•
A. Pendahuluan
Sebagaimana telah dibahas dalam Bab II, Pasal 46 Konvensi Hukum
Laut 1982 memuat unsur pulau sebagai salah satu komponen dalam
pengertian negara kepulauan. Bab ini akan membahas pengaturan rezim
hukum pulau dalam Konvensi Hukum Laut 1982, dan hal-hal yang terkait
dengan karakteristik karakteristik pulau, dan kapasitas pulau untuk
-
349 Bab ini merupakan bagian dari pembahasan "Hasli Kajlan Status Hukum Pulau Dalam
Hukum Laut Internaslonal", Anggota Tim Kajlan: Prof Dikcllk Mohamaci Sodlk,
SH.,MI-L,Ph.D (Ketua), Kresno Buntoro, SH.,LL.M.,Ph.D (Anggota), Agus Ajar Bantung,
ST.tvIsi (Anggota)., Bambang Subagyo, ivisi (Anggota), Reza Ferlanto, (Anmota),
Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal, Kementerian Kelautan clan Perikanan,
2013, hlm.7-28.
Rezim Pulau dalam Iluium Leur Internasional 21 9
ats Hukum Laur fraernasirmo , lirtgaturannya rfi Indonesia
3. Tanggung jawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalarn Dari bunyi ketentuan di atas nampak bahwa pulau merupakan suatu
wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing aso daratan yang dibentuk secara a1amiah yang dikelilingi oleh air dan yang
Bertalian dengan perairan teritorial, Sub Komite II memperbincangkan d di atas permukaan air pada waktu air pasang.'"
a a
delapan paraoalan yang bertalian erat dengan laut teritorial, yaitu: (1) Dari uraian di atas, nampak bahwa definisi pulau yang dirumuskan
garis pangkal laut teritorial; (2) teluk; (3) pelabuhan; (4) dermaga; (5) dalam Konferensi Kodffikasi Den Haag Tahun 1930 merupakan definisi
pulau; (6) selat; (7) 1intas kapal perang melalui selat; dan (8) penutupan pertama rnengenai pulau, yang kemudian dikuatkan ofeh Konvensi
laut teritorial pada muara sungai."' atukum Laut Jenewa 1 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982.
Dalam hubungannya dengan persoalan pulau tersebut, Sub Komite Dalam hubungan ini penting pula dikemukakan Pasal 10 ayat 2
11 Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1 930 memberikan definisi pulau Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur
Tambahan, yang menyatakan bahwa laut terhonal dari suatu pulau
sebagai berikut:
ditetapkan berdasarkan ketentuan umum mengenai garis pangkal. Hal
"An island is an area of land, surrounded by water,which is perma-
nently above highwater mark.3" (terjemahannya pulau merupakan ini berarti bahwa setiap pulau, dengan tidak melihat besar atau kecil
suatu daratan yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan wilayahnya, dapat memiliki laut teritorialnya serdiri. Atas dasar hal itu,
pulau ked dapat dipergunakan sebagai garis pangkal untuk mengukur
air pada waktu air pasang).
lebar laut tentorial,"5 dan jalur tambahan.
Dalam rangka mempersiapkan rancangan pasal mengenai pulau Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 (b) Konvensi Hukum Laut
untuk penyelenggaraan Konferensi Hukum Laut I Tahun 1958, Komisi Jenewa IV 1958 mengenai Landas Kontinen bahwa pulau dapat
Hulcum Internasional menggunakan karya Konferensi Kodifikasi Den mempunyai landas kontinennya sendiri. Meskipun definisi pulau tidak
Haag 1930, dengan memasukkan rancangan pasa I mengenai purau. ditemukan dalam ketentuan pasal tersebut, maksud para perancang
Nienurut Rancangan Pasal 10 Laporan Akhir Komisi Hukum Internasional Konvensi agar istilah pulau dalam landas kontinen diartikan sama dengan
bahwa setiap pulau mempunyai laut teritorialnya. Dalam pada itu, definisi pengertian pulau menurut Pasal 10 ayat 1 Konvensi Jenewa 1958."'
