Anda di halaman 1dari 259

Penyelesaian Sengketa Lahan Masyarakat

di Wilayah Konsensi Tambang PT. Mahakam Sumber Jaya


di Kabupaten Kutai Kertanegara

Propinsi Kalimantan Timur

TESIS

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister


Kenotariatan

NAMA : Budi Harjanto


NIM : 11000217410053

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG
SEPTEMBER 2019

i
Penyelesaian Sengketa Lahan Masyarakat
di Wilayah Konsensi Tambang PT. Mahakam Sumber Jaya di
Kabupaten Kutai Kertanegara
Propinsi Kalimantan Timur

TESIS

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister


Kenotariatan

NAMA : Budi Harjanto


NIM : 11000217410053

PEMBIMBING
Dr. Sukirno, S.H., M.Si.

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
SEPTEMBER 2019

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Penyelesaian Sengketa Lahan Masyarakat


di Wilayah Konsensi Tambang PT. Mahakam Sumber Jaya di
Kabupaten Kutai Kertanegara
Propinsi Kalimantan Timur

TESIS

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister


Kenotariatan

NAMA : Budi Harjanto


NIM : 11000217410053

Menyetujui :
Dosen Pembimbing

Dr. Sukirno, S.H., M.Si.


NIP. 196409241990011001

Mengetahui :
Ketua Program Studi

Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S


NIP. 196110051986031002

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Budi Harjanto


NIM : 11000217410053
Judul Tesis : Penyelesaian Sengketa Lahan Masyarakat di
Wilayah Konsensi Tambang PT. Mahakam
Sumber Jaya di Kabupaten Kutai Kartanegara
Propinsi Kalimantan Timur

Telah Diuji dan Berhasil Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji pada Hari
Rabu, Tanggal 18 September 2019
Dewan Penguji :

Pembimbing : Dr. Sukirno, S.H., M.Si. (....................)

Penguji : Prof. Dr. H. Yusriyadi, S.H., M.S. (....................)

Penguji : Dr. Pujiono, S.H., M.Hum (....................)

Ditetapkan di Semarang

iv
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Budi Harjanto


NIM : 11000217410053
Judul Tesis : Penyelesaian Sengketa Lahan Masyarakat di Wilayah Konsensi
Tambang PT. Mahakam Sumber Jaya di Kabupaten Kutai
Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya dan bertanggung jawab

sepenuhnya bahwa :

1. Tesis ini adalah hasil karya sendiri dan di dalam tesis ini tidak terdapat karya

orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan

tinggi/lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam

tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum

dalam Daftar Pustaka.

2. Tidak berkeberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas Diponegoro dengan

sarana apapun, baik seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan

akademik/ilmiah yang non komersial.

Demikian Surat Pernyataan ini dibuat dan saya bertanggung jawab sepenuhnya
atas akibat hukumnya apabila dikemudian hari ada permasalahan.

Semarang. 30 September 2019


Penulis

Budi Harjanto

v
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan TESIS yang berjudul: “Penyelesaian Sengketa Lahan

Masyarakat di Wilayah Konsensi Tambang PT. Mahakam Sumber

Jaya di Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur,

sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Tanpa

bantuan banyak pihak maka penyusunan penulisan hukum ini tidak dapat

terwujud. Oleh karena ini penulis maka penyusunan penulisan hukum ini

tidak dapat terwujud. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima

kasih kepada:

1. Prof Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas

Diponegoro.

2. Prof. Dr. Retno Saraswati,S.H., M.Hum., selaku Dekan Rektor Universitas

Diponegoro.

3. Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.Si., selaku Ketua Program Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

4. Dr. Paramita Prananingtyas, S.H., L.L.M., selaku Sekretaris I Bidang

Akademik Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro;

5. Dr. Fifiana Wisnaeni, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris II Bidang

Keuangan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro;

vi
6. Dr. Sukirno, S.H., M.Si, selaku Dosen Penguji tesis yang telah

memberikan masukan dan arahan kepada penulis sehingga tesis ini dapat

diselesaikan dengan baik.

7. Prof. Dr. H. Yusriyadi, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing yang selalu

memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan

Tesis ini.

8. Dr. Pujiono, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penguji tesis yang telah

memberikan masukan dan arahan kepada penulis sehingga tesis ini dapat

diselesaikan dengan baik.

9. Dr. Paramita Prananingtyas, S.H., LL.M., selaku Dosen Wali yang selalu

memberikan dorongan dan dukungan kepada penulis.

10. Segenap Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

11. Kedua Orang Tua Penulis, (Alm) Bapak dr. Panadyo dan Ibu Suharti

Kirdjan serta Budi Brothers: Budi Yuwono, Budi Widodo, Budi Harjono

dan Budi Yuwanti beserta saudara Kakak dan Adik ipar.

12. Bapak Alrianto, S.H., M.H dan Bapak Sahirin Mobly dari Dinas

Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah

memberikan masukan-masukan positif berkaitan dengan problem lahan-

lahan yang terjadi di pertambangan Kabupaten Kutai Kartanegara.

13. Teman-Teman Kelas A1 Magister Kenotariatan angkatan 2017 yang telah

bersama-sama berkumpul, berkomunikasi dan berdiskusi selama dalam

perkuliahan dengan suka cita.

vii
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, baik

keluarga, sahabat, maupun teman-teman terdekat yang telah memberikan

dukungan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari

sempurna dan banyak kekurangannya, hal ini karena keterbatasan

kemampuan, pengetahuan dan pengalaman dari penulis.

Akhirnya tak ada gading yang tak retak, oleh karena itu mohon saran

dan kritik yang sifatnya membangun, sangat penulis harapkan. Semoga

penulisan skripsi ini dapat berguna bagi kita semua.

Semarang, 30 September 2019

Penulis

Budi Harjanto

viii
ABSTRAK

Penulisan tesis ini mengkaji mengenai permasalahan-permasalahan sengketa


lahan di wilayah konsensi tambang PT. Mahakam Sumber Jaya yang berada di
kawasan hutan.
Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan ini adalah mengkaji
tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi permasalahan sengketa lahan
masyarakat dengan perusahaan pertambangan serta bagaimana penyelesaian dari
berbagai permasalahan kepemilikan lahan yang dihadapi oleh PT. Mahakam
Sumber Jaya untuk menangani sengketa lahan masyarakat dengan mengklaim,
memiliki dan menguasai lahan berdasarkan surat keterangan tanah atau surat
keterangan penguasaan tanah negara, dengan menggunakan metode penyelesaian
sengketa pada umumnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Tesis ini menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris yang bersifat
deskriptif analitis dengan menggunakan jenis data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh dengan cara menerapkan peraturan perundang-undangan
sedangkan data sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
dan bahan hukum tersier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penguasaan dan
kepemilikan lahan-lahan oleh masyarakat di kawasan kehutanan bukan untuk
dikelola sebagai lahan garapan sesuai peruntukannya. Tapi pada kenyataannya
lahan-lahan tersebut dimiliki dan dikuasai baik secara individu maupun kelompok
dengan dasar SKT ataupun SKPT yang dikeluarkan oleh pemerintah Desa/Lurah
atau Camat. Dari SKT ataupun SKPT inilah sebagai landasan kepemilikan agar
dapat diperjual belikan untuk perusahaan-perusahaan khususnya perusahaan
pertambangan batubara. Banyaknya kepentingan yang berada dibelakang lahan-
lahan kehutanan menjadi salah satu penyebab terjadinya sengketa lahan sehingga
penyelesaian sengketa baik melalui negosiasi maupun mediasi tidak menghasilkan
solusi terbaik serta masuknya investasi di bidang pertambangan di kawasan hutan
sebagai pemicu munculnya penguasaan lahan garap oleh masyarakat maupun
kelompok tani dengan menerbitkan SKPT dengan menguasai lahan-lahan baru
atau lahan-lahan tanpa pemilik, lahan-lahan yang ditinggalkan oleh pemiliknya
maupun lahan-lahan yang tidak diketahui lokasinya.
Atas hasil penelitian tersebut faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa
lahan di kawasan hutan di wilayah konsensi pertambangan atas lahan-lahan
garapan masyarakat, memerlukan keterlibatan pemerintah daerah dan dinas-dinas
terkait untuk bersama-sama serius menyelesaikan sengketa lahan masyarakat
dengan membentuk team terpadu untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi
apa yang ada diatas lahan masyarakat, serta penegasan kepada aparat Desa/Lurah
atau Camat untuk tidak mengeluarkan SKT ataupun SKPT secara tidak benar
tanpa dilakukan pengecekan ke lapangan atas lahan-lahan masyarakat tersebut dan
pelarangan adanya jual beli lahan di kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata Kunci : Lahan Garap, SKPT, Pertambangan

ix
ABSTRACT

The writing of this thesis studies the issues of land disputes in the mining
concession area of PT. Mahakam Sumber Jaya in the forest area.
The problem formulated in this paper is to examine the factors underlying
the problems of community land disputes with mining companies and how to
resolve various land ownership problems faced by PT. Mahakam Sumber Jaya to
handle community land disputes by claiming, owning and controlling land based
on land certificates or state land tenure certificates, using general dispute
resolution methods or based on applicable laws and regulations.
This thesis uses an Empirical Juridical research method that is analytical
descriptive by using primary and secondary data types. Primary data is obtained
by applying laws and regulations while secondary data provides an explanation
of primary and tertiary legal materials which provide instructions as well as an
explanation of primary and secondary legal materials.
Based on the results of the study showed that the control and ownership of
lands by the people in the forestry area are not to be managed as arable land
according to their purpose. But in reality these lands are owned and controlled
either individually or in groups on the basis of SKT or SKPT issued by the village
/ Lurah or Camat government. From this SKT or SKPT as the basis for ownership
to be traded for companies, especially coal mining companies. The many interests
behind forestry lands are one of the causes of land disputes so that dispute
resolution through negotiations and mediation does not produce the best solution
and investment in mining in the forest area as a trigger for the emergence of land
tenure by the community or farmer groups by issuing SKPT by controlling new
land or land without owner, land abandoned by the owner or land of unknown
location.
Based on the results of the research, the factors that influence land disputes
in forest areas in the mining concession areas of community arable land, require
the involvement of local governments and related agencies to jointly seriously
resolve community land disputes by forming an integrated team to inventory and
identify what is on community land, as well as an affirmation to the Village /
Lurah or Camat apparatus not to issue SKT or SKPT incorrectly without checking
the field on these community lands and prohibiting the sale and purchase of land
in forest areas that are not in accordance with regulations current regulation.

Keywords: Cultivated Land, SKPT, Mining

x
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv

SURAT PERNYATAAN.................................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

ABSTRAK .......................................................................................................... ix

ABSTRACT ........................................................................................................ x

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi

BAB I ................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8

D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 9

E. Kerangka Pemikiran.............................................................................. 10

1. Kerangka Konseptual ....................................................................... 10

2. Kerangka Teoritis ............................................................................. 10

a. Konsep Kepastian Hukum ........................................................... 11

b. Konsep Hukum Pertanahan ......................................................... 12

c. Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah ........................................ 14

F. Metode Penelitian ................................................................................. 16

xi
1. Spesifikasi Penelitian ....................................................................... 16

2. Metode Pendekatan .......................................................................... 17

3. Tahapan Penelitian ........................................................................... 17

G. Orisinalitas Penelitian ........................................................................... 20

H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 22

BAB II ................................................................................................................. 23

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 23

A. Pengaturan Kawasan Kehutanan Di Indonesia ..................................... 23

1. Perizinan di Kawasan Kehutanan ..................................................... 23

2. Perizinan Usaha di bidang Pertambangan ........................................ 32

B. Pembukaan Lahan oleh Masyarakat ..................................................... 41

1. Tanah Garapan Masyarakat .............................................................. 41

2. Keputusan Gubernur Kalimantan Timur dan Peraturan

Bupati Kertanegara sebagai Dasar Penguasaan dan Pemilikan

Tanah ................................................................................................ 44

C. Penyelesaian Sengketa Lahan di Indonesia .......................................... 56

1. Pengertian Sengketa dan Konflik ..................................................... 56

2. Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Umumnya .......................... 60

3. Penyelesaian Sengketa menurut Peraturan Perundang-undangan ... 68

BAB III ............................................................................................................... 81

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................................. 81

A. Gambaran Umum tentang PT. Mahakam Sumber Jaya ........................ 81

1. Latar Belakang PT. Mahakam Sumber Jaya .................................... 81

xii
2. Lokasi Usaha dan atau Kegiatan ...................................................... 83

3. Perizinan PT. Mahakam Sumber Jaya.............................................. 84

4. Devisi Penanganan Permasalahan PT. Mahakam Sumber Jaya ....... 88

B. Permasalahan Lahan yang dihadapi oleh PT. Mahakam Sumber Jaya .101

1. Permasalahan Lahan disebabkan Klaim Kepemilikan yang

Berakibat Terjadinya Tumpang Tindih Lahan .................................101

2. Permasalahan Lahan disebabkan Kompensasi Pembebasan Lahan .129

C. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi terjadinya Sengketa Lahan

di Wilayah Konsensi Tambang PT. Mahakam Sumber Jaya ................131

1. Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) ..................................131

2. Kepentingan Individu dan atau Kelompok Tani atas Klaim Lahan .135

3. Masuknya Investasi di bidang Pertambangan ..................................137

D. Penyelesaian Sengketa Lahan di Wilayah Konsensi Tambang

PT. Mahakam Sumber Jaya ..................................................................139

1. Metode Penyelesaian melalui Litigasi..............................................139

2. Metode Penyelesaian melalui Non Litigasi ......................................140

BAB IV ...............................................................................................................153

PENUTUP ...........................................................................................................153

A. Kesimpulan ...........................................................................................153

B. Saran .....................................................................................................154

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................157

LAMPIRAN

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan keagrariaan antara negara dan warga negara atas tanah dan

sumber daya alam lainnya merupakan hal pokok yang menjadi dasar

berdirinya suatu negara. Tanah dan sumber daya alam lainnya merupakan

wilayah yang menjadi unsur keberadaan suatu negara. Tanpa diatur di dalam

konstitusi pun, hubungan penguasaan antara negara terhadap tanah dan

sumber daya alam lainnya telah ada. Tetapi beberapa negara menegaskan

hubungan penguasaan negara terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya

dalam kaitannya dengan sistem ekonomi yang hendak dibangun.

Meskipun pada awalnya agraria itu bermakna sempit, namun

perkembangan berikutnya telah terjadi perluasan atas makna agraria.

Agraria kemudian dimaknai sebagai hubungan-hubungan antara manusia

dengan tanah dan sumber daya alam lainnya termasuk air, hutan, kebun dan

bahkan sumber daya yang ada pada perut bumi seperti bahan-bahan

tambang. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) menjadi suatu penanda perluasan makna agraria tersebut

sebab di dalam UUPA yang dimaksud dengan agraria mencakup pula

seluruh tanah, air, angkasa serta kekayaan alam yang melekat padanya.

Sehingga agraria tidak lagi hanya sekedar membahas tanah pertanian,

1
peternakan dan perikanan, tetapi membicarakan berbagai sektor dalam

pengelolaan sumber daya alam1.

Dengan demikian, lingkup pengertian agraria dalam konteks kebijakan

di Indonesia tidak lagi hanya sebatas tanah pertanian belaka, melainkan

lebih luas sehingga meliputi, bumi air dan kekayaan yang terkandung

padanya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Lebih

lanjut, jenis-jenis sumber agraria yang juga merupakan lingkup agraria,

sebagai berikut2 :

1. Tanah, atau permukaan bumi. Jenis sumber agraria ini adalah modal

alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan;

2. Perairan. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam

kegiatan perikanan; baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan

laut. Pada dasarnya perairan merupakan arena penangkapan ikan

(fishing ground) bagi komunitas nelayan;

3. Hutan. Inti pengertian “hutan” di sini adalah kesatuan flora dan fauna

yang hidup dalam suatu wilayah (kawasan) di luar kategori tanah

pertanian. Jenis sumber agraria ini secara historis adalah modal alami

utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas perhutanan, yang

hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan menurut tata kearifan

lokal;

4. Bahan tambang. Jenis sumber agraria ini meliputi ragam bahan

tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi” (di bawah


1
Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, (Yogyakarta: Penerbit STPN Press, 2014), halaman
8.
2
Ibid, halaman 9.

2
permukaan dan di bawah laut) seperti minyak, gas, emas, bijih besi,

timah, intan, batu-batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain;

5. Udara. Jenis sumber agraria ini tidak saja merujuk pada “ruang di atas

bumi dan air” tetapi juga materi “udara” (CO2) itu sendiri.

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh

pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Untuk

melakukan penetapan kawasan hutan, menurut Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.44/MENHUT-II/2012 dan P.62/MENHUT-II/2013

tentang Pengukuhan Kawasan Hutan dan Perubahannya (yang selanjutnya

disebut Permenhut), dilakukan dengan pengukuhan kawasan hutan.

Dikeluarkannya Permenhut tersebut merupakan tindak lanjut dari adanya

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/20113.

Pengukuhan kawasan hutan adalah merupakan rangkaian kegiatan:

1. Penunjukan kawasan hutan, yaitu pembuatan peta penunjukan yang

bersifat arahan tentang batas luar;

2. Penataan batas kawasan hutan, yaitu pemancangan batas sementara

yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;

3. Pemetaan kawasan hutan, yaitu pembuatan parit batas pada lokasi-

lokasi rawan; dan

3
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tentang uji Pasal 1 angka 3 UU
Kehutanan diterbitkan pada tanggal 21 Februari 2012. Dalam Putusan tersebut, MK mengabulkan
permohonan para pemohon diantaranya beberapa Bupati dari Kalimantan Tengah untuk
menghapus frasa frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, sehingga bunyi
dari pasal ini adalah “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang “ditunjuk dan atau” [hapus]
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.

3
4. Penetapan kawasan hutan, yaitu pengumuman tentang rencana batas

kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah

hak.

Berdasarkan Permenhut tersebut, penunjukan kawasan hutan dilakukan

dengan keputusan Menteri Kehutanan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan

dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan setelah

seluruh proses dilakukan, yaitu penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan

penetapan kawasan hutan.

Implikasi dari revisi ini adalah penentuan kawasan hutan tidak hanya

selesai pada tahap penunjukan kawasan hutan saja, tetapi juga harus diikuti

sampai kepada proses penetapan kawasan hutan. Mahkamah Konstitusi juga

memberikan pertimbangan mengenai ketentuan peralihan tentang kawasan

hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan sebelum terbitnya putusan

MK ini dinyatakan tetap diakui keabsahannya4.

