Anda di halaman 1dari 10

Bab VII


REZIM PULAU DALAM HUKUM


INTERNASIONA
L

A. Pendahuluan
Sebagaimana telah dibahas dalam Bab II, Pasal 46 Konvensi Hukum
Laut 1982 memuat unsur pulau sebagai salah satu komponen dalam
pengertian negara kepulauan. Bab ini akan membahas pengaturan rezim
hukum pulau dalam Konvensi Hukum Laut 1982, dan hal-hal yang terkait
dengan karakteristik karakteristik pulau, dan kapasitas pulau untuk
-

membentuk pelbagai zona maritim. Bab ini juga akan menguraikan


secara singkat beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia
mengenai pulau pulau keciI.349
-

B. Definisi Pulau Sebelum dan Menurut Konvensi Hukum


Laut 1982
Dalam upaya memberikan pengertian pulau sebelum Konvensi Hukum
Laut 1982, pertama-tama kita perlu merujuk pacla Konferensi Liga Bangsa-
Bangsa mengenai Kodifikasi Hukum Internasional (Konferensi Koclifikasi
Den Haag) Tahun 1930, yang meliputi 3 masalah yakni:
1. Kewarganegaraan;
2. Perairan teritorial; dan

349 Bab ini merupakan bagian dari pembahasan "Hasli Kajlan Status Hukum Pulau Dalam
Hukum Laut Internaslonal", Anggota Tim Kajlan: Prof Dikcllk Mohamaci Sodlk,
SH.,MI-L,Ph.D (Ketua), Kresno Buntoro, SH.,LL.M.,Ph.D (Anggota), Agus Ajar Bantung,
ST.tvIsi (Anggota)., Bambang Subagyo, ivisi (Anggota), Reza Ferlanto, (Anmota),
Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal, Kementerian Kelautan clan Perikanan,
2013, hlm.7-28.
Rezim Pulau dalam Iluium Leur Internasional 21 9
ats Hukum Laur fraernasirmo , lirtgaturannya rfi Indonesia

3. Tanggung jawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalarn Dari bunyi ketentuan di atas nampak bahwa pulau merupakan suatu
wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing aso daratan yang dibentuk secara a1amiah yang dikelilingi oleh air dan yang
Bertalian dengan perairan teritorial, Sub Komite II memperbincangkan d di atas permukaan air pada waktu air pasang.'"
a a

delapan paraoalan yang bertalian erat dengan laut teritorial, yaitu: (1) Dari uraian di atas, nampak bahwa definisi pulau yang dirumuskan
garis pangkal laut teritorial; (2) teluk; (3) pelabuhan; (4) dermaga; (5) dalam Konferensi Kodffikasi Den Haag Tahun 1930 merupakan definisi
pulau; (6) selat; (7) 1intas kapal perang melalui selat; dan (8) penutupan pertama rnengenai pulau, yang kemudian dikuatkan ofeh Konvensi
laut teritorial pada muara sungai."' atukum Laut Jenewa 1 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982.
Dalam hubungannya dengan persoalan pulau tersebut, Sub Komite Dalam hubungan ini penting pula dikemukakan Pasal 10 ayat 2
11 Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1 930 memberikan definisi pulau Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur
Tambahan, yang menyatakan bahwa laut terhonal dari suatu pulau
sebagai berikut:
ditetapkan berdasarkan ketentuan umum mengenai garis pangkal. Hal
"An island is an area of land, surrounded by water,which is perma-
nently above highwater mark.3" (terjemahannya pulau merupakan ini berarti bahwa setiap pulau, dengan tidak melihat besar atau kecil
suatu daratan yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan wilayahnya, dapat memiliki laut teritorialnya serdiri. Atas dasar hal itu,
pulau ked dapat dipergunakan sebagai garis pangkal untuk mengukur
air pada waktu air pasang).
lebar laut tentorial,"5 dan jalur tambahan.
Dalam rangka mempersiapkan rancangan pasal mengenai pulau Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 (b) Konvensi Hukum Laut
untuk penyelenggaraan Konferensi Hukum Laut I Tahun 1958, Komisi Jenewa IV 1958 mengenai Landas Kontinen bahwa pulau dapat
Hulcum Internasional menggunakan karya Konferensi Kodifikasi Den mempunyai landas kontinennya sendiri. Meskipun definisi pulau tidak
Haag 1930, dengan memasukkan rancangan pasa I mengenai purau. ditemukan dalam ketentuan pasal tersebut, maksud para perancang
Nienurut Rancangan Pasal 10 Laporan Akhir Komisi Hukum Internasional Konvensi agar istilah pulau dalam landas kontinen diartikan sama dengan
bahwa setiap pulau mempunyai laut teritorialnya. Dalam pada itu, definisi pengertian pulau menurut Pasal 10 ayat 1 Konvensi Jenewa 1958."'
pulau yang dimuat dalam Pasa1 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut lenevva Masalahnya adalah lebar landas kontinen yang merupakan zona maritim
1 1958 menbeflal Laut Teritorial dan Jalur Tambahan,353 berbunyi sebagai lainnya yang diatur da Iam Konvensi Hukum Laut Jenewa IV 1958
berikut: mengenai Landas Kontinen, tidak diukur dari garis pangkall" yang
"An island is a naturally-formed area of land, surrounded by water, dipergunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.
which is above water at high-tide". Berbeda dengan ketentuan di atas, Pasal 121 ayat 2 Konvensi Hukum
Rumusan yang sama rnengenai definisi pulau ini diberikan oieh Pasal Laut 1982 menyatakan kecuali dalam hal sebaga1manaditentukan dalam
121 ayat I Konvensi Hukum Laut 1982 yaitu: ayat 3, laut teritorial, zona tambahan, zonaekonomi eksklusif dan 1andas
"An island is a naturally-formed area of land, surrounded by water, kontinen suatu pulau ditetapkan sesuai dengan ketentuan konvensi ini
which is above water at high-tide" yang berlaku bagi wilayah darat lainnya. Dalam arti ini, pada
prinspnya

