Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 3700 pulau dan
wilayah pantai sepanjang 80.000 km. Wilayah pantai ini merupakan daerah yang
sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, seperti sebagai kawasan
pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, perikanan,
pariwisata, dan sebagainya. Adanya berbagai kegiatan tersebut dapat
menimbulkan peningkatan kebutuhan akan lahan, prasarana, dan sebagainya, yang
selanjutnya akan mengakibatkan timbulnya masalah-masalah baru seperti, abrasi
pantai yang merusak Kawasan pemukiman dan prasarana yang berupa mundurnya
garis pantai, tanah timbul akibat endapan pantai yang menyebabkan majunya garis
pantai, pembelokan atau pendangkalan muara sungai, pencemaran lingkungan,
penurunan tanah, dan intrusi air asin (Triatmojo, 1999). Abrasi adalah proses
pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak.
Abrasi di pantai Oesapa mengakibatkan mundurnya garis pantai,hal ini
mempengaruhi vegetasi yang tumbuh di sepanjang pesisir pantai Oesapa dan
berakibat pada jarak pantai yang semakin dekat dengan pemukiman.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, abrasi pantai telah
menyebabkan kemunduran garis pantai di berbagai wilayah pantai di Indonesia
yang mengancam kehidupan dan penghidupan masyarakat pesisir. abrasi pantai
telah terjadi di sebagian pantai pulau Nusa Tenggara Timur, seperti yang terjadi di
Pantai Nunsui-Oesapa.
Pantai Nunsui terletak di Kecamatan Kelapa Lima Kabupaten Kupang.
Pantai Nunsui merupakan daerah nelayan/perikanan dan jumlah penduduk di
pulau ini terus berkembang. Dengan perkembangan penduduk ini, maka berbagai
kegiatan dialihkan ke daerah pantai. Potensi pengembangan lahan pantai Nunsui
baik pada perairan pantai maupun pada perairan lepas pantai belum terlihat
adanya pemanfaatan secara khusus. Sejalan dengan makin berkembangnya daerah
ini berbagai permasalahan mulai timbul, antara lain penempatan lahan
permukiman, bangunan pemerintah/swasta, rumah ibadah, dan jalan semakin

1
dekat dengan garis pantai sehingga terancam oleh gelombang laut dan abrasi
pantai.
Terjadinya erosi pantai selain disebabkan oleh gelombang tinggi dan
mundurnya garis pantai akibat abrasi juga disebabkan pemukiman yang ada
terlalu dekat dengan pantai dimana sempadan pantai sebagai daerah penyangga
belum direncanakan. Sehingga pada saat musim gelombang dan pasang,
pemukiman tersebut berada dalam jangkauan limpasan gelombang laut. Abrasi
pantai di kawasan pesisir pantai Nunsui berdampak terhadap terganggunya
aktifitas sehari-hari dari masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya
penanggulangan abrasi pantai.
Salah satu cara penanggulangan abrasi pantai yaitu dengan membuat
bangunan pelindung pantai (jetty, groin, pemecah gelombang (breakwater),
dinding pantai atau revetment). Dengan adanya bangunan yang menjorok ataupun
sejajar garis pantai, tentunya akan memberikan pengaruh terhadap bentuk garis
pantai yang ada sekarang. Bangunan pelindung pantai merupakan konstruksi yang
dibangun sejajar atau tegak lurus dengan garis pantai yang berfungsi untuk
melindungi pantai terhadap kerusakan karena serangan gelombang dan arus.
Dengan mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka saya
menuangkan dalam bentuk penulisan makalah dengan judul :
“penanganan kerusakan pantai nunsui akibat abrasi”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat


dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi pokok bahasan selanjutnya
yaitu sebagai berikut :
1. Apakah terjadi perubahan garis pantai di Pantai Nunsui ?
2. Tipe bangunan pelindung pantai apa yang cocok untuk Pantai Nunsui ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perubahan garis pantai di Pantai Nunsui.
2. Untuk menentukan dan merencanakan tipe bangunan pelindung pantai.

2
1.4. Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
kecepatan angina, arah angin, tinggi gelombang, serta menentukan bangunana
pengaman pantai yang sesuai pada daerah pantai nunsui.

1.5. Lingkup Pembahasan

Lingkup pembahasan akan meliputi batasan materi, hal-hal tersebut sebagai


berikut :
a. Menghitung data angin
b. Menghitung tinggi gelombang
c. Menghitungan diemensi bangunan pengaman pantai
d. Mendesain bangunan pengaman pantai

3
BAB II
LANDASAN TEORI

1.1. Pantai

Pantai adalah jalur yang merupakan batas antara darat dan laut, diukur pada
saat pasang tertinggi dan surut terendah, dipengaruhi oleh fisik laut dan sosial
ekonomi bahari, sedangkan ke arah darat dibatasi oleh proses alami dan kegiatan
manusia di lingkungan darat (Triatmodjo, 1999). Penjelasan mengenai definisi
daerah pantai dapat dilihat dalam Gambar 3.1 berikut:

Gambar 2.1. Definisi daerah pantai.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

- Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh
lautseperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut.
- Pantai adalah daerah di tepi perairan sebatas antara surut terendah dan
pasangtertinggi.
- Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut,
dimanaposisinya tidak tetap dan dapat bergerak sesuai dengan pasang surut air
laut danerosi pantai yang terjadi.
- Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan
bagipengamanan dan pelestarian pantai.
- Perairan pantai adalah daerah yang masih dipengaruhi aktivitas daratan.

