Anda di halaman 1dari 13

Konferensi Hukum Laut 131

KONSEP NEGARA KEPULAUAN


PAD A KONFERENSI HUKUM LAUT
T AHUN 1958 DAN T AHUN 1960

Hasbullah F. Sjawie

Pembahasan Konfemsi Hukum Laut senantiasa


dikaitkan dengan konsep negara kepulauan seba-
gaimana untuk perlama kali diperkenalkan melalui
Deklamsi Djuanda. Deklamsi Djuanda menjadi
modal dasar bagi delegasi Indonesia ke Konferensi
Hukum Laut. Indonesia menganggap perjuangan
untuk memasyarakatkan konsep negara kepulauan
mulai mendapatkan tempat dengan diproklamir-
kannya Konvensi Hukum Laut 1982. Di dalam
tulisannya, penulis artikel ini antam lain mengu-
las masalah lebar laut teritorial.

Pendahuluan

Sejak tahun 1957, melalui Deklarasi Djuanda, Indonesia mengem-


bangkan konsep Negra Kepulauan. Konsep ini berdasar atas kesatuan
dari daratan dan lautan. Meskipun pada akhirnya konsep ini tidak
tercantum dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1958 (dan 1960) yang
diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (selanjutnya disebut:
PBB), akan tetapi Indonesia tetap melanjutkan penerapan konsep
tersebut.
Sesungguhnya prinsip kesatuan antara daratan dan lautan sudah
terdapat dan dikenal sejak lama di Indonesia. Kata "tanah air" sudahlah
cukup untuk mencerminkan dikenalnya konsep Negara Kepulauan ini
sejak lama oleh Indonesia.
Baru sejak disahkannya Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982,
yang dewasa ini telah diratifikasi oleh 60 negara dan sudah berlaku

Nomor 2 Tahun XXIX


132 Hukum dan Pembangunan

penuh, konsep Negara Kepulauan diakui secara internasionaI. Hal ini


berarti bahwa usaha dan perjuangan yang dilakukan oleh Indonesia
untuk mendapat pengakuan dari masyarakat internasional atas konsep
tersebut memakan waktu lebih dari 20 tahun.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menggambarkan perjuangan
hukum yang dilakukan oleh Indonesia pada Konferensi Hukum Laut
PBB tahun 1959 dan 1960 atas konsep Negara Kesatuannya dengan
memakai pendekatan sejarah hukum.

Konferensi Hukum Laut Tahun 1958

Dengan keikutsertaan 86 negara berlangsunglah Konferensi Hukum


Laut yang pertama di Jenewa dari tanggal 24 Pebruari 1958 sampai
dengan 27 April 1958, dengan maksud untuk melaksanakan tugas yang
dimandatkan oleh Majelis Umum PBB, yang telah menentukan bahwa
"... an international Conference of plenipotentiaries should be convoked to
exanine the law of the sea, taking into account not only the legal but also the
technical, economic and politic aspects of the problem, and to embody the result
of its work in one or more international convention ... "I
Konferensi Hukum Laut yang diselenggarakan pada tahun 1958 ini
sesungguhnya merupakan konferensi yang pertarna kali dilakukan
dalam program pengembangan selanjutnya dan kodifikasi Hukum
Internasional menurut pasal 13 ayat (1) Point a Piagam PBB.

Masalah Konsep Negara Kepulauan

Usaha yang ditempuh oleh Indonesia dalam memperjuangkan


untuk diterimanya konsep Negara Kepulauannya dilakukan pada Ko-
mite I ten tang Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Jawaban atas perma-
salahan mengenai seberapa jauh batas luasnya Laut Teritorial yang
dapat diklaim oleh suatu negara juga diharapkan dapat diputuskan oleh
Komite I ini.
Kesulitan yang terdapat bagi penentuan JuaB Laut Teritorial bukan-

lh
iResolution 1105 (XI) of the General Assembly of the UN, 65S . Pleanary Meeting, February
21,1957.