350 Mochtar Kusurnaatmadja, op.cii,


351 Likat Lampiran daripada Laporan kntang Laut Teritorial daram Final Act dalam Wchlar Kusurnatmadja, op.cil,
hlm.73. 35
4 Etty R.Agoes, op.cit, hlm 3.
352 Cand.date Num•er: 6031, "Islands and TheIr Capacity to Generate Marilime ZOrle5 CaSe law Romania v. 355
R.R. Churchill and A.V.Lowe, op.cit, him 49
Ukraine", Thesis, Faculiy of Law, Universfly of Gislo, acioa, 7. „ 3 S6
Churchill and A.V.Lowe, op.cit, h1m.150.
353 Hiran W, Jayewardene, "The Regme of Islands In Inte NI 1°11
0
rnational Law', Martinus , 357
R.R, Churchill and A,V.Lowe, ibid
Publ,shiers, 1990, hlm.11.
12111 Huhrm Linir iwormisionei PrilprUrdni•a Indotu-sin Rezim Pulau ddarn likkupti Law imenhubmat 221

suatu pulau, sebagaimana hainya dengan daratan kontinen yang lu as, 3, kikurannya cukup 1uas;
1, Suatu wilayah daratan;
dapat dipergunakan sebagai garis pangkal untuk mangukur febar laut 4, Dike1i1ingi oleh air; 5 Ada
2 Dibentuk secara
teritorial, jalur tarnbahan, zona ekonomi eksklusif dan landa s di atas permukaan air pada waktu air pasang;
kontinennya.•" Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa pat au 6. Untuk dapat didiami oleh manusia; dan
dapat rnempunyai laut teritorial, landas kontinen dan zona ekonorra 7, Ntiempunyai kelangsungan hidup di bidang ekonorni. Pasal 10 ayatl
eksklusifnya.3;9 Konvensi Hukum Laut Jenewa 1 1958 mengenai Laut Teritorlar dan
Hanya saja rnenurut Pasal 121 ayat 3 Konvensi Hukurn Laut 1982 ja1ur Tambahan hanya memuat kriteria narror 1, 2, 4 dan 5,363
batu karang yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau tidak sedangkan Pasaf 121 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat kritena
merniliki kehidupan ekonomi yang mandiri bagi manusia tidak dapat nornor 1, 2, 4, 5, 6 dan 7. Kriteria no 3 tentang "ukurannya cukup
mempunyai zona ekonomi eksklusif atau landas konfinennya sendiri.aa luas" tidak dikenal dalam ketentuan KHL Jenewa 1 1958 dan Konvensi
Bertitik tolak pada uraian di atas, maka Pasal 121 Konvensi Hukum Hukum Laut 1982.
Laut 1982 memuat kembali kete►tuan mengenai persoalan delimitasi
Hal ini ini berarti bahwa keenam kritera yang ditetapkan dalam
laut tentorial dari putau yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut lenewa
Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan kriteria yang mengikatrnasyarakat
11958 mengenai Laut Teritonal dan Jalur Tambahan. 161 Hal yang penting
internasional untuk menentukan suatu pulau. Dalam uraian berikut ini
adalah ketentuan Pasal 121 Konvensi Hukurn Laut 1982 memuat prinsip
akan dijelaskan secara singkat mengenai karakteristik-karakteristik yang
dan ketentuan baru mengenai dalam hukurn laut internasional.'"
disebutkan di atas.
Merujuk pada uraian di atas tampak bahwa Konvensi Hukurn Laut
jenewa 1 1958 rnengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan mengakui
1. Suatu Willayah Daratan
pulau sebagai garis pangkal yang dapat dipergunakan untuk mengukur agar suatu pulau dapat menjadi pengertian yuridis, makasyaratnya harus
memenuhi dua unsur. Pertama, daratan yang terbentuk harus bersambung
lebar faut teritonal, dan jalur tambahan. Definisi pufau ini ditetapkan
dengan dasar laut agar mempunyai karakteristik sebagai pulau. Kedua,
kembali dalarr Konvensi Hukum Laut 1982 dengan menambah zona
daratan tersebut harus merupakan terra firma (wilayah daratan luas) yang
maritim baru, yaitu zona ekonomi eksklusif. Akan tetapi, Konvensi Hukurr
stabil?"
L3ut 1982 mensyaratkan hanya batu karang yang dapat menclukung
kehidupan manusia atau memiliki kehidupan ekonomi yang manclin yang Berdasarkan uraian di atas, maka dasar laut itu merupakan
berhak untuk mendapat zona ekonomi eksklusif atau fandas kontinennya. kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Harus diakui bahwa wilayah
daratan yang terbentuk secara alamiah itu merupakan fondasi untuk
maennudsia.
C. Karakteristik Pulau irikan bangunan-bangunan di atasnya untuk pelbagai aktivitas
5ehubungan dengan karakteristik pulau, menurut hukum internasionai m