Morfologi pantai dan dasar laut dekat pantai akibat pengaruh gelombang
dibagi menjadi empat kelompok yang berurutan dari darat ke laut sebagai berikut:
1. Backshoremerupakan bagian dari pantai yang tidak terendam air laut kecuali
bilaterjadi gelombang badai

4
2. Foreshore merupakan bagian pantai yang dibatasi oleh beach face atau muka
pantai pada saat surut terendah hingga uprush pada saat air pasang tinggi.
3. Inshore merupakan daerah dimana terjadinya gelombang pecah, memanjang
dari surut terendah sampai ke garis gelombang pecah.
4. Offshore yaitu bagian laut yang terjauh dari pantai (lepas pantai), yaitu daerah
darigaris gelombang pecah ke arah laut.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.2. Definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

Pantai merupakan gambaran nyata interaksi dinamis antara air, gelombang


dan material (tanah). Angin dan air bergerak membawa material tanah dari satu
tempat ke tempat lain, mengikis tanah dan kemudian mengendapkannya lagi di
daerah lain secara terus-menerus. Dengan kejadian ini menyebabkan terjadinya
perubahan garis pantai. Dalam kondisi normal, pantai selalu bisa menahan
gelombang dan mempunyai pertahanan alami (sand dune, hutan bakau, terumbu
karang) untuk melindungi diri dari serangan arus dan gelombang.

1.2. Bangunan Pelindung Pantai

Bangunan pantai digunakan untuk melindungi pantai terhadap kerusakan


karenaserangan gelombang dan arus (Triatmodjo, 1999). Beberapa cara yang
dapat dilakukanuntuk melindungi pantai yaitu:
1. Memperkuat atau melindungi pantai agar mampu menahan serangan
gelombang.

5
2. Mengubah laju transpor sedimen sepanjang pantai.
3. Mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai.
4. Reklamasi dengan menambah suplai sedimen ke pantai atau dengan cara lain.

Sesuai dengan fungsinya, bangunan pantai diklasifikasikan menjadi 3


kelompok (Triatmodjo, 1999), yaitu:
1. Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai,
misalnyadinding pantai (revetment) dan tembok laut (seawall).
2. Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan tersambung ke
pantai,
3. misalnya groin dan jetty.
4. Konstruksi yang dibangun di lepas pantai dan kira-kira sejajar garis
pantai,misalnya pemecah gelombang (breakwater). Gambar 2.3. adalah ketiga
macambangunan pelindung pantai.

Gambar 2.3. Beberapa tipe bangunan pelindung pantai.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

6
1.2.1. Dinding Pantai (Revetment)

Dinding pantai (revetmet) adalah bangunan yang memisahkan daratan dan


perairan pantai, yang berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap erosi dan
limpasan gelombang (overtopping) ke darat. Daerah yang dilindungi adalah
daratan tepat di belakang bangunan. Gambar 2.4 menunjukkan penempatan
dinding pantai (revetmet) dan detailnya. Dalam perencanaan dinding pantai perlu
diperhatikan kemungkinan terjadinya erosi di kaki bangunan. Kedalamam erosi
yang terjadi tergantung pada bentuk sisi bangunan, kondisi gelombang dan sifat
tanah dasar. (Triatmodjo, 1999)

Gambar 2.4. Dinding pantai (revetment) dan penampang melintangnya.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

1.2.2. Tembok Laut (seawall)

Tembok laut digunakan untuk melindungi pantai atau tebing dari gempuran
gelombang sehingga tidak terjadi erosi atau abrasi. Tembok laut ada dua macam
yaitu tembok laut masif, dibuat dari konstruksi beton atau pasangan batu dan
tembok laut tidak masif, berupa tumpukan batu. Gambar 2.5 adalah salah satu
contoh tembok laut masif.

7
Gambar 2.5. Tembok laut (seawall) masif.
Sumber : Triatmodjo, 1999.

1.2.3. Groin

Groin adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya dibuat tegak lurus
garis pantai, dan berfungsi untuk menahan transpor sedimen sepanjang pantai,
sehingga bisa mengurangi atau menghentikan erosi yang terjadi. Bangunan ini
juga bisa digunakan untuk menahan masuknya transport sedimen pantai ke
pelabuhan atau muara sungai. (Triatmodjo, 1999). Seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Groin tunggal dan perubahan garis pantai yang ditimbulkannya.
Sumber : Triatmodjo, 1999.

8
Perlindungan pantai dengan menggunakan satu buah groin tidak efektif.
Biasanya perlindungan pantai dilakukan dengan membuat suatu seri bangunan
yang terdiri dari beberapa groin yang ditempatkan dengan jarak tertentu. Seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Dengan menggunakan satu sistem groin
perubahan garis pantai yang terjadi tidak terlalu besar. (Triatmodjo, 1999).

