Anda di halaman 1dari 46

TUGAS MAKALAH

MK. TEKNIK MITIGASI BENCANA (TSL 600)

Mitigasi Bencana Banjir Pasang (Rob)


Studi Kasus Kota Semarang

Oleh:
Diah Listyarini
(A153130021)

Dosen:
Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Si

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pesisir merupakan salah satu kawasan yang sangat dinamis dengan


berbagai penggunaan lahan yang sangat kompleks.Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki kawasan pesisir yang sangat strategis yang dapat
dioptimalkan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan.Namun demikian
wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap tekanan
lingkungan baik yang berasal dari darat maupun dari laut. Salah satu tekanan yang
akhir-akhir ini mengancam keberlangsungan wilayah pesisir diseluruh dunia
adalah adanya kenaikan muka air laut yang menyebabkan terjadinya banjir pasang
(rob).
semakin parah dengan adanya genangan air hujan atau banjir Banjir
pasang (rob) merupakan fenomena yang umum terjadi dikota yang terletak di tepi
pantai, Supariharjo (2013) mengemukakan bahwafenomena banjir pasang (rob)
yang terjadi hampir disepanjang tahun baik terjadi dimusim hujan maupun
dimusim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan bukanlah faktor
utama yang menyebabkan fenomena banjirrob.
Banjir rob terjadi terutama karena pengaruh tinggi-rendahnya pasang-surut
air laut yang terjadi oleh gaya gravitasi yakni gravitasi bulan merupakan
pembangkit utama pasang surut. Terjadinya banjir rob akibat adanya kenaikan
muka air laut yang disebabkan oleh pasang surut, dan faktor-faktor lain atau
external force seperti dorongan air, angin atau swell (gelombang yang diakibatkan
dari jarak jauh) dan badai yang merupakan fenomena alam sering terjadi di laut.
Selain itu banjir rob juga terjadi akibat adanya fenomena iklim global yang
ditandai dengan adanya peningkatan temperature rata-rata bumi dari tahun ke
tahun.
Indonesia sendiri banjir pasang (rob) sering terjadi dan salah satu kota
yang sering dilanda oleh banjir pasang (rob) adalah kota Semarang. Permatasari
(2012) mengemukakan bahwa banjir di kota Semarang tiap tahunnya dari tahun
2005 hingga tahun 2010 selalu meningkat. Peningkatan banjir rob di kota
Semarang disebabkan karena adanya perubahan iklim global, degadasi
lingkungan, dan bertambahnya jumlah penduduk makin memperbesar ancaman
resiko bencana.Bencana tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian
yang besar.Dimasa mendatang, dampak banjir rob ni diprediksikan semakain
besar dengan adanya scenario kenaikan muka air laut sebagai efek pemanasan
global. Bahkan banjir rob dikawasan pesisir akan kiriman, dan banjir local akibat
saluran drainase yang kurang terawat (Suriyanti, 2009).
Marfai dan King (2009) dalam Pratiwi (2012) menyatakan bahwa kota
Semarang merupakan wilayah pesisir dengan penggunaan lahan yang bervariasi
dan aktivitas yang dinamis. Kompleksitas kota Semarang antara lain aktivitas
industri dan pelabuhan, aktivitas pertanian, pertumbuhan populasi penduduk,
penggunaan air tanah, perkembangan penduduk, aktivitas rekreasi, dan perikanan.
Kompleksitas kegiatan dan aktivitas yang ada diwilayah semarang menyebabkan
besarnya tekanan diwilayah tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa luas lahan
yang mengalami penurunan di kawasan pesisir Semarang dapat mencapai 2.227
ha pada tahun 2020.Antisipasi banjir yang selam ini mendera wilayah Semarang
harus diperhatikan melalui tiga hal, yaitu melalui pemanenan air hujan didaerah
atas, pembuatan pompa untuk daerah bawah dan membendung air laut yang
masuk ke wilayah daratan. Selain penurunan muka tanah, banjir rob disebabkan
juga oleh peningkatan muka air laut, luapan sungai karena hujan sebagai akibat
kurangnya pemeliharaan terhadap jaringan drainase kota, berkurangnya daerah
tangkapan air dan timbul banjir sebagai dampak dari perubahan penggunaan lahan
diwilayah Semarang atas.
Dampak yang ditimbulkan oleh banjir robbagi aktivitas social-ekonomi
masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota
pantai, (b) gangguan terhadap prasarana dan sarana seperti jaringan jalan,
pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap pemukiman penduduk, (d)
pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko wabah penyakit
dan sebagainya. Soedarsono (1996) menambahkan bahwa terjadinya banjir rob
menyebabkan anak-anak rentan terhadap penyakit dan infeksi dari genangan
banjir tersebut. Penyakit tersebut antara lain : diare, demam, dan malaria menjadi
lebih mudah menyerang selama banjir karena kondisi buruk. Banjir rob juga
mempengaruhi kualitas bangunan atau kondisi bangunan. Akibat genangan pada
bangunan secara kontinyu dan frekuensi
Rahayu (2009) menambahkan Semarang merupakan daerah yang sering
mengalami banjir pasang (rob) hingga menggenangi kawasan yang berjarak tiga
kilometerdari pesisir utara Semarang dengan ketinggian air diatas mata kaki orang
dewasa.Pemerintah dan masyarakat dapat melakukan adaptasi dan mitigasi untuk
mengurangi resiko rob. Pengetahuan warga dalam mengenal datangnya suatu
bencana akan berpengaruh terhadap kesigapan mereka dalam menghadapi
bencana tersebut. Pengetahuan ini berkaitan dengan kebiasaan membaca tanda-
tanda alam terhadap datangnya bencana tersebut. Diberbagai daerah di Indonesia
dengan kearifan local masyarakat setempat dalam membaca tanda-tanda alam
akan datangnya bencana mampu menyelamatkan nyawa banyak orang, namun
tidak semua warga masyarakat mengetahui atau mencermati tanda-tanda tersebut
(Mardiatno, 2012). Dengan semakin meluasnya area genangan banjir rob maka
hal ini bukan hanya mempengaruhi penggunaan lahan.Oleh karena itu diperlukan
suatu upaya dalam pegurangan risiko bencana yang memadukan upaya mitigasi
dan adaptasi yang terkait secara langsung dengan pembangunan berkelanjutan
sebagai upaya untuk mengurangi resiko terhadap kerugian dan penghidupan
masyarakat serta peningkatan daya tahan (resilience) masyarakat terhadap
berbagai potensi bencana.

Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut :
1. Kriteria dan parameter penyebab terjadinya bencana rob
2. Menganalisis tingkat bahaya (hazard), tingkat kerentanan (vulnerability) dan
kapasitas masyarakat terhadap bencana banjir pasang (rob)
3. Merumuskan zonasi risiko bencana banjir pasang (rob) di Kota Semarang
4. Mengajak pembaca untuk dapat berfikir kritis dalam menghadapi bencana atau
masalah yang terjadi sehingga bencana atau masalah yang terjadi sehingga
bencana tidak lagi menjadi masalah namun dapat membawa berkah.
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kota Semarang
Kota Semarang terletak di pantai utara Jawa Tengah yang berada dalam
wilayah 650-710 LS dan 10935-11035 BT. Disebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Kendal, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Demak,
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan sebelah utara
dibatasi oleh Laut Jawa dan panjang garis pantai meliputi 13.6 km, dan berada
pada ketinggian 0.75- 348 diatas garis pantai. Secara administratif, kota Semarang
terbagi atas 16 wilayah Kecamatan dan 177 kelurahan. Luas wilayah kota
Semarang tercatat 373,70 km2 yang terdiri dari 39.56 km2 (10.59%) sawah dan
334.14 km2 (89.41%) lahan bukan sawah yang 42.17% dari luas tersebut
merupakan daerah terbangun (BPS, 2013).
Bakti (2010) menambahkan bahwa kota Semarang berada pada posisi yang
sangat strategis bagi Jawa Tengah, karena kota tersebut menjadi simpul empat
pintu gerbang, yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan kearah kota-kota
dinamis seperti kabupaten Magelang, Surakarta. Koridor timur kearah kabupaten
Demak atau kabupaten Grobongan dan kearah barat menuju kabupaten Kendal.
Secara administrasi, kota Semarang sebelah barat utara berbatasan dengan Laut
Jawa, disebelah timur berbatasan dengan kabupaten Demak, disebelah selatan
berbatasan dengan kabupaten Semarang dan disebelah barat berbatasan dengan
kabupaten Kendal (Bakti, 2010).
Gambar 1. Peta Wilayah Kota Semarang (Sumber : Bappeda Kota Semarang, 2011)