Status penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi

penunjukan ini belum bisa dimaknai sebagai keputusan yang memiliki

kekuatan hukum. Karena kawasan hutan tersebut masih harus ditata-batas,

dipetakan dan ditetapkan sehingga dapat dikukuhkan sebagai kawasan hutan

definitif. Sebelumnya izin pengelolaan hutan diberikan kepada pihak ketiga,

walaupun status kawasan hutan tersebut belum definitif5.

4
Mongabay situs berita lingkungan, Permasalahan Tenurial dan Konflik Hutan dan lahan, diakses
dari: https://www.mongabay.co.id/permasalahan-tenurial-dan-konflik-hutan-dan-lahan/ (pada
tanggal 17 April 2019).
5
Ibid.

4
Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sebagaimana

diatur dalam Pasal 134 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral

dan Batubara yang berbunyi “kegiatan usaha pertambangan tidak dapat

dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha

pertambangan sebelum memperoleh izin dari instansi Pemerintah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Selain daripada tempat

yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, kegiatan

penambangan perlu adanya pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

(IPPKH) sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun

2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, sebelum

dilakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi

bahan tambang di dalam kawasan hutan. Selain adanya pemberian IPPKH

oleh Kementerian Kehutanan, juga diperlukan adanya Izin Usaha

Pertambangan (IUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang

dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. Pemberian IUP ini dimaksudkan

sebagai hubungan hukum dalam pemanfaatan bahan tambang dalam tubuh

bumi, sedangkan pemberian WIUP adalah sebagai landasan bagi penetapan

kegiatan pertambangan dan implementasi dari terjadinya konflik antara hak

atas tanah dengan IUP. Sebelum berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009,

pemberian izin penambangan dilakukan melalui proses Perjanjian

Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) antara Pemerintah Pusat

5
yang diwakili oleh Kementerian ESDM dengan para pelaku pengusaha di

bidang tambang. PKP2B dan IPPKH inilah yang menjadi dasar hukum sah

dan kuat atas penguasaan suatu kawasan hutan dan sumber daya alam

batubara oleh perusahaan-perusahaan pertambangan.

Dalam menjalankan kegiatan pertambangan tersebut, perusahaan-

perusahaan pertambangan memerlukan akses masuk yang lokasi keberadaan

galian tambang batubaranya berdekatan dengan masyarakat sekitar, dimana

wilayah konsesi pertambangan itu berada. Akses masuk ini berhubungan

dengan adanya kegiatan bercocok tanam oleh masyarakat setempat yang

lahan garapnya terganggu oleh kegiatan pertambangan. Sebelum dilakukan

kegiatan penambangan, perusahaan pertambangan harus menyelesaikan

terlebih dulu dengan pemegang hak atas tanah pada daerah yang akan

dikerjakan6, yang pelaksanaannya dapat dilakukan bertahap sesuai

kebutuhan. Penyelesaian ini diberikan sebagai kompensasi berdasarkan

kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah yang dapat berupa sewa

menyewa, jual beli dan pinjam pakai7.

Dalam realitanya, kompensasi diberikan dalam bentuk ganti rugi lahan

berupa pembelian sebagian dan atau seluruhnya lahan garap masyarakat

baik secara individu maupun kelompok tani. Atas kepemilikan lahan-lahan

garap tersebut oleh pemegang hak atas tanah, didasarkan pada Surat

Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah desa atau kecamatan

6
PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara Pasal 100 ayat (1)
7
PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara Pasal 100 ayat (2)

6
setempat, SKT inilah yang dijadikan tanda peralihan hak atas tanah kepada

pihak perusahaan, sehingga perusahaan dapat mengoperasikan lahan-lahan

tersebut dengan membangun akses masuk dan melakukan proses-proses

kegiatan pertambangan tanpa adanya kendala permasalahan lahan.

Dengan berjalannya kegiatan penambangan oleh perusahaan, terjadi

klaim dari masyarakat A kepada pihak perusahaan dimana perusahaan

dianggap mengambil hak lahan garap masyarakat A, dan pembuktian dari

pengakuan masyarakat A adalah dikeluarkannya SKT atas tanah yang

dikeluarkan oleh pemerintah desa atau kecamatan setempat, sehingga

menimbulkan aksi-aksi penutupan tambang oleh masyarakat A.

Permasalahan-permasalahan ini akan menjadi sangat luas dan melebar

manakala pengklaiman lahan masyarakat A yang merasa dirugikan berada

pada lahan yang telah dibebaskan oleh perusahaan melalui prosedur ganti

rugi lahan sebelumnya kepada masyarakat B dengan dasar SKT milik

masyarakat B yang sudah menjadi milik perusahaan. Tumpang tindih lahan

yang berada di wilayah konsesi tambang yang berada di kawasan hutan

dengan dasar SKT dari pemerintah desa atau kecamatan dapat dengan

mudah dimiliki, dikuasai dan diklaim sebagai milik perorangan dan atau

kelompok tani, sehingga menimbulkan gesekan-gesekan sengketa sosial

antara masyarakat dengan masyarakat, dan dengan pihak perusahaan yang

berujung terjadinya tumpang tindih lahan serta pemblokiran aktivitas

operasional perusahaan. Sengketa-sengketa lahan ini banyak terjadi pada

perusahaan-perusahaan tambang yang berada di Kabupaten Kutai

7
Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur diantaranya adalah PT. Mahakam

Sumber Jaya dengan masyarakat sekitar baik secara perorangan maupun

kelompok tani. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk

penelitian lebih lanjut dengan mengambil judul Penyelesaian Sengketa

Lahan Masyarakat di Wilayah Konsensi Tambang PT. Mahakam

Sumber Jaya di Kabupaten Kutai Kertanegara Propinsi Kalimantan

Timur.

B. Rumusan Masalah

Berdasar kan latar belakang, maka ada beberapa hal yang akan

dirumuskan dalam makalah ini, diantaranya:

1. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya sengketa lahan

masyarakat di wilayah konsensi tambang PT. Mahakam Sumber Jaya

yang berada di kawasan hutan?

2. Bagaimana penyelesaian atas terjadinya sengketa lahan masyarakat di

wilayah konsesi tambang PT. Mahakam Sumber Jaya yang berada di

kawasan hutan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, tujuan pembahasan ini

adalah untuk mengetahui dan menganalisis:

1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya sengketa lahan

masyarakat di wilayah konsensi tambang PT. Mahakam Sumber Jaya

yang berada di kawasan hutan, serta

8
2. Penyelesaian atas terjadinya sengketa lahan masyarakat di wilayah

konsensi tambang PT. Mahakam Sumber Jaya yang berada di kawasan

hutan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan ilmu dan wawasan

hukum pertambangan dan hukum pertanahan.

2. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat sebagai pedoman bagi masyarakat

yang ingin mengetahui tentang upaya-upaya penyelesaian, yang dapat

dilakukan baik oleh pemerintah daerah, instansi-instansi penegak

hukum maupun swasta dan lembaga swadaya masyarakat atas sengketa

lahan yang didasarkan pada praktek penyelesaian di lapangan, peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan sejauh mana kelegalitasan surat-

surat keterangan tanah yang dalam praktek dan kenyataannya diklaim

merupakan hak milik atas tanah masyarakat yang berada di kawasan

hutan yang dikeluarkan oleh pemerintah desa dan atau kecamatan.

Disamping itu, penelitian ini juga untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan serta sarana bagi penulis untuk menerapkan ilmu

pengetahuan hukum yang penulis dapatkan selama duduk dibangku

perkuliahan pada jurusan hukum Magister Kenotariatan.

9
E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Konseptual

Pada kerangka konseptual ini adalah gambaran dimana terdapat

berbagai macam hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.

Kerangka konseptual merupakan konsep-konsep dasar yang berkaitan

dengan konsep-konsep yang terkandung dalam judul penelitian yang

dijabarkan dalam permasalahan dan dalam tujuan penelitian.

2. Kerangka Teoritis

Prinsip teoritis lahir dari kajian secara ilmiah yang telah terbukti

kebenarannya menurut fakta-fakta yang terjadi didalam kehidupan

masyarakat berupa berbagai macam permasalahan hukum yang

kompleks. Untuk melihat permasalahan hukum yang dimaksud secara

mendetail, maka diperlukan beberapa teori yang merupakan rangkaian

asumsi, konsep, definisi untuk mengembangkan, menekankan serta

menerangkan suatu gejala sosial secara sistematis. Teori adalah

hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut

cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati

dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam

bentuknya yang paling sedehana, suatu teori merupakan hubungan

antara dua variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya 8. Sehingga

dalam menjawab permasalahan yang terkait dengan masalah yang

8
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2001), halaman
30.

10
diteliti, maka dalam hal ini akan diuraikan mengenai teori-teori dan

pendapat-pendapat para ahli sebagai berikut :

a. Konsep Kepastian Hukum

Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa

yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan

putusan dapat dilaksanakan. Dengan adanya kepastian hukum

masyarakat akan lebih tertib karena hukum bertugas menciptakan

kepastian hukum dan bertujuan untuk menciptakan ketertiban

masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang

harus diperbuatnya sehingga pada akhirnya menimbulkan

perbuatan melawan hukum.

Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan umum

atau kaidah hukum yang berlaku umum agar terciptanya suasana

yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka kaidah dimaksud

harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas9. Dengan adanya

kepastian hukum tersebut dengan sendirinya warga masyarakat

senantiasa akan mendapatkan perlindungan hukum karena mereka

sudah mendapatkan kepastian tentang bagaimana para warga

masyarakat menyelesaikan persoalan hukum, bagaimana mereka

menyelesaikan perselisihan yang terjadi dan sebagainya. Fungsi

hukum memiliki sifat antara lain10:

1) Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat


menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti
9
Soerjono Soekanto, Penegakkan Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), halaman 15.
10
Ibid, halaman 81.

11
dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan
ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum juga.
2) Sifat hakiki hukum yang kedua adalah keadilan. Tuntutan
keadilan itu pun mempunyai dua arti. Dalam arti formal
keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Dalam
arti materiel dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita
keadilan dalam masyarakat. Keadilan menuntut agar
semua orang dalam situasi yang sama diperlakukan
dengan sama.
3) Tuntutan keadilan memuat agar hukum dirumuskan secara
luwes agar hakim mempunyai kebebasan penuh untuk
memperhatikan semua unsur konkret dalam kasus yang
dihadapinya.

b. Konsep Hukum Pertanahan

Hubungan tanah dengan manusia merupakan hubungan yang

bersifat abadi dan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,

sehingga masyarakat tidak hanya memanfaatkan tanah tetapi harus

memeliharanya pula. UUPA menegaskan, tanah adalah karunia

Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan

permukaan bumi, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang

yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang

langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-

batas menurut peraturan perundang-undangan. UUPA berisi

peraturan dasar yang memuat hal-hal pokok tentang dasar dan arah

kebijakan politik agraria nasional, khususnya hubungan manusia

dengan tanah. Penguasaan atas sumber daya alam temasuk tanah

oleh negara adalah untuk mencapai apa yang disebutkan dalam

Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yaitu:

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas


demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi

12
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Hak milik adalah hak yang sangat asasi dan merupakan hak dasar

yang dijamin konstitusi. Sementara itu, UUPA sebagai peraturan

dasar hukum tanah nasional mengatur “hak milik atas tanah

adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan bahwa

semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Merujuk pada pengertian mengenai tanah-tanah hak dan tanah

negara di atas, tidaklah mudah untuk menentukan letak tanah

garapan di dalam konstruksi hukum tanah nasional. Hukum tanah

nasional tidak mengenal tanah garapan. UUPA sendiri tidak

mengatur mengenai tanah garapan karena tanah garapan bukan

merupakan kategori tanah hak11.

Sekalipun tidak diatur dalam UUPA, sejumlah peraturan

perundangan organiknya sebenarnya sudah mencoba mengatur

tanah garapan. Diantaranya adalah aturan mengenai surat izin

menggarap yang diberikan dalam rangka landreform. Sebelumnya,

tanah garapan diatur dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang

Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian12.

Dalam kenyataannya, alih-alih dianggap sebagai pendudukan tidak

sah, tanah garapan justru dipersamakan dengan tanah hak milik.


11
R. Simarmata, Gejala Informalitas pada Tanah Garapan, LAW REFORM, vol. 4, No. 2, pp.
39-60, April 2009, halaman 2.
12
Ibid.

13
Tanah garapan dianggap sebagai hak milik karena penggarap dapat

menunjukan surat-surat yang membuktikan bahwa ia memiliki alas

atau bukti hak atas tanah tersebut. Untuk keperluan jual beli tanah

dan mendapatkan ganti rugi, surat-surat tersebut dipersamakan

dengan sertifikat hak Buntut dari pandangan-pandangan di atas

adalah teranugerahinya 4 hak kepada para penggarap, yaitu: i) Hak

untuk mengusahakan dan menggunakan; ii) Hak untuk

mengalihkan (menjual, mewariskan, mewakafkan); iii) Hak untuk

menyewakan; iv) Hak untuk mendapatkan ganti rugi ataupun

kompensasi13.

c. Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah

Berdasarkan Pasal 1 angka (3) Peraturan Menteri ATR/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang

Penyelesaian Kasus Pertanahan, Sengketa Tanah yang selanjutnya

disebut Sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang

perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak

luas.

Permasalahan mengenai pertanahan yang terjadi sering disebabkan

akibat saling klaim penguasaan hak atas tanah. Banyak

permasalahan dalam bidang pertanahan yang pada akhirnya

menjadi suatu sengketa14. Secara konvensional, langkah hukum

13
Ibid, halaman 4.
14
Made Oka Cahyadi Wiguna, Peluang Penyelesaian Sengketa Perdata tentang Tanah melalui
Alternative Dispute Resolution, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No. 1, Januari 2018, halaman
48.

14
yang biasa ditempuh oleh masyarakat dalam rangka memperoleh

keadilan (justice) dan kepastian hukum (legal certainty) atas

sengketa yang sedang dihadapi adalah dengan memilih lembaga

Pengadilan. Proses peradilan di lembaga tersebut dianggap mampu

untuk memberikan solusi atas sengketa yang sedang dihadapi

dengan harapan akan memperoleh keadilan (justice) dan kepastian

hukum (legal certainty). Sebagai lembaga untuk memperoleh

keadilan yang dibentuk oleh Negara, Pengadilan mempunyai

mekanisme tersendiri dalam memeriksa, mengadili dan memutus

suatu perkara, yang harus dilalui oleh para pihak15.

Mewujudkan win-win solution dalam penyelesaian sengketa tanah

relatif sulit dapat terwujud, apabila penyelesaiannya diselesaikan

melalui sidang peradilan (litigation). Pilihan hukum (choice of law)

yang dapat dipilih untuk memperoleh dan mewujudkan win-win

solution dalam menyelesaikan sengketa pertanahan tentunya adalah

melalui alternatif penyelesaian sengketa. Tentunya suatu pilihan

akan mulai berlaku apabila pilihan tersebut ditentukan dan

disepakati bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa sebagai

upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa. Dengan

demikian, memilih alternatif penyelesaian sengketa atas dasar

kesepakatan, maka pilihan hukum (choice of law) tersebut

merupakan suatu perjanjian16.

15
Ibid.
16
Ibid.

15
Dari kesimpulan diatas, maka penyelesaian sengketa agraria dilihat

dari jenis dan penyebabnya dapat dilakukan melalui alternatif

penyelesaian sengketa, yakni penyelesaian sengketa diluar lembaga

peradilan (negosiasi dan mediasi yang didasarkan pada

kesepakatan), dan penyelesaian sengketa melalui lembaga

peradilan (penyelesaian konflik melalui peradilan umum serta

perlunya peradilan khusus sengketa dan konflik agrarian).

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,

dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan

konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah 17. Adapun

metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif analitis. Metode penelitian deskriptif analitis adalah metode

yang mengkaji masalah-masalah dalam masyarakat dan tata cara yang

berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk

tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,

pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung

dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Penelitian deskriptif

17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ed. 1, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), halaman 42.

16
bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis,

faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat, serta hubungan antar-

fenomena yang diteliti.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis empiris, yaitu

jenis penelitian hukum sosiologis atau penelitian lapangan yang

mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam

kenyataannya di masyarakat18. Atau dengan kata lain yaitu suatu

penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan

nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan

menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan, setelah data yang

dibutuhkan terkumpul, kemudian menuju kepada identifikasi masalah

yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah19.

3. Tahapan Penelitian

Sehubungan dengan metode pendekatan yuridis normatif yang

digunakan, maka penelitian ini lebih menekankan pada penelitian data

sekunder atau data kepustakaan. Namun demikian, untuk menunjang

dan melengkapi data sekunder, maka dilakukan penelitian data primer

atau data lapangan. Untuk itu, penelitian ini dibagi menjadi dua tahap,

yaitu:

18
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), halaman
15.
19
Ibid, halaman 16.

17
a. Penelitian kepustakaan

Penelitian kepustakaan dilakukan dengan meneliti data sekunder

atau data kepustakaan, yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat, antara lain

a) UUD 1945;

b) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria;

c) UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan

Batubara;

d) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

e) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa;

f) PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;

g) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang

Penggunaan Kawasan Hutan;

h) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang

Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

i) Permenhut Nomor P.44/MENHUT-II/2012

sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.62/MENHUT-II/2013 tentang

Pengukuhan Kawasan Hutan;

18
j) Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan;

k) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 tentang

Pedoman Penerbitan Surat Keterangan Penguasaan dan

Pemilikan Tanah Bangunan diatas Tanah;

l) Peraturan Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor

36 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Administrasi

Penguasaan Tanah atas Tanah Negara di Kabupaten

Kutai Kartanegara;

m) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-

IX/2011;

n) Putusan Pengadilan Negeri Tanah Grogot Nomor:

13/Pdt.G/2014/PN.Tgt

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain berupa

buku literatur, jurnal, hasil penelitian, dan karya ilmiah lain;

3) Bahan tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, antara lain kamus, ensiklopedia, dan indeks

kumulatif.

19
b. Studi lapangan

Untuk menunjang dan melengkapi data sekunder, penulis

melakukan penelitian lapangan atau penelitian terhadap data

primer. Penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dan

pengambilan data-data pendukung terhadap pihak-pihak terkait,

antara lain pihak perusahaan PT. Mahakam Sumber Jaya yang

bergerak dibidang pertambangan batubara, Instansi Pemerintah

antara lain Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Kutai

Kertanegara Propinsi Kalimantan Timur.

G. Orisinalitas Penelitian

Penegasan tentang orisianitas studi ini dimaksudkan untuk menghindari

duplikasi terhadap sebuah tema dengan fokus kajian yang sama. Penelitian

ini memfokuskan kajian terhadap “PENYELESAIAN SENGKETA

LAHAN MASYARAKAT DI WILAYAH KONSENSI TAMBANG PT.