Maret - April 1999


Konferensi Hukum Laut 133

lah berada pada pertanyaan yang bersifat teknis semata. Hal tersebut
banyak tersangkut dengan masalah politis, karena suatu peru bah an
pemahaman pada penegertian Laut Teritorial, meskipun itu hanya sedi-
kit saja, akan membawa konsekwensi yang cukup berarti dalam lapang-
an ekonomi maupun militer.
Deklarasi Djuanda yang dikeluarkan pada tanggal 13 Desember
1957 selanjutnya dipergunakan sebagai basis sikap oleh delegasi Indo-
nesia untuk membela pandangan dan konsepsi Negara Kepulauan yang
telah dicanangkannya. Oleh karena itu sasaran delegasi adalah:'
1. Hal yang terutama ialah untuk berusaha agar konferensi dapat
melahirkan suatu keputusan tentang prinsip Negara Kepulauan,
yang akan memberikan keuntungan pada posisi Indonesia;
2. Sekurang-kurangnya berusaha untuk memperoleh pengertian dari
negara-negara lain terhadap konsepsi Negara Kepulauan, sebagai.
mana yang termaksud dalam Deklarasi Djuanda;
3. Berusaha agar supaya pasal5 dari Rancangan Konvensi yang diaju-
kan oleh International Law Commission (selanjutnya disingkat:
ILC)3 dapat dipertahankan;
4. Menghindari sebisa mungkin adanya pembatasan panjangnya garis
pangkallurus;
5. Berusaha agar dapat dicapai perubahan dari pasal 10 Rancangan

2Lihat Mochtar Kusurna·atmadja, Bunga Rampai Hukum Laul, 1978, hal. 12.

3pasal5 Rancangan Konvensi dari ILC tahun 1956 berbunyi:


1. Where circumstances necessitate a .'Ipesial regime because the coast is deeply indented or cut into or
because there are island in its imediate viciny, the baseline may he independent of tlJe low water mark.
Aintliest! case, the method of straight baseline joining appropriate points may be employed. The
drawing of such baselines must not depart to any appreciableextent from the general direction of the
(na."! . and the sea areas lying within the lines must be sufficiently closely linked to the land domain
to be subject to the regime of internal waters. Account may nroertheless be taken, where necessary, of
economic interests peculiar to region, the reality and importance of which are clearly roidenced by long
usage. Baselines shall not be drawn to and from drying rocks and drying shoals.
2. The cOllstat state shall give due publicity to the straight baselines drawn by it.
3. Where fhe establishment of a straight baseline has the effect of enclosing as internal waters areas which
previol/sly had been considered as part of the territorial sea of the high seas, a right of innocent
passage, as defined in article 15, through those waters shall be recognized by the coastal state in all
those cases where the waters have normally been used for international traffic, dalam Guenter Hoog:
Die Genfer Seerechikonferenzen von 1958 und 1960; Vogeschichte, Verhandlung, Dokumente,
Frankfurt am Main, Berlin, 1961, hal. 60 dst.

Nomor 2 Yahun XXIX


134 Hukum dan Pembangunan

Konvensi ILC;'
6. Mengajukan usulan atau rnendukung usulan negara lain yang
rnenginginkan 12 rnillaut ditetapkan sebagai batas luas Laut Teri-
toria!.

Pada sidang Komite I tanggal 7 Maret 1958 oleh ketua delegasi


Indonesia' disarnpaikan keluhan dan penyesalan pernerintah Indonesia
atas Rancangan Konvensi yang diajukan oleh ILC, yang didalamnya
tidak terdapat satu pasal pun yang secara khusus rnengatur rnengenai
rna salah Negara Kepulauan. Dengan rnenunjuk pad a arti pentignya
prinsip Negara Kepulauan bagi Indonesia, pada kesernpatan itu pula
disarnpaikan harapan agar kiranya Konferensi dapat rnenetapkan suatu
status khusus bagi Negara Kepulauan, dirnana Negara Kepulauan itu
diperlakukan sebagai satu kesatuan, baik secara geografi rnaupun
ekonomi dan politik serta dengan rnernperhatikan situasi istimewa yang
dimiliki oleh setiap Negara Kepulauan. Dalarn sidang ini oleh delegasi
Indonesia tidak diberikan uraian yang rnendalarn rnengenai Deklarasi
Djuanda, dikarenakan rnengingat acara sidang yang kurang tepat untuk
6
itu
Pada tanggal 11 Maret 1958 wakil Pernerintah Arnerika Serikat di
dalarn sidang rnenyerang konsepsi Negara Kepulauan, seperti yang
tercakup dalarn Deklarasi Djuanda, dan rnengatakan bahwa konsepsi
yang demikian itu haruslah dipandang dan dinilai sebagai suatu usaha
7
untuk rnengurangi azas kebebasan di lautan. Wakil dari Arnerika Seri-
kat itu juga berpendirian bahwa dengan konsepsi Negara Kepulauan-
nya Indonesia sebenarnya ingin rnencaplok dan rnemiliki sendiri laut
bebas yang berada di sekitarnya.'
Serangan itu rnembuka kesernpatan bagi wakil Indonesia untuk
menjelaskan secara rinei mengenai konsepsi Negara Kepulauan, seba-