pulau yang dimuat dalam Pasa1 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut lenevva Masalahnya adalah lebar landas kontinen yang merupakan zona maritim
1 1958 menbeflal Laut Teritorial dan Jalur Tambahan,353 berbunyi sebagai lainnya yang diatur da Iam Konvensi Hukum Laut Jenewa IV 1958
berikut: mengenai Landas Kontinen, tidak diukur dari garis pangkall" yang
"An island is a naturally-formed area of land, surrounded by water, dipergunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.
which is above water at high-tide". Berbeda dengan ketentuan di atas, Pasal 121 ayat 2 Konvensi Hukum
Rumusan yang sama rnengenai definisi pulau ini diberikan oieh Pasal Laut 1982 menyatakan kecuali dalam hal sebaga1manaditentukan dalam
121 ayat I Konvensi Hukum Laut 1982 yaitu: ayat 3, laut teritorial, zona tambahan, zonaekonomi eksklusif dan 1andas
"An island is a naturally-formed area of land, surrounded by water, kontinen suatu pulau ditetapkan sesuai dengan ketentuan konvensi ini
which is above water at high-tide" yang berlaku bagi wilayah darat lainnya. Dalam arti ini, pada
prinspnya
suatu pulau, sebagaimana hainya dengan daratan kontinen yang lu as, 3, kikurannya cukup 1uas;
1, Suatu wilayah daratan;
dapat dipergunakan sebagai garis pangkal untuk mangukur febar laut 4, Dike1i1ingi oleh air; 5 Ada
2 Dibentuk secara
teritorial, jalur tarnbahan, zona ekonomi eksklusif dan landa s di atas permukaan air pada waktu air pasang;
kontinennya.•" Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa pat au 6. Untuk dapat didiami oleh manusia; dan
dapat rnempunyai laut teritorial, landas kontinen dan zona ekonorra 7, Ntiempunyai kelangsungan hidup di bidang ekonorni. Pasal 10 ayatl
eksklusifnya.3;9 Konvensi Hukum Laut Jenewa 1 1958 mengenai Laut Teritorlar dan
Hanya saja rnenurut Pasal 121 ayat 3 Konvensi Hukurn Laut 1982 ja1ur Tambahan hanya memuat kriteria narror 1, 2, 4 dan 5,363
batu karang yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau tidak sedangkan Pasaf 121 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat kritena
merniliki kehidupan ekonomi yang mandiri bagi manusia tidak dapat nornor 1, 2, 4, 5, 6 dan 7. Kriteria no 3 tentang "ukurannya cukup
mempunyai zona ekonomi eksklusif atau landas konfinennya sendiri.aa luas" tidak dikenal dalam ketentuan KHL Jenewa 1 1958 dan Konvensi
Bertitik tolak pada uraian di atas, maka Pasal 121 Konvensi Hukum Hukum Laut 1982.
Laut 1982 memuat kembali kete►tuan mengenai persoalan delimitasi
Hal ini ini berarti bahwa keenam kritera yang ditetapkan dalam
laut tentorial dari putau yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut lenewa
Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan kriteria yang mengikatrnasyarakat
11958 mengenai Laut Teritonal dan Jalur Tambahan. 161 Hal yang penting
internasional untuk menentukan suatu pulau. Dalam uraian berikut ini
adalah ketentuan Pasal 121 Konvensi Hukurn Laut 1982 memuat prinsip
akan dijelaskan secara singkat mengenai karakteristik-karakteristik yang
dan ketentuan baru mengenai dalam hukurn laut internasional.'"
disebutkan di atas.