MAHAKAM SUMBER JAYA DI KABUPATEN KUTAI

KARTANEGARA PROPINSI KALIMANTAN TIMUR”.

Peneliti / Penulis Judul Penelitian Fokus Penelitian

Konflik Kepemilikan Lahan Mengetahui dan

antara Keraton Kadariyah menganalisa dasar hukum

dengan PT. Punggur Alam kepemilikan tanah dan


Yorda Briantika
Lestari di Daerah Kabupaten bagaimana terjadinya

Kubu Raya Kota Pontianak konflik lahan serta cara

Propinsi Kalimantan Barat. penyelesaian konflik

20
tersebut.

Penyelesaian Sengketa Tanah

Hak Ulayat antara Suku Mengetahui dan

Dayak Banuaq dengan PT. menganalisa faktor-faktor

Gunung Bara Utama di penyebab sengketa tanah


Aris Mulyanata
Kampung Jontai Kecamatan hak ulayat dan upaya

Nyuwatan Kabupaten Kutai penyelesaian sengketa

Barat Propinsi Kalimantan tanah hak ulayat tersebut.

Timur.

Kebijakan Penerapan

Alternative Dispute
Kajian nilai perlindungan
Resolution dalam
hukum masyarakat dan
Penyelesaian Sengketa Tanah
akibat hukum dari
Angga Ficestra oleh BPN Batanghari.
kesalahan dalam
Pulungan, S.H. (Studi Kasus Sengketa PT.
pengambilan keputusan
Sawit Jambi Lestari dan
dari pihak tertentu serta
Masyarakat Rantau Gedang
cara mengatasinya.
Kecamatan Mersam

Kabupaten Batanghari Jambi).

21
H. Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini lebih terarah dalam penyusunan penelitian nantinya,

maka sistematika penulisan yang disusun antara lain sebagai berikut:

1. BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bagian pendahuluan yang memberikan informasi yang

bersifat umum dan menyeluruh secara sistematis yang terdiri dari latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai tinjauan terhadap aspek

berbagai sengketa serta penyelesaiannya di wilayah konsensi tambang

perusahaan yang berada di kawasan hutan.

3. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi uraian mengenai hasil penelitian dan pembahasan

mengenai permasalahan yang diteliti.

4. BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bagian terakhir yang berisikan tentang kesimpulan

yang merupakan jawaban umum dari permasalahan yang ditarik dari

hasil penelitian, selain itu dalam bab ini juga berisi tentang saran yang

diharapkan berguna bagi pihak terkait.

22
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengaturan Kawasan Kehutanan Di Indonesia

1. Perizinan di Kawasan Kehutanan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia

Tahun 1945 menyatakan Indonesia adalah negara hukum, Menurut Mochtar

Kusumaatmadja, fungsi hukum menjamin keteraturan (kepastian) dan

ketertiban, sedangkan tujuan hukum tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai

dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat yang bermuara

kepada keadilan20. Keadilan berdasarkan Pancasila adalah keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tetap bersumber pada ketuhanan Yang

Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia serta

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Fungsi hukum untuk menciptakan ketertiban

dalam masyarakat termasuk pula dalam mewujudkan kesejahteraan bagi

seluruh rakyat Indonesia. Untuk mencapai fungsi hukum tersebut, maka

diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang dapat dijalankan

dan ditaati oleh rakyat Indonesia.

Peraturan-peraturan tersebut diimplementasikan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan, diantaranya adalah UU Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara, dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

20
Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup berlakunya Ilmu Hukum, (PT Alumni Bandung, 2000), hlm 4.

23
Dasar Pokok-pokok Agraria serta peraturan-peraturan pelaksana lainnya.

UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di mulai dari penguasaan

hutan oleh negara. Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya penguasaan hutan

oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk: i). Mengatur dan

mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan

hasil hutan; ii). Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan

atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan iii). Mengatur dan

menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta

mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi

negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk: i). Mengatur dan

mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan

hasil hutan, ii). Menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status

kawasan hutan, iii). Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara

orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta iv). Mengatur

perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah juga

mempunyai kewenangan untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain

untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Untuk menjaga

terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan

manfaat ekonomi, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan

24
luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai dan atau pulau dengan

sebaran yang proporsional.

Dalam Pasal 1 angka (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

menyatakan hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya

tidak dapat dipisahkan. Hutan dapat dikategorikan sebagai: i). Hutan

berdasarkan statusnya, meliputi hutan negara dan hutan hak, ii). Hutan

berdasarkan fungsinya, meliputi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan

produksi. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat

yang nyata bagi hidup dan kehidupan bangsa Indonesia, baik manfaat

ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.

Untuk itu hutan harus dikelola, dimanfaatkan, dilindungi dan dilestarikan

secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik generasi

sekarang maupun yang akan datang.

Menurut Penjelasan Umum dari UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, yaitu dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem

penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi

umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan

mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global,

sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting,

dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.

25
Pengertian kawasan hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 diatur

dalam Pasal 1 angka (3) yang berbunyi: “Kawasan hutan adalah wilayah

tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”21. Pemerintah dapat

menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus, yang diperlukan

untuk kepentingan umum, seperti: i). Penelitian dan pengembangan, ii).

Pendidikan dan latihan, dan iii). Religi dan budaya. Dalam rangka

memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi

kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan

hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik,

dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya,

yaitu:

a. Fungsi konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,

yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya;

b. Fungsi lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi

pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk

mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,

mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah;

21
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tentang uji Pasal 1 angka 3 UU
Kehutanan diterbitkan pada tanggal 21 Februari 2012. Dalam Putusan tersebut, MK mengabulkan
permohonan para pemohon diantaranya beberapa Bupati dari Kalimantan Tengah untuk
menghapus frasa frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, sehingga bunyi
dari pasal ini adalah “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang “ditunjuk dan atau” [hapus]
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.

26
c. Fungsi produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi

pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Produksi terdiri dari Hutan

Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan

Produksi yang dapat Dikonversi (HPK).

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan

hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada

taman nasional dengan pemberian:

a. Izin usaha pemanfaatan kawasan,

b. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan,

c. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu,

d. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,

e. Izin pemungutan hasil hutan kayu dan

f. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu

yang berada di kawasan hutan produksi.

Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang izin harus

bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan

kawasan hutan serta untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan

kawasan hutan dapat dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah

dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia

dan ternak, kebakaran, sumber daya alam, hama dan penyakit. Termasuk

dalam pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga

hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan

27
hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan

pengelolaan hutan.

Penggunaan Kawasan Hutan untuk kegiatan pertambangan yang

berdasarkan Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan

Batubara, dimana kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan

pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan

sebelum memperoleh izin dari instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38

ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur setiap orang

dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri,

serta Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan

dilakukan melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)

yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan

batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Hal ini

diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 61

Tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2010

tentang Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat

(1) yang berbunyi: Penggunaan kawasan hutan dilakukan berdasarkan izin

pinjam pakai kawasan hutan.

Penggunaan kawasan hutan atas sebagian kawasan hutan untuk

kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan tanpa mengubah

fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut. Penggunaan kawasan hutan

28
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang

perubahan atas Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan

Kawasan Hutan, Pasal 4 ayat (2) yang meliputi kegiatan religi,

pertambangan, instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta

teknologi energi baru dan terbarukan, pembangunan jaringan

telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relay televisi, jalan umum,

jalan tol, jalur kereta api, sarana transportasi yang tidak dikategorikan

sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil

produksi, sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan

instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah, fasilitas umum,

industri terkait kehutanan, pertahanan dan keamanan, prasarana penunjang

keselamatan umum, atau penampungan sementara korban bencana alam.

Dalam hal kegiatan pertambangan, diperjelas dalam Pasal 5 ayat (1)

huruf a Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 61 Tahun 2012 tentang

perubahan atas Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan

Kawasan Hutan, yang berbunyi: Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b

dilakukan dengan ketentuan:

a. dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan:

1) Penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan

2) Penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah.

29
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga

mengatur ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi, dan penyelesaian

sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar

hukum dibidang kehutanan. Sanksi terhadap kegiatan pertambangan di

dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH, berupa:

a. Sanksi Pidana

Pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan

hutan tanpa dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman

sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan.

b. Sanksi Administratif

Tunduk terhadap ketentuan kewajiban pemenuhan IPPKH dalam

kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, maka sesuai

dengan Pasal 119 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan

Batubara, Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) atau Izin Usaha

Pertambangan Khusus (“IUPK”) dapat dicabut oleh Menteri,

gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya

karena alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi

kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan

perundang-undangan.

30
UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memiliki

hubungan beberapa Pasal-pasal yang mengaturnya, diantaranya:

Pasal 38 yang mengatur tentang:

a. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar

kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan

produksi dan kawasan hutan lindung;

b. Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah

fungsi pokok kawasan hutan;

c. penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan

dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri

dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu

serta kelestarian lingkungan;

d. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan

dengan pola pertambangan terbuka;

e. Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan

yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 45, mengatur tentang:

a. Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan,

wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola

yang ditetapkan Pemerintah;

31
b. Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib

dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan

tahapan kegiatan pertambangan;

c. Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan

di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan

permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan

reklamasi dan rehabilitasi;

Pasal 50 dalam ayat (3) huruf g, yang mengatur tentang:

larangan melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri.

2. Perizinan Usaha di bidang Pertambangan

Penjelasan umum UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara, menyatakan: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33

ayat (3) menegaskan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai

kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya

alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal

mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,

serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran

rakyat secara berkelanjutan.

Landasan konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dapat

dimaknai bahwa bumi dan air dan kekayaan alam harus ditujukan untuk

32
kemakmuran rakyat serta penguasaan negara melalui hukum (peraturan

perundang-undangan) dimaknai bahwa negara berkewajiban untuk untuk

menjaga ketertiban dalam pemanfaatannya.

Sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu melakukan penataan

kembali pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan

mineral dan batubara, yang meliputi:

a. Pengusahaan pertambangan diberikan dalam bentuk Izin Usaha

Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, dan Izin

Pertambangan Rakyat;

b. Pengutamaan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara untuk

kepentingan dalam negeri guna menjamin tersedianya mineral dan

batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk

kebutuhan dalam negeri;

c. Pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara

berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;

d. Peningkatan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara,

serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar

kesejahteraan rakyat;

e. Penerbitan perizinan yang transparan dalam kegiatan usaha

pertambangan mineral sehingga iklim usaha diharapkan dapat lebih

sehat dan kompetitif.

33
Usaha pertambangan pada hakekatnya ialah usaha pengambilan bahan

galian dari dalam bumi di wilayah hukum pertambangan indonesia. Sifat

usaha pertambangan antara lain22:

a. Membutuhkan modal besar atau padat modal untuk membiayai

kegiatan praproduksi dan membangun sarana produksi yang

dibarengi dengan pembangunan prasarana umum karena lokasinya

relatif baru dan terpencil;

b. Membutuhkan keahlian dan teknologi yang tinggi (high

technology) atau padat teknologi untuk mengurangi resiko teknis;

c. Investasi pertambangan merupakan investasi jangka panjang dan

diperlukan waktu yang lama untuk pengembalian modal (BEP);

d. Besarnya resiko ketidakpastian; resiko geologi (eksplorasi) yang

berhubungan dengan ketidakpastian penemuan cadangan

(eksploitasi atau produksi), resiko teknologi yang berhubungan

dengan ketidakpastian biaya, resiko pasar yang berhubungan

dengan perubahan harga dan resiko kebijakan pemerintah yang

berhubungan dengan perubahan pajak dan harga domestik;

e. Non-renewable, artinya objek pertambangan adalah sumber daya

alam yang sifatnya tidak dapat diperbaharui. Karena tidak dapat

diperbaharui, maka pengusaha disektor pertambangan selalu

mencari cadangan terbukti (proven reserves) baru. Cadangan

22
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Jogjakarta: UUI Press, 2004), hlm 90.

34
terbukti, berkurang dengan produksi dan bertambah dengan adanya

penemuan.

Selain ke lima sifat usaha pertambangan diatas, usaha pertambangan

juga disebut usaha integrated sebab merupakan suatu rangkaian usaha mulai

dari tahap penyelidikan umum, eksplorasi, dan eksploitasi sampai dengan

pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan23.

Usaha di bidang pertambangan yang diatur di dalam UU Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur juga

mengenai berbagai perizinan yang harus dimiliki baik oleh badan usaha,

koperasi maupun perorangan, diantaranya:

a. Wilayah Pertambangan (diatur dalam Pasal 9)

yang merupakan bagian dari tata ruang nasional dan landasan bagi

penetapan kegiatan pertambangan. Pemerintah dan pemerintah

daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan

dalam rangka penyiapan wilayah pertambangan (diatur lebih lanjut

dalam PP Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan).

Wilayah pertambangan terdiri atas:

1) Wilayah Usaha Pertambangan (diatur dalam Pasal 14)

Satu WUP terdiri dari satu atau beberapa WIUP yang berada

pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota,

dan/atau dalam satu wilayah kabupaten/kota dengan luas dan

batas yang ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan

23
Loc.cit.

35
pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh

Pemerintah.

Kriteria untuk menetapkan satu atau beberapa WIUP dalam

satu WUP adalah sebagai berikut:

a) Letak geografis;

b) Kaidah konservasi;

c) Daya dukung lindungan lingkungan;

d) Optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan

e) Tingkat kepadatan penduduk.

2) Wilayah Pertambangan Rakyat (diatur dalam Pasal 20)

Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu

WPR, ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi

dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.

bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman

mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.

Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:

a) Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di

sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;

b) Mempunyai cadangan primer logam atau batubara

dengan kedalaman maksimal 25 meter;

c) Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;

d) Luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25

hektare;

36
e) Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang;

dan/atau

f) Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat

yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun.

3) Wilayah Pencadangan Negara (diatur dalam Pasal 27)

WPN ditetapkan sebagai daerah yang dicadangkan untuk

komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka

menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. WPN yang

ditetapkan untuk komoditas tertentu dan untuk konservasi

berubah statusnya menjadi WUPK. WUPK yang akan

diusahakan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi

dengan pemerintah daerah dan pelaksanaan kegiatan usaha

pertambangan di WUPK dilakukan dalam bentuk IUPK.

Perubahan status WPN menjadi WUPK dapat dilakukan

dengan mempertimbangkan:

a) Pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;

b) Sumber devisa negara;

c) Kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana

dan prasarana;

d) Berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat

pertumbuhan ekonomi;

e) Daya dukung lingkungan; dan/atau

37
f) Penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang

besar.

Kriteria untuk menetapkan satu atau beberapa WIUPK dalam

satu WUPK adalah sebagai berikut:

a) Letak geografis;

b) Kaidah konservasi;

c) Daya dukung lindungan lingkungan;

d) Optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan

e) Tingkat kepadatan penduduk.

b. Usaha Pertambangan (diatur dalam Pasal 34), meliputi:

1) Izin Usaha Pertambangan (diatur dalam Pasal 36)

Terdiri atas dua tahap, diantaranya:

a) IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,

eksplorasi, dan studi kelayakan;

b) IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta

pengangkutan dan penjualan.

IUP diberikan oleh bupati/walikota, gubernur dan menteri

setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan

bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

38
2) Izin Pertambangan Rakyat (diatur dalam Pasal 66)

Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk

setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat

dan/atau koperasi. Bupati/walikota dapat melimpahkan

kewenangan pelaksanaan pemberian IPR kepada camat sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk

memperoleh IPR, pemohon wajib menyampaikan surat

permohonan kepada bupati/walikota.

IPR dapat diberikan kepada:

a) Perseorangan paling banyak 1 hektare;

b) Kelompok masyarakat paling banyak 5 hektare; dan/atau

c) Koperasi paling banyak 10 hektare.

Dalam jangka waktu 5 Tahun dan dapat diperpanjang.

3) Izin Usaha Pertambangan Khusus (diatur dalam Pasal 74)

IUPK diberikan oleh menteri dengan memperhatikan

kepentingan daerah. IUPK diberikan untuk 1 jenis mineral

logam atau batubara dalam 1 WIUPK. Pemegang IUPK yang

bermaksud mengusahakan mineral lain, wajib mengajukan

permohonan IUPK baru kepada menteri. IUPK dapat diberikan

kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik

berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,

maupun badan usaha swasta. Badan usaha milik negara dan

badan usaha milik daerah mendapat prioritas dalam

39
mendapatkan IUPK sedangkan badan usaha swasta untuk

mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.

IUPK terdiri atas dua tahap:

a) IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,

eksplorasi, dan studi kelayakan;

b) IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta

pengangkutan dan penjualan (pengaturan mengenai

Usaha Pertambangan diatur lebih lanjut dalam PP Nomor

23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara).

Pemegang IUP atau IUPK memiliki hak dan kewajiban sebagaimana

diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara Pasal 90 sampai dengan Pasal 112, dimana semua hak dan

kewajiban harus dilakukan oleh pemegang IUP atau IUPK. Jika pemegang

IUP maupun IUPK tidak melakukan kewajiban berdasarkan UU Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan batubara, maka IUP atau

IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai

dengan kewenangannya. Pencabutan izin ini berlaku juga pada pemegang

IUP atau IUPK yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur oleh UU

Minerba, dan atau dinyatakan pailit. IUP atau IUPK juga dapat berakhir,

jika:

40
a. Telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau

perpanjangan tahap kegiatan; atau

b. Pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan.

Sebelum diberlakukan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan

Batubara, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 169 ayat (1), maka bagi

pengusaha pertambangan yang memiliki perizinan berupa kontrak karya dan

perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara tetap berlaku sampai

jangka waktu kontrak atau perjanjian tersebut berakhir.

B. Pembukaan Lahan oleh Masyarakat

1. Tanah Garapan Masyarakat

Kebijakan di bidang pertanahan ditujukan untuk mencapai tiga hal

pokok yang saling melengkapi, yakni efisiensi dan pertumbuhan ekonomi,

keadilan sosial, pelestarian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang

berkelanjutan. Untuk tercapainya efisiensi, dapat ditempuh berbagai

pendekatan dengan berpijak pada aspek urgensi, konsistensi dan resiko24.

Tujuan untuk tercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan melalui

berbagai aspek. Misalnya peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh

pekerjaan dan pendapatan, identifikasi pihak-pihak yang dirugikan dalam

berbagai konflik kepentingan, serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat

hukum adat25.