4Pasal 10 Rancangan Konvensi dari ILC berbunyi: Every island has its own territorial sea. An
island is an area of land, surrounded by water, which in normal circumtances is penlUmerztly above higll
water mark, ibid" hal. 63.
5UNCLOS, Offici.l Record, Vol. Ill, hal. 15.

6Mochtar Kusuma-atmadja, op.cit., hal . 13.

7UNCLOS, Official Record, Vol. Ill, hal. 25.

8Mochtar Kusuma-atrnadja: Hukum Lout Internasional, Bandung: Binacipta, 1986, hal. 88.

Maret - April 1999


Konferensi Hukum Laut 135

gaimana yang tercantum dalam Deklarasi Djuanda.


Pada tanggal 14 Maret 1958 oleh delegasi Indonesia ditekankan
bahwa prinsip Negara Kepulauan sangat berarti bagi keamanan Indon-
esia maupun juga bagi komunikasi antar pulau. Delegasi juga meng-
ingatkan akan adanya problem yang cukup sulit bagi pelaksanaan
jurisdiksi negara, jika setiap pulau yang ada di Nusantara mempunyai
Laut Teritorialnya sendiri-sendiri. Oleh karenanya adalah sangat tidak
tepat bagi suatu Negara Kepulauan seperti Indonesia bila lebar Laut
Teritorialnya diukur dengan mempergunakan metoda garis pangkal air
terendah:
Dapat dikatakan bahwa dengan adanya uraian dan penjelasan ter-
sebut para wakil dari negara peserta Konferensi telah mendapat infor-
masi yang lebih baik mengenai konsep Wawasan Nusantara atau Ne-
. 10
gara Kepu Iau an ltu.
Dalam pada itu kepada Komite I telah diajukan usul inisiatif atas
permasalahan Negara kepulauan yang datangnya dari Yugoslavia 11 un-
tuk pasal1 0 serta dari Philipina 12 untuk pasal5 atau pasal 10 Rancangan
Konvensi.
Karena delegasi Philipina berada dibawah tekanan wakil Amerika
Serikat untuk menarik kembali usulnya tersebut dan delegasi Yugos-
lavia melihat tidak ada keuntungan lagi untuk bertalian pad a usulnya 13
maka usulan kedua negara itu pada akhirnya ditarik kembali sebelum
diadakannla pembahasan dan pemungutan suara
1
untuk itu.
Ketika usul Yugoslavia ditarik kembali, Fitzmaurice (wakil Peme-
rintah Inggris) menyarankan agar kiranya PBB menyusun dan meng-

9UNCLOS, Official Record, Vol. III, hal. 43 dst.

10Mochtar Kusuma-atmadja: Bunga Rampai Hukum Laut, op.cit., haL 13.

"UN Doc.A/CONF.!3/C.l/L.S9.

"-UN Doc.A/CONF.13/C.l/L.98.
13Mochtar Kusuma-atmadja: BUrlga Rampai Hukum !.Aut, op.ciL, hal. 13.