Merujuk pada uraian di atas tampak bahwa Konvensi Hukurn Laut
jenewa 1 1958 rnengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan mengakui
1. Suatu Willayah Daratan
pulau sebagai garis pangkal yang dapat dipergunakan untuk mengukur agar suatu pulau dapat menjadi pengertian yuridis, makasyaratnya harus
memenuhi dua unsur. Pertama, daratan yang terbentuk harus bersambung
lebar faut teritonal, dan jalur tambahan. Definisi pufau ini ditetapkan
dengan dasar laut agar mempunyai karakteristik sebagai pulau. Kedua,
kembali dalarr Konvensi Hukum Laut 1982 dengan menambah zona
daratan tersebut harus merupakan terra firma (wilayah daratan luas) yang
maritim baru, yaitu zona ekonomi eksklusif. Akan tetapi, Konvensi Hukurr
stabil?"
L3ut 1982 mensyaratkan hanya batu karang yang dapat menclukung
kehidupan manusia atau memiliki kehidupan ekonomi yang manclin yang Berdasarkan uraian di atas, maka dasar laut itu merupakan
berhak untuk mendapat zona ekonomi eksklusif atau fandas kontinennya. kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Harus diakui bahwa wilayah
daratan yang terbentuk secara alamiah itu merupakan fondasi untuk
maennudsia.
C. Karakteristik Pulau irikan bangunan-bangunan di atasnya untuk pelbagai aktivitas
5ehubungan dengan karakteristik pulau, menurut hukum internasionai m
2. Dibcntuk Secara Alarniah rneayatakan bahwa apabila ada wilayah daratan yang cukup luas, maka
ti ak perlu dipersoalkan jenis-jenis daratannya selama wilayah tersebut
d
Pencantuman kalimat "dibentuk secara alarniah" dalam definisi pulau 3
niarnpu membentuk laut teritoria1. "
menurut Pasal• 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 (kursip p eneliti)
Dikaitkan dengan wilayah sebagai salah satu unsur negara menurut
berarti bahwa kriteria pt.hu ini tidak mencakup pulau buatan dengan
Kanvensi Mentevideo 1933, memang tidak peraing apakah daerah yang
kapasitasnya untuk membentuk zona-zona maritim.3" Menurut doktrin
didiami secara tetap oleh rakyat itu besar atau kecil. Dapat saja wilayah
yang dianut bahwa laut teritorial tidak dapat dibentuk oleh instalasa
yang berupa pulau (kursip peneliti) tersebut hanya terdiri dari satu kota
instalasi buatan, seperti mercusuar, menara, dan
saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota.- Tidak dipersoafkan
Dalam sejumlah tulisan pakar hukum laut internasional acapkali
pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak."'
dicantumkan istiiah kinsufar formations" yang tidak ditemukan dalarn
unsur wilayah dan unsur rakyat tidak ada batastertentu, baik jumrah
Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pakar hukum laut
penduduk maupun luas daerahnya. Sebagai contoh, Tuvalu hanya
internasional -insular formations" diartikan sebagai "those formations
mempunyai penduduk 10.000 orang (tahun 2002), dan luas negerinya
‘1..hich are included by treaty Iaw as legal terms, namely islands and
hanya 26 Knn2•37° Negeri kecil ini disebut eiengan negara 'minii, `mikro',
low-tide eievations" (elevasi surut). lstilah ini mencakup pulau-pulau,
atau sarjana lain menyebut juga sebagai very srnall state.'7'
batu karang, karang dan segala bentuk elevasi surut, sehingga
penerjemahan format pulau-pulau dari "insular formations dianggap Pengaturan penting dalam hukum internasionaldewasa ini mengenai
k-urang tepat. Karena istilah "pulau" itu sendiri merupakan terjemahan kriteria ukuran pulau adarah ketentuan Pasal 121 Konvensi Hukum Laut
dari island menurut Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Hanya saja 1982 yang tidak menetapkan syarat mengenai ukuran besar atau kecilnya
ketentuan Pasal 121 tidak menjelaskan mengenai elevasi surut dan suatu pulau. Ketentuan pasal iniiafl yang megikat negara-negara dalam
kedudukan hukumnya dalam konteks delimitasi maritim. 167 menentukan kriteria ukuran luasnya pulau.
365 Marius Gjetnes, allle Legal Regime or Islands in the South China Sea", Masters Thesis
368 Clive R. Symmmons, hlm.27.
Law, Department of Public and intemaiional Law, lJniversily of Osio, 2000, hlm 36.