Bakti (2010) menambahkan bahwa kota Semarang di bagian utara


merupakan pantai dan dataran rendah yang memiliki kemiringan 0-20% dengan
ketinggian bervariasi antara 0-25m dpl. Sementara dibagian selatan kota
Semarang merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan 2-40%dan ketinggian
antara 25-400m dpl. Pemanfaatan kota semarang bagian hulu harus difungsikan
sebagai daerah konservasi untuk melindugi kota Semarang bagian bawah dari
kemungkinan terjadinya banjir kiriman. Semarang bagian atas memiliki
kemiringan >40% dan tidak diperkenankan untuk kegiatan budidaya. Adapun
untuk lahan dengan kemiringan antara 25-40% dapat digunakan untuk budidaya
namun dengan penggunaan terbatas, sedangkan lahan dengan kemiringan <25%
seperti di semarang bagian bawah merupakan lahan yang diperbolehkan untuk
berbagai penggunaan.
Kondisi pantai Kota Semarang pada umumnya berelief rendah dengan
garis pantai pasir pantai, berelief rendah tersusun endapan alluvial dan kombinasi
paparan lumpur dan hutan bakau.Panjang pantai Semarang 30 mil yang
membujur dari timur ke barat ddengan berbagai fungsi lahan, seperti tambak,
pelabuhan, pemukiman dan arena rekreasi. Namun dari total luasan lahan pesisir
pantai ini yang bersifat lahan public hanya sebesar 20%. Dalam artian hampir
80% pantai Semarang dimiliki oleh swasta.(Kisdianto, 2013).
Struktur geologi didaerah semarang sendiri terdiri atas tiga bagian yaitu
struktur joint (kekar), patahan (fault), dan lipatan. Daerah patahan tanah bersifat
erosive dan mempunyai porositas tinggi, struktur lapisan batuan yang
diskontinyu, heterogen sehingga mudah bergerak atau longsor. Daerah sekitar
aliran sungai Kaligarang merupakan patahan Kaligarang yang membujur kearah
utara sampai selatan yang dibatasi oleh Bukit Gombel.Patahan ini bermula dari
Ondorante kea rah utara hingga Bendan Duwur. Patahan ini merupakan patahan
geser yang memotong formasi Notopuro dan ditandai dengan adanya zona sesar,
tebing terjal di Ondorante dan pelurusan Kaligarang serta beberapa mata air
Bendan Duwur. Daerah Patahan lainnya adalah Metesh, perumahan Bukit
Kencana Jaya dengan arah patahan melintas dari utara ke selatan. Sedangkan pada
wilayah kota Semarang yang berupa daratan rendah memiliki jenis tanah berupa
struktur pelapukan, endapan dan lanau yang dalam.
Banjir Pasang (rob)
Banjir menurut terminologi ilmiah adalah suatu kondisi di suatu wilayah
dimana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-saluran
air atau tempat-tempat penampungan air sehingga meluap atau menggenangi
daerah diluar saluran, lembah sungai, ataupun penampungan air tersebut (Savitri,
2007).Banjir merupakan interaksi antara manusia dengan alam yang diakibatkan
sistem penyesuaian manusia dalam kegiatannya menggunakan alam dan sistem
alam itu sendiri. Banjir merupakan aspek interaksi antara manusia dan alam yang
timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang bermanfaat
dan menghindari alam yang merugikan manusia (Suwardi, 1999).
Banjir merupakan salah satu bencana yang sering kali melanda Indonesia,
terkecuali pada daerah pesisir seperti kota Semarang, yakni banjir pasang (rob).
Banjir rob merupakan fenomena yang umum terjadi di kota yang terletak ditepi
pantai, di Indonesia sendiri banjir rob sering terjadi dikota pantai.Banjir pasang
atau dalam bahasa jawa yang lebih dikenal dengan istilah rob merupakan banjir
yang diakibatkan oleh proses pasang surut air laut sehingga menggenangi lahan
ataupun kawasan pesisir yang lebih rendah dari permukaan laut rata-rata dan
pantai yang memiliki morfologi landai (Suryanti, 2008). Banjir pasang (rob)
merupakan genangan air pada bagian daratan pantai yang terjadi pada saat air laut
pasang.Banjir pasang (rob) menggenangi bagian daratan pantai atau tempat yang
lebih rendah dari muka air laut pasang tinggi (high water level).Banjir rob terjadi
terutama karena pengaruh tinggi-rendahnya pasang surut air laut yang terjadi oleh
gaya gravitasi.
Gravitasi bulan merupakan pembangkit utama pasang surut.Terjadinya
banjir rob akibat adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pasang
surut, dan faktor-faktor atau eksternal force seperti dorongan air, angin atau swell
(gelombang yang akibatkan dari jarak jauh), dan badai yang merupakan fenomena
alam yang sering terjadi di laut. Selain itu, banjir rob juga terjadi akibat adanya
fenomena iklim global yang ditandai dengan peningkatan temperatur rata-rata
bumi dari tahun ke tahun (Yualelawati, 2008). Banjir rob akan semakin parah
apabila pada lahan ataupun kawasan telah ada genangan air yang diakibatkan yang
diakibatkan banjir local maupun luapan air dari drainase yang tidak berfungsi
dengan baik.

Penyebab Banjir Pasang (rob)


Bencana dapat terjadi karena saling bertemunya dua faktor yaitu bahaya
atau kerawanan (hazard) dan kerentanan (vulnerability).Oleh karena itu harus
saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu
daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindar dari bencana (Mathew
et al., 2007 dalam Utomo, 2013).Berbagai kajian tentang banjir pasang (rob) kota
Semarang telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian-
penelitian tersebut sebenarnya mempunyai satu tujuan yaitu sebagai landasan
dalam penanganan banjir pasang (rob). Beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya banjir rob di kota Semarang, antara lain :
1. Kondisi dan peristiwa alam
a. Pasang Surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air yang disebabkan oleh gaya
tarikmenarik antara planet bumi dengan benda langit lain terutama bulan
dan matahari.Pasang surut termasuk gelombang panjang dengan periode
gelombang berkisarantara 12 dan 24 jam.Puncak gelombang pasang surut
biasa disebut air pasang(high tide) dan lembahnya disebut air surut (low
tide). Ketinggian pasang surutakan sangat tergantung pada posisi Bulan,
Bumi, dan Matahari.
Permukaan air laut dipantai Utara Semarang cenderung
meningkat.fluktuasi muka air laut di kota Semarang, pengeruhnya terlihat
pada saluran drainase kota yang ada seperti Kali Banger, Kali Kanal Timur,
Kali Asin, Kali Baru Dan Kali Semarang. Arus balik Kali Semarang pada
kondisi rata-rata muka air pasang tertinggi mengakibatkan genangan yang
terjadi hingga kota Lama, Stasiun Tawang, depan kator pos dan jalan Imam
Bonjol. Arus balik dari Kali Asing mengkibatkan genangan mencapai
perumaha Tanah Mas Pondok Indraprasta dan Jalan Hasanudin (suwardi,
1999).
Berdasarkan penelitian Wirasatrian (2005) dalam Arif et al., (2012)
menyebutkan bahwa kenaikan muka laut akibat dari pemanasan global
menjadi satu penyebab terjadinya banjir pasang (rob) kota Semarang.
Penelitian tersebut didasari dengan melakukan analisis dari stasiun pasang
surut Semarang dalam 20 tahun terakhir. Hal tersebut didukung oleh
penelitian Gumilar et al., (2009) yang menyatakan bahwa telah terjadi
penurunan permukaan tanah diwilayah Semarang, dimana hal tersebut
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya banjir pasang (rob) di
kota Semarang. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa penurunan
permukaan tanahakan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya
populasi dan pembangunan perkotaan diwilayah tersebut melalui
pengambilan air tanah yang berlebihan dan beban bangunan.
Hasil penelitian sanjaka el al., (2013) berdasarkan hasil analisis model
banjir rob (inundasi) didapatkan jarak terjauh mencapai 4,295 km
diKecamatan Genuk sedangkan jarak terdekat mencapai 488,93 m. Untuk
luas banjir maksimal terjadi di KecamatanTugu dengan luas 3450,1 Ha saat
pasang purnama, sedangkan wilayah yang paling sedikit terendam di
Kecamatangayamsari dengan luas 71,228 Ha saat pasang perbani. Secara
wilayah fenomena banjir rob ini sudah menjangkauwilayah Kecamatan
yang tidak berbatasan langsung dengan garis pantai, seperti Kecamatan
Gayamsari dan SemarangTimur.
Banjir rob yang terjadi di Semarang umumnya disebabkan oleh
pasang tertingi setiap periodenya dan menyebabkan air masuk dan
menggenangi daratan. berikut ini adalah hasil anlisis daerah banjir rob
pada saat pasang tertinggi perbani dan purnamasehingga didapat jarak dan
luas banjir rob pada tiap kecamatan. Data yang diambil dibagi menjadi 2,
yaitu scenario mnimum dan maksimum.Skenario mnimum menjelaskan
nilai terendah yang terjadi pada saat kondisi pasut perbaniatau
purnama.Dan skenario maksimum menjelaskan nilai tertinggi yang terjadi
pada saat kondisi pasut perbani ataupurnama.
Adapun hasilnya disajikan pada table berikut :

b. Kenaikan muka laut


Kenaikan muka laut yangdiduga juga menjadi salah satu
penyebabbanjir rob di Semarang merupakansuatu permasalahan yang
sangat sulituntuk dipecahkan. Sampai sekarangpunangka pasti mengenai
kenaikan mukalaut di Semarang masih belum jelaskarena dari beberapa
penelitian ternyatamenunjukan hasil yang berbeda-beda.Menurut
Wirakusumah dan Lubis(2002) sejak tahun 1950 sampai tahun2003 diduga
akan terjadi kenaikanmuka laut sebesar 39 cm di perairanSemarang akibat
pemanasan global. Hal iniberarti kenaikan muka laut di Semarangmencapai
7,36 mm/ tahun.
Menurut TimPeneliti ITB (1990) dalam Abdurachim(2002) kenaikan
muka air laut di Semarangmencapai 9,27 mm pertahun. Kemudianmenurut
Manurung et al. (2002) kenaikanmuka laut di Semarang mencapai
6mm/tahun. Suripin (2002) dalam laporanpenelitiannya menyatakan bahwa
kenaikanmuka laut di Semarang mencapai 5,01 cm /tahun. Sedangkan
berdasarkan penelitianAdhitya (2003) dari mulai tahun 1991 hinggatahun
1997 muka air laut rata-rata tahunan diSemarang mengalami kenaikan
berkisarantara 1,5 6,7 cm. akan tetapi pada tahunberikutnya sampai tahun
2000 permukaan airlaut justru mengalami penurunan sebesar1,31- 39,9 cm.
Berdasarkan penelitian Wirasatriya (2005) menyatakan mendapatkan
bahwa nilai kenaikanmuka laut di Semarang akibatpemanasan global
adalah sebesar 2,65mm/tahun, dimana angka ini didapatkandengan
mengkoreksi data kenaikanmuka laut total yang terekam padaAWLR di
stasiun Pasut PelabuhanTanjung Emas dengan data penurunantanah pada
lokasi AWLR tersebut.Ternyata hasil penelitian ini mendekatinilai
kenaikan muka laut global yangdiperoleh berdasarkan data satelitaltimetri
yaitu 2,4 mm/tahun. Jadi dapatdisimpulkan bahwa naiknya air
lautberekspansi ke daratan yangmenyebabkan banjir rob di
beberapawilayah di Semarang, kenaikan sebesar2,65 mm/tahun
disumbangkan olehkenaikan muka laut global.