14UNCLOS, Official Record, Vol. III, hal. 162. Lihat: BarryHart Dubner: The Law otTerritorial
Walers of Mid-Ocean Archipelagos and Archipelagic Staates, The Hague. 1976, hal. 40. Lihat juga:
Rainers Sturies: Archipelgewaesser; zur Entwicklurlg fines neuen Rechtsbegriffs im Seerecht, Schriften
zurn Voelkerrecht, Band 72. Berlin, 1981, hal. 56. bdg.: Dietrich Rauschnig: Die Durch/ahrt durch
nationale CewaesseT vaT den Kuesfen, dalam: Bernhardt und Rudolf (ed'): Die Schiffarhrtsfreiheit im
gegenwaertigen Vaelkerrecht, Karlsruhe, 1975, hal. 50.

Nomor 2 Taltun XXIX


136 Hukum dan Pembangunan

adakan studi mengenai maalah Negara Kepulauan. IS


Pada saat yang bersamaan sebenarnya delegasi Indonesia juga
telah mempersiapkan usulan yang serupa. Karenanya delegasi meman-
dang tidak lagi perlu untuk mengajukan usulan yang serupa.16
Oleh Konferensi dan bagi kebanyakan negara di dunia pada saat
itu, masalah lebar Laut Teritorial dipandang lebih penting daripada
kebutuhan untuk membahas masalah Negara Kepulauan secara lebih
mendetail. Karenanya pada Konferensi Hukum Laut 1959 ini masalah
Negara Kepulauan tidak dipandang sebagai suatu persoalan yang me-
17
merlukan pengaturan dengan segera dan tidak tagi mendapat perha-
18
tian yang serius. Sampai dengan berakhirnya Konferensi karenanya
tidak terdapat suatu putusan pun yang menjawab masalah konsep
Negara Kepulauan tersebut.
Karena Konferensi menerima usulan lain yang dijaukan Philipina
dan juga Amerika Serikat bagi perubahan atas pasal 10 Rancangan
Konvensi,19 yang semula berbunyi: .. every island has its own territorial sea ",
dan menjadi "air island is a naturally formed area of land, surrounded by
water, which is above water at high tide... " maka hal yang demikian ini
secara tidak langsung sangat menguntungkan posisi Indonesia, karena
draft dari pasal 10 (bam) ini tidak dengan tegas-tegas menekankan,
bahwa setiap pulau mempunyai laut teritorialnya sendiri.
Dalam masa perjaIanan sidang oleh inggris telah diajukan usuIan
untuk merubah ketentuan yang terdapat dalam pasal 5 Rancangan
Konvensi. Menurut pendapat Inggeris, panjang garis pangkal lurus
20
dibatasi maksimal 10 millaut. Dalam pertemuan yang ke-51, Swedia
mendukung usul Inggeris tersebut diatas dan menambahkan agar
kiranya maksimal panjang garis pangkal lurus adalah 15 mil, karena
menurut pendapat mereka 10 mil laut sangatlah pendek untuk dite-

15UNCLOS, Official Record, Vol. Ill, hal. 162.

16Mochtar Kusuma-atmadja: Bunga Rampai Hukum LAut, op.cit., hal. 15 dst.

17Alfred Verdross eLan.: Universelles Voelkerrechl: Thearie und Praxis, Berlin: 1984, hal. 678.

18Renate Platzoeder et.all.: Wirtschajtszonrn und Archipeislaaten, Zwei Probleme der Dritten Un-
Seerechtskcnferenz, dalam Verfassung und Recht in Ueber-see, jg. 7, Hamburg: 1974, hal. 297.
19UNCLOS. Official Record, Vol. Ill. hal. 163.
20
UN Doc.A/CONF.13/C.1/L.62/Corr.J.