369
R•C. Hingorani, "Modern intemational Law", India: Oceana Publications, Inc., 2nd.ed,
366 Derek W.BrYi.yett, "The Legal Regirne of Islands in InIernational Oceana Publications , 1984, hlm.35 dalam Huala Adolf, hlm.5.
1979, hlm. 2.
37
Q DI.Harris, "Cases and Materials on International law", tondon:Sv,eet and Ma_Nwell,,
367 Clivt R. 5yrn►r,,ns, Sorne Pkoblenu felating Defrigition of 7nsciJar Formations'Irk InIc 911j- 41h.ed, 1991, h1m.90 cfalam Huala Adolf, hlm.5.
Law: IsI3nds arid Low•Tide Elevaqons, MARITIME BRIEFING Vol ) Number ,
371
luliane Kokou, mMicro State', dalam R.Bernhardi EPIL 10 -l.1997, hInt.292 chj am
1995, htios://wiww.dur.ac .uklibru/publ icai ionsiviewilid=228 Huala Adoll, op.cii, hlm.5.
37
2 Marius Gjetnes, op,cit, hlm 3B.
Rezim Pulau dolam Ilukum Laut International 225
224 ilukum Laut Intrr►asionol d Pengoturannya di Indonesla
5. Ada di atas Permukaan Air Pada Waktu Air botu karang tersebut selain tidak dapat dihuni oleh manusia, juga tidak
rnernpunyai nilai ekondmis, dan sangat membahayakan bagi pelayaran,"
Pasang
Kondisi ini hanya berlaku untuk daerah lni dan belum tentu berlaku untuk
Berdasarkan pada definisi pulau yang dikemukakan di atas, maka pulau batu karang di daerah lainnya.
harus berada di atas pemiukaan air baik pada waktu air pasang maupun pandangan di atas kiranya sejalan dengan ketentuan Pasal 121
pada waktu air surut,"' Berdasarkan hal itu, maka perbedaan antara ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mendiskualifikasi batu karang
pulau dan bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau tidak memiliki
waktu pasang surut menjadi penting. Karena hanya pulau yang tetap kehidupan ekonomi yang mandiri untuk tidak dapat mempunyai zona
berada di atas permukaan air yang mempunyai status pulau penuh ekonomi eksklusif atau landas kontinennya sendiri. Bagaimana pun
menurut hukum intemasional, sehingga mempunyai kapasitas untuk kriteria kelangsungan hidup di bidang ekonomi suatu pulau, laut dan
membentuk zona maritim.34 sumber daya alamnya sangat penting da1am menyokong kehidupan
manusia.
tentorialnya dan jalur tambahan. Akan telapi, hak mendapat perluasan 3, Landas Kontinen
zona mantim, yaitu zona ekonorni eksklusif, dan landas kontinen dibatasi
menurut Pasal 76 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa lebar iandas
oleh pengecualian yang ditetapkan dalarn Pasal 121 ayat 3 Konvens
konjinen dari suatu pulau juga tidak boleh melebihi 200 mil Iaut thukur
Hukum Laut 1982, Telah dikernukakan sebelumnya, bahwa batu karang
dari garis pangkai puiau tersebut. Akan tetapi, menurut Pasal 76 ayat 4-7
yang tidak dapat menopang kehidupan manusia tidak dapat mempunyai
bahwa lebar landas kontinen dapat rnelebihi batas jarak 200 rnd laut,
zona e&onomi ekskiusif atau landas kontinennya sendiri.
apabila masih ada kelanjutan alamiah.