palingfidak ada 7 karakteris-tik tradisional yang harus dipenuhi ofeh suatu


pulau, yaitu:
356 R.R. Churchill and A.V.Luwe,
35
9 IDA CARACCIOLO 1.inrewIved ControveLlsy.: The Legal Situallion or Svalbard Islardr s
Maribrne hreas; Arr interriretafkw or the Parls Treaty in Light UNCLOS 1982", UnlverstlY
363
Cilve R. Symrnmons, 'The Marltime Zones of Islands in interrialional law% iviartinu
erf Naples, 2008„ Niihcd, 1979 hlm.20.
360 MochLar KL.ournalfnadja dan Euy R.Agoes, hIm.190. 364
CliVe R, Syrnenrrons,
361 Hiran W.
362 lan brownlie,
222 11mAum Lour Inrernasional << Pengiffitronnya di Indorlosia Rezirn Pulan dularn Ilukunt lout Internasional 223

2. Dibcntuk Secara Alarniah rneayatakan bahwa apabila ada wilayah daratan yang cukup luas, maka
ti ak perlu dipersoalkan jenis-jenis daratannya selama wilayah tersebut
d
Pencantuman kalimat "dibentuk secara alarniah" dalam definisi pulau 3
niarnpu membentuk laut teritoria1. "
menurut Pasal• 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 (kursip p eneliti)
Dikaitkan dengan wilayah sebagai salah satu unsur negara menurut
berarti bahwa kriteria pt.hu ini tidak mencakup pulau buatan dengan
Kanvensi Mentevideo 1933, memang tidak peraing apakah daerah yang
kapasitasnya untuk membentuk zona-zona maritim.3" Menurut doktrin
didiami secara tetap oleh rakyat itu besar atau kecil. Dapat saja wilayah
yang dianut bahwa laut teritorial tidak dapat dibentuk oleh instalasa
yang berupa pulau (kursip peneliti) tersebut hanya terdiri dari satu kota
instalasi buatan, seperti mercusuar, menara, dan
saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota.- Tidak dipersoafkan
Dalam sejumlah tulisan pakar hukum laut internasional acapkali
pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak."'
dicantumkan istiiah kinsufar formations" yang tidak ditemukan dalarn
unsur wilayah dan unsur rakyat tidak ada batastertentu, baik jumrah
Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pakar hukum laut
penduduk maupun luas daerahnya. Sebagai contoh, Tuvalu hanya
internasional -insular formations" diartikan sebagai "those formations
mempunyai penduduk 10.000 orang (tahun 2002), dan luas negerinya
‘1..hich are included by treaty Iaw as legal terms, namely islands and
hanya 26 Knn2•37° Negeri kecil ini disebut eiengan negara 'minii, `mikro',
low-tide eievations" (elevasi surut). lstilah ini mencakup pulau-pulau,
atau sarjana lain menyebut juga sebagai very srnall state.'7'
batu karang, karang dan segala bentuk elevasi surut, sehingga
penerjemahan format pulau-pulau dari "insular formations dianggap Pengaturan penting dalam hukum internasionaldewasa ini mengenai
k-urang tepat. Karena istilah "pulau" itu sendiri merupakan terjemahan kriteria ukuran pulau adarah ketentuan Pasal 121 Konvensi Hukum Laut
dari island menurut Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Hanya saja 1982 yang tidak menetapkan syarat mengenai ukuran besar atau kecilnya
ketentuan Pasal 121 tidak menjelaskan mengenai elevasi surut dan suatu pulau. Ketentuan pasal iniiafl yang megikat negara-negara dalam
kedudukan hukumnya dalam konteks delimitasi maritim. 167 menentukan kriteria ukuran luasnya pulau.

3. Ukuran Wilayahnya Cukup Luas 4, Dikelilingi oleh Air


Kriteria ukuran luasnya pulau ini tidak ditetapkan dalam definisi pulau Definisi pulau ini sesungguhnya dianggap rebih penting daripada
yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, baik Konferensi Kodifikasi persyaratan suatu pulau harus dikelilingi oleh air. Apabila sebuah pulau
Den HaagTahun 1930 maupun Pasal 10 (1) Konvensi Hukum Laut Jenewa tersambung ke daratan dengan tanah tandus atau melalui pembangunan
11958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan tidak menetapkan dam, maka tanah tandus tersebut tidak dianggap sebagai sebuah pulau.
kfiteria ukuran besar atau kecilnya suatu pulau. Namun demikian, Walaupun demikian, tanah atau fitur tersebut merupakan bagian yang
sejumlah pakar hukum laut internasional menggunakan kriteria ukuran tidak terpisahkan dari garis pantai, yang dapat dipergunakan eiTeh Negara
pulau sebagai salah satu syarat untuk menentukan status pulau penuh. pantai untuk menetapkan garis pangkalnya dan membentuk zona maritim
Dafam katan ini menarik pendapat McDougal dan Burke yang Yang berada di dalam fitur tersebut.ffi