Maret - April 1999


Konferensi Hukum Laut 137

tapkan sebagai batas maksimal. Pendapat Swedia ini disetujui oleh


Inggeris sebagai pengusul pertama. Pada akhimya Komite I menyetujui
usul ini'l dan garis pangkat lurus dibatasi sampai dengan 15 mil.
Persetujuan pembatasan garis pangkallurus ini menyulitkan posisi
Negara-negara Kepulauan, terutama bagi Indonesia. Karenanya tugas
penting bagi delegasi Indonesia dalam sidang Pleno tidak lain untuk
berusaha agar Konferensi dapat menarik kembali pembatasan panjang
garis pangkallurus yang demikian.
Penarikan atau pencabutan tersebut harus dicapai, sebab -walau-
pun sendainya Konferensi dapat mengakui prinsip Negara Kepulauan-
dengan pembatasan panjang, garis pangkallurus yang demikian, kon-
sep Negara Kepulauan tidak akan dapat diterapkan oleh Indonesia
secara optimal, karena ditempat-tempat tertentu panjang garis pangkal
yang dibutuhkan adalah lebih dari 100 millaut.
Dengan tidak adanya keputusan yang dapat dicapai niengenai
masalah konsepsi Negara Kepulauan, maka sistem atau metode garis
pangkalluruslah yang akan merupakan dasar hukum bagi Indonesia
untuk dapat mempraktekkan prinsip Negara Kepulauan. Karenanya
pencabutan pembatasan panjang garis pangkallurus sedapat mungkin
harus dicapai.
Selanjutnya pada sidang Pleno, secara bersama-sama oleh Indone-
sia, Uni Sovyet dan Kanada diajukan usulan untuk mencabut pemba-
tasan panjang garis pangkallurus tersebut." Dengan 341awan 30 suara
serta 12 abstain, pembatasan panjang garis pangkallurus itu akhirnya
23
dicabut.
Atas semua hasil seperti tersebut diatas tidak dapat dikatakan
bahwa Indonesia tidak berhasil dan telah gagal total dalam usahanya
memperjuangkan diterimanya konsep Negara Kepulauan pada Kon-
ferensi Hukum Laut tahun 1958.
Hasil yang diperoleh dalam sidang Pleno, dimana tidak lagi terda-
pat pemba tasan panjang garis pangkal lurus dan juga hdak tercan-
tumnya ketentuan yang dengan tegas mengatakan bahwa setiap pulau

2 IUNCLOS, Official Record, Vol. III, hal. 160. Lihat juga: Text of the Articles and the Resolution
Adopted by the First Committe; UN Doc.A/CONF.13/C.l/L.168/ Add.1 Annex.
22UNCLOS, Official Record Vol. II , hal. 62.

13UNCLOS, Official Reco rd Vol. II, hal. 62.

Nomor 2 Tahun XXIX


138 Hukum dan Pembangunan

mempunyai Laut Teritorialnya sendiri, cukup memberikan dasar, bagi


Indonesia untuk tetap berada pada konsep negara kepulauannya.
Meskipun dernikian ketentuan mengenai konsep Negara Kepulauan itu
tidak terdapat dalam "Final Act Convention on the Territorial Sea and the
Contiguos Zone".
Seperti telah kita maklumi bersama, ketentuan mengenai garis
pangkallurus itu didasarkan atas Keputusan International Court of Justice
tanggal 18 Desember 1951 dalam perkara sengketa perikanan an tara
Inggris dan Norwegia.
Dengan demikian dapat diambil kesirnpulan bahwa melalui Kon-
vensi Hukum Laut 1958 ini metoda garis pangkallurus atau metoda
titik yang mennyolok ini" diakui keberlakuannya secara umum dan
tidak lagi hanya berlaku bagi Norwegia (dan Inggris).

Masalah Lebar Laut Teritorial

Karena oleh Deklarasi Djuanda ditentukan bahwa 12 millaut ada-


lah lebar Laut Teritorial Indonesia, maka sudah merupakan target
Indonesia pula, agar Konferensi dapat memutuskan bahwa lebar Laut
Teritorial adalah 12 rnillaut.
Masalah ini merupakan suatu persoalan yang cukup pelik yang
dihadapi oleh Konferensi. Pengalarnan telah menunjukan bahwa bang-
sa-bangsa di dunia, bahkan sebelum Perang Dunia II-pun -seperti yang
diperlihatkan oleh hasil Konferensi tahun 1930 yang diadakan oleh Liga
Bangsa-Bangsa- tidak dapat mencapai kata sepakat dalam masalah ini.
Hal ini dikarenakan menyangkut konflik kepentingan politik, seperti
juga pertentangan ekonorni antara negara kaya dan negara rniskin; oleh
25
sebab itu masalah ini sulit mendapatkan jalan ketuar. Bahkan Ran-
cangan Konvensi dari ILC sendiri pada pasal3-nya tidak memberikan
usulan, berapa rnillaut-kah luas suatu zone yang seharusnya termasuk

24Von Muench: Voelkerrechl, Berlin/New York: 1982, hal. 427.