378
Ithat Etty R.Agoes, hIrn,4
dailm Ihrkum Law, Infmasional 2.29
218 Lowir Intermai►ai A Peirgesurannya I►doiresia
pulau-pulau tersebut masili ada yang belum rnemi I iki narna. Dari puluhan Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang
ribu pulau tersebut terdapat 92 pulau terkJari di mana terdapat I 2 pulau perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar besar -
terluar yang berbatasan langsung dengan negara tekangga, yaitu: Palau kernaknauran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi
g
Rondo, Pulau Berhala, Pulau Nipa, Pubu Sekatung, Pulau Marore, Pulau Beanhewraas WiYailangak
Miangas, Pdau Marampit, Pulau Fani, Pulau Fanildo, Pulau Baras, Pulau yahPan d
b. esisiartdanang;Pulau-Pulau Kecil memiRki keragaman
Batek, dan Pulau
potensi Surnber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi
Sesual dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.6 Tahun
pengernbangan ekonorni, budaya, I ingkungan, dan penyangga
1996 tentang Perairan indenesa, tndonesia telah mengeluarkan pelbagai
kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu chkelola secara berkelan_
peraturan perundang-undangan nasional mengenai pulau ini. Dari
jutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan
pelbagai peraturan perundang-unclangan nasional Indones[a mengenai
partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan
pulau3"), bab ini hanya akan rnemfokuskan pembahasan pada beberapa
norrna hukurn nasional;
ketentuan pokok dalam (1) Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang c.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalarn
Pengelolaan Wilayah Pesisi r dan Pulau-Pulau Keci I dan Undang-Undang
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang- Undang tenlang
No,1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Unclang No.27 Tahur
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil,
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan;
(2) Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 201 0 Tentang Pemanfaatan Pulau Ketentuan Pasat 1 ayat 3 Undang-Undang No, 27 Tahun 2007tentang
Pulau Kecil Terluar. Pengelolaan WI layah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan pengertian
tentang pulau keci I, yaitu pulau dengan luaslebih kecir atau sama dengan
L000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistem.
Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang
Asas-asas Pengeloiaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang
dan Undang-Undang No.1 Tahun 2014 tentang
Pengefolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kedl adalah:
Perubahan Atas Undang-Undang No.27 Tahun 2007 a, Keberlanjutan;
tentang Pengeloiaan Wilayah Pesisir dan Pullau- b,Konsistensi;
Pulau Kecil c,Keterpaduan;
Pertimbangan penetapan Undang-Undang No.Undang Na.27 Tahun 2007 d. Kepastian hukum;
tentang Pengelcdaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecd yang e,Kemitraan;
diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007 adala• sebagai berikut: f,Pemerataan;
a. Bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil rnerupakan bagian g.Peran serta masyarakat•
dari surnber daya aLam yang dianugerahkan oreh Tuhan Yang Maha h.Keterbukaan;
379 Chandra .1v1otik YD dan kawan-kawan, Bluku Bacaan Pendidjkan Kelautan Kekayaan 2007 Tentang Penataan Ruang, Intruksi Presiden N0,1 Tahun 2010 Tentang Peroepatan
Ntle,iku l'"egara marlfirn, Sekretarlai Dewan Kelautan 1ndonesla, Kementerian Kelauun Prioritas Pembangunan NasionaE Tahun 2010, dan Peraturan Menteri Kelautan dan
ddn Perikanan, 2011,hirn, Perika►an Na. 20 Tahun 2006 tentang Pernanlaaian Pulau pulau Kecil dan Perakan di
380 Selain peraluran perundang-undangan lersebul di atas, lerdapat peraturan perundang - sekharnya.penubs rnernbatasE pemballasan pada empat peraturan perundang-undangan .
undangan lainnya yang mengalur pemantaatan pulau-pulau kecil, yailu Peraturan Predeo Lihat Sudirman 5aad, Direktur jenderal Kerautan, Pesisir, dan Pulau-Pufau Kecit,
No.78 Tahun 2005 Teniarg Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terkar;Undang -Undang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kebijakan Pengelulaan Pulau-Pulau
N0.31 Tahun 2004 Teniang Perikanan jo Undang•Undang No..45 Tahun 2009 TenimS Presentasi pada Roundtable Discussion Penguatan Kerangka Hukunn keniang Pulau di
Perubahan Undang-Undang No.11 Tahun 2001 Tentang Perikanan, Lindang-Unthing
Indonesia dalam Perspektii Hukurn Laut Internasional, Blro Hukurn tlan Or8anisasi
No. 2G Tahun
Kernenterian Kelautan dan Peirkanan, 10 Oktober 2013, h1m..12.