Gambar 2.7. Seri groin dan perubahan garis pantai yang ditimbulkannya.
Sumber : Triatmodjo, 1999.

Groin dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu tipe lurus, tipe T dan
tipe L seperti ditunjukkan dalam gambar 2.8. Menurut Konstruksinya groin dapat
berupa tumpukan batu, caison beton, turap, tiang yang dipancang berjajar, atau
tumpukan buis beton yang di dalamnya diisi beton. Kriteria perencanaan groin:
a. Panjang groin, 40%-60% dari lebar rerata surf zone.
b. Jarak antar groin, 1 sampai 3 kali panjang groin.

Gambar 2.8. Beberapa tipe groin.


Sumber : Triatmodjo, 1999

1.2.4. Jetty
Jetty adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakkan pada kedua sisi
muara sungai yang berfungsi untuk mengurangi pedangkalan alur oleh sedimen
pantai. Pada penggunaan muara sungai sebagai alur pelayaran, pengendapan di
muara dapat mengganggu lalu lintas kapal. Untuk keperluan tersebut jetty harus
panjang sampai ujungnya berada di luar gelombang pecah. Dengan jetty panjang

9
transpor sedimen sepanjang pantai dapat tertahan, dan pada alur pelayaran kondisi
gelombang tidak pecah sehingga memungkinkan kapal masuk ke muara sungai
(Triatmodjo, 1999). Jetty dibagi menjadi tiga jenis menurut fungsinya, yaitu:
1. Jetty panjang
Jetty ini ujungnya berada diluar gelombang pecah, tipe ini efektif untuk
mencegah masuknya sedimen ke muara, tetapi biaya konstruksi sangat mahal.
Jetty ini dibangun apabila daerah yang dilindungi sangat penting.
2. Jetty sedang
Jetty sedang ujungnya berada antara muka air surut dan gelombang pecah,
dapat menahan sebagian transpor sedimen sepanjang pantai, alur diujung jetty
masih memungkinkan terjadinya endapan pasir.
3. Jetty pendek
Dimana kaki ujung bangunan berada pada muka air surut, fungsi utama
bangunan ini adalah menahan berbeloknya muara sungai dan
mengkonsentrasikan aliran pada alur yang telah ditetapkan untuk bisa
mengerosi endapan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9. Beberapa tipe jetty.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

10
1.2.5. Pemecah Gelombang (Breakwater)

Pemecah gelombang dibedakan menjadi dua macam yaitu pemecah


gelombang sambung pantai dan lepas pantai. Tipe pertama banyak digunakan
pada perlindungan perairan pelabuhan sedang tipe kedua untuk perlindungan
pantai terhadap erosi. Selanjutnya dalam bab ini tinjauan lebih difokuskan pada
pemecah gelombang lepas pantai.
Pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan yang dibuat sejajar
pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis pantai. Bangunan ini direncanakan
untuk melindungi pantai yang terletak dibelakangnya dari serangan gelombang.
Bila bangunan memiliki panjang yang cukup, maka pantai akan maju mendekat ke
arah bangunan untuk membentuk Cuspate atau Tombolo lihat Gambar 2.10.

Gambar 2.10. Pengaruh panjang krib terhadap garis pantai.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

2.3. Fluktuasi Muka Air Laut

Elevasi muka air laut merupakan parameter penting dalam perencanaan


bangunan pantai. Fluktuasi muka air laut dapat disebabkan oleh kenaikkan muka
air karena gelombang (Wave set-up), kenaikkan muka air karena angin (Wind set-
up) dan pasang surut.

2.3.1. Kenaikkan Muka Air Karena Gelombang (Wave set-up)

Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi


muka air di daerah pantai terhadap muka air diam. Turunnya muka air dikenal

11
dengan waveset-down, sedang naiknya muka air laut disebut wave set up, seperti
diperlihatkan Gambar 2.11 berikut:

Gambar 2.11. Wave set-up dan wave set-down.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

Besar wave set-down di daerah gelombang pecah diberikan oleh persamaan


berikut:

………………………………………………………(2.1)
(Triatmodjo, 1999)
Dimana :
Sb : set-down didaerah gelombang (m)
T : periode gelombang (detik)
H’o : tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m)
db : kedalaman gelombang pecah (m)
g : percepatan gravitasi (m/s2)

Wave set-up di pantai dihitung dengan rumus berikut:

...………………………………………………(2.2)
(Triatmodjo, 1999.)