2Sbdg: Hermann Meyer-Lindenberg: Seerechliche En fwicklungstendenzen auf den Genfer


Konferenzen von 1958 und 1960, dalam Zeitschrift fuer auslaendischs oe[fenlliches Recht und VoeJkerrecht
Band 21, Stutgart und Koeln: 1961 , hal. 45 dst. Lihat juga: Predrag Nicolic: Kueslenstaaten und die
Begrenzung deT Territoriaigewasser, dalam : /nternntiD1ulle Politik, No. 11, Heft 236, Belgrad: 1960, hal.
13, dst.

Maret - April 1999


Konferensi Hukum Laut 139
26
wilayah teritorial dan kekuasaan suatu negara.
Ketika Komite I Konferensi Hukum Laut 1958 sampai pada acara
pembahasan mengenai lebar Laut Teritorial, padanya terdapat beberapa
usulan, dirnana Laut Teritorial itu mempunyai lebar berkisar antara 6
mil sampai dengan 12 millaut, dengan ataupun tanpa kondisi khusus
tertentu." Pad a pemungutan suara di Komite I tidak terdapat suatu
usulan pun yang dapat mencapai quorum.'"
Sesuai dengan sasarannya, Indonesia pad a acara pemungutan suara
di sidang Pleno tidak hanya mendukung usulan bagi 12 mil laut itu,
29
bahkan Indonesia sendiri menjadi salah satu pengusulnya.
Pada sidang Pleno ini terjadi hal yang sarna seperti pada sidang di
Komite I, dirnana tidak ada satu usulan pun yang mendapat 2/3 suara
30
terbanyak.
Berdasar kenyataan tersebut karenanya kepada Majelis Umum PBB
diusulkan oleh Konferensi agar Majelis memanggil anggotanya untuk
mengadakan Konferensi yang khusus untuk membahas masalah lebar
Laut teritorial, seperti yang kemudian diselenggarakan pada tahun 1960.
Dengan hasil yang dernikian, maka berarti bahwa dalam "Final Act"
Konvensi Genewa tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan tidak
terdapat ketentuan yang dengan jelas dan tegas menetapkan seberapa
jauhkan lebar Laut Teritorial yang dapat dimiliki oleh suatu negara.
Mendasari pendapatnya pada ketentuan pasal24 ayat (2) Konvensi
Genewa tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, yang menentukan
bahwa lebar dari Zona Tambahan tidak boleh melebihi daripada 12 mil
laut yang diukur dari garis pangkal, dari garis mana diukur dan ditarik
lebar Laut Teritorial, beberapa sarjana menyirnpulkan, bahwa karena
lebar Zona Tambahan tidak boleh lebih dari 12 mil, maka itu berarti

26Fritz Muench: Die lnternationale Seerechtskonferenz in Gent 1958, dalam: Arcfliv des Voelkerrecht,
Band 8, Tuebingen: 1959/1960, hal. 180·208.
nUN Doc.A/CONF.13/C l /L.4.

28UN CLOS, Official Record, Vol. III, hal. 176 dst.


'9
- UN Doc.A/CONF.13/L.34.

30UNCLOS, Official Record, Vol. II . haL 39, dst.