c. Posisi Geografis
Semarang memiliki keunikan geologis yang jarang dimiliki kota-kota
lain di Indonesia, yaitu kondisi alam yang secara geologis terdiri dari
wilayah perbukitan, daratan dan wilayah pantai. Pengembangan kota
Semarang sebagai kota pantai sejogyanya dipegang sebagai satu panduan
utama pembangunan kota yang berwawasan lingkungan.
Secara topografis, kota semarang memiliki potensi yang cukup besar
untuk terjadinya banjir. Kenaikan muka air laut akibat pasang naik akan
memasuki daratan yang permukaan tanahnya relatif rendah, hanya berbeda
1.3 5.0 meter terhadap muka iar laut sehingga pengaruh pasang naik dan
pasang surut menjadi semakin terasa, Sementara didaerah rendah di utara
ditutupi bahan induk alluvial sungai dan marin, wilayah perbukitan
limpatan ditempati oleh batuan sedimen. Susunan bahan ini mempunyai
sumbangan yang cukup dalam menentukan perbandingan jumlah air yang
mengalir dipermukaan dan air yang masuk kedalam tanah.Diperbukitan
lipatan terdapat lapisan yang kedap air, sehingga menyebabkan sulitnya air
meresap kedalam tanah.Selain itu terdapat juga lereng tang cukup terjal
dengan kemiringan > 40%, maka aliran permukaan yang terjadi masih
cukup besar.Dan bahan induk didataran rendah memiliki permeabilitas
lambat sehingga mengakibatkan terjadinya genangan dipemukiman
(Suwardi, 1999).
d. Iklim
Salah satu faktor iklim yang mempengaruhi terjadinya banjir rob
dikota semarang adalah curah hujan. Berikut data curah hujan dan lamanya
tahun 2008-2012 :

Tabel 1. Data Curah Hujan Dan Rata-rata curah hujan tiap kecamatan di
Kota Semarang Tahun 2008-2011
Tahun Rata-rata Curah Hujan (mm/thn) Rata-rata curah hujan tiap kecamatan
2008 2.643 220.25
2009 1.845 153.75
2010 2.869 239.20
2011 2.164 201.20
Sumber :BPS, 2012

Curah hujan dengan intensitas tinggi, ditambah dengan periode hujan


yang panjang sekitar 8 bulan, dan keadaan tanah yang selalu dalam keadaan
lembab, akan mengakibatkan air hujan yang mengalir dipermukaan lebih
besar dibandingkan dengan jumlah air yang meresap kedalam tanah
sehingga dapat memperbesar timbulnya banjir (Suwardi, 1999).
e. Hidrologi
Masalah hidrologi yang menyebabkan banjir rob di kota Semarang
yakni kondisi saluran drainase dan kondisi air tanah. Sarana drainase utama
yang terdapat dipusat kota Semarang adalah saluran Kali Semarang dan
saluran Kali Benger. Pada waktu dulu Kali Semarang dan Kali Benger
merupakan saluran irigasi yang masing-masing intake-nya terletak pada
saat sekarang keduanya telah berubah fungsi menjadi saluran utama pada
pusat kota semarang. Namun saat ini seiring dengan meningkatnya
konversi lahan menjadi lahan terbangun mengakibatkan menurunnya
kapasitas saluran yang ada akibat kurangnya pemeliharaan sehingga
sedimentasi dari endapan erosi dan sampah yang dibuang penduduk
semakin tebal.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya perkembangan
pemukiman yang menimbulkan banyak banyak bangunan yang didirikan
dikiri-kanan saluran bahkan ada yang diatas saluran.Hal ini menyebabkan
saluran menyempit dan sulit dibersihkan.Jika terjadi hujan lebat, maka
saluran-saluran drainase yang ada tidak mampu menampung aliran air
sehingga terjadi banjir.Disamping itu tumbuhnya wilayah pemukiman di
wilayah Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat juga menyebabkan
pola dan kapasitas saluran drainase didataran fluvio-marin tidak lagi
mendukung saluran sehingga mengakibatkan banjir.
Kisdianto (2013) menambahkan secara hidrologis, air tanah bebas
merupakan air tanah yang terdapat pada lapisan pembawa air (aquifer) dan
tidak tertutup oleh lapisan kedap air. Permukaan air tanah bebas ini sangat
dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan sekitarnya. Penduduk
kota Semarang yang berada didaerah dataran rendah banyak memanfaatkan
air tanah ini dengan membuat sumur-sumur galian (dangkal) dengan
kedalaman rata-rata 3-18 meter.

Gambar 2. Amblesan air tanah dan instusi air laut


Gambar 3. Pergerakan limpasan Rob kota Semarang

Sementara perkembangan kota dan meningkatnya jumlah penduduk,


berpengaruh terhadap proses terjadinya penurunan air tanah akibat adanya
pengeboran sumur dalam yang tidak terkendali. Pengambilan air tanah
yang berasal dari sumur bor yang cukup intensif mengakibatkan terjadinya
penurunan muka tanah dan intuisi air laut. Penurunan permukaan air tanah
secara terus-menerus dapat mengakibatkan penurunan tanah dan
penerobosan air asin kedalam air tanah, akan tetapi penurunan tanau atau
intuisi tersebut tidak seluruhnya disebabkan oleh pemompaan air tanah
yang berlebihan. Selain itu juga berkaitan erat dengan kondisi geologi
wilayah. Diwilayah Semarang Utara kondisi ini ditandai dengan terus
menerus naiknya permukaan air laut kea rah hulu Kali Asin, Kali
Semarang, kali Baru dan Kali Benger sehingga banjir genangan akibat rob
terus meningkat.
Penurunan tanah terjadi karena penurunan tekanan air tanah dalam
kapiler dan adanya penurunan konsolidasi lapisan atas dan bawah dari
akifer.Adanya air tanah yang tertekan kedalam zona delta (lapisan
lempung) maka penurunan tanah terjadi cukup besar, tetapi pada lapisan
pasir dan kerikil penurunan tanah tidak begitu besar. Akibat lain dari hal ini
adalah memudahkan air laut menekan kandungan air tanah semakin ke
hulu. Jika air tanah bebas dipantai. Air yang asin telah berada di bawah
akifer, maka air asin akan menerobos kedalam sumur setelah pemukaan air
yang dipompa berada lebih rendah dari permukaan laut dan apabila akifer
tidak tebal, penerobosan peneobosan air laut dapat menyebar ke pantai.
Selain itu jika tekanan air tanah pada mulut akifer dilaut menjadi lebih
rendah dari tekanan air laut maka intuisi akan lebih mudah terjadi
(Suwardi. 1999).
2. Pengaruh kegiatan manusia
a. Perubahan Penggunaan Lahan
Semarang termasuk wilayah pesisir yang spesifik, sebab berada
diperbatasan antara pengaruh daratan dan lautan.Wilayah pesisir bersifat
dinamis karena cepat dan berkembang bila dibandingan dengan wilayah
pedalaman.Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan wilayah pesisir
memerlukan perencanaan yang baik, agar mampu memenuhi kebutuhan
lahan bagi pengguna. Perkembangan kota Semarang didukung kegiatan
pembangunan yang padat, sehingga ketersediaan lahan untuk membangun
kawasan pemukiman, industri dan fasilitas umum semakin menyempit.
Pembangunan yang terus menerus berkembang menambah bebean
terhadap tanah, hal ini akan menimbulkan penurunan tanah, selanjutnya
dapat mengakibatkan naiknya permukaan air laut sehingga genangan air
pasang semakin meluas.
Suryanti (2008) menambahkan bahwa Terjadinya perubahan pada
penggunaan lahan pada wilayah pantai, contohnya lahan tambak, rawa dan
sawah yang dulu secara alami berfungsi sebagai penahan dan penampung
laju masuknya air pada saat pasang kini peruntukannya telah berubah
menjadi pemukiman, kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya.
Perubahan ini dilakukan dengan cara menimbun atau meninggikan daerah-
daerah tersebut sehingga apabila terjadi pasang air laut maka akan
menggenangi daerah yang lebih rendah.
Tabel 2.Perbadingan Persentasi Penggunaan Lahan antara Tahun 2007 dan
2012.
Keterangan Tahun 2007 Tahun 2012
Areal terbangun (indusrti, perumahan dll). 37.64% 40.70%
Tegalan 15.77% 20.89 %
Kebun Campuran 13.47% 7.81%
Sawah 12.96% 10.24%
Tambak 6.96 % 6.27%
Hutan 3.69 % 2.85%
Lain-lain 9.51% 11.24%
Sumber :BPS, 2007 dan 2012