12
Dimana :
Sw = Wave set-up (m)
g = Percepatan gravitasi (m/s)
T = Periode gelombang (detik)
Hb = Tinggi gelombang pecah (m)
Sb = Set-down didaerah gelombang (m)

2.3.2. Kenaikan Muka Air Karena Angin (Wind set-up)

Angin dengan kecepatan besar (badai) yang terjadi di atas permukaan laut
bisa membangkitkan fluktuasi muka air laut yang besar disepanjang pantai jika
badai tersebut cukup kuat dan daerah pantai dangkal dan luas. Kenaikan elevasi
muka air karena badai dapat dihitung:

...………………………….…………………………(2.3)
(Triatmodjo, 1999.)
Dimana :
Δh : Kenaikan elevasi muka air karena badai (m)
F : Panjang fetch (m)
i : Kemiringan muka air
c : Konstanta = 3,3 x 10-6
V : Kecepatan angin (m/s)
d : Kedalaman air (m)
g : Percepatan gravitasi (m/s2)

2.3.3. Pasang Surut

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
bendabenda langit, terutama matahari dan bulan terhadap masa air laut di bumi.
Pengetahuan tentang pasang surut adalah penting di dalam perencanaan bangunan
pantai. Elevasi muka air tertinggi dan terendah sangat penting untuk
merencanakan bangunan tersebut. Sebagai contoh, elevasi puncak bangunan

13
pemecah gelombang, dermaga, dsb.ditentukan oleh elevasi muka air pasang,
sementara kedalaman alur pelayaranditentukan oleh muka air surut.
Pasang surut mengakibatkan kedalaman air di pantai selalu berubah
sepanjangwaktu, sehingga diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasarkan
data pasangsurut sebagai berikut: (Triatmodjo, 1999).
a. Muka air tertinggi (Highest High Water Level, HHWL), adalah air tertinggi
padasaat pasang surut purnama atau bulan mati.
b. Muka air tinggi rata-rata (Mean High Water Level, MHWL) adalah rata-rata
mukaair tertinggi yang dicapai selama pengukuran minimal 15 hari.
c. Muka air laut rata-rata (Mean Water Level, MWL) adalah muka air rata-rata
antaramuka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata.
d. Muka air terendah (Lowest Low Water Level, LLWL) adalah air terendah
padasaat pasang surut purnama atau bulan mati.
e. Muka air rendah rata-rata (Mean Low Water Level, MLWL) adalah rata-rata
mukaair terrendah yang dicapai selama pengukuran minimal 15 hari.

2.3.4. Design Water Level (DWL)

Elevasi muka air rencana hanya didasarkan pada pasang surut, wave setup
danpemanasan global. (Triatmodjo, 1999.) :
1. Pasang surut
Dari data pengukuran pasang surut akan didapat MHWL, MSL dan MLWL
2. Wave Setup
Setup gelombang dihitung dengan Rumus 2.2.
3. Kenaikan muka air laut karena pemanasan global
Kenaikan muka air laut karena pemanasan global (Sea Level Rise, SLR)
didapatberdasarkan pada Gambar 2.12.

Elevasi muka air rencana (Design Water Level, DWL), ditetapkan


berdasarkan ketiga faktor tersebut, sehingga :
a. Berdasarkan MHWL
DWL = MHWL + Sw + SLR ………………………………………..………(2.4)

14
b. Berdasarkan MLWL
DWL = LWL + Sw ………………………………………………..……(2.5)

Dimana :
DWL = Design Water Level
MHWL = Mean High Water Level
Sw = Wave Setup
SLR = Sea Level Rise
LWL = Low Water Level

Gambar 2.12. Prediksi kenaikan muka air laut karena pemanasan global.
Sumber : Triatmodjo, 1999.

2.4. Gelombang Rencana


Untuk keperluan perencanaan bangunan pantai maka harus dipilih tinggi
gelombang yang cukup memadai untuk tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dibawah ini diberikan beberapa pedoman pemilihan tinggi gelombang rencana
yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan.

15
2.4.1. Penentuan Kala Ulang Gelombang Rencana (Return Period)

Penentuan kala ulang gelombang rencana biasanya didasarkan pada nilai


daerah yang akan dilindungi dan jenis konstruksi yang akan dibangun. Makin
tinggi nilai ekonomis daerah yang dilindungi, makin besar pula kala ulang
gelombang rencana yang dipilih. Makin besar kemungkinan korban jiwa apabila
terjadi kegagalan konstruksi, makin besar pula kala ulang gelombang rencana
yang dipilih. Untuk menentukan kala ulang gelombang dilakukan studi kelayakan
(feasibility study) untuk memilih kala ulang yang memberikan kelayakan terbaik
(dapat dilihat dari Net benefit terbaik, Benefit Cost Ratio terbaik, Total cost
terendah, pertimbangan korban jiwa yang mungkin terjadi. Penentuan kala ulang
gelombang rencana dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Pemakaian pedoman tersebut memerlukan pemahaman permasalahan yang
cukup mendalam terutama pada jenis konstruksi yang akan dibangun, nilai
ekonomis daerah yang dilindungi, dan kemungkinan kerugian harta, benda dan
jiwa bila terjadi kegagalan. Misalnya akan dibangun krib sejajar pantai, yang
dilindungi adalah pantai dan perairan ke arah sisi daratan. Kegagalan konstruksi
krib laut tidak menimbulkan kerugian material yang tinggi dan tidak
menimbulkan korban jiwa yang besar. Bila krib terbuat dari tumpukan batu,
disarankan kala ulang gelombang yang dipakai adalah 5 s/d 25 tahun saja. Apabila
perbaikan dan perawatan sulit dilakukan pada lapis lindung maka kala ulang
gelombang (H33) diambil agak tinggi, misalnya 20 tahun.