Tujuan yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup menghendaki

tersedianya peraturan tentang penggunaan tanah yang komprehensif,


24
Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas 2007), hlm 49.
25
Loc.cit.

41
kemampuan menggali peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan

sumber daya alam, serta koordinasi cabang-cabang administrasi yang

efektif26.

Negara memiliki hak sepenuhnya untuk membuat kebijakan peraturan

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan. Dalam UU Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, tidak

memberikan pengertian agraria, hanya memberikan ruang lingkup agraria

yang meliputi:

a. Bumi (Pasal 1 ayat 4 UUPA);

b. Air (Pasal 1 ayat 5 UUPA);

c. Ruang Angkasa (Pasal 1 ayat 6 UUPA);

d. Kekayaan Alam Lainnya, misalnya UU Nomor 4 Tahun 2009

tentang Mineral dan Batubara).

Dari ruang lingkup agraria tersebut, UUPA Pasal 8 menjelaskan

pengaturan mengenai hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas

permukaan bumi saja, dan kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di

dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa tidak masuk dalam bahasan hak

milik diatas permukaan bumi. Oleh karena itu maka pengambilan kekayaan

yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri.

Sedangkan menentukan hak-hak yang dapat dimiliki oleh seseorang dan

badan hukum atas suatu tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang

Undang Pokok Agraria terbagi atas:

26
Loc.cit.

42
a. Hak milik;

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan Hak Pakai;

d. Hak Sewa;

e. Hak Membuka Tanah;

f. Hak Memungut hasil hutan; serta

g. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang

akan ditetapkan dengan undang-undang dan hak-hak yang sifatnya

sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria dan berbagai aturan pelaksanaannya sebenarnya sudah membuat

dua penggolongan status tanah di Indonesia, yakni tanah hak dan tanah

negara27. Di dalam UUPA sendiri tidak mengatur mengenai tanah garapan

karena tanah garapan bukan merupakan kategori tanah hak28. Tanah garapan

dianggap sebagai hak milik karena penggarap dapat menunjukan surat-surat

yang membuktikan bahwa ia memiliki alas atau bukti hak atas tanah

tersebut. Untuk keperluan jual beli tanah dan mendapatkan ganti rugi, surat-

surat tersebut dipersamakan dengan sertifikat hak29.

Guna mencapai salah satu tujuan pokoknya, yaitu meletakan dasar-

dasar bagi terbentuknya unifikasi dan kesederhanan pada hukum tanah

nasional, UUPA membuat ketentuan konversi. Lewat ketentuan konversi,

27
R. Simarmata, Gejala Informalitas pada Tanah Garapan, LAW REFORM, Vol. 4, No. 2, April
2009, hlm 39.
28
Ibid, halaman 40.
29
Ibid, halaman 41.

43
hak-hak lama berdasarkan hukum adat dan hukum barat, disesuaikan

dengan UUPA. Khusus bagi tanah-tanah adat yang bukan obyek konversi,

penyesuaiannya terhadap UUPA difasilitasi dengan ketentuan penegasan

hak30. Dalam perjalanannya, pendaftaran konversi tanah-tanah adat tidak

berlangsung mulus. Salah satu penyebab utamanya adalah terhentinya

keberlakukan UUPA dalam kawasan hutan serta superioritas keberlakukan

hukum pertambangan dalam wilayah kuasa pertambangan. Bukan rahasia

umum lagi bahwa dalam kawasan hutan dan wilayah kuasa pertambangan

tersebut justru terdapat tanah-tanah adat baik yang dilekati hak perorangan

maupun hak ulayat31.

Terjadinya tanah garapan tidak lepas dari pertambahan jumlah

penduduk di satu sisi dan sulitnya mendapatkan lahan pertanian di sisi lain.

Dalam situasi demikian, masyarakat cenderung menggarap lahan yang ada

di sekitarnya. Selain karena alasan ekonomi, tindakan penggarapan tersebut

juga didasarkan pada fakta bahwa tanah-tanah yang ada di sekitar mereka

sedang kosong atau bahkan diterlantarkan32.

2. Keputusan Gubernur Kalimantan Timur dan Peraturan Bupati

Kutai Kartanegara sebagai Dasar Penguasaan dan Pemilikan

Tanah

Dalam praktek, surat tanah atau surat segel merupakan bukti

penguasaan dan bukti pengalihan atas tanah-tanah garapan. Surat tanah

dijadikan surat bukti hak atas tanah garapan. Salah satu dampak negatif
30
Ibid, halaman 42.
31
Ibid, halaman 43.
32
Ibid, halaman 45.

44
tersebut adalah penyalahgunaan surat tanah oleh kepala desa/lurah dengan

cara memberikan surat di atas tanah yang ternyata tidak sedang digarap alias

tanah kosong. Padahal salah satu syarat dasar pemberian surat tersebut

bahwa tanah yang dimohonkan telah diusahakan sebelumnya Dalam

prakteknya, banyak kepala desa/lurah yang tidak mengetahui kebenaran dari

informasi yang disebutkan dalam surat tersebut karena tidak melakukan

pengecekan ke lapangan. Tidak heran bila surat keterangan tersebut

kemudian diplesetkan menjadi surat keterangan yang tidak terang. Untuk

mengatasi hal tersebut, diusulkan dan dihasilkan rancangan konsep

pengganti surat tanah. Perubahan fundamental yang diperkenalkan oleh

konsep tersebut adalah pengalihan tanggung jawab atas informasi yang

dicantumkan di dalam surat tanah, dari kepala desa/lurah, berpindah kepada

pemohon/penggarap33. Surat yang awalnya merupakan surat keterangan

berubah menjadi surat pernyataan.

Tapi seiring berjalannya waktu, terjadi penyalahgunaan surat-surat

tersebut oleh pihak-pihak spekulan untuk menguasai hutan atau tanah-tanah

kosong. Menguasai hutan atau tanah-tanah kosong didasari dengan

dibuatkannya surat-surat tanah untuk tanah garapan. Karena berorientasi

untuk bisa menjual kembali dengan harga mahal atau untuk mendapatkan

ganti rugi, setelah mendapatkan surat tanah, para spekulan tidak menggarap

tanah-tanah tersebut34.

33
Ibid, halaman 46.
34
Ibid, halaman 49.

45
Untuk mengatasi hal ini, Gubernur Kalimantan Timur membentuk dan

memberlakukan Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun

1995 (yang sebelumnya melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Timur

Nomor 97A Tahun 1994) tentang Pedoman Penerbitan Surat Keterangan

Penguasaan dan Pemilikan Tanah Bangunan diatas Tanah Negara. Isi dari

surat keterangan tersebut memuat data-data, diantaranya:

a. Identitas pemilik, meliputi:

1) Nama pemilik;

2) Tempat tanggal lahir;

3) Pekerjaan;

4) Alamat;

5) Nomor KTP/NIK.

b. Identitas tanah, meliputi:

1) Keadaan tanah;

2) Panjang;

3) Lebar;

4) Letak tanah;

5) Batas-batas tanah.

c. Ketentuan dan syarat-syarat, yaitu:

1) Surat keterangan ini bukan merupakan tanda bukti atas tanah;

2) Surat keterangan ini berlaku untuk jangka waktu 3 (Tiga)

tahun;

46
3) Surat keterangan ini sebagai dasar pengajuan permohonan hak

atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

4) Dengan diterbitkannya surat keterangan ini maka surat-surat

keterangan yang ada sebelum diterbitkannya surat keterangan

ini merupakan lampiran yang menyatu dengan surat

keterangan ini.

d. Tanda tangan saksi-saksi batas, pemilik, ketua RT setempat dan

kepala desa atau kelurahan.

Dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor

31 Tahun 1995, ada 3 point utama yang wajib diketahui dan dipahami,

yaitu:

a. Surat keterangan ini bukan tanda bukti atas tanah;

Tanah yang diperoleh bukanlah tanah yang secara langsung

diberikan hak atas tanah melainkan tanah garapan yang dikelola

sebagai tanah produktif.

b. Surat keterangan ini berlaku untuk jangka waktu 3 tahun;

Setelah melewati jangka waktu 3 tahun, maka surat keterangan

sudah tidak dapat dimiliki kecuali pemilik tanah melakukan

perpanjangan jangka waktu atas tanahnya.

c. Surat keterangan ini sebagai dasar pengajuan permohonan hak atas

tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dapat dilakukan jika pemilik telah mengelola tanah dan menguasai

tanah tersebut dalam jangka waktu 3 tahun atau lebih (disesuaikan

47
dengan peruntukan pengelolaan tanahnya), maka surat keterangan

tanah dapat dijadikan dasar untuk pengajuan hak atas tanah tetapi

bukan menjadi bukti hak atas tanah.

Sejalan dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur

Nomor 31 Tahun 1995 tentang Pedoman Penerbitan Surat Keterangan

Penguasaan dan Pemilikan Tanah Bangunan diatas Tanah Negara, dalam

putusan PN Tanah Grogot Nomor 13/Pdt.G/2014/PN.Tgt atas gugatan

sengketa penguasaan tanah (diperkuat dengan putusan PT Nomor

19/Pdt/2016/PT.SMR dan putusan MA Nomor 2582 K/PDT/2016), Majelis

Hakim berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak, menimbang

dalam pokok perkara, sebagai berikut:

a. Disamping pertimbangan hukum diatas, Majelis Hakim menilai

kekuatan pembuktian Bukti P.1 yaitu Surat Keterangan Penguasaan

dan Pemilikan Bangunan/Tanaman diatas Tanah Negara Nomor:

75/SKT/2008-XII/2001 tanggal 26 Desember 2001. Berdasarkan

Pasal 8 ayat (2) jo Pasal 11 ayat (1) Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 tentang

Pedoman Penertiban Surat Keterangan Penguasaan dan Pemilikan

Bangunan/Tanaman diatas Tanah Negara, pada pokoknya

menyatakan bahwa pemberian Surat Keterangan dimaksud bukan

merupakan jaminan untuk dapat diberikan suatu hak atas tanah

melainkan hanya dimaksudkan sebagai tanda telah terdaftar pada

48
register tanah desa/kelurahan, sehingga tidak berlaku sebagai bukti

hak atas tanah;

b. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) jo Pasal 11 ayat (3) Keputusan

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 31

Tahun 1995 tentang Pedoman Penertiban Surat Keterangan

Penguasaan dan Pemilikan Bangunan/Tanaman diatas Tanah

Negara pada pokoknya menyatakan bahwa Surat Keterangan Tanah

sebagaimana Keputusan Gubernur tersebut digunakan sebagai

dasar untuk mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai

ketentuan yang berlaku dan Surat Keterangan Tanah tersebut hanya

berlaku dalam waktu 3 (tiga) tahun, sehingga bukan merupakan

tanda bukti hak atas tanah;

c. Majelis Hakim menilai Surat Keterangan Penguasaan dan

Pemilikan Bangunan/Tanaman diatas Tanah Negara Nomor:

75/SKT/2008-XII/2001 tanggal 26 Desember 2001 tersebut telah

daluwarsa, oleh karena Surat Keterangan Tanah (SKT) a quo dibuat

pada bulan Desember tahun 2001 dan berlaku hingga bulan

Desember tahun 2004 yaitu selama 3 (tiga) tahun (vide: Pasal 11

ayat (2) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan

Timur Nomor 31 Tahun 1995 tentang Pedoman Penertiban Surat

Keterangan Penguasaan dan Pemilikan Bangunan/Tanaman diatas

Tanah Negara). Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim

menilai bahwa Surat Keterangan Penguasaan dan Pemilikan

49
Bangunan/Tanaman diatas Tanah Negara Nomor: 75/SKT/2008-

XII/2001 tanggal 26 Desember 2001 sebagaimana Bukti P.1

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum;

Sehubungan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 tentang Pedoman Penertiban

Surat Keterangan Penguasaan dan Pemilikan Bangunan/Tanaman diatas

Tanah Negara, Bupati Kutai Kartanegara mengeluarkan Peraturan Nomor

36 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Administrasi Penguasaan Tanah

atas Tanah Negara di Kabupaten Kutai Kartanegara, yang secara garis besar

mengatur mengenai Surat Keterangan Penguasaan Tanah yang khusus

diperuntukan bagi masyarakat yang berada di wilayah Kutai Kartanegara.

Dalam Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 36 Tahun 2013, yang

dimaksud SKPT sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (14) adalah surat

yang menerangkan penggunaan dan pemakaian tanah negara oleh seseorang

atau badan hukum dibuat oleh camat berdasarkan risalah/surat pengantar

dari desa/lurah setempat, dan tanah garapan sebagaimana diatur dalam Pasal

1 angka (21) adalah tanah negara yang digunakan dan dimanfaatkan oleh

seseorang badan hukum tanpa atau dengan SKPT.

Adapun ruang lingkup penyelenggaraan administrasi penguasaan tanah

atas tanah negara yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Bupati Kutai

Kartanegara Nomor 36 Tahun 2013, diantaranya:

a. Dalam Pasal 5 mengatur mengenai kewenangan penerbitan SKPT,

diantaranya:

50
1) Kewenangan penerbitan SKPT diserahkan kepada camat dan

tidak dapat dilimpahkan kepada pejabat lain;

2) Kepala desa/lurah tidak berwenang menerbitkan SKPT;

3) Pelepasan penguasaan tanah dilaksanakan dihadapan camat.

b. Dalam Pasal 6 mengatur tentang tata cara permohonan SKPT,

diantaranya:

1) Permohonan SKPT ditujukan kepada camat melalui kepala

desa/lurah dengan melampirkan syarat sebagai berikut:

a) Fotocopy KTP;

b) Surat pengantar ketua RT;

c) Sketsa tanah/gambar situasi tanah;

d) Surat riwayat penguasaan fisik bidang tanah, dan

e) Dokumen lain yang dibutuhkan.

2) Tanah yang dapat dimohonkan SKPT sebagai berikut:

a) Tanah terpelihara dan dipergunakan sebagaimana

mestinya;

b) Tanah yang letaknya diketahui oleh saksi-saksi batas

tanah;

c) Tanah yang telah dimanfaatkan dan/atau dikuasai oleh

pemohon secara terus menerus minimal selama 2 (dua)

tahun, dan

d) Tanah yang telah dipasang patok batas.

51
c. Dalam Pasal 14 mengatur tentang masa berlaku SKPT, yaitu:

1) SKPT berlaku selama 4 (empat) tahun;

2) SKPT yang berakhir masa berlakunya dapat diperpanjang;

3) Perpanjangan penerbitan SKPT sebagaimana dimaksud ayat

(2) dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a) Secara fisik masih dikuasai;

b) Tanda-tanda batas penguasaan tanah jelas;

c) Tidak ada keberatan atau sengketa dengan pihak lain;

d) Tanah dipergunakan dan dimanfaatkan sebagaimana

mestinya.

e) Pemegang SKPT yang tidak memperpanjang setelah

masa berlakunya berakhir, maka status tanah menjadi

tanah negara.

Menelantarkan tanah atau tidak mempergunakan sebagaimana

mestinya selama 4 tahun berturut-turut, maka SKPT dapat

dicabut dan status tanahnya menjadi tanah negara bebas (diatur

dalam Pasal 5).

d. Dalam Pasal 17 mengatur tentang larangan penerbitan SKPT,

diantaranya:

1) Tanah yang dilarang untuk diterbitkan SKPT antara lain:

a) Tanah absente atau guntai atau melebihi batasan

maksimal penguasaan tanah sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

52
b) Tanah yang tidak dipelihara atau tidak dipergunakan

sebagaimana mestinya;

c) Berada di dalam kawasan hutan dan/atau kawasan

lindung;

d) Berada diatas tanah yang telah diterbitkan hak atas tanah;

e) Berada diatas tanah yang telah dikuasai oleh pemerintah;

f) Berada diatas sepadan sungai dan/atau berada di ruang

milik jalan.

2) SKPT bukan merupakan bukti hak atas tanah, tetapi

merupakan informasi penguasaan tanah diatas tanah negara

yang belum ditetapkan peruntukannya serta belum terdaftar

hak atas tanahnya;

3) SKPT tidak dapat dijadikan sebagai jaminan untuk keperluan

utang/piutang.

e. Dalam Pasal 18 mengatur tentang hak dan kewajiban, diantaranya:

1) Pemilik SKPT mempunyai hak antara lain:

a) Mendaftarkan tanahnya menjadi hak milik (hak atas

tanah);

b) Mengalihkan penguasaan atas tanah kepada pihak lain

yang memerlukan tanah, dan

c) Memperpanjang masa berlaku SKPT sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).

53
2) Pemilik SKPT mempunyai kewajiban antara lain:

a) Melindungi tanahnya dari kerusakan;

b) Memelihara kesuburan tanah;

c) Menggunakan dan memanfaatkan tanahnya, dan

d) Menguasai secara fisik bidang tanahnya.

f. Dalam Pasal 19 mengatur tentang Pembatalan SKPT, diantaranya:

1) SKPT yang telah diterbitkan dapat dibatalkan oleh camat

disebabkan antara lain:

a) Cacat administrasi;

b) Tanah tersebut diterlantarkan;

c) Tanah tersebut tidak lagi dikuasai secara fisik;

d) Tanah tersebut musnah, dan

e) Adanya pertimbangan oleh kepala desa/lurah.

2) SKPT batal demi hukum apabila diterbitkan dengan tidak

mematuhi prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan bupati

ini.

g. Dalam Pasal 20 mengatur tentang pengawasan dan pembinaan.

Dalam Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2013 tentang

Penyelenggaraan Administrasi Penguasaan Tanah atas Tanah Negara di

Kabupaten Kutai Kartanegara juga melampirkan beberapa formulir-formulir

Surat Keterangan Penguasaan Tanah, diantaranya:

a. Format surat permohonan penerbitan SKPT;

b. Surat pengantar ketua RT;

54
c. Riwayat penguasaan fisik bidang tanah;

d. Surat pengantar kepala desa/lurah;

e. Surat Keterangan Penguaasaan Tanah dari Kecamatan;

f. Berita Acara Penelitian Penguasaan Tanah;

g. Berita Acara Pengukuran Bidang Tanah;

h. Berita Acara Persetujuan Pengukuran Tanah;

i. Berita Acara Kesepakatan Batas dan Pernyataan tidak Sengketa;

j. Berita Acara Kesaksian (data pendukung);

k. Surat Keterangan Waris;

l. Surat Pernyataan dan Pembagian Waris;

Tanah-tanah di kawasan kehutanan merupakan tanah-tanah yang tidak

dapat diberikan SKPT, tidak dapat ditingkatkan hak atas tanah dan tidak

dapat dilakukan proses pendaftaran tanah-tanah garapan sebagai hak milik.