Dibagian utara wilayah Semarang banyak areal persawahan dan


tambak beralih fungsi menjadi areal pemukiman dan industri seperti
Perumahan Tanah Mas, Pondok Hasanuddin, Pondok Indraprasta, Puri
Sakti dan Cakrawala. Sementara bagian selatan Kota Semarang yang terdiri
dari perbukitan dan berfungsi sebagai kawasan penyangga/resapan air,
ternyata banyak juga digunakan untuk pemukiman baru. Akibatnya volume
air yang mengalir ke kota bawah semakin besar, dan tidak tertampung oleh
sistem drainase kota yang tersedia sehingga meningkatkan genangan banjir.
b. Penurunan Permukaan Tanah (land subsidence)
Penurunan tanah (Land subsidence) adalah suatu fenomena alam yang
banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan sedimen,
seperti Jakarta, Semarang, Bangkok, Shanghai, dan Tokyo.Penurunan
muka tanah terjadi perlahan-lahan dan sering tidak dirasakan secara
langsung.Terjadinya penurunan muka tanah baru disadari setelah terlihat
tanda-tanda perubahan fisik pada bangunan yang dibangun di atas lahan
yang mengalami penurunan muka tanah itu. Penurunan muka tanah yang
terjadi karena beban fisik akan berlangsung terus tanpa batas waktu
tertentu selama beban fisik masih berada di atasnya (Bakti, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryanti (2008) bahwa
terjadinya penurunan tanah pada kawasan pantai. Marfai dan King (2008)
menambahkan bahwa terjadinya penurunan tersebut diakibatkan
penggunaan air tanah yang berlebihan dan keberadaan recharger air tanah
pada kawasan konservasi yang buruk. Berdasarkan penelitian Bakti (2010)
kota Semarang mengalami penurunan mukasecara perlahan, yang disajikan
pada peta berikut :
Gambar 4. Peta Penurunan Muka Tanah (land subsidence) Kota Semarang
(Sumber : Bakti, 2010)

Gambar 5. Peta Penurunan Muka Tanah (land subsidence) Kota Semarang


(Sumber :ESDM,2007 dalamBakti, 2010)

Terjadinya penurunan permukaan tanah atau amblesan tanah (land


subsidence) yang besarnya berkisar antara 2-25 cm/thn.Amblesan
permukaan tanah ini disebabkan adanya tekanan konus bangunan dan
infrastruktur yang dibangun diatas lahan yang tanahnya bersifat labil
(alluvial).Amblesan tanah yang terjadi didaratan Semarang disebabkan
oleh dua faktor yaitu penurunan muka air tanah akibat adanya pemompaan
dan penungkatan beban karena pengurungan tanah.Tektonik di Pulau Jawa
yang cukup aktif pada Pliosen akhir Plistosen tengah, menghasilkan pola
struktur geologi yang kompleks di daerah selatan. Struktur sesar yang aktif
belum diketahui dengan jelas pengaruhnya terhadap proses amblesan tanah
didataran alluvial semarang. Akibatnya apabila berlangsung terus-
menerus, beberapa wilayah justru lebih rendah daripada permukaan laut
(Kisdianto,2013). Bakti (2010) menambahkan penanggulangan penurunan
muka tanah dapat direalisasikan melalui pemantauan yang bertujuan
menentukan parameter penurunan muka tanah yang terkait denganwaktu,
yaitu kecepatan dan percepatan penurunan muka tanah.
c. Degradasi lingkungan
Adapun degradasi lingkungan yang terjadi seperti hilangnya
tumbuhan penutup lahan pada catchment area, pendangkalan sungai akibat
sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya sehingga
menyebabkan terjadinya banjir rob (Hildaliyani, 2011). Suwardi (1999)
menambahkan bahwa di kota Semarang terdapat beberapa sungai yang
bermuara ke Laut Jawa, diantaranya Kali Semarang dan Kali Banger.
Berdasarkan analisis Semarang Drainase proyek (1983) bahwa jumlah
sedimen yang mengendap di Kali Semarang sebesar 12.146 m3/tahun dan
Kali Banger sebesar 8.056 m3/tahun. Pantai semarang menurut
morfologinya berbentuk teluk. Pada musim barat arus laut membawa
sedimen dan mengendap dimuara, dan pada musim timur arus laut tidak
dapat membuang kembali sedimen yang terbawa pada musim barat. Hal
ini karena terhalang oleh bangunan pemecah gelombang yang terletak
disebelah timur muara Kali Semarang, akibatnya sedimen terus menerus
bertambah dan mengendap dimuara.

d. Reklamasi Pantai
Reklamasi pantai utara Semarang dapat berpengaruh terhadap kondisi
hidrologi wilayah sekitar, terutama terhadap lingkungan air permukaan
yang berasal dari pasang surut air laut.Penambahan daratan didepan
daratan alluvial menjadi ledok fluvial apabila lahan baru itu lebih tinggi.
Proses geomorfologi yang dapat terjadi pada daerah adalah banjir berkala
atau banjir permanen. Dampak reklamasi pantai Semarang yang saat ini
timbul adalah adanya genangan banjir disekitar perumahan Tanah Mas
akibat daerah hasil reklamasi lebih tinggi daripada daerah asli disebelah
selatannya, sehingga menjadi cekungan.Pada saat hujan dan pasang naik
terisi air sehingga menimbulkan banjir genangan.
Meluasnya area limpasan rob, yang terjadi berkaitan dengan
pelaksanaan reklamasi pantai. Hal ini terjadi karena hempasan air laut
yang biasanya menggenangi area yang direklamasi kemudian mencari
tempat lain yang lebih rendah. Celakanya justru area sekitarnya yang
merupakan pemukiman penduduk dan diwilayah ini terdapat infrastruktur
utama kota, seperti pelabuhan, Tanjung Mas, Stasiun KA Tawang,
Terminal Bus Terboyo, Bandar Udara Ahmad Yani, sistem drainase, air
bersih, pengolahan air limbah, persampahan dan jalan raya kelas I, II, III
dan jalan lingkungan. Juga kawasan perumahan mewah, kumuh, kawasan
industri dan perdagangan serta kawasan wisata pantai (Kisdianto,2013).
e. Sikap Masyarakat
Kurangnya kesadaran masyarakat yang tinggal disepanjang sungai dan
saluran drainase, misalnya kegiatan pemanfaatan sungai dan saluran
drainase untuk pembuangan sampah.Perilaku masyarakat yang kurang
menyadari bahwa sampah yang dibuang tersebut mengurangi kapasitas
saluran dan menghambat aliran, sehingga mengakibatkan terjadinya banjir.

Bahaya (Resiko (risk), dan Kerentanan Bencana Banjir rob

Terkait kebencanaan, BNPB (2011) menetapkan beberapa istilah antara


lain :Pertama bahaya/kerawanan (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa
yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilanganjiwa manusia
atau kerusakan hutan.Adapun daerah yang tergenang banjir rob di kota Semarang
periode tahun 2000 dan 2010 berdasarkan penelitian Bakti (2010) adalah sebagai
berikut :

Gambar 7. Peta Genangan Banjir Rob Di Wilayah Kota Semarang Tahun 2000
(Sumber :Bakti, 2010)

Gambar 8. Peta Genangan Banjir Rob Di Wilayah Kota Semarang Tahun 2010
(Sumber : Bakti, 2010)
Berdasarkan hasil penelitian Miladan (2009) diketahui adanya prediksi
bahwa wilayah pesisir kota Semarang yang tergenang setelah kenaikan paras
muka air lautdalam 20 tahun mendatang sebesar 16 cm yakni seluas 2672,2 Ha.
Hasil interprestasi dataSIG yang ada diketahui bahwa dari 6 Kecamatan Pesisir
Kota Semarang, 5kecamatan yang diprediksikan sebagian wilayahnya akan
tergenang banjir dan rob akibatkenaikan permukaan air laut. Kecamatan-
kecamatan tersebut yakni Kecamatan Genuk,Kecamatan Gayamsari, Kecamatan
Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, danKecamatan Tugu.Sedangkan
Kecamatan Semarang Timur yang juga termasuk padaKecamatan Pesisir Kota
Semarang diprediksi pada 20 tahun mendatang belum terjadikerawanan
tersebut.Dari kecamatan-kecamatan tersebut, tidak seluruh wilayahnyatergenang
namun hanya di beberapa kelurahan saja terutamanya yang
berada/berbatasanlangsung dengan Laut Jawa.

Tabel 3.Prediksi wilayah pesisir kota Semarang yang diprediksi tergenang akibat
kenaikan air laut tahun 2029 (15 tahun mendatang).