Tabel 2.1 Pedoman Pemilihan Gelombang Rencana

16
Lanjutan tabel 2.1

2.4.2. Gelombang Pecah

Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami


perubahan bentuk dengan puncak gelombang semakin tajam sampai akhirnya
pecah pada suatu kedalaman tertentu. Proses gelombang pecah yaitu sejak
gelombang mulai tidak stabil sampai pecah sepenuhnya terbentang pada suatu
jarak xp. Galvin (1969, dalam CREC, 1984) memberikan hubungan antar jarak
yang ditempuh selama proses gelombang pecah (xp) dan tinggi gelombang saat
mulai pecah Hb, yang tergantung pada kemiringan dasar pantai. Seperti yang
ditunjukkan dalam Gambar 2.13.
xp = τp Hb
τp = (4,0 – 9,25 m) Hb …………………………………………………..…(2.6)

Gambar 2.13. Proses gelombang pecah.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

17
Galvin juga menunjukkan bahwa perbandingan db/Hb berubah dengan
kemiringan gelombang datang Hb/gT2 seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.14.
dalam percobaan yang dilakukan penyebaran titik data cukup besar, sehingga
pada gambar tersebut dibuat dua set kurva. Kurva α adalah batas atas dari nilai
db/Hb; sehingga α = (db/Hb)maks. Sedangkan β adalah batas bawah dari nilai
(db/Hb)min. Grafik hubungan Hb/H’0 dengan H’0/gT2 ditunjukkan dalam Gambar
2.15.

Gambar 2.14. Hubungan antara α dan β dengan Hb/gT2.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

Gambar 2.15. Hubungan antara Hb/H’0 dengan H’0/gT2.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

18
2.4.3. Gelombang pecah rencana

Tinggi gelombang pecah rencana Hb tergantung pada kedalaman air pada


suatu jarak di depan kaki bangunan di mana gelombang pertama kali mulai pecah.
Kedalaman tersebut berubah dengan pasang surut. Tinggi gelombang pecah
rencana mempunyai bentuk berikut :
…………………………………………………………..….(2.7)

…………………………………………………………..….(2.8)
…………………………………………………………..….(2.9)

ds = kedalaman air kaki bangunan


m =kemiringan dasar pantai
Nilai β yang digunakan dalam Persamaan (2.7) tidak dapat langsung
digunakan sebelum nilai Hb diperoleh. Untuk menghitung Hb telah disediakan
Gambar 2.16. apabila kedalaman rencana maksimum pada bangunan dan periode
gelombang dating diketahui, maka dapat dihitung tinggi gelombang pecah
rencana.
Seringkali perlu diketahui gelombang dilaut dalam yang menyebabkan
gelombang pecah rencana tersebut. Denagn membandingkan tinggi gelombang di
laut dalam tersebut dengan hasil analisis statistic gelombang di laut dalam akan
dapat diketahui seberapa banyak gelombang pecah rencana tersebut bekerja pada
bangunan. Tinggi gelombang laut dalam dapat dihitung dengan menggunakan
Gambar 2.17. dan hasil analisis refraksi .

19
Gambar 2.16. Tinggi gelombang pecah rencana di kaki bangunan.
Sumber : Triatmodjo, 1999.

Gambar 2.17. Hubungan antara Hb/H’0 dengan Hb/gT2.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

20
2.5. Perencanaan Bangunan Pelindung Pantai

2.5.1. Elevasi Puncak Bangunan

a. Wave Run-up
Pada waktu gelombang menghantam suatu bangunan, gelombang
tersebut akan naik (run-up) pada permukaan bangunan (Gambar 2.18).
Elevasi (tinggi) bangunan yang direncanakan tergantung pada run-up dan
limpasan yang diijinkan. Run-up tergantung pada bentuk dan kekasaran
bangunan, kemiringan dasar laut di depan bangunan, dan karakteristik
gelombang. Karena banyaknya variabel yang berpengaruh, maka besarnya
run-up sangat sulit ditentukan secara analitis.

Gambar 2.18. Run-up Gelombang.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

Berbagai penelitian tentang run-up gelombang gelombang telah


dilakukan di laboratorium. Hasil penelitian berikut berupa grafik-grafik yang
dapat digunakan untuk menentukan tinggi run-up. Gambar dibawah
merupakan hasil percobaan yang dilakukan oleh Irribaren untuk menentukan
besar run-up gelombang pada bangunan dengan permukaan miring untuk
berbagai tipe material, sebagai fungsi bilangan Irribaren untuk berbagai jenis
lapis lindung yang mempunyai bentuk berikut :

………………………………………………………..(2.10)

21
Dimana:
H = Tinggi gelombang di lokasi bangunan (meter)
Ir = Bilangan Irrabaren
 = Sudut kemiringan sisi pemecah gelombang (derajat)
Lo = Panjang gelombang di laut dalam (meter)

Pada Gambar 2.19. merupakan hasil percobaan di laboratorium yang


dilakukan oleh lrribaren untuk menentukan runup relatif Ru/H atau
Rd/Hsebagai fungsi dari bilangan lrribaren, dimana Ru dan Rd adalah runup
danrundown yang dihitung dari muka air laut rerata.