Nomnr 2 Tahun XXIX


140 Hukum dan Pembangunan

31
lebar Laut Teritorial adalah 12 millaut.
Menurut hemat kami kesimpulan yang demikian kurang tepat
sebab antara Laut Teritorial dengan Zona Tambahan harus dibedakan,
karena hak-hak suatu negara yang berada pada kedua rejim hukum laut
itu berbeda satu sarna lain. Pada Laut Teritorial suatu negara mempu-
nyai kekuasaan atau kedaulatan penuh, dengan pengecualian hak lintas
damai kapal asing. Sedangkan pada Zona Tambahan, hak-hak yang
dimiliki suatu negara hanyalah terbatas pada hal yang berhubungan
dengan imigrasi, keseha tan serta bea dan cukai.
Dalam kaitannya dengan hasil dari Konferensi Hukum Laut tahun
1958 ini, Indonesia hanya meratifikasi 3 Konvensi -dari 4 Konvensi yang
ada-, yaitu Konvensi mengenai Laut bebas; mengenai Perikanan dan
Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Bebas; dan mengenai Landas Kon-
tinen. Konvensi yang tidak diratifikasi oleh Indonesia adalah Konvensi
mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Ratifikasi tersebut di-
tuangkan dalam Undang-undang No. 19 tahun 1961 tentang Persetujuan
atas Tiga Konvensi Genewa Mengenai Hukum Laut, yang diundangkan
dan mulai berlaku pada tanggal 6 September 1961.

Konferensi Hukum Laut Tahun 1960

Konprensi Hukum Laut yang kedua ini berlangsung sejak tanggal


17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960 di Genewa dengan diikuti
oleh 98 negara peserta. Seperti telah disinggung diatas, tugas daripada
Konferensi ini adalah untuk mencari jawaban serta jalan keluar dalam
menetapkan berapa millaut-kah lebar Laut Teritorial yang
dapat dimiliki oleh suatu negara.
Konferensi juga membicarakan masalah Negara Kepulauan lebih
jelas muncul dari pihak Philipina, bila dibandingkan dengan Indonesia.
Ikhtiar yang ada itu sebenarnya bukanlah usaha yang sungguh-
sungguh, sebab tugas dari Konferensi ini adalah untuk menyelesaikan
rna salah Laut Teritorial dan bukannya masalah konsep Negara Kepu-
lauan, karenanya perhatian yang diberikan negara peserta terhadap

3l Liha t: von Muench, op.cit., hal. 431 . Bdg: Weber und von Wedel: Grundku rs Voelkerrecht.
Frankfurt am Main: 1977, hal. 270. Bdg. Pu1a: Fritz Muench: Seerechtskonferenz von 1958, dalam:
H.J. Schlochaeur (ed.): Woerterbuch des Voelkerrechts, Band 3, Berlin: 1962, hal. 238.

Maret - Apri/1999
Konferensi H ukum Laut 141

masalah Negara Kepulauan ini mendorong Indonesia maupun Philipina


untuk tidak mengharapkan suatu keajaiban.
Pada pertemuan yang ke-14 dalam debat umum pada tanggal4
April 1960, delegasi Philipina mengingatkan Konferensi agar setiap
ketentuan mengenai Lebar Laut Teoritorial hams memperhatikan prak-
tek negara yang sudah ada, yaitu posisi Negara Kepulauan. 32
Karena masalah Negara Kepulauan telah disinggung oleh Philipina,
maka Indonesia selanjutnya berkonsentrasi pada masalah lebar laut
Teritorial. Ini berarti Indonesia bahwa Indonesia tidak secara langsung
membicarakan prinsip Negara Kepulauannya pada konferensi.
Seperti yang telah digariskan oleh Undang-undang No. 4/Prp/
1960, pad a Konferensi II ini Indonesia selalu mendukung setiap usulan
yang menghendaki agar 12 mil laut ditetapkan sebagai lebar Laut
Teritorial. Bahkan Indonesia bersama negara Asia dan Afrika lainnya
mengusulkan agar setiap negara berhak meluaskan Laut teritoriaInya
sampai dengan 12 millaut. 33
Pada akhimya Konferensi tidak dapat menetapka suatu putusan
pun mengenai lebar Laut teritorial yang dapat dimiliki oleh suatu
negara.
Dengan hasil yang demikian ini, maka kegagalan Konferensi Liga
Bangsa-Bangsa tahun 1930 serta kegagalan Konferensi Hukum Laut
yang pertama tahun 1958 terulang kembali. Sesungguhnya hal yang
seperti demikianlah yang dikuatirkan oleh masyarakat dunia. Dalam
pada itu Konprensi tahun 1960. ini tidak juga membawa kemajuan
dalam menyelesaikan masalah Negara Kepulauan.