Luas Luas
%
Kecamatan Kelurahan Kelurahan Genangan
Tergenang
(ha) (ha)
Mangkang Kulon 544,221 287,456 52,820
Mangunharjo 461,084 326,171 70,740
Mangkang Wetan 404,766 192,232 47,492
Tugu Randu Garut 477,111 291,243 61,043
Karang Anyar 412,388 230,103 55,798
Tugu Rejo 577,035 305,982 53,026
Jerakah 143,342 55,927 39,016
Tanjung Mas 384,415 197,311 51,328
Semarang Utara Bandarharjo 222,836 110,752 49,701
Panggung Lor 190,974 45,827 23,996
Tawangsari 362,370 62,036 17,120
Semarang Barat
Tambakharjo 534,161 212,279 39,741
Terboyo Kulon 275,939 155,611 56,393
Genuk Terboyo Wetan 194,481 67,545 34,731
Trimulyo 331,528 127,983 38,604
Gayamsari Tambakrejo 103,276 3,754 3,635
Total 5619,928 2672,212 47,549

Adapun prediksi dari pengunaan lahan yang akan hilang akibat kenaikan
air laut pada tahun 2029 disajikan pada tabel berikut :

Tabel 4. Pengunaan lahan yang akan hilang akibat kenaikan air laut pada tahun
2029 (15 tahun mendatang).
Penggunaan Lahan Luas (ha)
Bandar Udara 158,65
Campuran Perdagangan dan Jasa, Permukiman 1,89
Industri 893,24
Instalasi Pengolahan Limbah Cair (WWTP) 13,17
Konservasi 285,09
Lap. Penumpukan 59,19
Olah Raga dan Rekreasi 100,32
Pelabuhan Laut 18,25
Pergudangan 36,28
Perkantoran 11,92
Permukiman 203,52
Pertanian Lahan Basah 79,78
PLTU Tambak Lorok 0,25
Pusat Pendaratan Ikan (PPI) 16,21
Rencana jalan 0,03
Taman 18,06
Tambak 776,34
Total 2672,21

Lebih lanjut disjelaskan bahwa Dalam perkiraan tersebut, lahan terluas


yang akan hilang yakni kawasan industriseluas 893,24 Ha. Aset lahan ini dinilai
sangat penting dalam mendongkrak ekonomiKota Semarang. Selain itu, aset lahan
yang cukup luas dan akan tergenang yakni kawasanpertambakan seluas 776,34
Ha. Kondisi saat ini diketahui bahwa sudah terdapat beberapaareal pertambakan
yang hilang akibat bencana ini.Lahan pertambakan yang hilangtersebut terutama
di Kecamatan Tugu dan Kecamatan Genuk (Survei Primer, 2009 dalam Miladan
2009).Sedangkan untuk kawasan pemukiman serta kawasan campuran
perdagangan jasa danpermukiman yang akan hilang diprediksi yakni seluas
205,41 Ha. Dengan tergenangnyakawasan pemukiman ini tentu saja sangat
merugikan masyarakat lokal kawasan tersebut.Jika bencana ini benar-benar terjadi
maka kerawanan tersebut akan mengancam asset bangunan rumah maupun lahan
pekarangan yang dimiliki oleh masyarakat. Adapun prediksi daripengunaan lahan
yang akan hilang akibat kenaikan air laut pada tahun 2029 disajikan pada peta
dibawah ini :
Gambar 5. Peta penggunaan lahan rawan genangan banjir rob akibat kenaikan air laut di
wilayah kota Semarang tahun 2029 (sumber : Miladan, 2009)

Kedua kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang dditentukan


oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, social, ekonomi, dan lingkunganyang
mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam mengjasapi bahaya
atau kerawanan (hazard). Diposaptono (2005)dalam Miladan (2009)
menambahkan bahwa kerentanan ditujukan pada upaya mengidentifikasi dampak
terjadinya bencanaberupa jatuhnya korban jiwa maupun kerugian ekonomi dalam
jangka pendek yang terdiridari hancurnya permukiman infrastruktur, sarana dan
prasarana serta bangunan lainnya,maupun kerugian ekonomi jangka panjang
berupa terganggunya roda perekonomianakibat trauma maupun kerusakan sumber
daya alam lainnya. Analisis kerentananditekankan pada kondisi fisik kawasan dan
dampak kondisi sosial ekonomi masyarakatlokal.Kerentanan bencana merupakan
bagian dalam penilaian resikobencana. Resiko bencana merupakan potensi
kerugian yang ditimbulkan akibat bencanapada wilayah dan kurun waktu tertentu
yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwaterancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dangangguan kegiatan masyarakat.
Terkait dengan kerentanan, penentuan kerentanan bencana secara total
berdasar pada beberapa jenis kerentanan bencana yang meliputi kerentananfisik,
kerentanan sosial ekonomi, kerentanan sosial kependudukan, kerentanan
lingkungandan kerentanan ekonomi wilayah. Berdasarkan penelitian Miladan
(2009) bahwa bahwa pada Wilayah Pesisir Kota Semarang untuk kerentanan
total/final terdiri ataskerentanan rendah hingga sedang.Tidak ada kawasan yang
termasuk dalam kategorikerentanan tinggi. Kerentanan Sedang hanya terjadi di
Kelurahan Bandarharjo, KelurahanMangkang Wetan, Kelurahan Mangunharjo,
Kelurahan Tanjung Mas, Kelurahan TerboyoKulon, Kelurahan Trimulyo.
Kerentanan sedang terluas berada di Kelurahan TanjungMas dengan luas kawasan
seluas 197,31 Ha atau keseluruhan dari luas wilayah kelurahantersebut.
Kerentanan sedang ini tidak berada di seluruh luasan wilayah 6 kelurahan
tersebut.Hal ini karena terdapat 5 kelurahan yang memiliki kawasan kerentanan
sedang dankerentanan rendah yang meliputi Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan
Terboyo Kulon,Kelurahan Trimulyo, Kelurahan Bandarharjo dan Kelurahan
Mangkang Wetan.Sedangkan 10 Kelurahan lainnya yang meliputi Kelurahan
Panggung Lor, KelurahanRandu Garut, Kelurahan Tambakharjo, Kelurahan
Tambakrejo, Kelurahan Tawang Sari,Kelurahan Terboyo Wetan, Kelurahan Tugu
Rejo, Kelurahan Jerakah, Kelurahan KarangAnyar dan Kelurahan Mangkang
Kulon termasuk pada kategori kerentanan rendah.Kelurahan-kelurahan yang
memiliki kerentanan rendah ini tentunyapenanganan/penentuan strateginya akan
lebih mudah daripada kelurahan-kelurahan yangmemiliki kerentanan sedang.
Temuan-temuan kerentanan ini selanjutnya akan dijadikandasar pada penentuan
strategi dalam penanganan kerentanan bencana kenaikan air laut diWilayah Pesisir
Kota Semarang. Adapun detail dari kerentanan total akibat kenaikan air laut
diwilayah kota Semarang tahun 2029 disajikan pada peta berikut :
Gambar 6. Kerentanan Total Akibat Kenaikan Air Laut Diwilayah Kota Semarang Tahun
2029 (sumber : Miladan, 2009)

Ketiga risiko (risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat


bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentuyang dapat mengakibatkan
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan
atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Resiko bencana
merupakan hasilperkalian dari kerawanan dan kerentanan.

Dampak Banjir Pasang (rob)


Banjir pasang (rob) yang setiap tahun terjadi pesisir seperti di wilayah
pesisir semarang menimbulkan permasalahan dan pengaruh yang besar terhadap
kondisi social ekonomi masyarakat terutama mereka yang bertempat tinggal
diwilayah kawasan pesisir. Berdasarkan penelitian Suryanti dan Marfai (2008)
bahwa terjadinya rob pada batasan tertentu telah mengubah kondisi fisik
lingkungan sehingga berdampak negative terhadap masyarakat, bangunan dan
infrastruktur pemukiman dikawasan tersebut. Aktivitas harian masyarakat nyaris
tidak bisa berjalan secara normal.Selain itu keterrsediaan air bersih dan listrik
tidak dapat berfungsi secara normal untuk menunjang kegiatan rumah
tangga.Sebagian masyarakat nyaris tidak dapat melanjutkan pekerjaan harian
mereka untuk menghidupi keluarganya. Terjadinya rob juga berdampak pada
pekerja domestic wanita datau penjaga rumah yang mengalami kesulitan dalam
mengamankan peralatan rumah tangga selama banjir rob, membersihkan rumah
dan lingkungan setelah banjir rob surut (Kobayash, 2003).
Sukamdi (2010) mengemukakan bahwa adapun dampak yang ditimbulkan
oleh banjir rob antara lain :
a. Kerusakan bangunan tempat tinggal karena selain mengenangi permukaan
lantai dan halaman, banjir rob bersifat korosi dan merusak pada bangunan.
b. Salinitas ( Keasinan ) Air disebabkan banjir rob semakin luas dan lama
genangan banjir rob, maka mempengaruhi kualitas air tanah dan air
permukaan.
c. Kehilangan lahan disebabkan banjir rob yang semakin tinggi sehingga banyak
lahan di pesisir pantai tenggelam dan tidak dapat lagi dimanfaatkan.
d. Kerusakan lahan tambak mempengaruhi nilai produksi dan menyebabkan
kerugian yang cukup besar.
Gumilar et al., (2009) dalam Arif (2012) menambahkan bahwa akibat
banjir pasang (rob) akan menghasilkan kerugian ekonomi langsung (direct
economics losses) seperti bangunan yang rusak, dan hancurnya fasilitas-fasilitas
umum, dan kerugian ekonomi tak langsung (indirect economics losses) seperti
guncangan pada dunia bisnis, berkurangnya pendapatan, dan meningkatnya
pengeluaran sector public, dan juga kerugian yang ditanggung individu dan rumah
tangga.