365 Marius Gjetnes, allle Legal Regime or Islands in the South China Sea", Masters Thesis
368 Clive R. Symmmons, hlm.27.
Law, Department of Public and intemaiional Law, lJniversily of Osio, 2000, hlm 36.
369
R•C. Hingorani, "Modern intemational Law", India: Oceana Publications, Inc., 2nd.ed,
366 Derek W.BrYi.yett, "The Legal Regirne of Islands in InIernational Oceana Publications , 1984, hlm.35 dalam Huala Adolf, hlm.5.
1979, hlm. 2.
37
Q DI.Harris, "Cases and Materials on International law", tondon:Sv,eet and Ma_Nwell,,
367 Clivt R. 5yrn►r,,ns, Sorne Pkoblenu felating Defrigition of 7nsciJar Formations'Irk InIc 911j- 41h.ed, 1991, h1m.90 cfalam Huala Adolf, hlm.5.
Law: IsI3nds arid Low•Tide Elevaqons, MARITIME BRIEFING Vol ) Number ,
371
luliane Kokou, mMicro State', dalam R.Bernhardi EPIL 10 -l.1997, hInt.292 chj am
1995, htios://wiww.dur.ac .uklibru/publ icai ionsiviewilid=228 Huala Adoll, op.cii, hlm.5.
37
2 Marius Gjetnes, op,cit, hlm 3B.
Rezim Pulau dolam Ilukum Laut International 225
224 ilukum Laut Intrr►asionol d Pengoturannya di Indonesla

5. Ada di atas Permukaan Air Pada Waktu Air botu karang tersebut selain tidak dapat dihuni oleh manusia, juga tidak
rnernpunyai nilai ekondmis, dan sangat membahayakan bagi pelayaran,"
Pasang
Kondisi ini hanya berlaku untuk daerah lni dan belum tentu berlaku untuk
Berdasarkan pada definisi pulau yang dikemukakan di atas, maka pulau batu karang di daerah lainnya.
harus berada di atas pemiukaan air baik pada waktu air pasang maupun pandangan di atas kiranya sejalan dengan ketentuan Pasal 121
pada waktu air surut,"' Berdasarkan hal itu, maka perbedaan antara ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mendiskualifikasi batu karang
pulau dan bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau tidak memiliki
waktu pasang surut menjadi penting. Karena hanya pulau yang tetap kehidupan ekonomi yang mandiri untuk tidak dapat mempunyai zona
berada di atas permukaan air yang mempunyai status pulau penuh ekonomi eksklusif atau landas kontinennya sendiri. Bagaimana pun
menurut hukum intemasional, sehingga mempunyai kapasitas untuk kriteria kelangsungan hidup di bidang ekonomi suatu pulau, laut dan
membentuk zona maritim.34 sumber daya alamnya sangat penting da1am menyokong kehidupan
manusia.

6. Tempat Untuk Didiami oleh Manusia


Kriteria pulau yang dapat didiami oleh manusia tidak dibicarakan dalam D. Kapasitas Pulau untuk Membentuk Zona Maritimw
pembahasan Pasal 1 0 dari Komite Pertama Konferensi Hukum Laut tahun Sebagaimana telah dibahas dalam Bab 2, Konvensi Hukum Laut 1982
1958 di Jenewa. Hal ini berarti bahwa kriteria tersebut bukan merupakan memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur pelbagai zona maritim
laiteria penting untuk dicantumkan dalam ketentuan Pasal 10 (1 ) Konvensi dengan status hukum yang berbeda-beda. Secara garis besarnya,
Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai laut.Teritorial dan Jalur konvensi membagi laut ke dalam dua bagian zona maritim, yaitu zona-
Tarnbahan. 375 Hal yang penting adalah wilayah yang layak didiami zona yang berada di bawah dan di luar yurisdiksi nasional. Zona-zona
oleh manusia harus merupakan wilayah yang dapat mendukung maritim yang berada di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai
kehidupan manusia atau memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan bagi negara kepulauan,
sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat 3 Konvensi Hukum Laut laut teritorial, dan bagian-bagian tertentu dari selat yang digunakan untuk
1982. pelayaran internasional.
Konvensi Hukum Laut 1982 juga mengakui adanya zona-zona
7, Mempunyai Kelangsungan Hidup di Bidang Ekonomi maritim di mana negara pantai hanya dapat melaksanakan wewenang-
Awkali kriteria kelangsungan hidup di bidang ekonomi di suatu pulau wewenang terbatas serta hak-hak khusus. Zona-zona maritim yang
terkait dengan kriteria pulau apakah dapat didiami atau tidak oleh Lermasuk ke dalain kategori ini adalah jalur tambahan, zona ekonomi
manusia. Karena banyak pulau kecil yang terisolasi dan pulau tandus eksklusif, dan fandas kontinen. Adapun zona-zona maritim yang berada
yang terbentuk di atas permukaan air tidak memiliki kriteria demikian. di luar yurisdiksi nasional adalah laut lepas dan kawasan dasar laut
Rockall merupakan salah satu contoh penting pulau tandus. Rockall internasional.
merupakan batu karang yang sangat kecil dengan ketinggian 70 kaki Pada umumnya, menurut Pasal 121 ayat 2 Konvensi Hukum Laut
dan 80 kaki dalam bentuk Iingkaran yang menjorok dan berada di atas 1982, pulau sebagaimana halnya dengan wilayah daratan lainnya, dapat
Samudra Alantik. Batu karang ini merupakan suatu bentukan geologi membentuk zona maritim. Setiap pulau yang termasuk dalam pengertian
yang terisolasi yang jaraknya 226 mil laut dari daratan terdekat, yaitu Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 dapat mempunyai laut
Country Donegal di Republik Irlanolia. Memperhatikan hal di atas, maka
376 cl.
dve R. Symmmons, op.cit, h1m,51.
373 Hiran W. Jayewardene, op.cit, hirn. 3. 377
Bahan referensi utama pembahasan Ini adalah Marius Gjetnes, 'ap,cit„ hlm.29-31
374 Clive R. Symrnrnons,, hlm, 43.
375 Derdf, W.Boweit, ap.cil, hlm. 9.
Redai dalam thiikom Lthri Igtentallonal 227
226 Laut imermsionoi Pertgoturannya 1ffdone,qa