230 Hu.iurn Laut Ittrerruisio►al Pengaturannya r11 Indo►esia Rrjnt Pulau dalam flukum Laut Internasiorlai 231
Ketentuan mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pu1a u, penetapan pemanfaatan ruang laut; dan
c.
Puiau Kecil (RZWP-3-K) dimuat dalam Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan Penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial
d.
bahwa RZWP-3-K merupakan arahan pcmanfaatan sumber daya di \ budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan
Vilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecii pemerintah provinsi daniatau dan keamanan.
pcmerintah kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan ayat 2 pasal ya ng Pasal 11 ayat 1 yang mengatur Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
sama, bahwa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Pulau-Pu1au Kecil Kabupaten/Kota (RZWP-3-K) Kabupaterv'Kola berisi
(RZWP-3-K) harus diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan arahan iotie<nastainrgu:
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pernen ntah provinsi atau pernerintah a. ang dalarn Rencana Kawasan Pernanfaatan Umum,
kabupatenikota. rencana Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis
Dalam Perencanaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Nasional Tertentu, dan rencana alur; dan
Pulau Kecil (RZWP-3-K) menurut ketentuan ayat 3, perlu kiranya Keterkaitan antarekosistem Pesisir dan Pulau.Pulau Kecil daram suatu
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: b. bioekoregion.
a. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan Dalam ayat 2 ditegaskan, bahwa Penyusunan RZWP-3-K sebagaimana
daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi dimaksud pada ayat (1) diwajibkan mengikuti dan memadukan rencana
perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan Kawasan,
sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; Zona, dan/atau Alur Laut yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan
b. Keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber perundang-unelangan.
daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisin Ketentuan-ketentuan di atas memberikan cukup wewenang pada
dan Pemerintah Daerah untuk mengatur rencana strategis wirayah pesisir
c. Kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses dan pulau-pulau kecil. Wewenang-wewenang pengaturan tidak terbatas
masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau- dalam proses pengarnbilan keputusan dalam penataan kawasan, dan
Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. zora, tetapi juga meliputi pengaturan dalam alur laut. Hal ini menunjukkan
Jangka waktu berlakunya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- adanya keterkaitan antara Undang-Undang No.27 Tahun 2007 dengan
Pulau Kecil (RZWP-3-K) menurut ayat 4 selama 20 (dua puluh) tahun dan peraturan perundang-undangan tentang Aiur Laut, yang perlu
dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Dalann ayat 5 disebutkan diperhatikan dalam pelaksanaannya.
bahwa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP 3- Lebih lanjut dalam ketentuan Pasar 12 ayat, disebutkan bahwa
K ) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. K R) beencarinsai: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-
Sehubungan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PiJJ1J -
Kebijakan tentang pengaturan serta proseduradministrasi penggunaan
Kecil (RZWP-3-K) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10
Pulau sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang;
menyatakan, bahwa RZWP-3-K terdiri atas: a Skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik
a. Pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum,
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan ,
laminan jaminan terakomodasikannya pertimbangan-perembangan
alur laut;
hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuanpengelolaan Kawasan
b. Keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistern iaut
serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan;
dalam suatu bioekoregion;
b
234 Loui hirernwhirial d Perrgarorowa rii iredoPresia Pularm rittiom Ilirkwyr Lard latermisiorta, 235
d. Mekanisme peiaporan yang teratur dan sistematis Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No, 27 Tahun 2007
untuk menjamal tersedianya data dan informasi yang akurat g Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kea (seianjutnya cbsebut
tentan
dan dapat diakses; serta Undang-Undang No.1 Tahun 2014). Salah satu pera.mbangan
e. Ketersediaan sumber daya rnanusia yang terlatih untuk diterbitkannya Undang-Undang No.1 Tahun 2014 adalah karena
mengimpla. mentasikan kebijakan dan prosedurnya. undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisi r dan