Mitigasi terhadap Banjir Pasang (rob)


Dalam pengelolaan manajemen mitigasi bencana, salah satu kegiatan yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan resiko bencana.Pemetaan ini
meliputi pemetaan ini meliputi pemetaan ancaman (hazard), pemetaan
kerentanan, dan pemetaan kapasitas dari suatu daerah yang mempunyai potensi
bencana. Dalam proses pemetaan risiko memerlukan penilaian dan klasifikasi
yang sesuai dengan karakteristik kota Semarang. Hal ini ini tidak mudah
dilakukan, mengingat keterbatasan data dan kevalidan data tersebut sulit
didapatkan.Oleh karena itu dalam pelaksanaan pemetaan ini diperlukan kajian
pemodelan yang tepat sehingga dapat dihasilkan peta resiko yang benar-benar
sesuai dengan kondisi sebenarnya (Arif et al., 2012).
Beberapa langkah penanggulangan yang ditempuh PemerintahKota
Semarang untuk mengatasi banjir, antara lain: (1) normalisasi dan pengerukan
sedimen sungai-sungai utama, (2) instalasi pompa air di beberapa lokasi untuk
memperlancar aliran air, (3) pembuatan embung-embung penampung air di
beberapa lokasi, (4) pembuatan Waduk Jatibarang dan Polder Tawang; (5)
penyusunan Master plan drainase Kota Semarang pada Tahun 2007 (Bakti, 2010).
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam penanganan bencana antara lain :
pencegahan, mitigasi, kesigapan, dan penanggulangan kedaruratan. Titik berat
dari tindakan yang dapat dilakukan pra bencana adalah tindakan mitigasi bencana.
Secara spesifik mitigasi bencana wilayah pesisir yakni upaya untuk mengurangi
risiko bencana secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami atau
buatan maupun nonstruktur atau non fisik melalui peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana diwilayah pesisir datau pulau-pulau kecil (UU
nomor 24 dan 27 dalam Miladan, 2009).
Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam,
yaitu mitigasi pasif (non structural) dan mitigasi aktif (structural). Mitigasi pasif
(non structural) terdiri dari : (1) penyusunan peraturan perundang-undangan,(2)
penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta pemetaan
masalah, (3) pembuatan pedoman/standar/produser, (4) pembuatan brosur/poster,
(5) pembuatan rencana alternative tindakan kedaruratan (contingency plan), (6)
penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana, (7)
internalisasi penanggulangan bencana (PB) dalam muatan local pendidikan, (8)
pembentukan satuan tugas bencana/perkuatan unit-unit social masyarakat, (9)
pengarutusan PB dalam pembangunan dan sosialisasi. Sementara mitigasi aktif
(structural) meliputi : (1) pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya,
larangan memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya, (2)
pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman, (3) pembangunan
bangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi, (4) pembuatan
bangunan struktur seperti : pengamanan lereng (slope protection/seawalls),
pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), krib tegak lurus penahan
gerakan sedimentasi sejajar grisik (groyne) dan pengamanan gisik (beach
protective).
Perencanaan tata ruang kawasan pesisir mencakup penetapan peruntukan
lahan yang terbagi menjadi empat zone yaitu (1) zona preservasi (2) zona
konservasi (3) zona penyangga dan (4) zona budidaya (zona pemanfaatan)
(Dahuri dkk, 2004).Miladan (2009) dalam Arif (2012) pelaksanaan pemetaan
kerentanan dilakukan sebagai landasan salam melakukan penanganan banjir
pasang (rob) menggunakan strategi akomodatif dan strategi akomodatif dan
strategi mundur daalam perencanaan tata ruang wilayah yang terkena dampak
banjir tersebut. Adapun pemetaan kerentanan meliputi : kerentanan fisik, social
ekonomi wilayah, dimana dalam penentuan komponen-komponen kerentanan
tersebut didasarkan pada Undang-undang Penanggulangan Bencana, Perencanaan
tata kota pengelolaan wilayah pesisir dn pulau-pulau kesil serta konsep praktis
dari good local governance (GLG) Provinsi Jawa Tengah dan Bakornas
Penanggulangan Bencana.

Pengendalian Banjir rob


Menurut Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa dalam pengendalian
banjir rob antara lain :
a. Aspek teknis
Rencana penanganan pengendalian banjir hatus ditinjau dari berbagai
aspek, yang simultas serta komprehensif.Hal ini mengingat sifat
permasalahan yang sangat kompleks. Untuk suatu daerah pengaliran
kali/sungai agar dapat mewujudkan suatu rencana yang optimal serta
dijadikan pedoman untuk semua pihak baik pelaku maupun pengguna perlu
didukung dan didasari oleh produk hokum (PERDA), namun demikian
keterbatasan dana dalam pembangunan menjadi bahan pertimbangan.
i. Sungai
Secara khusus penanganan banjir local yang terjadi didaerah
pengaliran sungai/kali Tenggang dan Kali Seringin masih mengacu pada
pola penataan sungai yang ada di Kota Semarang. Hal ini masih
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan antara lain : UU No. 11 tahun
1974 tentang pengairan, UU No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan
air dan PP. No. 35 Tahun 1991 tentang sungai serta Permen PU No.
63/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai,
Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai serta peraturan-peraturan
daerah yang berlaku di kota Semarang itu sendiri.
Kisdianto (2013) mengemukakan normalisasi sungai, perbaikan
sistem drainase, peningkatan aspek operasi dan pemeliharaan, penertiban
pengambilan air tanah, pembangunan waduk Jati Barang (kreo) serta
penanganan di daerah hulu.

Gambar 7.Rencana Pembangunan Waduk Jati Barang

ii. Sistem Drainase


Dalam penyusunan rencana pengendalian banjir local dan pasang
surut air laut pada daerah aliran Kali Tenggang dan Kali Seringin
mengacu kepada konsep pengendalian wilayah timur sungai Banjir Kanal
Timur sampai Kali Babon.
iii. Tata Guna Lahan
Sesuai fungsi dan peruntukannya dari Tata Guna Lahan
perkembangan pembangunan kawasan lingkungan pemukiman,
pabrik/industri.Lahan pertanian dan rawa serta kawasan lingkungan
perdagangan dan jasa serta kawasan lainnya semakin hari semakin
bertambah yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya limpasan
permukaan (run off) yang tinggi.
iv. Pembangunan Dam Lepas Pantai (DLP).
Kisdianto (2013) mengemukakan bahwa adapun proyek ini bertujuan
untuk mengatasi banjir rob yang selalu melanda pantai utara Jawa,
terutama kota Semarang, yaitu dengan membangun DLP sebagai pemisah
laut da daratan di kabupaten Kendal hingga kabupaten Jepara sepanjang
139 km. luasan keseluruhan yang tercover adalah seluas 45.000 ha. DLP
dibangun paling jauh 15 km dari bibir pantai ke tengah laut dengan
kedalaman 20 m. pembuatan dam ini akan menghasilkan tambahan
tanah seluas 15.000 ha termasuk area untuk pembangunan pelabuhan
baru dan akan memunculkan 2 danau seluas 21.000 ha yang akan
menghasilkan air tawar dengan kandungan garam yang rendah (5%) yang
dapat digunakan untuk industri, kebutuhan perkotaan dsb. Dam yang
terbangun dan lahan yang akan muncul tersebut akan dikembangkan
untuk :(1) pembangunan pelabuhan samudera yang baru dan fasilitas
penunjangnya, (2) pembangunan infrastruktur dan pengembangan
Bandara Ahmad Yani, (3) pembangunan Kawasan Industri dan
Komersial dan (4) pembangunan Apartemen, pemukiman dan public area
untuk rekreasi.
Sumber : Kisdianto (2013)
Lebih lanjut Wahyudi (2010) menambahkan bahwa selain upaya diatas,
langkah lain yang dapat diambil dalam pengendalian banjir rob adalah
pembangunan sistem polder. Dalam upaya menanggulangi bencana
banjir rob, sungai yang membawa air dari wilayah atas disalurkan
langsung ke laut dengan talud sungai yang relatif tinggi. Sedangkan
sungai yang mengalirkan air dari dalam kota secara gravitasi tidak dapat
menuju ke laut pada saat air laut pasang. Untuk itu sungai tersebut di
tutup dan diisolasi dari aliran dari air laut, sehingga memerlukan sistem
polder. Sungai principal drainase kota semarang yang direncanakan dan
dikonstruksi adalah Sungai Semarang dengan rencana sistem polder
dengan stasiun pompa (Semarang Pumping Station) dengan kapasitas 30
m3/s. Sedangkan sistem polder yang juga dalam perencanaan dan
konstruksi adalah sistem polder Kali Banger dengan stasiun pompa 6
m3/s.
Peta situasi Sistem Polder Kali Semarang dapat dilihat dalam gambar
7. Antara sungai dan laut ditutup oleh pintu gerak.Air yang dari sungai
ditampung di kolam sebelum dipompa. Untuk itu disediakan station
pompa yang direncanakan memiliki kapasitas terbesar yaitu 30 m3/s.
didepan station pompa dilindungi dengan talud yang sekaligus akan
dijadikan tempat untuk penampungan sedimen hasil pengerukan kolam
dan sedimen dari sungai di sistem drainase Kali Semarang.