Hal inilah yang menjadi sangat penting untuk diketahui oleh masyarakatjika

SKPT baik menurut Keputusan Gubernur Kalimantan Timur maupun

Peraturan Bupati Kutai Kartanegara sebatas untuk lahan yang diperuntukan

dan dikelola pemanfaatannya dalam jangka waktu tertentu sebagai bagian

dari tujuan UUPA itu sendiri bagi kesejahteraan masyarakat terutama

masyarakat Kalimantan Timur pada umumnya dan masyarakat Kutai

Kartanegara pada khususnya. Perbedaan yang mendasar dan terlihat dari

Keputusan Gubernur Kalimantan Timur dengan Peraturan Bupati Kutai

Kartanegara berkenaan dengan pejabat pembuat SKPT. Dalam Keputusan

Gubernur Kalimantan Timur menyebutkan yang membuat dan

55
menandatangani SKPT adalah dari kelurahan sedangkan dalam Peraturan

Bupati Kutai Kartanegara adalah dari kecamatan selaku pembuat dan yang

menandatangani SKPT.

C. Penyelesaian Sengketa Lahan di Indonesia

1. Pengertian Sengketa dan Konflik

Sengketa atau dalam bahasa inggris disebut dispute adalah pertentangan

atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok

yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas objek

kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang

lain, sedangkan konflik adalah sebagai suatu proses sosial di antara dua

orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha

menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya

tidak berdaya.

Pengertian sengketa dan konflik menurut beberapa sumber,

diantaranya:

a. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pengertian

sengketa dan konflik adalah sebagai berikut:

1) Sengketa adalah: i). Sesuatu yang menyebabkan perbedaan

pendapat; pertengkaran; perbantahan, ii). Pertikaian;

perselisihan, iii). Perkara (dalam pengadilan).

2) Konflik adalah: i). Percekcokan; perselisihan; pertentangan, ii).

Ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau

56
drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan antara

diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh dan sebagainya).

b. Menurut beberapa pendapat ahli, pengertian sengketa dan konflik

adalah:

1) Sengketa

a) Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau

dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah,

yaitu: Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari

pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi

keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik

terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya

dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara

administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang

berlaku35.

b) Menurut Sarjita, pengertian sengketa pertanahan adalah

perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang

merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk

penggunaan dan penguasaan hak atas tanah, yang

diselesaikan melalui musyawarah atau melalui

pengadilan36.

c) Menurut Ali Achmad Chomzah, sengketa adalah

pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal


35
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, (Bandung: Alumni, 1991), hlm 2.
36
Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, (Yogyakarta: Tugujogja
Pustaka, 2005), hlm 8.

57
dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan

atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum

bagi keduanya37.

2) Konflik

a) Menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah proses

pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan,

tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku38.

b) Menurut Robert Lawang, konflik diartikan sebagai

perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka

seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana

tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh

keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya.

Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan

kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain

dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan

(ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif

terbatas39.

c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, pengertian sengketa

dan konflik diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala Badan

37
Ali Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak atas Tanah dan
Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta: Prestasi Pustaka,
2003), hlm 14.
38
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm 99.
39
Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Universitas Terbuka 1994),
hlm 53.

58
Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian

Kasus Pertanahan, Pasal 1 angka (2) dan angka (3), yang berbunyi:

1) Angka (2): Sengketa Tanah yang selanjutnya disebut Sengketa

adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,

badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.

2) Angka (3): Konflik Tanah yang selanjutnya disebut Konflik

adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,

kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga

yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.

Perbedaan pengertian sengketa dan konflik menurut Peraturan Menteri

ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang

Penyelesaian Kasus Pertanahan, menitik beratkan pada ada tidaknya

dampak yang meluas dari perselisihan pertanahan yang terjadi terhadap para

pihak yang berselisih sehingga dari perselisihan tersebut mengakibatkan

kerugian yang sangat besar, dampak sosial yang ditimbulkan serta

mempengaruhi hak kepemilikan tanah tersebut yang berujung pada

kompleksitas masalah. Dari uraian tersebut diatas, maka ditinjau dari subyek

yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat dikelompokkan ke dalam 3

macam yaitu40:

a. Sengketa tanah antar warga;

b. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat,

dan
40
. Mudjiono, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia Melalui Revitalisasi
Fungsi Badan Peradilan, Dosen Negeri DPK STPMD"APMD" Yogyakarta, JURNAL HUKUM
NO. 3 Vol.14, Juli 2007, hlm 466.

59
c. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka

diperlukan strategi secara luas dan lengkap guna mengantisipasi dan

mencegah terjadinya sengketa dibidang pertanahan, yang dapat diwujudkan

dengan menggunakan pola-pola penyelesaian sengketa pertanahan.

2. Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Umumnya

Permasalahan mengenai pertanahan yang terjadi sering disebabkan

akibat saling klaim penguasaan hak atas tanah. Banyak permasalahan dalam

bidang pertanahan yang pada akhirnya menjadi suatu sengketa. Secara

umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, antara lain: i).

Peraturan yang belum lengkap; ii). Ketidaksesuaian peraturan; iii). Pejabat

pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang

tersedia; iv). Data yang kurang akurat dan kurang lengkap; v). Data tanah

yang keliru; vi). Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas

menyelesaikan sengketa tanah; vii) Transaksi tanah yang keliru; viii) Ulah

pemohon hak atau ix) Adanya penyelesaian instansi lain, sehingga terjadi

tumpang tindih kewenangan41.

Bernhard Limbong berpandangan bahwa beberapa hal yang

menyebabkan timbulnya sengketa-sengketa pertanahan di Indonesia, antara

lain42:

a. Kurang tertibnya administrasi pertanahan di masa lalu juga turut

memberikan sumbangsih banyaknya terjadi sengketa pertanahan;


41
Ibid, hlm 464.
42
Made Oka Cahyadi Wiguna, Peluang Penyelesaian Sengketa Perdata tentang Tanah melalui
Alternative Dispute Resolution, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No. 1, Januari 2018, hlm 48.

60
b. Timpangnya struktur penguasaan dan pemilikan tanah, sistem

publikasi pendaftaran tanah yang berstelsel negatif, kebutuhan

terhadap tanah yang cenderung meningkat sehingga kondisi

tersebut menyebabkan nilai ekonomisnya meningkat pula, akibat

banyaknya peraturan yang tumpang tindih baik secara vertikal

maupun horizontal;

c. Kurang cermatnya pejabat umum yang berkaitan dengan

pertanahan, perbedaan persepsi dan interpretasi penegak hukum

terhadap perundnag-undangan;

d. Tidak konsistennya para penegak hukum menegakkan peraturan

terkait dengan pertanahan.

Menurut Pruitt dan Rubin, terdapat lima cara penyelesaian sengketa,

yaitu43:

a. Bertanding, yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih

disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang lainnya;

b. Mengalah, yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia

menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan;

c. Pemecahan masalah, yaitu mencari alternatif yang memuaskan dari

kedua belah pihak;

d. Menarik diri, yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik

secara fisik maupun psikologis;

e. diam, yaitu tidak melakukan apa-apa.


43
Muchlisin Riadi, Pengertian, Jenis, Penyebab dan Penyelesaian Sengketa, diakses dari
http://www.kajianpustaka.com/2018/10/pengertian-jenis-penyebab-dan-penyelesaian-
sengketa.html (pada tanggal 2 September 2019).

61
Sedangkan menurut Nader dan Todd Jr, terdapat tujuh cara

penyelesaian sengketa dalam masyarakat, yaitu44:

a. membiarkan saja, yaitu oleh pihak yang merasakan perlakuan tidak

adil, gagal dalam mengupayakan tuntutannya. Dia mengambil

keputusan untuk mengabaikan saja masalahnya atau isu-isu yang

menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-

hubungannya dengan pihak yang dirasakan merugikannya;

b. Mengelak, yaitu pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk

mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya

atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut, misalkan

dalam hubungan bisnis hal serupa bisa saja terjadi. Dengan

mengelak, maka masalah yang menimbulkan keluhan dielakkan

saja;

c. Paksaan, yaitu pihak yang satu memaksakan pemecahan kepada

pihak lain, ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat

memaksakan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada

umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai;

d. Perundingan, yaitu kedua belah pihak yang berhadapan merupakan

para pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang dihadapi

dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak

yang ketiga yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya

untuk saling menyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka

44
Ibid.

62
sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-

aturan yang ada

e. Mediasi, yaitu pihak ketiga yang membantu kedua belah pihak

yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak

ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang

bersengketa, atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang untuk

itu;

f. Arbitrase, yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk

meminta perantara kepada pihak ketiga, arbitrator dan sejak semula

telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator

tersebut;

g. Peradilan, yaitu pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk

mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak

yang bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan

dan menegakkan keputusan itu artinya pihak ketiga berupaya

bahwa keputusan itu dilaksanakan.

Terkait dengan pokok penyelesaian sengketa pertanahan, maka ada

beberapa alternatif penyelesaian sengketa pada umumnya yang dapat

dilakukan, diantaranya:

a. Litigasi (lembaga pengadilan)

Secara konvensional, langkah hukum yang biasa ditempuh oleh

masyarakat dalam rangka memperoleh keadilan (justice) dan

kepastian hukum (legal certainty) atas sengketa yang sedang

63
dihadapi adalah dengan memilih lembaga pengadilan. Proses

peradilan di lembaga tersebut dianggap mampu untuk memberikan

solusi atas sengketa yang sedang dihadapi dengan harapan akan

memperoleh keadilan (justice) dan kepastian hukum (legal

certainty). Sebagai lembaga untuk memperoleh keadilan yang

dibentuk oleh negara, pengadilan mempunyai mekanisme tersendiri

dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, yang

harus dilalui oleh para pihak45.

Penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan biasanya

membutuhkan waktu yang cukup lama dan melelahkan, dimulai

dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin

sampai pada tingkat Mahkamah Agung. Hal ini sudah tentu juga

membutuhkan biaya yang cukup besar bahkan dapat mengganggu

hubungan pihak-pihak yang bersengketa46.

Dalam praktik, penyelesaian sengketa tanah tidak hanya dilakukan

melalui Pengadilan Negeri (PN), namun juga melalui Pengadilan

Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan tidak jarang penyelesaian

sengketa tanah merambah ke wilayah hukum pidana karena dalam

sengketa tersebut terkandung unsur-unsur pidana47.

Persengketaan yang muncul diselesaikannya melalui Pengadilan

Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara dan namun pada

45
Cahyadi Wiguna, Loc.cit.
46
Sukresno, Pemberdayaan Lembaga Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang
Pertanahan, Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus, MMH, Jilid 41, No. 1, Januari 2012, hlm
82.
47
Mudjiono, Op.cit, hlm 465.

64
kenyatannya penyelasaian yang dilakukan oleh peradilan sebagian

besar diselesaikan dengan hasil yang kurang memuaskan,

diantaranya ada perbedaan putusan yang dilakukan oleh Pengadilan

Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk kasus sengketa

atas tanah yang sama. Dalam sebagian besar kasus, keputusan yang

telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) pun

tidak dapat dieksekusi. Penyebabnya, untuk sengketa tanah yang

sama bisa terdapat beberapa putusan lain yang juga telah

berkekuatan hukum tetap. Ironisnya keputusan-keputusan itu saling

bertentangan, itu bisa terjadi akibat tidak adanya data yang akurat

di pengadilan atau penegak hukum48.

b. Non litigasi

Penyelesaian sengketa pertanahan secara non litigasi dapat

ditempuh melalui:

1) Negosiasi

Dengan negosiasi dimaksudkan proses tawar menawar atau

pembicara untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap

masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak, negosiasi

dilakukan baik karena ada sengketa para pihak maupun hanya

belum ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan

hal tersebut. Negosiasi dilakukan oleh negosiator mulai dari

negosiasi yang paling sederhana dimana negosiator tersebut

48
Herlina Ratna Sambawa Ningrum, Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa atas Tanah
Berbasis Keadilan, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.1, No. 2, Mei – Agustus 2014, hlm 222.

65
adalah para pihak yang berkepentingan sendiri, sampai kepada

menyediakan negosiator khusus atau memakai lawyer sebagai

negosiator49. Negosiasi biasanya dilakukan secara terbuka dan

continue, dan bersifat perundingan tidak langsung karena

belum dapat dipastikan terjadi adanya kesepakatan dalam

proses negosiasi.

2) Mediasi

Pengertian mediasi menurut Peraturan Menteri ATR/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang

Penyelesaian Kasus Pertanahan, diatur di dalam Pasal 1 angka

(7), yang berbunyi:

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa dan konflik melalui

proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak

dengan dibantu oleh mediator (mediator adalah pihak yang

membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari

berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa atau konflik

tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah

penyelesaian (diatur dalam Pasal 1 angka (8)).

Mediasi merupakan lanjutan proses dari negosiasi dan

biasanya digunakan sebagai cara untuk menjembatani para

pihak yang bersengketa untuk dicarikan jalan keluar atau solusi

terbaik sehingga permasalahan yang timbul dapat teratasi.

49
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisniss, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000), hlm 42.

66
Mediasi juga dapat berupa masukan-masukan, saran-saran

untuk memberikan solusi tapi tidak bersifat memaksa atau

menekan para pihak atau salah satu pihak, karena dalam

prakteknya jalur mediasi bersifat pasif, yaitu mendengarkan

penjelasan atau argumen para pihak, menganalisa problem

permasalahan dan memberikan alternatif-alternatif pemecahan

masalah, baik diterima ataupun tidak oleh para pihak tidak

menjadi masalah di dalam proses mediasi. Hasil dari mediasi,

jika disepakati oleh para pihak, maka hasil tersebut dapat

dituangkan dalam sebuah perjanjian diatas kertas sebagai dasar

telah dilakukannya mediasi dan para pihak sepakat atas apa

yang ada di dalam perjanjian tersebut.

3) Konsiliasi

Seperti halnya mediasi, konsiliasi (conciliation) juga

merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di antara para

pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak

memihak. Biasanya konsiliasi mengacu pada suatu proses yang

mana pihak ketiga bertindak sebagai pihak yang mengirimkan

suatu penawaran penyelesaian antara para pihak tetapi

perannya lebih sedikit dalam proses negosiasi dibandingkan

seorang mediator. Seperti juga mediator, tugas dari konsiliator

hanyalah sebagai pihak fasilitator untuk melakukan

komunikasi di antara pihak sehingga dapat diketemukan solusi

67
oleh para pihak sendiri. Dengan demikian pihak konsiliator

hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu

dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek

pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak

lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung

atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lain-lain50.

4) Inventarisasi dan Identifikasi Lahan

Maksud dilakukan inventarisasi dan identifikasi adalah

melakukan pengecekan secara langsung terhadap lahan-lahan

milik masyarakat yang dilakukan oleh sebuah team dari

berbagai instansi pemerintah bersama pihak terkait guna

mendata hak-hak masyarakat yang ada diatas permukaan tanah

yaitu tanaman hasil garapan dan pondok-pondok. Data-data

tersebut adalah berdasarkan penunjukan langsung dari pemilik

lahan, sehingga jika kedepannya terjadi perselisihan masalah

lahan, dapat dijadikan pembuktian sesuai kenyataan di

lapangan atas kondisi yang terjadi saat data tersebut dibuat.

3. Penyelesaian Sengketa menurut Peraturan Perundang-undangan

Setiap permasalahan yang berujung pada terjadinya sengketa para

pihak, selain alternatif penyelesaian yang dapat dilakukan diatas,

penyelesaian sengketa telah diatur dalam berbagai produk peraturan hukum

yang dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa, meskipun cara-

50
Ibid, halaman 52.

68
cara penyelesaian sengketa tidak jauh berbeda dengan alternatif

penyelesaian sengketa pada umumnya. Berikut beberapa peraturan

perundang-undangan yang mengatur cara-cara yang dapat ditempuh para

pihak jika terjadi sengketa, diantaranya:

a. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Ada 3 Pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa

diantaranya diatur dalam:

Pasal 74 mengatur tentang penyelesaian sengketa kehutanan dapat

ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan

pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa dan apabila

telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan diluar

pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan

setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang

bersengketa.

Pengadilan dan diluar pengadilan merupakan salah satu pilihan

dalam menyelesaikan sengketa kehutanan berkenaan dengan

penetapan kawasan hutan oleh negara, penguasaan dan pembukaan

lahan di kawasan hutan untuk kepentingan penggarapan, hak tanah

adat, pemanfaatan hasil hutan dan lain-lain.

Pasal 75 mengatur tentang penyelesaian sengketa kehutanan diluar

pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana dan dimaksudkan

untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak,

besarnya ganti rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu

69
yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan serta dalam

penyelesaian sengketa kehutanan diluar pengadilan dapat

digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak

dan atau pendampingan organisasi non Pemerintah untuk

membantu penyelesaian sengketa kehutanan.

Tindak pidana yang dilakukan sebagaimana diatur dalam UU

Kehutanan tetap melalui jalur pengadilan sedangkan diluar

pengadilan dapat menghasilkan kesepakatan yang menjadi solusi

terbaik dari masing-masing pihak yang bersengketa dan jika dalam

prosesnya tidak menghasilkan kesepakatan, maka dapat dilakukan

menggunakan mediasi pihak ketiga.

Pasal 76 mengatur tentang Penyelesaian sengketa kehutanan

melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan

mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau

tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah

dalam sengketa serta pengadilan dapat menetapkan pembayaran

uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu

tersebut setiap hari.

Pengadilan diharapkan dapat menghasilkan putusan yang

memberikan rasa keadilan bagi para pihak dan wajib ditaati dan

dilakukan oleh pihak yang kalah.

70
b. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara

UU Minerba dibuat selain mengatur tentang seluk beluk

pertambangan yang ada di Indonesia, tapi juga mengatur

bagaimana pertambangan yang memiliki dampak lingkungan dan

sosial, memberikan perlindungan bagi masyarakat meskipun tidak

berkontribusi secara maksimal.

Hanya ada satu Pasal yang mengatur Perlindungan terhadap

masyarakat, yaitu dalam Pasal 145 ayat (1), yang mengatur tentang

hak masyarakat atas dampak negatif langsung dan kegiatan usaha

pertambangan, yaitu memperoleh ganti rugi yang layak akibat

kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan dan

mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat

pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.

Masyarakat yang merasa haknya dilanggar atau terkena dampak

tambang oleh perusahaan pertambangan bisa meminta ganti rugi

baik menyangkut lahan garap, air bersih, debu polusi, terputusnya

akses jalan dan lain-lain sampai dengan mengajukan gugatan

kepada pengadilan.

c. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

UUPA memang tidak mengatur mengenai cara-cara penyelesaian

sengketa, karena lebih menfokuskan kepada pencegahan agar tidak

71
terjadi sengketa. Pencegahan yang dimaksud adalah dengan

melakukan pendaftaran tanah.