tentorialnya dan jalur tambahan. Akan telapi, hak mendapat perluasan 3, Landas Kontinen
zona mantim, yaitu zona ekonorni eksklusif, dan landas kontinen dibatasi
menurut Pasal 76 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa lebar iandas
oleh pengecualian yang ditetapkan dalarn Pasal 121 ayat 3 Konvens
konjinen dari suatu pulau juga tidak boleh melebihi 200 mil Iaut thukur
Hukum Laut 1982, Telah dikernukakan sebelumnya, bahwa batu karang
dari garis pangkai puiau tersebut. Akan tetapi, menurut Pasal 76 ayat 4-7
yang tidak dapat menopang kehidupan manusia tidak dapat mempunyai
bahwa lebar landas kontinen dapat rnelebihi batas jarak 200 rnd laut,
zona e&onomi ekskiusif atau landas kontinennya sendiri.
apabila masih ada kelanjutan alamiah.

Laut Teritorial dan Zona Tambahan


4, Perairan Pedallarnan
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bedasarkan Pasai 3
Konvensi Hukum Laut 1982 lebar laut teritorial dari suatu pulau dapat Di samping zona-zona maritim di atas, pulau juga dapat mernbentuk
perairan pedalaman. Menurut Pasal 8 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982
mencapai suatu balas yang tidak melebihi 12 mi I laut diukur dari garis
banwa perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal yang
pangkal pulau tersebut. Laut teritorial secara hukurn merupakan
dipergunakan untuk menetapkan laut tentorial suatu regaran dapat
perluasan dari kedaulatan wilayah negara pantai. Negara pantai
membentuk perairan pedaiaman.
rrienurut Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai wewenang
Berbeda dengan pulau yang terbentuk secara alamiah, pulau-pulau
untuk menetapkan jalur tarnbahan yang rebarnya tidak boleh melebihi
buatan tidak mempunyai status sebagai pulau, sehingga tidak mempunyai
24 mil laut diukur dari garis pangkal yang dipergunakan untuk mene-
laut wilayahnya sendiri. Dengan demikian, keberadaan pulau-pulau
tapkan lebar laut teritonalnya.
buatan di zona ekonomi eksidusff tidak mempengaruhi penetapan lebar
Dalam menetapkan lebar laut teritonal suatu negara pantai, Konvensi laut wilayah, zona ekonomi eksKisif dan landas kontinen. Berikut ini
Hukum Laut 1982 merruat ketentuan-ketentuan mengenai cara-cara akan dibahas mengenai pengaturan pulau dalam peraturan perundang-
penarikan garis pangkar, yaitu garis air rendah (low water mark) sebagai undangan Indonesia.
garis pangkal biasa sebagalmana diatur dalam Pasal 5 dan garis pangkal
lurus yang diatur dalarn Pasal 7.
Selain garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus, Konvensi Hukum E, Pengaturan Hukum Nasional Indonesia tentang
Laut 1982 juga mengatur jenis-jenis garis pangkal lain yang umurn Pulau-Pufau Kecil
ofigunakan, yakni penutup mulut sungai (Pasal 9), penutup mulut teluk Definisi pulau yang ditetapkan dalam Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum
(Pasal 10), pelabuhan (Pasal 11), dan elevasi surut ilow-tiare elevati°r1)- Laut 1982 ditemukan dalam ketentuan Pasar 1 ayat 2 Undang-Undang
13agi negara kepulauan cara penarikan garis pangkal dilakukan menurut No.6 Tahun 1996 tentang Perairan indonesia. Ketentuan pasal ini
ketentuan Pasal 47 Konvensj Hukum Laut 1982, mendefinisikan pulau sebagai daerah daratan yang terbentuk secara
alamiah dikeli I ingi oleh air dan yang berada atas permukaan air pada
waktu air pasang.
2. Zona Ekonomi Eksklusif Seperti telah dikemukakan dalam Bab witayah pesisir dan lautan
Dlmuka telah disinggung hahwa Pasal 57 Konvensi Hukurn Laut 1982 indonesia meliputi pula ribuan pulau yang berjurnlah 17.504 pulau. Pulau-
menyatakan bahwa lebar zona ekonorrfi eksklusif dari suatu pulau daPat Pulau tersebut baik pulau besar maupun pulau kecil, sebagan telah
mencapai suatu batas yang tidak boleh meiebihi 200 mil laut diukur clari berr—ri
garis pangkal pulau tersebut. ghuni dan ada juga yang belum berpenghuni. Di samping itu,