Gambar 3.19. Grafik Run-Up Gelombang.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

b. Elevasi punack
Elevasi puncak bangunan diperhitungkan dengan tinggi kebebasan
(faktor koreksi) 0,5 m.
Elevasi puncak = DWL + Ru + 0,5 ……………………………..……(2.11)

22
2.5.2. Berat Butir Lapis Lindung

Dalam perencanaan pelindung pantai, ditentukan berat butir batu pelindung


yang dapat di hitung menggunakan rumus Hudson.

………………………………………………... . . . . . . . . . . (3.12)

Dengan :
W = Berat butir batu pelindung
γr = Berat jenis batu
γa = berat jenis air laut
H = tinggi gelombang rencana
θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang
KD = koefisien stabilitas (Tabel 3.2.)

Pada Tabel 2.2 memberikan koefisien stabilitas KD yang tergantung pada


bentuk batu pelindung (batu alam atau buatan), kekasaran permukaan batu,
ketajaman sisi-sisinya, ikatan antara butir dan keadaan pemecah gelombang.

Tabel 2.2. Koefisien stabilitas KD untuk berbagai jenis butir.

23
Keterangan :
n : Jumlah susunan butir batu dalam lapis pelindung
*1 : Penggunaan n = 1 tidak disarankan untuk kondisi gelombang pecah
*2 : Sampai ada ketentuan lebih laniut tentang nilai KD, penggunaan KD
dibatasi pada miringan 1 : 1,5 sampai 1 : 3
*3 : Batu ditempatkan dengan sumbu panjangnya tegak lurus permukaan
Bangunan
Berbagai jenis batu pelindung diberikan dalam Gambar 2.20.

Gambar 2.20. Berbagai jenis batu pelindung.


Sumber : Triatmodjo, 1999.

2.5.3. Lebar Puncak Bangunan

Lebar puncak bangunan tergantung pada limpasan yang diijinkan. pada


kondisi limpasan diijinkan, lebar puncak minimum adalah sama dengan lebar dari

24
tiga butir batu pelindung yang di susun berdampingan (n = 3). Untuk bangunan
tanpa terjadi limpasan, lebar puncak bisa lebih kecil. Selain batasan tersebut, lebar
puncak harus cukup lebar untuk keperluan operasi peralatan pada waktu
pelaksanaan dan perawatan.

……………………………………... . . . . . . . . . . .(2.13)

Dengan :
B = lebar puncak
n = jumlah butir batu (n minimum = 3)
KΔ = koefisien lapis (Tabel 3.3.)
W = berat butir batu pelindung
γr = berat jenis batu pelindung

Tabel 2.3. Koefisien Lapis (KΔ)

Sumber : Triatmodjo, 1999.

2.5.4. Tebal lapis lindung


Tebal lapis pelindung dan jumlah butir batu tiap satu satuan luasan
diberikan
oleh rumus sebagai berikut :

25
…………………………………………………………….. . . . . . (2.14)

dengan :
t = tebal lapis lindung
n = jumlah lapis batu dalam lapis pelindung
KΔ = koefisien yang diberikan dalam tabel 3.3.
W = berat butir batu pelindung
γr = berat jenis batu pelindung

26
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tahapan-Tahapan Penelitian


Tahapan penelitian dimulai dari pengumpulan data yaitu data primer yang meliputi
dokumentasi pantai Oesapa yang bertujuan untuk mengetahui keadaan atau kondisi fisik
pantai Oesapa. Selain itu diperlukan data sekunder yang meliputi:

1. Peta Bathimetri dan topografi


Peta bathimetri adalah peta yang menggambarkan kedalaman laut dan disajikan
dengan menggunakan garis kontur kedalaman. Sedangkan peta topografi digunakan
untuk mengetahui apakah memungkinkan atau tidaknya membangun suatu bangunan
pantai, daerah daratan harus cukup luas untuk membangun bangunan pantai. Dalam
penulisan skripsi ini, data peta bathimetri dan topografi bersumber dari Balai Wilayah
Sungai Nusa Tenggara II Provinsi NTT.
2. Angin
Angin merupakan salah satu pembangkit utama dari gelombang. Angin yang bertiup
di atas perairan laut dalam, membangkitkan gelombang di laut dalam yang kemudian
merambat kearah pantai dan pecah seiring dengan perubahan kedalaman menuju
daratan. Data angin yang dibutuhkan umumnya adalah kecepatan hembus angina dan
arah angin. Dengan demikian, data angina merupakan salah satu parameter utama
penentuan gelombang rencana.Dalam penulisan skripsi ini, data angin bersumber dari
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Lasiana Kupang.
3. Pasang surut
Manfaat dari data pasang surut adalah untuk mengetahui elevasi muka air rencana, dan
perbedaan tinggi air pasang dan surut. Pelaksanaan pengamatan pasang surut
dilakukan selama 15 hari. Pengamatan dilakukan selama 24 jam dengan interval setiap
30 menit. Pembacaan elevasi muka air laut dilakukan pada saat muka air tenang atau
rata-rata dari fluktuasi saat muka air diamati. Pasang surut yang terjadi sangat
berpengaruh terhadap sedimentasi dan erosi, karena dapat menimbulkan arus dan
gelombang pada saat terjadinya pasang surut.Dalam penulisan skripsi ini, data pasang
surut bersumber dari Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II Provinsi NTT.
4. Jenis tanah dan Mekanika Tanah