Penyelesaian sengketa pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal

19 tentang Pendaftaran Tanah, menerangkan:

1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia;

2) Pendaftaran tersebut, meliputi:

a) Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak

tersebut;

c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kepastian hukum yang dapat dijamin meliputi kepastian mengenai

letak batas dan luas tanah, status tanah dan orang yang berhak atas

tanah dan pemberian surat berupa sertipikat51.

d. Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa

Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang

mungkin terjadi maupun yang sedang terjadi yang tidak dapat

diselesaikan serta untuk menghindari penyelesaian sengketa

melalui badan peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan

waktu yang lama.

51
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
114.

72
Dalam undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 ini dijelaskan

mengenai apa yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa.

Pasal 1 angka (10) menyebutkan:

Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian

sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para

pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli,

sedangkan yang dimaksud arbitrase sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka (1), yang berbunyi:

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

UU Nomor 30 Tahun 1999 ini pada dasarnya juga memberikan

kesempatan untuk memilih model penyelesaian sengketa yang akan

ditempuh. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa “sengketa

atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak

melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada

itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi

di Pengadilan Negeri”. Ketentuan ini jelas memberikan batasan

mengenai jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui metode

Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu hanya sengketa atau beda

pendapat yang terkait dengan keperdataan52.

52
Made Oka Cahyadi Wiguna, Peluang Penyelesaian Sengketa Perdata tentang Tanah melalui
Alternative Dispute Resolution, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No. 1, Januari 2018, hlm 51.

73
e. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

PP Nomor 23 Tahun 2010 yang merupakan salah satu aturan

pelaksana dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara, dalam melihat banyaknya permasalahan

yang akan dihadapi oleh para pelaku usaha pertambangan,

memberikan aturan terkait alternatif penyelesaian sengketa dengan

masyarakat sekitar wilayah penambangan. Adapun satu Pasal yang

mengatur hal tersebut, yaitu:

Pasal 100, yang mengatur tentang pemegang IUP Operasi Produksi

atau IUPK Operasi Produksi yang akan melakukan kegiatan operasi

produksi wajib menyelesaikan sebagian atau seluruh hak atas tanah

dalam WIUP atau WIUPK dengan pemegang hak atas tanah dan

wajib memberikan kompensasi berdasarkan kesepakatan bersama

dengan pemegang hak atas tanah.

Kompensasi yang dimaksud dalam ketentuan ini dapat berupa sewa

menyewa, jual beli, atau pinjam pakai. Menyelesaikan hak-hak atas

tanah masyarakat adalah merupakan salah satu bentuk tanggung

jawab bagi pemegang IUP atau IUPK. Hak atas tanah bukan berarti

hak kepemilikan atas tanah meskipun masyarakat memiliki surat-

surat keterangan tanah yang dikeluarkan oleh pejabat kelurahan

atau kecamatan setempat, karena keseluruhan wilayah

pertambangan masuk dalam suatu kawasan hutan, dan siapapun

74
yang akan melakukan kegiatan di dalam wilayah kehutanan, wajib

memiliki Izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang

sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan.

f. Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian

Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

Sebagaimana yang diatur dalam UU kehutanan terkait penyelesaian

sengketa kehutanan dapat melalui dua cara, yaitu pengadilan dan

diluar pengadilan, dan Pepres Nomor 88 Tahun 2017 ini hanya

sekedar melakukan upaya-upaya yang dapat dilakukan atas

penguasaan tanah dalam kawasan hutan terhadap para pelaku

tindakan ilegal yang ingin menguasai tanah-tanah kehutanan yang

secara aturan dilindungi oleh negara. Bentuk penyelesaiannya

adalah dengan dibentuknya sebuah Tim Percepatan Penyelesaian

Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang diatur dalam Pasal

14, yaitu Pemerintah membentuk Tim Percepatan Penyelesaian

Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang selanjutnya disebut

Tim Percepatan PPTKH untuk penyelesaian penguasaan tanah

dalam kawasan hutan yang mana Tim Percepatan PPTKH

mempunyai tugas:

1) Melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan

penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan;

75
2) Menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka

penyelesaian permasalahan dan hambatan dalam pelaksanaan

penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan;

3) Menetapkan luas maksimum bidang tanah yang dapat

dilakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan

hutan;

4) Menetapkan mekanisme Resettlement;

5) Melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan

penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan; dan

6) Melakukan fasilitasi penyediaan anggaran dalam pelaksanaan

penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.

g. Permenhut Nomor P.44/MENHUT-II/2012 sebagaimana dirubah

dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/MENHUT-

II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan

Dibentuknya aturan mengenai kehutanan adalah untuk menjaga

ekosistem, kelestarian alam dan lingkungan, fungsi dan

pemanfaatan hutan, dan investasi. Meskipun demikian berbagai

aturan kehutanan juga tidak mengesampingkan keberadaan dan

aktivitas-aktivitas masyarakat didalam maupun diluar wilayah

kehutanan yang memanfaatkan lahan-lahan untuk digarap atau

diambil hasil hutannya. Salah satu diantaranya adalah Permenhut

Nomor P.44/MENHUT-II/2012 sebagaimana dirubah dengan

76
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/MENHUT-II/2013

tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Jika dilihat dari Pasal demi Pasal terkait penyelesaian hak-hak

pihak ketiga sangat kontradiktif dengan UU Kehutanan yang

mengatur adanya hutan negara, hutan hak dan hutan adat. Karena

apapun jenis kegiatan baik pemanfaatan maupun mengelolaan

hutan harus memiliki izin dari pejabat yang berwenang, kecuali jika

kawasan hutan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan untuk

tujuan khusus atau dilakukan pengalihan fungsi kawasan hutan.

Sebagai sarana untuk menyelesaikan berbagai macam masalah di

wilayah kawasan hutan, maka dilakukan upaya-upaya penyelesaian

sengketa terhadap pihak ketiga atas hak-haknya yang diatur dalam:

Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), yang mengatur tentang hak-hak

pihak ketiga setelah dikeluarkan pengumuman hasil pemancangan

batas sementara, maka dilakukan pencatatan inventarisasi dan hasil

identifikasi hak-hak pihak ketiga dan hasil pelaksanaan kegiatan

pemancangan batas sementara serta hasil inventarisasi dan

identifikasi hak-hak pihak ketiga dituangkan dalam Berita Acara

Pengukuran dan Pemancangan Batas Sementara yang

ditandatangani oleh pelaksana tata batas yang diketahui oleh

Kepala Instansi Kehutanan Kabupaten/Kota atau Kepala Intansi

Pengelola Kawasan Hutan.

77
Dibentuknya tim inventarisasi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga

merupakan cara untuk mendapatkan data-data yang akurat dan

benar atas keberadaan lahan-lahan yang digunakan sebagai lahan

garap oleh pihak ketiga yaitu masyarakat.

h. Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun

2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan

Sebagaimana inti dari tujuan dilakukannya penyelesaian kasus

pertanahan adalah untuk memberikan kepastian hukum dan

keadilan mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah. Atas maksud dari tujuan tersebut, maka sesuai

yang diatur dalam Pasal 4, yang mengatur tentang penyelesaian

sengketa dan konflik dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1) Inisiatif dari Kementerian; atau

2) Pengaduan masyarakat.

Maksud dari inisiatif Kementerian adalah melaksanakan

pemantauan untuk mengetahui Sengketa dan Konflik yang terjadi

dalam suatu wilayah tertentu yang dilakukan secara rutin oleh

Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN atau

Dirjen terhadap pengaduan atau pemberitaan pada surat kabar

terkait Sengketa dan Konflik.

Maksud dari Pengaduan adalah laporan atau keberatan yang

diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan, kepada Kementerian

Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional atas kasus

78
pertanahan. Pengaduan harus dilakukan secara tertulis, melalui

loket pengaduan, kotak surat atau website Kementerian, sedikit

memuat identitas pengadu dan uraian singkat kasus, disampaikan

kepada Kantor Wilayah BPN dan/atau Kementerian dengan

melampirkan fotokopi identitas pengadu, fotokopi identitas

penerima kuasa dan surat kuasa apabila dikuasakan, serta data

pendukung atau bukti-bukti yang terkait dengan pengaduan.

Penyelesaian sengketa pertanahan dapat juga dilakukan melalui

mediasi diluar kewenangan kementerian yang dilaksanakan

berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi kebaikan

bersama. Pelaksanaan Mediasi dicatat dalam notulensi yang

ditandatangani oleh mediator dan notulis dan hasil pelaksanaan

Mediasi dituangkan dalam Berita Acara Mediasi dan

ditandatangani oleh Pejabat Kementerian, Kantor Wilayah BPN

dan/atau Kantor Pertanahan, Mediator dan para pihak. penanganan

sengketa dapat juga melalui proses peradilan dan upaya hukum lain

seperti perlawanan (verzet), banding, kasasi dan peninjauan

kembali.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

mengatur mengenai penyelesaian sengketa, memiliki persamaan dan

perbedaan dalam memberikan langkah-langkah solusi yang dapat digunakan

oleh para pihak yang bertikai, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

Solusi-solusi yang kedepannya merupakan salah satu langkah yang dapat

79
memberikan rasa keadilan dan meminimalisir dampak-dampak yang

berkelanjutan atas pengakuan, penguasaan dan kepemilikan tanah

bersengketa.

80
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran umum tentang PT. Mahakam Sumber Jaya

1. Latar Belakang PT. Mahakam Sumber Jaya

PT Harum Energy Tbk adalah induk perusahaan, didirikan pada tahun

1995, dengan portofolio usaha di bidang pertambangan batu bara dan

kegiatan logistik berlokasi di Kalimantan Timur, Indonesia.PT Harum

Energy Tbk (Perseroan) didirikan dengan nama PT Asia Antrasit,

berdasarkan akta No. 79 tanggal 12 Oktober 1995. Berdasarkan akta No. 30

tanggal 13 November 2007 dari notaris James Herman Rahardjo, S.H.,

notaris di Jakarta, nama PT Asia Antrasit berubah menjadi PT Harum

Energy dan sekaligus mengubah seluruh Anggaran Dasar Perseroan untuk

disesuaikan dengan Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas53.

Kegiatan operasional penambangan batubara Perseroan dioperasikan

melalui empat anak perusahaannya, yaitu PT Mahakam Sumber Jaya (MSJ),

PT Santan Batubara (SB), PT Tambang Batubara Harum (TBH) dan PT

Karya Usaha Pertiwi (KUP). MSJ mulai melakukan kegiatan operasional

penambangan batubara secara resmi pada tahun 2004 dan disusul oleh SB

yang merupakan perusahaan joint venture pada tahun 2009. Sementara TBH

53
Di akses dari: Website http://www.harumenergy.com/id/about/22/anak-perusahaan (pada tanggal
10 September 2019).

81
dan KUP direncanakan untuk dapat mulai beroperasi di tahun 2017, terkait

dengan kondisi pasar batubara yang kurang baik saat ini54.

MSJ didirikan pada tahun 1994 dan menerima kontrak Batubara

generasi ketiga Kontrak Karya pada tahun 2000. MSJ memulai eksploitasi

pertambangan pada tahun 2004, dan saat ini menjadi operator terbesar

perusahaan dalam hal volume produksi. Operasi pertambangan MSJ berada

dalam jarak rata-rata sekitar 40 km dari lokasi fasilitas pengolahan batubara

dan pemuatan tongkang di Separi dan dapat diakses melalui jalan

pengangkutan khusus yang dikelola oleh MSJ. MSJ menggunakan metode

“open-cut” sepanjang area tambang, teknik pengupasan tanah penutup

melalui pertambangan dan kontraktor pengangkutan.MSJ menerima

sertifikasi ISO 9001:2008; ISO 14001:2004; serta OHSAS 18001:2007

untuk operasi pertambangan batubara.

Berikut profil dari PT. Mahakam Sumber Jaya:

Nama Perusahaan / Pemrakarsa : PT. Mahakam Sumber Jaya

Jenis Badan Hukum : Perseroan Terbatas (PT.)

Alamat Perusahaan / Pemrakasa :

Kantor Pusat : Jl. Alaydrus No. 80, Jakarta Pusat

Kantor Cabang : Jl. Juanda No. 66-67, Samarinda

Sekarang pindah ke Site Separi

Status Permodalan : PMDN

Bidang Usaha : Pertambangan Batubara

54
Ibid.

82
SK AMDAL yang disetujui : SK Gubernur Kaltim tanggal

6September 2011 Nomor:

660.2/K.549/2011 Tahun 2011

2. Lokasi Usaha dan atau Kegiatan

Lokasi usaha dan atau kegiatan PT. Mahakam Sumber Jaya berada di

wilayah Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara

(PKP2B) dengan luas 20.380 Ha.Perusahaan tambang batubara

PT.Mahakam Sumber Jaya beroperasi di Desa Separi, Kecamatan

Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan

Timur dan Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda (lihat Gambar 1).

Luas areal penambangan yang termasuk dalam wilayah kabupaten Kutai

Kartanegara adalah 17.700 Ha, sedangkan luas areal yang berada dalam

wilayah Kota Samarinda adalah 2.680 Ha.

Gambar 1. Peta Lokasi PT. Mahakam Sumber Jaya

83
3. Perizinan PT. Mahakam Sumber Jaya

Sebagai suatu perusahaan pertambangan batubara, PT. Mahakam

Sumber Jaya dalam menjalankan kegiatan penambangan memiliki beberapa

perizinan resmi dari berbagai instansi, diantaranya dari Kementerian Energi

dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kehutanan, dan Pemerintah

Daerah Propinsi maupun Kabupaten.

Perizinan yang dimiliki PT. Mahakam Sumber Jaya, diantaranya:

a. Izin dari Kementerian ESDM

1) Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia

dan PT. Mahakam Sumber Jaya perihal Penandatanganan

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

(PKP2B) dengan lokasi: Kabupaten Kutai dan Kota Samarinda

Luas Areal : 20.380 hektar serta kode wilayah: 00OTB001;

2) SuratDirektoratPengusahaan Mineral dan Batubara, Direktorat

JendralGeologidanSumber daya Mineral, ke PT. Mahakam

Sumber Jaya Nomor 1966/40.00/DP/2002 tentang Persetujuan

Laporan Penyelidikan Umum;

3) Surat Keputusan Direktorat Geologi dan Sumber daya Mineral

Nomor 214.K/40.00/DJG/2002 tentang Permulaan Tahap

Kegiatan Ekplorasi Perjanjian Karya Pengusahaan

Pertambangan batubara PT. Mahakam Sumber Jaya, berlaku

sejak tanggal 28 Agustus 2002;

84
4) SuratDirektoratPengusahaan Mineral dan Batubara, Direktorat

JendralGeologidanSumber daya Mineral, ke PT. Mahakam

Sumber Jaya Nomor 2835/48/DPM/2002 tentang Persetujuan

Laporan Lengkap Eksplorasi PT. Mahakam Sumber Jaya;

5) Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor

001.K/40.00/MEM2003 tentang Permulaan Tahap Kegiatan

Studi Kelayakan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara PT. Mahakam Sumber Jaya, berlaku sejak tanggal 23

November 2003;

6) Surat Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara,

Direktorat JendralGeologidanSumber daya Mineral, ke PT.

Mahakam Sumber Jaya Nomor 649/48/DPM/2004 tentang

Persetujuan Laporan Studi Kelayakan PT. Mahakam Sumber

Jaya;

7) Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor

157.K/40.00/DJG/2004 tentang Permulaan Tahap Kegiatan

Konstruksi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara PT. Mahakam Sumber Jaya

Berlaku sejak tanggal 24 Mei 2004;

8) Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor

004.K/40.00/DJG/2005 tentang Permulaan Tahap Kegiatan

Produksi Wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan

Pertambangan Batubara PT. Mahakam Sumber Jaya, berlaku

85
sejak tanggal 11 September 2004 dengan lokasi: Kutai

Kartanegara dan Kota Samarinda serta luas areal : 20.380

hektar serta kode wilayah: 00OTB001.

b. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian

Kehutanan

1) Surat Menteri Kehutanan Nomor S.355/MENHUT-VII/2007

tentang Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan untuk

eksploitasi bahan galian batubara dan sarana penunjangnya

atas nama PT.Mahakam Sumber Jaya di Kabupaten Kutai

Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur;

2) Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.164/Menhut-

II/2008 tentang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan seluas

845,80 hektar kapada PT.Mahakam Sumber Jaya untuk

eksploitasi bahan galian batubara dan sarana penunjangnya di

Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur

(tahap pertama);

3) Surat Menteri Kehutanan Nomor S.43/MENHUT-VII/2009

tentang Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan untuk

eksploitasi bahan galian batubara dan sarana penunjangnya

atas nama PT.Mahakam Sumber Jaya di Kabupaten Kutai

Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur;

86
4) Surat Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Planologi

kehutanan Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Nomor

S.201/PKH-2/2009 tentang Pengukuran Tata Batas;

5) Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.361/Menhut-

II/2009 tentang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk

eksploitasi batubara dan sarana penunjangnya pada kawasan

hutan produksi tetap atas nama PT.Mahakam Sumber Jaya

seluas 2.902,80 hektar di Kabupaten Kutai Kartanegara,

Propinsi Kalimantan Timur (tahap kedua);

6) Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.680/Menhut-

II/2009 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk

Eksploitasi Batubara dansarana penunjangnya pada kawasan

hutan produksi tetap atas nama PT. Mahakam Sumber Jaya

seluas 2.925.50 hektar di Kabupaten Kutai Kartanegara,

Propinsi kalimantan Timur (perubahan pertama SK Menteri

Kehutanan Nomor SK.361/Menhut-II/2009);

7) Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.454/Menhut-

II/2010 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk

Eksploitasi Batubara dansarana penunjangnya pada kawasan

hutan produksi tetap atas nama PT. Mahakam Sumber Jaya

seluas 2.925.50 hektar di Kabupaten Kutai Kartanegara,

Propinsi Kalimantan Timur (perubahan kedua SK Menteri

Kehutanan Nomor SK.361/Menhut-II/2009).