378
Ithat Etty R.Agoes, hIrn,4
dailm Ihrkum Law, Infmasional 2.29
218 Lowir Intermai►ai A Peirgesurannya I►doiresia

pulau-pulau tersebut masili ada yang belum rnemi I iki narna. Dari puluhan Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang
ribu pulau tersebut terdapat 92 pulau terkJari di mana terdapat I 2 pulau perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar besar -

terluar yang berbatasan langsung dengan negara tekangga, yaitu: Palau kernaknauran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi
g
Rondo, Pulau Berhala, Pulau Nipa, Pubu Sekatung, Pulau Marore, Pulau Beanhewraas WiYailangak
Miangas, Pdau Marampit, Pulau Fani, Pulau Fanildo, Pulau Baras, Pulau yahPan d
b. esisiartdanang;Pulau-Pulau Kecil memiRki keragaman
Batek, dan Pulau
potensi Surnber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi
Sesual dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.6 Tahun
pengernbangan ekonorni, budaya, I ingkungan, dan penyangga
1996 tentang Perairan indenesa, tndonesia telah mengeluarkan pelbagai
kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu chkelola secara berkelan_
peraturan perundang-undangan nasional mengenai pulau ini. Dari
jutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan
pelbagai peraturan perundang-unclangan nasional Indones[a mengenai
partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan
pulau3"), bab ini hanya akan rnemfokuskan pembahasan pada beberapa
norrna hukurn nasional;
ketentuan pokok dalam (1) Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang c.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalarn
Pengelolaan Wilayah Pesisi r dan Pulau-Pulau Keci I dan Undang-Undang
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang- Undang tenlang
No,1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Unclang No.27 Tahur
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil,
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan;
(2) Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 201 0 Tentang Pemanfaatan Pulau Ketentuan Pasat 1 ayat 3 Undang-Undang No, 27 Tahun 2007tentang
Pulau Kecil Terluar. Pengelolaan WI layah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan pengertian
tentang pulau keci I, yaitu pulau dengan luaslebih kecir atau sama dengan
L000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistem.
Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang
Asas-asas Pengeloiaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang
dan Undang-Undang No.1 Tahun 2014 tentang
Pengefolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kedl adalah:
Perubahan Atas Undang-Undang No.27 Tahun 2007 a, Keberlanjutan;
tentang Pengeloiaan Wilayah Pesisir dan Pullau- b,Konsistensi;
Pulau Kecil c,Keterpaduan;
Pertimbangan penetapan Undang-Undang No.Undang Na.27 Tahun 2007 d. Kepastian hukum;
tentang Pengelcdaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecd yang e,Kemitraan;
diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007 adala• sebagai berikut: f,Pemerataan;
a. Bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil rnerupakan bagian g.Peran serta masyarakat•
dari surnber daya aLam yang dianugerahkan oreh Tuhan Yang Maha h.Keterbukaan;

379 Chandra .1v1otik YD dan kawan-kawan, Bluku Bacaan Pendidjkan Kelautan Kekayaan 2007 Tentang Penataan Ruang, Intruksi Presiden N0,1 Tahun 2010 Tentang Peroepatan
Ntle,iku l'"egara marlfirn, Sekretarlai Dewan Kelautan 1ndonesla, Kementerian Kelauun Prioritas Pembangunan NasionaE Tahun 2010, dan Peraturan Menteri Kelautan dan
ddn Perikanan, 2011,hirn, Perika►an Na. 20 Tahun 2006 tentang Pernanlaaian Pulau pulau Kecil dan Perakan di
380 Selain peraluran perundang-undangan lersebul di atas, lerdapat peraturan perundang - sekharnya.penubs rnernbatasE pemballasan pada empat peraturan perundang-undangan .
undangan lainnya yang mengalur pemantaatan pulau-pulau kecil, yailu Peraturan Predeo Lihat Sudirman 5aad, Direktur jenderal Kerautan, Pesisir, dan Pulau-Pufau Kecit,
No.78 Tahun 2005 Teniarg Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terkar;Undang -Undang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kebijakan Pengelulaan Pulau-Pulau
N0.31 Tahun 2004 Teniang Perikanan jo Undang•Undang No..45 Tahun 2009 TenimS Presentasi pada Roundtable Discussion Penguatan Kerangka Hukunn keniang Pulau di
Perubahan Undang-Undang No.11 Tahun 2001 Tentang Perikanan, Lindang-Unthing
Indonesia dalam Perspektii Hukurn Laut Internasional, Blro Hukurn tlan Or8anisasi
No. 2G Tahun
Kernenterian Kelautan dan Peirkanan, 10 Oktober 2013, h1m..12.
230 Hu.iurn Laut Ittrerruisio►al Pengaturannya r11 Indo►esia Rrjnt Pulau dalam flukum Laut Internasiorlai 231

i. Desentralisasi; dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: Antara