27
Keadaan tanah atau kondisi tanah sangat penting dalam pertimbangan perencanaan
bangunan pantai terutama diperlukan dalam penentuan jenis pondasi yang digunakan
dan perhitungan dimensinya berdasarkan daya dukung tanah di lokasi perencanaan
bangunan.
Setelah semua data sekunder terkumpul, dengan menggunakan data angin kita
melakukan penentuan gelombang rencana, menghitung tinggi gelombang signifikan,
dan periode ulang gelombang. Setelah mendapat hasil tinggi gelombang rencana, kita
melakukan perencanaan dimensi konstruksi bangunan pantai, dan melakukan kontrol
stabilitas pemecah gelombang menggunakan data tanah. Jika kontrol stabilitas
memenuhi maka dilakukan gambar dimensi bangunan.Dalam penulisan skripsi ini,
data keadaan tanah bersumber dari Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II Provinsi
NTT.

3.1.1 Diagram Alir Tahapan Penelitian


Tahapan-tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir berikut.

28
Mulai

Pengumpulan Data

Data Data
Primer Sekunder

Panjang Daftar
Topografi
dearah yang Mekanika harga upah
atau Peta Angin Pasang Surut
mengalami Tanah dan bahan
Bathimetri
overtopping kota kupang

Analisa Tinggi
Elevasi Muka Air
Gelombang
Rencana
Rencana

Elevasi Puncak Revetment

Perencanaan Struktur
Dinding Revetment

Hitung Volume Pekerjaan


Revetment

Menghitung RAB

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar
3.1. Diagram Alir Perencanaan Revetment Pada Wilayah Pesisir Kampung Nelayan Oesapa

3.2 Lokasi Penelitian


Lokasi studi terletak di Pantai Oesapa, Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima
Kota Kupang, Pada koordinat LS : 10̊ 08’ 48,2316” S, dan BT: 123̊ 38’54,722” T.

29
LOKASI
PENELITIAN

Gambar 3.2. Peta lokasi penelitian


(Sumber :Google earth)

30
Gambar 3.3. Sketsa lokasi penelitian
(Sumber :hasil gambar penulis)

31
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Umumnya dalam pelaksanaan penelitian ilmiah ada banyak teknik yang digunakan
untuk mendapatkan data. Dalam penulisan ini penulis menggunakan tiga teknik
penumpulan data yaitu :
1. Metode Pustaka
Penulis mendalami teori dengan membaca buku-buku atau litelatur dan laporan-
laporan.
2. Metode Dokumentasi
Penulis mengumpulkan data-data berupa catatan, dokumentasi dan kondisi eksisting
yang ada dilapangan.
3. Metode Wawancara
Penulis mendapatkan informasi dengan cara mewawancarai langsung kepada
masyarakat atau pihak-pihak yang berhubungan dengan penulisan Skripsi.
3.3.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini bersumber dari hasil wawancara, data dari instansi
terkait dan langsung dari lokasi penelitian. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari
data primer dan sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian langsung di lokasi studi. Dalam
hal ini data primer meliputi panjang lokasi penelitian dan dokumentasi kondisi
eksisting pada lokasi tersebut.
2. Data sekunder
Data sekunder bersumber dari data yang sudah terkumpul pada instansi –instansi
pemerintah maupun swasta yang relevan dan berhubungan dengan studi ini. Data
sekundr meliputi :
1) Data Angin, berasal dari BMKG Stasiun Lasiana Kupang. Data angin diperlukan
dalam perencanaan distribusi arah dan kecepatan angin yang terjadi dilokasi.
2) Data Pasang Surut, bersumber dari Balai wilayah Sungai Nusa Tenggara II Provinsi
NTT. Data pasang surut yang digunakan pada perencanaan dimensi bangunan
pelindung pantai

32
3) Data mekanika tanah, bersumber dari Balai wilayah Sungai Nusa Tenggara II
Provinsi NTT. Data geologi yang bermanfaat untuk mengetahui daya dukung
material dasar terhadap berat konstruksi bangunan di atasnya.
4) Topografi atau Peta Bathimetri, diperoleh dari Balai Wilayah Sungai Nusa
Tenggara II Provinsi NTT. Peta Bathimetri dan geografis bermanfaat untuk
mengetahui perbandingan kemiringan permukaan tanah.
3.3.2 Analisa Data

Teknik dalam pengelolaan data adalah menghitung, menyajikan dan


mengelompokkan data-data agar siap untuk dijadikan suatu acuan atau materi. Pengelolaan
data yang dilakukan berpedoman pada tujuan studi ini. Data-data yang diperoleh dari hasil
studi dihitung dan dievaluasi berdasarkan rumus-rumus serta ketentuan-ketentuan yang
ada, sehingga dapat diperoleh acuan untuk mengambil kesimpulan terhadap kondisi yang
ada di lokasi studi, sehingga konstruksi bangunan revetment yang dibangun aman dan
mampu menahan serangan gelombang dan memberikan rasa nyaman kepada penduduk
yang bermukim di sekitar wilayah pesisir pantai tersebut. Hasil pengelolaan data tersebut
kemudian diinterpretasikan dan dibahas serta dibandingkan dengan teori-teori pendukung.