87
c. Izin dari Pemerintahan Daerah

1) Surat Gubernur Kalimantan Timur Nomor

620/10067/BPPD/Bangda tentang Izin crossing jalan propinsi;

2) Surat Gubernur Kalimantan Timur Nomor

620/11509/BPPD/Bangda tentang Perpanjangan Izin crossing

jalan propinsi;

3) Surat Wakil Gubernur Kalimantan Timur ke PT. Mahakam

Sumber Jaya Nomor 660/3009/TUUA/B.I.3/BPDL tentang

Persetujuan Dokumen Amdal, RKL dan RPL Usaha/Kegiatan

Pertambangan Batubara PKP2B PT. Mahakam Sumber Jaya;

4) Surat Keputusan Bupati Kutai kartanegara Nomor

20/DPN.K/IL-19/IV-2006 tentang Pemberian izin lokasi untuk

penambangan batubara, jalan angkut pelabuhan dan fasilitas

penunjang lainnya kepada PT. Mahakam Sumber Jaya.

4. Devisi Penanganan Permasalahan PT. Mahakam Sumber Jaya

Devisi External Relation adalah devisi yang dibentuk untuk menangani

berbagai permasalahan komplain masyarakat baik masalah lahan,

lingkungan, demonstrasi penutupan tambang akibat dari belum dilakukan

ganti kerugian lahan masyarakat. Pada tahun 2008 Devisi General Relation

yang pada tahun 2009 dirubah menjadi External Relation merupakan devisi

dibawah Departement HRGA yang dipimpin oleh seorang External Relation

Superintendent yang membawahi External Relation Coordinator dan

beberapa External Officer yang bertugas sebagai pelaksana lapangan. Dalam

88
menjalankan tugasnya Devisi External Relation memiliki Standart

Operasional Prosedur dan instruksi kerja yang digolongkan dalam 2

kategori, yaitu:

a. Penanganan Kasus

1) Klaim Warga

a) Klaim terhadap perusahaan dapat diterima secara

langsung dari warga atau informasi dari departemen lain

(Mining, Landcomp, Port, Security);

b) Apabila diterima secara langsung maka klaim sebaiknya

dilakukan secara tertulis dengan isi surat mencantumkan

data:

Nama, Tempat Tinggal, Nama kasus, Lokasi Kasus,

tanggal kejadian dan uraian kasus tersebut;

c) Form Pelaporan diteruskan kepada External Relation Spt.

External Relation Spt menunjuk tim External Officer

untuk menangani Klaim yang diterima.

2) Pertemuan Dengan Warga dan Pengecekan Lokasi

a) Tim External Officer yang ditunjuk melakukan

pertemuan dengan warga dilakukan apabila belum ada

kejelasan pasti mengenai masalah apa yang menjadi

klaim dari warga sehingga pertemuan ini bertujuan untuk

mengumpulkan informasi/data (data-data pelapor,

89
Tempat Tinggal, Nama kasus, Lokasi Kasus, tanggal

kejadian, dasar-dasar klaim dan uraian kasus tersebut;

b) Hal-hal yang perlu disiapkan adalah lokasi atau tempat

pertemuan, perlengkapan (GPS, Kamera, Form

Klaim/aduan), jumlah orang yang akan ikut pertemuan;

c) Apabila lokasi kasus berada di sekitar daerah operasi

tambang maka sebaiknya dihubungi supervisor tambang

agar dapat ikut dalam pertemuan sebagai saksi;

d) Dari hasil pertemuan dibuat resume/rincian masalah

pengaduan;

e) Apabila masalah tersebut diduga merupakan dampak dari

kegiatan tambang maka dapat diambil sampel untuk

dilakukan penelitian;

f) Pertemuan/pengecekan lokasi dapat ditunda atau

dijadwal ulang apabila kondisi tidak memungkinkan

untuk diadakan pertemuan/pengecekan (misalnya hujan

sehingga tidak memungkinkan untuk ke lokasi karena

kesampaian lokasi dan GPS tidak berfungsi).

3) Mengisi Form Laporan Klaim

a) Tim External Officer yang ditunjuk mengisi Laporan

klaim dengan data-data yang telah diambil. Dalam

laporan dapat dimasukan apakah masalah tersebut

berkaitan dengan kegiatan tambang PT. MSJ atau tidak;

90
b) Laporan diisi dengan data selengkap-lengkapnya kepada

External Relation Spt sebagai laporan pendahuluan.

4) Laporan Ke Pimpinan Department

a) Setiap adanya klaim/aduan atau perkembangan kasus

maka harus segera dilaporkan kepada External Relation

Spt agar dapat segera dilakukan tindakan penyelesaian

masalah sebelum masalah tersebut

menghambat/mengganggu kegiatan operasi tambang;

b) External Relation Spt mengajukan Laporan ini selain

untuk dilaporkan kepada Pimpinan Department juga

sebagai langkah koordinasi/intruksi dari Atasan untuk

tindakan penangganan selanjutnya.

5) Klasifikasi Kasus

Tim External Officer melakukan klasifikasi kasus klaim

berdasarkan dari sumber masalah tersebut (lahan, lingkungan,

sosialisasi ke warga dll) sehingga dapat segera dikoordinasikan

dengan Departement terkait.

6) Koordinasi Internal

a) Dengan adanya klasifikasi kasus ini diharapkan dapat

segera dikoordinasikan dengan Departement terkait

dengan melihat data-data yang ada untuk menentukan

solusi pemecahan masalah tersebut yang akan dilaporkan

ke manajemen;

91
b) Apabila masalah tersebut adalah masalah lahan maka

dapat dikoordinasikan dengan Landcomp Dept

sedangkan untuk masalah lingkungan dikoordinasikan

dengan HSE Department/Mining Department/Port

Department.

7) Pengumpulan Data-data Tambahan

a) Tim External Officer mengumpulkan data-data tambahan

untuk melengkapi data yang sudah ada;

b) Data dapat berupa keterangan Aparat Desa, Kecamatan,

Saksi-saksi, Intansi terkait, surat-surat pembebasan

tanah, Pengecekan lapangan ulang ataupun data-data

sekunder yang telah dimiliki perusahaan.

8) Laporan Pimpinan Department ke Pimpinan Manajemen

Setelah klaim di koordinasikan dengan Departement terkait

(koordinasi internal) dan didapatkan data-data, maka dibuat

laporan yang lengkap dan disampaikan ke Pimpinan

Manajemen untuk membuat kebijakan Perusahaan.

9) Penyelesaian Kasus oleh Perusahaan

a) Penyelesaian langsung oleh perusahaan dilakukan

apabila suatu masalah tersebut masih memungkinkan

untuk dilakukan negosiasi dan sesuai dengan kebijakan

perusahaan untuk mencapai kesepakatan bersama;

92
b) Manajemen menetapkan External Relation Spt/ External

Officer untuk melakukan negosiasi. Negosiasi diadakan

setelah ada intruksi dari Manajemen mengenai

langkah/kebijakan sebagai bahan untuk negosiasi.

10) Penyelesaian kasus melalui Instansi terkait

a) Penyelesaian kasus melalui pihak Instansi terkait

dilakukan apabila kasus tidak memungkinkan untuk

diadakan negosiasi dan tidak terjadi kesepakatan

sehingga memerlukan pihak ketiga (pihak yang

mempunyai wewenang untuk masalah tersebut) sebagai

penengah;

b) Langkah-langkah yang dilakukan melaporkan masalah

tersebut dengan membawa bukti-bukti yang diperlukan

kepada Instansi terkait seperti: aparat pemerintahan,

Kepolisian, BPN, Bapedalda dll;

c) Pengajuan kepada Instansi terkait dilakukan oleh

External Relation Spt dengan persetujuan Manajemen;

d) Berperan aktif mengikuti sesuai dengan prosedur dari

instansi terkait tersebut.

11) Proses Hukum

a) Proses Hukum dilakukan oleh pihak Perusahaan apabila

penyelesaian kasus melalui pihak Instansi terkait tidak

menghasilkan kesepakatan/solusi yang diharapkan;

93
b) Proses Hukum diajukan oleh Perusahaan ke Instansi

Penegak Hukum seperti : Lawyer, Kepolisian, Kejaksaan

dan Pengadilan untuk dilakukan proses lebih lanjut

(Pidana/Perdata) mengenai permasalahan klaim tersebut.

12) Penutupan Kasus

a) Setelah penyelesaian kasus ditangani secara langsung

oleh tim External Officer sesuai dengan kebijakan

Perusahaan dengan warga yang bersangkutan melalui

proses negosiasi dan dinyatakan selesai/penyelesaian

melalui pihak Instansi terkait, maka inplementasi

penanganan klaim mengacu pada kesepakatan negosiasi

antara para pihak tersebut;

b) Tim External Officer segera membuat Laporan

Penyelesaian Kasus yang menyatakan bahwa kasus telah

selesai setelah hak dan kewajiban klaim dipenuhi oleh

para pihak.

b. Identifikasi masalah dan penilaian resiko

1) Pemetaan Wilayah dan Pengambilan Data-data

Tim External Officer melakukan pemetaan wilayah di seluruh

areal/daerah di dalam konsesi Pertambangan Perusahaan.

Wilayah pemetaan meliputi: Wilayah Port, jalan Hauling, Pit

Tambang, Disposal dan lainnya. Setelah dilakukan pemetaan

wilayah, maka segera dilakukan pengumpulan data-data

94
seperti: foto-foto, koordinat wilayah, peta dan lain-lain yang

berada di wilayah tersebut

2) Identifikasi, Klasifikasi Sumber Masalah dan Penilaian Resiko

yang akan timbul

Tim External Officer segera mengidentifikasi dan

mengklasifikasi sumber masalah sesuai pemetaan wilayah di

seluruh areal/daerah di dalam konsesi Pertambangan

Perusahaan dan melakukan penilaian resiko yang akan timbul

di wilayah tersebut. Identifikasi dan Klasifikasi tersebut

dijadikan laporan sebagai langkah awal dalam penanganan

3) Laporan Identifikasi Masalah dan Penilaian Resiko ke

Pimpinan Department

a) Setelah dilakukan Identifikasi dan Klasifikasi sumber

masalah dan penilaian resiko yang akan timbul maka

Tim External Officer segera melaporkan data Investigasi

tersebut kepada External Relation Spt agar dapat segera

dilakukan tindakan penyelesaian masalah sebelum

masalah tersebut menghambat/mengganggu kegiatan

operasi tambang;

b) External Relation Spt mengajukan Laporan ini kepada

Pimpinan Department untuk dilakukan langkah

koordinasi/intruksi dan tindakan penangganan

selanjutnya.

95
4) Distribusi Laporan kepada Department terkait

Dengan adanya Laporan Identifikasi Masalah tersebut dapat

segera didistribusikan dengan Department terkait dengan

melihat data-data yang ada untuk dilakukan tindak lanjut

penanganan dan pencegahan masalah tersebut.

5) Koordinasi dengan Department terkait

a) Pendistribusian laporan Identifikasi Masalah ditindak

lanjuti dengan melakukan koordinasi secara berkala

dengan Department terkait agar pelaksanaan laporan

Identifikasi Masalah tersebut ditangani sesuai dengan

arah yang diharapkan oleh Perusahaan dan untuk

meminimalisir terjadinya klaim dari pihak lain;

b) Dalam hal penanganan laporan Identifikasi Masalah oleh

Department terkait dilakukan sesuai dengan prosedur

yang ditetapkan oleh Perusahaan, maka permasalahan

tersebut dapat diselesaikan sehingga tidak terjadi hal-hal

yang menganggu aktifitas Perusahaan dikemudian hari;

c) Dalam hal penanganan laporan Identifikasi Masalah oleh

Department terkait tidak dilakukan sesuai dengan

prosedur yang ditetapkan oleh Perusahaan, maka

dimungkinkan terjadinya klaim yang melibatkan pihak

96
lain dan akan menjadikan permasalahan baru yang harus

diselesaikan oleh Perusahaan.

6) Terjadi Klaim

Saat terjadi klaim dari pihak lain, maka proses penanganan

dilakukan oleh Tim dari External Officer untuk segera

dilakukan pengecekan atas klaim tersebut sesuai dengan

prosedur penanganan kasus.

Instruksi Kerja merupakan instruksi standart yang harus dilakukan dan

dilaksanakan oleh External Officer dengan memperhatikan segala aspek

kebutuhan penanganan masalah seperti halnya persiapan data-data baik peta

lokasi, latar belakang permasalahan, alat-alat kerja termsuk perlengkapan

Alat Pelindung Diri (APD) dan kecakapan dalam berkomunikasi serta

berinteraksi sosial.

Selain Instruksi Kerja, Standart Operasional Prosedur merupakan

prosedur kerja yang dilakukan oleh External Officer dan dilaksanakan

sebagai tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang terjadi di area tambang perusahaan serta

meminimalisir permasalahan tersebut untuk menunjang kelancaran

operasional dan menjalin hubungan baik dengan seluruh stake holder dan

pemerintahan.

Dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawab, External

Officer melakukan koordinasi dengan devisi lain yang berhubungan dengan

permasalahan lahan masyarakat di wilayah tambang perusahaan, yaitu

97
devisi LandComp yang bertugas membebaskan lahan dengan harga seperti

yang dimintakan oleh planning dengan harga yang sesuai dari perusahaan,

dengan meminimalkan segala masalah. LandComp memiliki diagram kerja

yang dijabarkan melalui Standart Operasional Prosedur yang merupakan

tugas, wewenang dan tanggung jawab dari LandComp Officer, yaitu:

a. Inventarisasi Pemilik Tanah

1) Mencari informasi data kepemilikan tanah (dari masyarakat

sekitar ataupun dari instansi pemerintahan setempat);

2) Memastikan lokasi atas kepemilikan sesuai data yang ada

dengan benar, dengan melakukan pengecekan awal yang

menyertakan pemilik tanah, saksi-saksi batas, instansi

pemerintahan setempat.

b. Pengukuran Lokasi

1) Sebelum melakukan pengukuran tanah, memastikan bahwa

lokasi yang akan diukur/ dicek nanti telah disiapkan (di rintis)

oleh pemilik tanah, penyiapan tanah berupa perintisan tanah

yang sesuai dengan batas tanah, dan dipastikan bahwa rintisan

dapat dilalui untuk kegiatan pengukuran;

2) Pastikan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pengukuran

tanah sudah di hubungi (pemilik tanah/saksi-saksi batas/ketua

RT/ketua kelompok, dll);

98
3) Pemeriksaan dan pengecekan kelayakan alat-alat yang akan

dipakai dalam pengukuran (GPS/ Kompas/ Meteran/

Kendaraan);

4) Membuat berita acara pengukuran yang ditandatangani oleh

pihak-pihak yang hadir pada kegiatan pengukuran.

c. Input Data

1) Hasil pengukuran dari alat ukur dimasukkan dalam komputer

sehingga didapat peta ukuran tanah termasuk luasnya;

2) Memperlihatkan dan mengkonsultasi dengan atasan hasil dari

ukuran dilapangan/lokasi;

3) Gambar dan luasan hasil pengukuran dapat ditunjukkan/

diberikan kepada pemilik tanah, jika sudah di setujui dan

ditandatangani oleh atasan.

d. Negosiasi

1) Negosiasi dilakukan apabila pihak pemilik tanah dapat

menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang sesuai dengan

prosedur hukum yang berlaku;

2) Dalam melakukan negosiasi harus dengan pemiliknya

langsung/yang dikuasakan setelah gambar dan luasan disetujui

kedua belah pihak (penjual dan pembeli);

3) Perkembangan negosiasi selalu di laporkan dengan atasan

99
e. Pembayaran

1) Penerima pembayaran uang muka atau pembayaran pelunasan

harus orang yang namanya ada dalam surat tanah;

2) Penerima pembayaran dapat diwakilkan orang lain, namun

harus ada surat kuasa dari orang yang namanya ada di surat

tanah;

3) Pembayaran pelunasan dapat dilakukan jika surat tanah dan

surat pelepasan hak atas tanah sudah selesai ditandatangani

oleh pemilik tanah, saksi-saksi batas dan sudah disahkan oleh

aparat pemerintahan setempat;

4) Setiap pembayaran uang muka ataupun pembayaran pelunasan

harus disertai dengan kwitansi pembayaran bermaterai Rp.

6000,- dan didokumentasikan.

f. Dokumentasi Data

Tanah yang sudah di bayar harus diambil Sertifikat tanah atau Surat

pelepasan hak, kwitansi pembelian yang bermaterai.

Demikian penjelasan singkat mengenai tugas, wewenang dan tanggung

jawab sesuai dengan Standart Operasional Prosedur dari devisi-devisi yang

dibentuk berdasarkan tujuannya baik devisi External Officer sebagai

penyelesaian masalah pertambangan khususnya masalah lahan dan devisi

LandComp sebagai devisi pembebasan lahan demi kelancaran kegiatan

operasional perusahaan atas pembebasan lahan-lahan masyarakat (Diagram

SOP External Relation dan LandComp sebagai lampiran 1).

100
Penanganan permasalahan sengketa lahan di wilayah konsensi

pertambangan PT. Mahakam Sumber Jaya merupakan suatu tugas,

wewenang dan tanggung jawab dari devisi External Relation yang selalu

dihadapkan dengan aksi pemblokiran di wilayah konsensi tambang oleh

masyarakat serta menerima berbagai laporan baik langsung maupun tidak

langsung terkait problem lahan masyarakat yang berada di sekitar wilayah

konsensi tambang tersebut.

B. Permasalahan Lahan yang dihadapi oleh PT. Mahakam Sumber Jaya

Permasalahan yang dihadapi oleh PT. Mahakam Sumber Jaya atas

sengketa lahan yang terjadi secara terus menerus oleh masyarakat berupa

pemblokiran di wilayah konsensi tambang, dapat mempengaruhi dan

berakibat terhentinya kegiatan operasional tambang perusahaan. Hal ini

tentu merugikan dan menimbulkan permasalahan yang tidak akan

terselesaikan. Dari permasalahan yang sering dihadapi oleh PT. Mahakam

Sumber Jaya, dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori permasalahan, yaitu:

1) Permasalahan Lahan disebabkanKlaim Kepemilikan yang

Berakibat Terjadinya Tumpang Tindih Lahan

Sebelum melakukan aktivitas operasional tambang, pada umumnya

perusahaan tambang melakukan yang namanya kompensasi ganti kerugian

atas lahan-lahan produktif masyarakat yang berada di wilayah Izin Pinjam

Pakai Kawasan Hutan. Hal ini adalah bentuk tanggung jawab perusahaan

sesuai kewajibannya. Pemberian kompensasi ini diperuntukan bagi

masyarakat pemilik lahan yang memang benar memiliki lahan tersebut

101
dengan berdasarkan surat keterangan tanah. Dari surat tersebut itulah

perusahaan mau memberikan kompensasi ganti kerugian berupa sejumlah

uang sesuai dengan nilai kesepakatan para pihak, sehingga diharapkan

dengan adanya penggantian kerugian lahan bagi pemilik lahan sebenarnya

perusahaan dapat menjalankan kegiatan operasionalnya tanpa adanya

halangan apapun yang berakibat terjadinya sengketa lahan.