Gambar 7.Rencana Sistem Drainase Semarang untuk menanggulangi Kenaikan Air


Laut (sumber (Mondeel, 2010)

Polder Kali Banger memiliki catchment area 675 Ha, adapun wilayah
administrasi ada di kecamatan Semarang Timur yang meliputi 9
Kelurahan yaitu: Kelurahan Rejomulyo, Kelurahan Mlati Baru,
Kelurahan Mlatiharjo,Kelurahan Sari Rejo, Keluarahan Bugangan,
Kelurahan Rejo Sari, Kelurahan Karang Turi, Kelurahan Karang Tempel
dan Kelurahan Kemijen. Sistem Polder Kali Banger memiliki komponen
infrastruktur yang terdiri dari (Herman Mondeel, 2010dalam Wahyudi,
2010): Northern dike (Pembangunan Tanggul Arteri Utara), melindungi
kawasan Polder Kali Banger dari muka air laut, Eastern dike
(Pembangunan Tanggul Banjir Kanal Timur) melindungi kawasan Polder
dari Sungai Banjir kanal Timur, Dam Kali Banger (Pembangunan
Bendung K. Banger) yang akan menutup koneksi aliran dari kawasan
Polder dengan sungai dan laut, Pumping station difungsikan untuk
mengendalikan elevasi air karena kawasan Polder ditutup bending,
Retention basin (Kolam Retensi) digunakan untuk pengendalian elevasi
air sistem polder sebelum dipompa. Elevasi air dalam kolam retensi
dikendalikan -2 m MSL
v. Pembangunan landscape Mangrove diwilayah pesisir.
Seperti diketahui bersama bahwa salah satu fungsi mangrove adalah sebagai
pelindung pantai dari hempasan gelombang laut penyebab abrasi dan banjir rob
dikawasan pesisir. Penelitian membuktikan bahwa keberadaan vegetasi mangrove
dengan perakarannya yang rapat dan kuat, mampu memperkecil kekuatan
hempasan gelombang pada saat menerjang pantai dan mengurangi dan masuknya
air laut kedaratan pada saat terjadinya pasang.
Penanaman mangrove dikawasan pesisir Semarang merupakan salah satu
upaya yang ramah lingkungan, tidak membutuhkan biaya yang relative besar,
namun yang aling penting adalah manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem
mangrove dapat dirasakan dalam jangka panjang terutama dalam melindungi
terhadap terjadinya bencana dikawasan pesisir.Tak hanya itu, manfaat mangrove
lainnya yaitu sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pencarian makan bagi
ikan dan binatang laut lainnya. Oleh sebab itu dapat diterapkan sebagai salah satu
upaya mitigasi bencana banjir rob di pesisir kota Semarang. Adapun rencana
landscape mangrove yang dapat diterapkan dipesisir Kota Semarang adalah
sebagai berikut ;

Gambar 8. Rencana landscape mangrove dalam mitigasi banjir rob di Semarang


(a)

(b)
Gambar 9. Langkah penanaman Mangrove dikawasan Pesisir Semarang

b. Aspek non teknis


Aspek non teknis meliputi aspek-aspek social budaya yang perlu ditinjau
antara lain : (1) pemahaman terhadap pentingnya drainase/saluran/kali/sungai
(2) pemahaman terhadap adanya kepentingan bersama/umum dalam
lingkungan yang lebih luas (3) menanamkan rasamemiliki (sense of
belonging) dengan cara diikutsertakan berperan aktif dalam penanganan
pembangunan melalui jalur swadaya (4) meningkatkan rasa dan sifat peduli
terhadap lingkungan.
i. Kelembagaan Pengelolaan
Kelembagaan untuk mengelola kawasan polder diperlukan Badan
Pengelola Polder, Badan ini merupakan organisasi berbasis
stakeholder.Dalam pelaksanaan operasional dan pemeliharaan, Badan ini
perlu pelaksana harian.Badan Pengelola Polder kali Banger, sudah
dibentuk melalui SK Walikota Semarang yang kemudian dinamakan
BPPB SIMA.Tugas dari badan ini bekerja sesuai tahapan manajemen
konstruksi.Pada tahap perencanaan supaya dapat mendampingi untuk
mendapatkan hasil perencanaan yang terpadu, satu kawasan satu
perencanaan.Pada tahap pengambilan keputusan supaya dilakukan
bersama antara perwakilan masyarakat, pemerintah dan sektor usaha.Pada
tahap pembangunan, mendampingi agar sesuai dengan perencanaan dan
mengakomodasi kepentingan masyarakat.Dan tugas utama.
Badan ini adalah saat operasional dan pemeliharaan baik secara teknis,
non-teknis dan pendanaan.Dengan mengupayakan pendanaan dari
pemerintah dan menggali pendanaan dari masyarakat di kawasan Polder
diantaranya untuk kepedulian. Bidang pengelolaan pada tahap operasional
secara teknis dapat dibagi menjadi 3 yaitu: pengelolaan sampah dan
sedimen, pengelolaan elevasi air melalui pompa dan pengelolaan tanggul.
Dalam pelaksanaan operasional dan pemeliharaan ini BPPB SIMA
memerlukan pelaksana harian.

Strategi Pengelolaan Kawasan Potensi Banjir Pasang (Rob)


Pengelolaan kawasan terdampak harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang merupakan pedoman bagi Kota Semarang dalam melaksanakan
pembangunan secara fisik. Selain itu aktivitas pembangunan dan perencanaan
kota dalam RTRW Kota Semarang, yang secara detail dijabarkan dalam RDTR
Kota Semarang. Beberapa langkah penanggulangan yang pernah ditempuh
Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi banjir, antara lain :
a. Normalisasi dan pengerukan sedimen sungai-sungai utama
b. Instalasi pompa iar dibeberapa lokasi untuk memperlancar aliran air.
c. Pembuatan waduk Jatibarang dan Polder Tawang
d. Penyusunan Master Plan Drainase Kota Semarang.
Miladan (2009) Berdasarkan pengkajian literature/teori tentang alternative
strategi penanganan kenaikan air laut dan hasil penilaian kerentanan di wilayah
pesisir Kota Semarang maka dapat disimpulkan alternative strategi yang dapat
dilakukan untuk meminimalisasi dampak kenaikan air laut di wilayah pesisir kota
Semarang sebagai berikut :
a. Pada kawasan yang memiliki kerentanan rendah maka strategi yang digunakan
dengan memberikan kebijakan tidak adanya pembangunan fisik, penarikan
subsidi dan penerapan pajak tinggi bagi pembangunan fisik dan masyarakat,
meningkatkan atau menetapkan kawasan mundur/pindah, memberikan
kemudahan perizinan bagi investor/masyarakat yang akan dan telah
meninggikan lahan skala kawasan (reklamasi) secara swadaya dan memberikan
gambaran kerentanan yang ada, memindahkan bangunan-bangunan dan
penduduk terancam, memperkirakan pergerakan kenaikan air laut, mengatur
realignment garis pantai, menciptakan penyangga/jalur hijau dikawasan upland
dan konversi fungsi lahan tergenang menjadi kawasan tambak ikan, hutan
mangrove dan kawasan wisata.
b. Pada kawasan yang memiliki tingkat kerentanan sedang maka strategi yang
digunakan meliputi perubahan tataguna lahan dan pemanfaatan ruang
(memperluas jalur hijau/konservasi, meningkatkan sistem drainase/kanalisasi
peninggian kawasan modifikasi bangunan, pembangunan
seawall/tanggul/revetment, perencanaan dan penyediaan jalur evakuasi dan
emergensi, meningkatkan kelembagaan siaga bencana, pengaturan dan
regulassi yang ketat dalam pembangunan kawasan, memberikan kemudahan
perizinan bagi investor/masyarakat yang menggikan kawasan/lahan (reklamasi)
secara swadaya dan memperkirakan pergerakan kenaikan air laut.

Adaptasi Masyarakat
Adaptasi merupakan suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan
manusia selama hidupnya Adaptasi merupakan suatu strategipenyesuaian diri
yang digunakan manusiaselama hidupnya untuk merespon terhadapperubahan-
perubahan lingkungan dansosial.Banjir pasang (rob) yang hampir terjadi setiap
tahun memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terus menerus. Adaptasi ini
dilakukan sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan baru. Proses
adaptasi yang sangat dinamis karena lingkungan dan manusia berkembang dan
berubah secara terus-menerus. Umumnya masyarakat yang telah tebiasa terkena
banjir enggan untuk pindah. Mereka tetap memilih tinggal di daerah asal
meskipun tiap tahun mengalami langganan banjir rob.
Faktor yang menyebabkan masyarakat enggan untuk berpindah antara lain
: (1) sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun buruh industri
ddisekitar daerah pelabuhan (2) sebagian masyarakat berasal dari golongan
ekonomi menengah kebawah yang tidak memiliki modal untuk berpindah
ketempat lain.Berbagai adaptasi telah dilakukan oleh masyarakat. Menurut
Kobayashi (2001) adaptasi yag dilakukan oleh masyarakat yang terkena banjir rob
antara lain : pindah kelokasi yang lebih aman, membangun polder dan pompa,
menambah tanah tempat yang rendah merubah jenis bangunan (rumah panggung
atau rumah susun).
Sedangkan menurut Suryanti dan Marfai (2008) adaptasi yang telah
dilakukan masyarakat antara lain : (1) membuat tanggul kecil/urug didalam rumah
atau meninggikan pondasi rumah (2) membuat talud dan tanggul permanen dan
non permanen dipantai (3) meninggikan jalan sekitar 1-1,5 meter untuk
menghindari agar jalan tidak tergenang saat rob terjadi sehingga akses untuk
transportasi tetap lancar (4) sebagian warga telah membangun rumah panggung.
Sukamdi (2010) mengemukakan bahwa beberapa adaptasi yang dilakukan
masyarakat terhadap banjir rob antara lain :
a. Adaptasi pada tempat tinggal yang dilakukan masyarakat yakni dengan
membuat tanggul, meninggikan rumah dan atapnya, meninggikan lantai rumah
dengan cara mengurug , membuat saluran air disekitar rumah.
Gambar 8. Peninggian lantai rumah oleh warga
b. Adaptasi pada ketersediaan air bersih dilakukan karena banjir rob
berdampak pada salinitas dan kualitas air di daerah tersebut. Sehingga
masyarakat membutuhkan air bersih layak konsumsi yang diperoleh dan
dipasok dari daerah lain, baik dari PAM maupun dari truk tangki air
bersih, untuk hal tersebut masyarakat harus mengeluarkan biaya.