-
Ak untabilaas; dan pemerintah dan pernerintah daerah;
k. Keadlian. e) Antar pemerintah daerah;
Adapun Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menurut f) antara sektor;
Pasal 4 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 bertujuan untuk: g) antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat;
a) Melindungi, mengkonseryasi merehabilitasi, h) antara ekosistem darat dan ekosistern laut; dan antara
memanfaatkan dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara Selanjutnya, Pasal 7 (1) mcnetapkan, bahwa Perencanaan Pengeloiaan
berkelanjutan; Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil sebaga imana diatur dalam Pasal
b) Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara 5, terdiri atas:
a.
pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
Sumber Daya Pesisr dan Pulau-Pulau Keci I; selanjutnya disebut RSWP-3-K;
b.
c) Mernperkuat peran serta masyarakat dan lembaga Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
pemerintah serta mendorang inisiatif masyarakat dalam selanjutnya disebut RZWP-3-K;
pengelolaan Surnbcr Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan; dan yang selanjutnya disebut RPWP3-K• dan
d) Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K.
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Hal yang perlu memperoleh perhatian adalah ketentuan ayat 3 pasal
Dalam hubungannya dengan inisiatif dan peran serta masyarakat, yang sama tentang kewajiban pemerintah daerah untuk menyusun semua
perlu diperhatikan masyarakat adat yang menurut Pasal 1 ayat 33 rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangan
diartikan sebagai kelompok masyarakat pesisir yang secara turun- masing-masing. Dalam menyusun rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
ternurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan dan Pulau-Pulau Kecil menurut ayat 4, pemerintah daerah perlu metibatkan
pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Surnber Daya masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman. Dalam ketentuan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan ayat 5 dinyatakan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota menyusun
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum Rencana Zonasi rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau
Partisipasi masyarakat adat dalam pemanfaatan Sumber DaYa Kecil tertentu dalarn wilayahnya.
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil perlu diakomodasi, mengingat menura1 Dalam kaitannya dengan Pasal 7, ketentuan Pasal 8 ayat 1
ketentuan Pasal 5, bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau menyebutkan bahwa Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan Kecil (RSWP-3-K) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana
pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Surnber Pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah. Rencana
Daya Pesislr dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkdan - Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) sebagaimana
jutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menig` l dimaksud pada Pasal 7 ayat 1, menurut ketentuan ayat 2 wajib memper-
keutuhan Negara Kesatuan Republik Incionesia. limbangkan kepentingan Pemerintah dan Pernerintah Daerah. Adapun
Apalagi berdasarkan ketentuan Pasal 6, bahwa Pengelolaan Wilayah jangka waktu Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-PuTau Kecil
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 SWP-3-K ) pemerintah daerah menurut ayat 3 selama 20 (dua puluh)
(R

lahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima)tahun sekali.


232 Flubdrin Law Intemasional tt. Perrgaiurannya di indorresia Rezim Pulou dalarn lhr,Ytrm Lami Internailo►al

Ketentuan mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pu1a u, penetapan pemanfaatan ruang laut; dan
c.
Puiau Kecil (RZWP-3-K) dimuat dalam Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan Penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial
d.
bahwa RZWP-3-K merupakan arahan pcmanfaatan sumber daya di \ budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan
Vilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecii pemerintah provinsi daniatau dan keamanan.
pcmerintah kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan ayat 2 pasal ya ng Pasal 11 ayat 1 yang mengatur Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
sama, bahwa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Pulau-Pu1au Kecil Kabupaten/Kota (RZWP-3-K) Kabupaterv'Kola berisi
(RZWP-3-K) harus diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan arahan iotie<nastainrgu:
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pernen ntah provinsi atau pernerintah a. ang dalarn Rencana Kawasan Pernanfaatan Umum,
kabupatenikota. rencana Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis
Dalam Perencanaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Nasional Tertentu, dan rencana alur; dan
Pulau Kecil (RZWP-3-K) menurut ketentuan ayat 3, perlu kiranya Keterkaitan antarekosistem Pesisir dan Pulau.Pulau Kecil daram suatu
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: b. bioekoregion.
a. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan Dalam ayat 2 ditegaskan, bahwa Penyusunan RZWP-3-K sebagaimana
daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi dimaksud pada ayat (1) diwajibkan mengikuti dan memadukan rencana
perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan Kawasan,
sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; Zona, dan/atau Alur Laut yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan
b. Keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber perundang-unelangan.
daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisin Ketentuan-ketentuan di atas memberikan cukup wewenang pada
dan Pemerintah Daerah untuk mengatur rencana strategis wirayah pesisir
c. Kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses dan pulau-pulau kecil. Wewenang-wewenang pengaturan tidak terbatas
masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau- dalam proses pengarnbilan keputusan dalam penataan kawasan, dan
Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. zora, tetapi juga meliputi pengaturan dalam alur laut. Hal ini menunjukkan
Jangka waktu berlakunya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- adanya keterkaitan antara Undang-Undang No.27 Tahun 2007 dengan
Pulau Kecil (RZWP-3-K) menurut ayat 4 selama 20 (dua puluh) tahun dan peraturan perundang-undangan tentang Aiur Laut, yang perlu
dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Dalann ayat 5 disebutkan diperhatikan dalam pelaksanaannya.
bahwa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP 3- Lebih lanjut dalam ketentuan Pasar 12 ayat, disebutkan bahwa
K ) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. K R) beencarinsai: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-
Sehubungan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PiJJ1J -
Kebijakan tentang pengaturan serta proseduradministrasi penggunaan
Kecil (RZWP-3-K) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10
Pulau sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang;
menyatakan, bahwa RZWP-3-K terdiri atas: a Skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik
a. Pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum,
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan ,
laminan jaminan terakomodasikannya pertimbangan-perembangan
alur laut;
hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuanpengelolaan Kawasan
b. Keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistern iaut
serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan;
dalam suatu bioekoregion;
b
234 Loui hirernwhirial d Perrgarorowa rii iredoPresia Pularm rittiom Ilirkwyr Lard latermisiorta, 235