Penutup

Berdasar uraian tersebut diatas terlihat bahwa pemahaman seba-


gian besar negara-negara di dunia pad a waktu diadakannya Konferensi
Hukum Laut yang pertama maupun yang kedua tersebut mengenai
konsep Negara Kepulauan belumlah memadai.
Keberadaan konsep Negara Kepulauan yang ditimbulkan keper-

32UNCLOS (1960), Officiill Record. hal. 51, dst.


))
UN Doc.A/CONF.19 ICI IL.2/Rev.l.

Nomor 2 Tahun XXIX


142 Hukum dan Pembangunan

mukaan oleh Indonesia melalui Deklarasi Djuandanya, sedikit banyak


telah membuka mata dunia mengenai pentingnya diadakan pengaturan
internasional untuk itu.
Walaupun pada Konferensi tahun 1958 dan 1960 tidak tercapai hasil
yang diharapkan, dimana tidak terdapat pengaturan mengenai Negara
Kepulauan akan tetapi sungguh perjuangan yang dilakukan oleh Indo-
nesia pad a akhirnya membawa hasil yang sesuai pada Konvensi Hukum
Laut PBB tahun 1992.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai
konsep Negara Kepulauan yang terdapat pad a Konvensi Hukum Laut
tahun 1982 pada dasarnya merupakan hasil perjuangan logis dari Indo-
nesia yang telah menanamkan pengertian yang baik bagi masyarakat
Internasional mengenai konsep Negara Kepulauan.

Daftar Pustaka

Dubner, Barry Hart: The Law of Territorial Waters of Mid-Ocean Archi-


pelagos and Archipelagic Staates, The Hague. 1976.

Hoog, Guenter: Die Genfer Seerechtskonferenzen von 1958 und 1960: Voges-
chichte, Verhandlung, Dokumente, Frankfurt am Main, Berlin, 1961.

Kusumaatmadja, Mochtar: Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung:


Binacipta, 1978.

____~, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta, 1986.

Meyer-Leidenberg, Hermann: Seerechliche Entwicklungstendenzen auf den


Genfer Konferenzen von 1958 und 1960, dalam Zeitschrift fuer auslaen-
disches oeffentliches Recht und Voelkerrecht, Band 21, Stuttgart und
Koeln: 1961.

Muench, Fritz: Die Internationale Seerechtskonferenz in Genf 1958, dalam


Archiv des Voelkerrecht, Band 8, Tuebingen: 1959/1960.

_ _ _ _, Seerechtskonferenz von 1958, dalam: H.J. Schlochaeur (ed.):


Woerterbuch des Voelkerrechts, Band 3, Berlin: 1962.

Maret - Apri/1999
Konferensi Hukum Laut
143
Von Muench, Ingo: Voelkerrecht, Berlin/New York: 1982.

Nicolic, Predrag: Kuestenstaaten und die Begrenzung der Territorialge:wasser,


dalam: Internationale Politik No. 11, Heft 236, Belgrad: 1960.

Platzoeder, Renate und W. Graf Vitzhum: Wirtshaflszonen und Archipel-


staalen, Zwei Problerne der Dritten UN-Seerechtskonferenz, dalam: Ver-
fassung und Recht in Uebersee, Jahgang 7, Hamburg: 1974.

Rausching, Dietrich: Die Durchfahrt durch nationale Gewaesser vor den


Kueslen, dalam: Bernhard und Rodolf (ed.): Die SchiJJarhrtsfreiheit irn
gegenwaertigen Voelkerrecht, Karlsruhe, 1975.

Sturies, Rainer: Archipelage:waesser; zur Entwicklung eines neuen Rechts-


begriJJs im Seerecht, Schriften zum Voelkerrecht, Band 72, Berlin,
1981.

Verdross, Alfred und Bruno Simma: UniverselIes Voelkerrecht; Theorie und


Praxis, Berlin: 1984.

Weber, H. und H. von Wedel: Grundkurs Voelkerrecht, Frankfurt am


Main: 1977.

Tindakan seseorang hari ini akan berakibat pada tindakan


orang lain besok, lusa, dan di masa depan yang jauh.
(Paul Ormerod - The Death of Economic)

Nomor 2 Tahun XXIX

Anda mungkin juga menyukai