Pengolahan data meliputi kegiatan mengakumulasikan, pengelompokan jenis data,


kemudian dilanjutkan dengan analisis. Pada tahapan ini dilakukan proses pengolahan dan
analisis data meliputi :

1. Analisis data gelombang dibagi menjadi dua yaitu :


Melakukan peramalan gelombang berdasarkan data angin kecepatan maksimum.

1) Data angin di darat ditransformasikan dalam data angin di laut, kemudian dicari
faktor tegangan angin dengan menggunakan rumus
𝑅𝐿 = Uw / 𝑈𝐿 dan harga fetch gengan menggunakan rumus :
ΣXi cos α
Feff = Σ cos α

2) Dari nilai tegangan angin dan harga fetch dapat diketahui tinggi dan periode
gelombang dengan menggunakan grafik peramalan gelombang.
2. Menentukan Tinggi Muka Air Rencana (DWL)
Tinggi Muka Air Rencana (DWL) dengan menggunakan rumus :

33
DWL = HHWL + SW + SLR

Dimana :

DWL = Design Water Level (Tinggi muka air rencana)

HHWL = Highest High Water Level (Tinggi muka air tertinggi)

SW = Wind Set up (Kenaikan muka air laut karena gelombang )

SLR = Sea Water Level (Kenaikan muka air laut karena pemanasan gelobal)

3. Penentuan elevasi mercu revetment


Penentuan elevasi mercu revetment didapat dengan menggunakan rumus :
Elevasi = DWL + Ru + Fb

Dimana :

DWL : Design Water Level

Ru : Run-up gelombang

Fb : Free Board

4. Perhitungan Konstruksi Revetment


1) Penentuan Elevasi Puncak
𝑡𝑔𝜃
Ir = 𝐻/𝐿𝑜0,5

2) Perhitungan Lebar Mercu


1
𝑊
B = nKΔ [𝑌 ] 3
𝑟
𝛾𝑏𝐻3
3) Perhitungan Berat Armor W = 𝐾 3
𝐷 ∆ cot 𝜃

4) Perhitungan Tebal Lapis Armor


1
𝑊 3
t = nKΔ [𝑌 ]
𝑟

5) Jumlah Batu Pelindung


2
𝑃 𝑊
N = AnKΔ [1 − ] [𝑌 ] 3
100 𝑟

6) Tebal Toe Protection

34
1H – r
7) Lebar Toe Protection

B = 2H
8) Berat Butir
𝑌𝑟 𝐻 3
W = 𝑁𝑠 (𝑆𝑟 −1)3
3

5. Stabilitas Revetment
Stabilitas Revetment yang diperhitungkan adalah :
1) Stabilitas terhadap Sliding (Tergelincirnya Batu Lapis Lindung)
2) Kestabilan terhadap Settlement (Penurunan)
3) Keadaan daya dukung tanah
6. Rencana Anggaran Biaya
Menyusun Rencana Anggaran Biaya menggunakan AHSP 2016 serta daftar harga upah
dan bahan kota kupang.

3.4 Rancangan Penelitian


Perencanaan bangunan pantai harus memperhatikan kondisi lokasi di mana bangunan
tersebut akan dibangun. Kondisi alam seperti angin, pasang surut, gelombang, topografi
dan bathimetri serta kondisi lingkungan sangat berpengaruh dalam perencanaan bangunan
pantai. Dalam penelitian ini, penulis merencanakan bangunan pengaman pantai revetment
type rubble mound menggunakan kubus beton.
Alasan dipilihnya rubble mound breakwater karena memperhatikan dan
mempertimbangkan karakteristik dasar laut yang mendukung bangunan tersebut di bawah
pengaruh gelombang. Tanah dasar (fondasi bangunan) harus mempunyai daya dukung
yang cukup sehingga stabilitas bangunan terjamin, jika karakteristik tanah dasar lunak,
daya dukung tanah kecil maka konstruksi harus ringan (memperkecil dimensi bangunan)
dengan cara memperlebar dasar sehingga bangunan berbentuk trapesium/sisi miring.
Sedangkan pemilihan bahan unit lapis lindung berupa beton dengan ukuran umum 8-16 ton
karena sulit untuk mendapatkan batu alam dengan ukuran besar dan berat, pemilihan
bentuk kubus beton dipilih karena berbentuk sederhana dan tidak membutuhkan biaya
yang besar. Jika menggunakan batu buatan dengan bentuk khusus yang lebih ringan maka

35
diperlukan biaya yang lebih besar karena lebih sulit dalam pembuatan dan membutuhkan
cetakan/bekisting khusus.

36

Anda mungkin juga menyukai