d. Mekanisme peiaporan yang teratur dan sistematis Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No, 27 Tahun 2007
untuk menjamal tersedianya data dan informasi yang akurat g Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kea (seianjutnya cbsebut
tentan

dan dapat diakses; serta Undang-Undang No.1 Tahun 2014). Salah satu pera.mbangan
e. Ketersediaan sumber daya rnanusia yang terlatih untuk diterbitkannya Undang-Undang No.1 Tahun 2014 adalah karena
mengimpla. mentasikan kebijakan dan prosedurnya. undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi r dan

Pulau-Pulau Kecil belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab


Menurut ketentuan ayat 2, bahwa RPWP-3-K berlaku selama 5 (iima)
negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-
tahun dan dapat ditinjau kernbali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali.
Pulau Kecil sehingga beberapa pasal perlu disernpurnakan sesuai dengan
Setaubungan dengan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Pulau-Pulau Kecit, Pasal 13 menyatakan, bahwa:
1Dalam tulisan ini, pends hanya akan membahas beberapa pasal
(1) RAPWP-3-K dilakukan dengan mengarahkan Rencana
Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan revisi clalarn Undang-Undang Na. 14 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
rencana strategis dan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Revisi pertama adalah definisi
masyarakat hukum adat sebaga3mana tercanturr dalam Pasal 1 ayat 3
(2) RAPWP-3-K berlaku 1 (satu) sarnpai dengan 3
(figa) tahun. undang-Undang No. 27 Tahun 2007 berubah menjadi sekelompok orang
yang secara turun-temurun berrnukim di wilayah geografis tertentu di
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 23 ayat 1 dinyatakan, bahwa
Negara Kesatuan Republik indonesia, karena adanya ikatan pada asal
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan
usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya
berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan
alarn, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di
terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Dalam ketentuan ayat 2
wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
dinyatakans bahwa Pernanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
Pasal 1 ayat 33 dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2014 ini
sekitamya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
memberi pengakuan hak asal-usui masyarakat hukum adat untuk
a. Konservasi;
b. Pendidikan dan pelatihan; mengatur wilayah perairan yang telah dkebla secara turun temurun.
c. Penelitian dan pengembangan; Perubahan kedua adaJah adanya perambahan "kepentingan-
d. Budidaya laut; kepentingan" dari ketentuan sebeiurnnya yang hanya menitikberatkan
e. Pariwisata; pada "salah satu atau lebih kepentingan" yang harusdipnoritaskandalarn
f. Usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan Pernanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya. Di samping
secara lestan; adanya penambahan unsur pertahanan dan keamanan negara
g. Pertanian organik; daniatau sebagai salah satu kepentingan yang perlu diprioritaskan dalam peman-
h. Peternakan, raatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya.
i Pertanian organik; Hal-hal tersebut di atas dapat dirihat dalarn ketentuan ayat 2, yang
j. Peternakan. berbunyi, bahwa pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya diprioritaskan untuk "kepentingan sebagai berikur, yaitu:
Dalarn upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Konservasi;
indonesa sesuai dengan ketentuan ayat 2, Pemanfaatan Pulau-Pulau b• Pendidikan dan pelatihan;
Kecil terluar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 thatur dengan Peraturan
C.• Penehan dan pengembangan;
Pernerintah.
Dalarn perkerrbangan pengaturan, beberapa pasal dalarn Undang- )131 25, oud}4irrnhairim53aia.d, "MenataPesisirSebagaiLurnbung Terakhir, liariAn Republkka, 3 Marek
tandang Na. 27 Tahun 2007 telah direvisi dengan Undang-Undang No.1

Anda mungkin juga menyukai