Gambar 9. Bak Penampungan air bersih oleh warga


c. Adaptasi pada lahan tambak dilakukan untuk mengurangi dampak dan
kerugian akibat banjir rob yang dilakukan dengan membuat tanggul,
memasang jarring atau waring disekeliling tambak, peninggian tanggul,
pembuatan saluran air penghubung antar kolam tambak serta penanaman
dan perawatan tananaman bakau di sekitar pantai dan tambak. Penanaman
bakau berfungsi pula untuk mengurangi dampak banjir rob lainnya seperti
kehilangan lahan dan abrasi pantai.

Gambar 10. Tanggul beton dan jarring pada tambak


PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :
1. Banjir rob yang terjadi dikota Semarang tidak hanya disebabkan oleh naiknya
permukaan air laut, melainkan juga disebabkan oleh aktivitas manusia seperti
meningkatnya alih fungsi lahan dan degradasi lahan sehingga mengakibatkan
penurunan muka tanah, reklamasi lahan serta penyempitan saluran drainase
yang memicu terjadinya banjir
2. Dalam upaya mitigasi bencana banjir tidak hanya terpaku pada aspek teknis
saja, melainkan juga dilakukan pada aspek non teknis yakni pada aspek social
budaya.

Saran
Atas kesimpulan tersebut maka rekomendasi yang diberikan untuk
mengurangi dampak dari terjadinya banjir rob yakni :
1. Bagi Pemerintah Kota Semarang ;
a. Agar segera menerapkan berbagai kebijakan dan strategi dalam
upayamitigasi/adaptasi di Wilayah Pesisir Kota Semarang terhadap potensi
kerawananbencana perubahan iklim, dengan melalui zonasi dan regulasi
kawasan yangmeliputi:
i. Pada kawasan kerentanan rendah direkomendasikan agar adanya
pembatasan atau bahkan pelarangan pengembangan kawasan ekonomi
strategis (kawasan permukiman, kawasan perdagangan jasa dan industri
maupun kawasan perkantoran).
ii. Pada kawasan kerentanan sedang direkomendasikan agar melakukan
tindakan antisipasi dengan mempertahankan kawasan tersebut. Hal ini
mengingat saat ini sudah terdapat berbagai kawasan ekonomi strategis
di kawasan kelurahan-kelurahan tersebut.
iii. Segera menentukan/memetakan daerah yang dapat dikembangkan
sebagai kawasan mundur/pindah.
b. Bersifat proaktif untuk mengawali penanganan resiko bencana ini melalui :
i. Inventarisasi aset daerah pada kawasan yang diprediksi beresiko
bencanakenaikan air laut tersebut.
ii. Memberikan pemahaman mitigasi dan adaptasi terhadap masyarakat
local sehingga masyarakat akan menyadari betul langkah-langkah yang
harusdiambil dalam menghadapi potensi bencana ini.
iii. Menetapkan kebijakan/regulasi yang bertujuan untuk memisahkan
kawasanyang akan dipertahankan dan kawasan tidak dipertahankan
dalam menghadapibencana kenaikan air laut.
iv. Pemerintah Kota harus memulai memikirkan model pendanaan dalam
upayamitigasi dan adaptasi pada Wilayah Pesisir Kota Semarang
sehingga kedepanpotensi bencana ini sudah memiliki pos anggaran
pembiayaannya.
2. Bagi Masyarakat Lokal
a. Agar memperkuat sistem kelembagaan penanganan potensi bencana
tersebut.Contohnya mengembangkan lembaga/paguyuban siaga bencana
khususmengantisipasi permasalahan ini.
b. Masyarakat harus berperan nyata dan proaktif dalam lembaga/paguyuban
siaga yang dibentuk, reaktif dan patuh terhadap kebijakan/strategi yang akan
digunakanoleh Pemerintah Kota Semarang dalam menghadapi resiko
bencana ini.
3. Selain saran diatas, untuk masyarakat yang berada dikawasan pesisir dan
tinggal di wilayah zona rawan banjir dapat mengadopsi konsep rumah
panggung yang telah diterapkan diwilayah pemukiman pesisir Jakarta Utara
(pemukiman angke dan pemukiman marunda).
Berdasarkan penelitian Listiyanti (2011) terdapat tiga tipe rumah yang
dapat diadopsi oleh masyarakat yang tinggal diwilayah rawan bencana banjir
rob, antara lain :
Gambar 11. Tipe pemukiman angke dan pemukiman marunda
a. Tipe A
Rumah tipe A masih terlihat kepanggunannya. Rumah ini terdapat
diarea pinggir pantai yang landau.Sehingga rumah tipe ini memerlukan
tiang penopang yang lebih tinggi sekitar 2-3 meter.Meskipun cukup tinggi,
ruang kolong ini tidak pernah dipakai untuk beraktivitas karena selalu
digenangi oleh air laut. Adapun hasil tingkat pengujian pada tipe rumah A
tersebut adalah sebagai berikut :
b. Tipe B
Tipe rumah B masih terlihat kepanggungannya.Rumah ini terdapat
daratan sedikit menjauh dari pinggir pantai. Tiangnya yang digunakan pada
rumah tipe B lebih rendah dibandingkan dengan rumah tipe A. rumah ini
terdiei dari tiang yang setinggi 1-2 meter .

Adapun hasil tingkat pengujian pada tipe rumah A tersebut adalah


sebagai berikut :

c. Tipe C
Rumah tipe C merupakan hasil renovasi sehingga hampir tidak ada keterkaitan
dengan rumah panggung. Rumah tipe ini biasanya berada sedikit jauh dari bibir
pantai. Adapun hasil tingkat pengujian pada tipe rumah A tersebut adalah sebagai
berikut :
DAFTAR PUSTAKA

Amirul. 2012. Paper Robhttp://amirul-k.blogspot.com/2011/01/paper-rob.html

Desmawan BT. 2012. Adaptasi Masyarakat Kawasan Pesisir Terhadap Banjir Rob
Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Jurnal Bumi
Indonesia.1(1) : 1-9

Hildaliyani U. 2011.Analisis Daerah Genangan Banjir Pasang (rob) di Pesisir


Utara Jakarta Menggunakan Data Citra Satelit SPOT dan Alos.Skripsi.
Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Khoiriyah L. 2011. Analisa Aspek Geomorfologi Penyebab Banjir Rob Kota


Semarang. Yogyakarta (ID). Universitas Gadjah Mada.

Listiyanti S. 2011. Transformasi Rumah Panggung Pada Pemukiman Pesisir


Jakarta Utara (Studi Kasus : Pemukiman Nelayan Angke dan Pemukiman
Marunda). Skripsi.Universitas Indonesia. Depok.

Kisdianto A. 2013. Banjir Rob Akibat Reklamasi Pantai Untuk Pengembangan


Kota Semarang.http://andikisdianto.blogspot.com/2013/09/banjir-rob-
akibat-reklamasi-pantai.html

Permatasari IS. 2012. Strategi Penanganan Kebencanaan di Kota Semarang.


Skripsi. Semarang. Universitas Diponegoro.

Pratiwi MR. 2012. Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem
Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas).
Tesis. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Mardiatno D, Marfai MA, Rahmawati K, Tanjung R, Sianturi RS, Mutiarni


YS.2012. Penilaian Multirisiko Banjir dan Rob Di Kecamatan Pekalongan
Utara.Rahmawati N, editor. Yogyakarta (ID): Pohon Cahaya.

Mildan N. 2009. Kajian Kerentanan Wilayah Pesisir Kota Semarang Terhadap


Perubahan Iklim.Tesis. Semarang. Universitas Diponegoro.

Supriharjo RD dan Chandra RK.20013. Mitigasi Bencana Banjir Rob Jakarta


Utara.Jurnal Teknik POMMITS. 2 (1): 26-30.

Suriyanti ED dan Marfai MA. 2008. Adaptasi Masyarakat Kawasan Pesisir


Semarang terhadap Bahaya Banjir

Utomo WY. 2013. Analisis Potensi Rawan (hazard) dan Resiko (Risk) Bencana
Banjir dan Longsor (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat).Tesis. Bogor.
Institut Pertanian Bogor.
Wahyudi SI. 2007. Tingkat Pengaruh Elevasi Pasang Laut Terhadap Banjir dan
Rob Di Kawasan Kaligawe Semarang. Riptek. 1 (1) : 27-34

Wahyudi SI. 2010. Perbandingan Penanganan Banjir Rob Di La Briere (Prancis),


Rotterdam (Belanda) dan Perspektif Di Semarang (Indonesia). Riptek.
4(I1) : 29-35.

Wirasatriya A, Hartoko A, Suripin. 2006. Kajian Kenaikan Muka Laut Sebagai


Landasan Peanggulangan Rob Pesisir Kota Semarang.Jurnal Pasir Laut.
2(1):31-42.

Anda mungkin juga menyukai