannya.
Apabila dibiarkan maka akan menimbulkan kerugian yang besar karena aksesibilitas yang
terganggu sehingga roda perekonomian juga ikut terganggu. Dalam penelitian ini menemukan
hasil alasan terjadinya perbedaan antara capaian ketangguhan Kota Semarang dalam
menghadapi bencana banjir rob dengan fakta di lapangan. Pada tahun 2014, Kota Semarang
mendapat penghargaan dari RC100 yang didanai oleh yayasan Rockefeller Foundation.
Penghargaan tersebut diberikan karena Kota Semarang dianggap telah berhasil dalam
menangani banjir rob di Kota Semarang. Padahal kenyataannya masih mengalami banjir rob,
khususnya Semarang wilayah timur. Penghargaan tersebut didapat karena keberhasilan Kota
Semarang dalam menangani banjir rob di wilayah kritis Kota Semarang. Wilayah tersebut
merupakan sedikit wilayah Semarang bagian barat dan keseluruhan wilayah Semarang bagian
tengah dengan kegiatan yang padat seperti pusat perekonomian dan kegiatan lainnya yang
krusial. Prioritas penanganan banjir rob yang dilakukan oleh pemerintah selama kurun waktu
2007–2015 berada pada wilayah tengah dan wilayah barat. Wilayah Semarang bagian timur
tetap mendapatkan program-program dan bantuan dalam penanganan banjir rob namun
porsinya lebih sedikit dibanding kedua wilayah lainnya. Setelah tidak ada banjir rob di wilayah
tengah dan wilayah barat saat ini pemerintah Kota Semarang fokus pada penanganan di wilayah
timur. Penanganan banjir rob di wilayah timur ini sudah dimulai dengan kegiatan normalisasi
BKT (Banjir Kanal Timur), Kali Tenggang, Kali Sringin, dan pembuatan tanggul laut yang
nantinya juga akan berfungsi sebagai tol laut SemarangDemak. Hingga akhir Januari 2018,
progres pekerjaan pada sistem Kali Sringin sudah mencapai 36% dan progres Kali Tenggang
sudah mencapai 57%. Sementara untuk tanggul laut sendiri sudah selesai proses desain
detailnya dan proses konstruksi dimulai pada bulan Mei 2018. Dengan adanya tanggul laut dan
normalisasi sungai-sungai di wilayah timur ini diharapkan dapat menghilangkan banjir rob dari
wilayah timur. Pada Maret 2018, normalisasi BKT sudah dimulai dengan pembersihan
sempadan sungai dari bangunanbangunan. Nantinya sempadan sungai tersebut akan
dibangun taman-taman rekreasi seperti di sempadan sungai BKB.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat ketangguhan Kota
Semarang secara keseluruhan berada pada level ketangguhan “sedang”. Hal ini dapat dikatakan
bahwa Kota Semarang belum tangguh. Apabila dilihat secara fisik genangan banjir rob sudah
banyak berkurang. Sampai saat ini hanya wilayah penanganan timur yang masih sering terkena
banjir rob dan hanya tinggal menunggu waktu tidak terjadi genangan lagi karena proyek-
proyek penanggulangan bencana yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang. Namun
apabila dilihat secara keseluruhan menggunakan konsep kota tangguh, baik secara fisik, sosial,
ekonomi, maupun institusi, Kota Semarang belum termasuk dalam kota tangguh. Secara sosial
ekonomi masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kesejahteraan dan kondisi fisik
lingkungan tempat tinggal mereka masih jauh dari kata tangguh (rumah-rumah penduduk
banyak yang hanya seadanya dan terkesan kumuh karena sering terpapar banjir rob). Selain itu
masih banyak masyarakat yang memiliki mata pencahariaan yang rentan apabila terpapar
bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, F. D., Rudi, M., & Andari, R. E. (2022). Strategi Adaptasi Masyarakat Di Desa Pantai
Bahagia, Muara Gembong, Bekasi Terhadap Dampak Banjir Rob. PAPALELE (Jurnal
Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan), 6(2), 84-90.
Erlani, R., & Nugrahandika, W. H. (2019). Ketangguhan Kota Semarang dalam menghadapi
bencana banjir pasang air laut (Rob). Journal of Regional and Rural Development
Planning (Jurnal Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan), 3(1), 47-63.
Gultom, H. T., Juhadi, J., & Aji, A. (2018). Fenomena banjir rob di Kota Semarang sebagai
sumber belajar. Edu Geography, 6(3), 198-205.
Hakam, A. M., & Harsasto, P. (2019). Evaluasi Proses Kebijakan Penanganan Banjir Rob di
Kota Semarang oleh Pemerintah Kota Semarang. Journal of Politic and Government
Studies, 8(01), 281-290.
Kurniawan, D., Prasetyo, S. Y. J., & Fibriani, C. (2021). Sebaran Vegetasi pada Kawasan
Berpotensi Bencana Banjir Pesisir (Rob) Kota Semarang. Indonesian Journal of
Computing and Modeling, 4(1), 10-13.
Putri, N. A., Nisa, A. N. S., Ginanjar, A., & Hermanto, F. (2022). Optimalisasi gerakan
konservasi hutan mangrove melalui program PELITA sebagai upaya penguatan social
awareness pada masyarakat Tugu Kota Semarang. Harmony: Jurnal Pembelajaran
IPS dan PKN, 7(2), 119-126.
Ramdhany, A. D., Wiranegara, H. W., & Luru, M. N. (2021). Zonasi Tingkat Kerentanan Fisik
atas Banjir Rob Kecamatan Tugu di Kota Semarang. Jurnal Bhuwana, 137-146.
Safitri, F., Suryanti, S., & Febrianto, S. (2019). Analisis Perubahan Garis Pantai Akibat Erosi
di Pesisir Kota Semarang. GEOMATIKA, 25(1), 37-46.
Septiawan, M. D., Dwimawanti, I. H., & Yuniningsih, T. (2023). Mitigasi Bencana Abrasi Di
Kecamatan Tugu Oleh Pemerintah Kota Semarang. Journal of Public Policy and
Management Review, 12(2), 635-649.

Anda mungkin juga menyukai