Kasus sengketa yang berujung pada tumpang tindih lahan merupakan

sengketa yang melibatkan beberapa orang atau kelompok tani di satu area

lahan. Sengketa tumpang tindih lahan adalah sengketa yang penanganannya

tidak mudah untuk dicari solusinya, karena masing-masing orang atau

kelompok tani merasa berhak atas lahan termasuk atas ganti kerugian yang

harus dibayarkan oleh pihak perusahaan. Masing-masing orang atau

kelompok tani memiliki bukti-bukti kepemilikan lahan ditambah lagi dari

pihak perusahaan telah melakukan pembebasan lahan-lahan tersebut dengan

bukti Surat Pernyataan Pelepasan Hak yang dikeluarkan oleh pemilik lahan

dan pihak kepala desa/kelurahan maupun kecamatan. Pembuktian siapa

sebenarnya yang berhak atas lahan tersebut tidaklah mudah, bahkan saat

dilakukan beberapa kali mediasi baik secara internal maupun melalui

koordinasi dengan aparat kepolisian, pemerintah daerah maupun DPRD

selalu mengalami jalan buntu, tidak ada solusi yang benar-benar dapat

memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Data-data yang dimiliki PT.

Mahakam Sumber Jaya terkait adanya tumpang tindih lahan yang terjadi di

wilayah konsensi tambang perusahaan adalah data-data yang melibatkan

102
beberapa kelompok tani yang mengklaim memiliki hak atas lahan yang

berada di area tambang, sedangkan pihak PT. Mahakam Sumber Jaya dapat

mengerjakan produksi tambang di area tersebut selain memiliki Izin Pinjam

Pakai Kawasan Hutan dari menteri kehutanan dan PKP2B dari menteri

ESDM, telah melakukan pembebasan lahan dan telah mengganti rugi

kepada pemilik lahan sebelumnya. Permasalahan akan semakin terlihat saat

beberapa kelompok tani menunjukan patok-patok batas lahannya, yang

dilakukan bersama-sama pihak perusahaan dan menghasilkan gambaran

peta titik koordinat yang saling tumpang tindih.

Pada kasus sengketa lahan yang berakibat terjadinya tumpang tindih

lahan, dimana beberapa lokasi lahan milik kelompok tani yang pada

kenyataannya berada di wilayah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan area

tambang perusahaan didasarkan pada Surat keterangan tanah yang dimiliki

oleh kelompok tani tersebut dan ii). Penunjukan titik lokasi patok batas

lahan. Tentunya dengan begitu banyaknya klaim lahan dari kelompok tani

yang merasa memiliki lahan tersebut, pihak PT. Mahakam Sumber Jaya

harus dapat membuktikan secara legalitas surat keterangan tanah yang telah

dibebaskan kepada pemilik sebelumnya.

Pihak perusahaan tentu akan mengalami kesulitan dalam membuktikan

hal tersebut, dikarenakan: i). Surat-surat keterangan tanah memiliki jangka

waktu kepemilikan, ii). Pemilik sebelumnya yang tidak diketahui

keberadaannya dan iii). Adanya Suat Pernyataan Pelepasan Hak yang

dikeluarkan oleh pemilik lahan garap sebelumnya di kawasan kehutanan

103
yang tidak dibenarkan untuk dimiliki oleh sebuah perusahaan melalui salah

satu pegawainya dengan diperoleh melalui proses pembebasan lahan, serta

peruntukan dari lahan-lahan tersebut oleh perusahaan tidak untuk dikelola

sebagai lahan garap sesuai apa yang tertulis dan dijelaskan di dalam surat

keterangan tanah tersebut. Yang dapat dibuktikan secara legalitas oleh

perusahaan adalah berupa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan PKP2B

yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Meskipun begitu, kenyataan dari kepemilikan lahan yang berdasarkan

pada surat-surat keterangan tanah yang dapat dengan mudahnya dikeluarkan

oleh pemerintah desa baik kelurahan maupun kecamatan dan diakui sebagai

surat hak milik atas tanah serta diperjualbelikan adalah suatu praktek

pencaloan lahan di kawasan hutan yang dilakukan oleh oknum-oknum

spekulan yang memanfaatkan keberadaan perusahaan-perusahaan tambang

untuk memperoleh keuntungan. Praktek-praktek ilegal ini yang pada

akhirnya dapat menimbulkan sengketa-sengketa lahan oleh pemilik hak atas

lahan garap yang sebenarnya.

Data tumpang tindih lahan yang terjadi di dalam wilayah konsensi

tambang PT. Mahakam Sumber Jaya dengan kelompok tani berada di 2

area konsensi tambang, diantaranya:

a. Di area Pit M3-34 dengan KT Mekar Indah dan KT Maruk Tupuh,

serta

b. Di area blok E dengan KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”.

104
Kronologis pembebasan lahan KT Mekar Indah di area Pit M3-34

dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Kronologis kasus KT Mekar Indah (Jamri)

Pembebasan/kompensasi KT Mekar Indah telah dilakukan mulai

tahun 2005, dengan bertahap beberapa blok (terdapat 10 blok

pembebasan/kompensasi) melalui pak Jamri, diantaranya:

1) Pembebasan/kompensasi blok I:

Pembebasan/kompensasi seluas 102 Ha sebanyak 51 surat,

dengan bukti kwitansi tanggal 9 Maret 2005 dan pelepasan hak

tanggal 8 Maret 2005. Pelepasan hak disaksikan/mengetahui

ketua lapangan pak Jamri dan kepala desa Separi;

2) Pembebasan/kompensasi blok II:

Pembebasan/kompensasi seluas 39 Ha sebanyak 13 surat,

dengan bukti kwitansi tanggal 8 Maret 2005 dan pelepasan hak

tanggal 8 Maret 2005. Pelepasan hak disaksikan/mengetahui

ketua lapangan pak Jamri dan kepala desa Separi;

3) Pembebasan/kompensasi blok III:

Pembebasan/kompensasi seluas 68 Ha sebanyak 33 surat,

dengan bukti kwitansi tanggal 28 Maret 2005 dan pelepasan

hak tanggal 28 Maret 2005. Pelepasan hak

disaksikan/mengetahui ketua lapangan pak Jamri dan kepala

desa Separi;

105
4) Pembebasan/kompensasi blok IV:

Pembebasan/kompensasi seluas 90 Ha sebanyak 35 surat,

dengan bukti kwitansi tanggal 28 Maret 2005 dan pelepasan

hak tanggal 28 Maret 2005. Pelepasan hak

disaksikan/mengetahui ketua lapangan pak Jamri dan kepala

desa Separi, (lokasi di dalam rencana Pit M3-34);

5) Pembebasan/kompensasi blok V: terdapat 3 kelompok luas

total 202 Ha, yaitu:

a) Kelompok I: Pembebasan/kompensasi seluas 66 Ha

sebanyak 33 surat, dengan bukti kwitansi tanggal 18

April 2005 dan pelepasan hak tanggal 18 April 2005.

Pelepasan hak disaksikan/mengetahui ketua lapangan

pak Jamri dan kepala desa Separi;

b) Kelompok II: Pembebasan/kompensasi seluas 78 Ha

sebanyak 30 surat, dengan bukti kwitansi tanggal 18

April 2005 dan pelepasan hak tanggal 18 April 2005.

Pelepasan hak disaksikan/mengetahui ketua lapangan

pak Jamri dan kepala desa Separi;

c) Kelompok III: Pembebasan/kompensasi seluas 58 Ha

sebanyak 26 surat, dengan bukti kwitansi tanggal 18

April 2005 dan pelepasan hak tanggal 18 April 2005.

Pelepasan hak disaksikan/mengetahui ketua lapangan

pak Jamri dan kepala desa Separi;

106
6) Pembebasan/kompensasi blok VI:

Pembebasan/kompensasi seluas 112 Ha sebanyak 55 surat,

dengan bukti kwitansi tanggal 9 Mei 2005 dan pelepasan hak

tanggal 9 Mei 2005. Pelepasan hak disaksikan/mengetahui

ketua lapangan pak Jamri dan kepala desa Separi (lokasi di

dalam rencana Pit M3-34);

7) Pembebasan/kompensasi blok VII:

Pembebasan/kompensasi seluas 130 Ha sebanyak 57 surat,

dengan bukti kwitansi tanggal 9 Mei 2005 dan pelepasan hak

tanggal 9 Mei 2005. Pelepasan hak disaksikan/mengetahui

ketua lapangan pak Jamri dan kepala desa Separi;

8) Pembebasan/kompensasi blok VIII:

Pembebasan/kompensasi seluas 89 Ha sebanyak 35 surat,

dengan bukti kwitansi tanggal 28 Maret 2005 dan pelepasan

hak tanggal 28 Maret 2005. Pelepasan hak

disaksikan/mengetahui ketua lapangan pak Jamri dan kepala

desa Separi;

9) Pembebasan/kompensasi blok IX:

Pembebasan/kompensasi seluas 126 Ha sebanyak 56 surat,

dengan bukti kwitansi dan pelepasan hak.Pelepasan hak

disaksikan/mengetahui ketua lapangan pak Jamri dan kepala

desa Separi (lokasi rencana Pit M3-34).

107
10) Pembebasan/kompensasi blok Subadi:

Pembebasan/kompensasi seluas 408 Ha sebanyak 199 surat,

dengan bukti kwitansi tanggal 18 Juni 2005 dan pelepasan hak

tanggal 19 Agustus 2005 proses surat menyurat sampai

kecamatan Tenggarong Seberang.

Pembebasan/kompensasi terhenti dikarenakan:

1) Masalah tumpang tindih dengan kelompok lain (KT Dayak

Jaya, KT Floresco, KT Lele, KT Manunggal Bersama, KT

Tunas Harapan). Masalah ini dapat diselesaikan dengan adanya

berita acara tanggal 2 April 2005 yang isinya KT Mekar Indah

memberikan tanah seluas 500 Ha kepada 5 kelompok tani

yaitu: KT Dayak Jaya, KT Floresco, KT Lele, KT Manunggal

Bersama, KT Tunas Harapan, serta adanya surat rekomendasi

dari Kecamatan Tenggarong Seberang Nomor

100/228/64.02.33/IV/2005 pada tanggal 11 April 2005 (Berita

Acara dan Surat Rekomendasi sebagai lampiran 2);

2) Terpecahnya KT Mekar Indah, yaitu KT Mekar Indah

pimpinan Jamri dan KT Mekar Indah pimpinan Landoi (Jamri

akhirnya membentuk kelompok tani baru yang bernama KT

Setia Kawan dan KT Mekar Indah diserahkan kepada

Oktavianus);

3) Terjadi tumpang tindih dengan KT RT 13 dan RT 14 desa

Bukit Pariaman (Maranu, Bukit Biru, KT 24 dan lain-lain).

108
Selain itu juga terdapat tumpang tindih dengan KT Desa Separi

(KT Beringin Jaya, KT Rukun Warga).

Pada tanggal 23 Desember 2009 melalui surat pernyataan, Jamri

memberikan lahan kepada Oktavianus seluas 94 Ha (Surat

Pernyataan sebagai lampiran 3).

b. Kronologis kasus Mekar Indah (Landoi)

1) Pada tanggal 1 Desember 2009 PT. Mahakam Sumber Jaya

menerima surat somasi dari Komando Pertahanan Adat Dayak

Kalimantan (KPADK) tertanggal 28 Nopember 2009 yang

isinya adalah KPADK mendapat kuasa dari KT Mekar Indah

dan menuntut atas lahan KT Mekar Indah seluas 2.768 Ha dan

memberi waktu 5 hari kepada PT. Mahakam Sumber Jaya

untuk menyelesaikan dan apabila belum ada titik temu, maka

semua kegiatan PT. Mahakam Sumber Jaya akan dihentikan;

2) Pada tanggal 5 Desember 2009 PT. Mahakam Sumber Jaya

mendapat surat somasi dari KPADK yang isinya rincian

tuntutan. Didalam surat somasi dijelaskan bahwa tuntutan

dibagi menjadi 2, yaitu tuntutan lahan sebesar 2.494 Ha×Rp.

150.000.000,- = Rp. 374.100.000.000,- dan tuntutan pondok

dan tanaman sebesar Rp. 3.484.400.000,-;

3) Pada tanggal 3 Desember 2009, PT. Mahakam Sumber Jaya

membuat surat jawaban yang dikirim pada tanggal 5 Desember

2009 kepada KPADK;

109
4) Pada tanggal 7 Desember 2009 PT. Mahakam Sumber Jaya

mendapat surat jawaban yang isinya KT Mekar Indah merevisi

tuntutan dari 2.768 Ha menjadi 2.418 Ha karena KT Landoi

telah membebaskan 350 Ha. Pihak kelompok tani tidak

mengakui pembebasan karena tidak diketahui oleh ketua

kelompok. Kami juga menerima tembusan surat KPADK

kepada Kapolsek Tenggarong Seberang yang isinya KPADK

akan menghentikan semua kegiatan PT. Mahakam Sumber

Jaya pada hari Rabu, tanggal 9 Desember 2009;

5) Belum berakhir masalah penyelesaian kelompok tani diatas,

sekarang muncul lagi KT Maruk Tupuh yang membuat pondok

dan menanam di area Pit M3-34.

Berikut beberapa gambar peta pembebasan lahan milik PT. Mahakam

Sumber Jaya dan peta klaim lahan oleh kelompok tani di wilayah Izin

Pinjam Pakai Kawasan Kehutanan dan area konsensi tambang PT.

Mahakam Sumber Jaya:

Peta Pembebasan PT. Mahakam Sumber Jaya

110
Peta Pembebasan PT. Mahakam Sumber Jaya per kapling

Peta Lokasi Klaim Unit Oktavianus (KT Mekar Indah)

111
Peta Lokasi Klaim KT Dayak Jaya

Peta Lokasi Klaim per Kelompok Tani

112
Peta Lokasi Klaim per Kelompok Tani

Peta Lokasi Klaim per Kelompok Tani

113
Peta Lokasi Tumpang Tindih Lahan di area Pit M3-34 PT. Mahakam Sumber Jaya

114
Dari contoh kasus sengketa lahan yang berakibat terjadinya tumpang

tindih lahan diatas, beberapa lokasi lahan milik kelompok tani yang pada

kenyataannya berada di wilayah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan area

tambang perusahaan, yang didasarkan hanya pada surat keterangan tanah

yang dimiliki oleh kelompok tani tersebut dan dengan menunjukan titik

lokasi patok batas lahan.

Berdasarkan data dari PT. Mahakam Sumber Jaya, kegiatan eksplorasi

tambang perusahaan di blok E juga menghadapi masalah yang sama, seperti

yang diuraikan sebagai berikut:

a. Kronologis Tumpang Tindih Lahan di Blok E Desa Sebuntal

Kecamatan Marangkayu

PT Mahakam Sumber Jaya merupakan perusahaan bergerak dalam

bidang pertambangan Batubara, dalam melakukan operasionalnya

memiliki dasar hukum sesuai dengan Peraturan Perundang-

undangan.

Perlu diketahui pula, PT Mahakam Sumber Jaya telah melakukan

kompensasi lahan dan tanam tumbuh kepada kelompok tani

ataupun perorangan di Blok E Desa Sebuntal dimana dalam

melakukan kompensasi ini melibatkan pemerintah setempat, mulai

dari RT, kepala desa, camat bahkan pihak Polsek serta

Danposramil, sebagai berikut:

115
1) Kompensasi ke kelompok Gembira.

Kompensasi ke kelompok gembira dengan luasan 74 Hektar

dilakukan oleh PT Mahakam Sumber Jaya pada tanggal 5

Oktober 2007 dibuktikan dengan tanggal di kwitansi

pembayaran dan adanya pelepasan hak yang diketahui oleh

kecamatan. Surat tanah kelompok gembira diketahui sampai

tingkat kecamatan, ini dibuktikan dengan adanya surat tanah

yang keluar dari kecamatan dan ditanda tangani camat pada

saat itu Bpk Drs Tajuddin Noor S pada tanggal 20 November

2001. Kompensasi diketahui sampai tingkat Kecamatan

dibuktikan dengan adanya surat pelepasan hak yang ditanda-

tangani oleh camat pada saat itu Ibu Dra HJ Yuni Astuti.

Contoh anggota dari kelompok gembira adalah Ir Rohana,

Syahruddin dan Hermawan.

2) Kompensasi ke M Rusdi dan Rustam

Kompensasi ke M Rusdi dan Rustam dengan luasan 10 Hektar

dilakukan oleh PT Mahakam Sumber Jaya pada tanggal 13

Agustus 2008 di buktikan dengan tanggal di kwitansi

pembayaran dan adanya pelepasan hak yang diketahui oleh

kecamatan juga. Surat tanah M Rusdi dan Rustam diketahui

sampai tingkat kecamatan, ini dibuktikan dengan adanya surat

yang keluar dari kecamatan dan ditanda-tangani camat pada

saat itu Ibu Dra Hj Yuni Astuti. Sebelum dilakukan

116
pembayaran juga dilakukan pengecekan lahan oleh pihak

kecamatan, desa, RT dan perusahaan, ini dibuktikan dengan

adanya berita acara pengecekan tanah perwatasan tanggal 11

Januari 2008.

3) Kompensasi ke Kelompok Hermawan

Kompensasi ke kelompok Hermawan dengan luasan 12 Hektar

dilakukan oleh PT Mahakam Sumber Jaya pada tanggal 5

Oktober 2007 dibuktikan dengan tanggal di kwitansi

pembayaran dan adanya pelepasan hak yang diketahui oleh

kecamatan. Surat tanah kelompok Hermawan diketahui sampai

tingkat kecamatan dan ditanda-tangani camat pada saat itu Ibu

Dra H Astuti MM. Kompensasi diketahui sampai tingkat

kecamatan dibuktikan dengan adanya surat pelepasan hak yang

diketahui oleh kecamatan. Contoh nama anggota dari

kelompok hermawan adalah hermawan, Asmah dan kattu.

4) Kompensasi ke kelompok Mulli, Manahau dan H Masumi

Kompensasi ke kelompok Mulli, Manahau dan H Masumi

dengan luasan 300 Hektar dilakukan oleh PT Mahakam

Sumber Jaya pada tanggal 30 Juni 2007 dibuktikan dengan

tanggal di kwitansi pembayaran dan adanya pelepasan hak

yang diketahui oleh kecamatan. Surat tanah kelompok Mulli,

Manahau dan H Masumi diketahui sampai tingkat kecamatan,

ini dibuktikan dengan adanya surat tanah yang keluar dari

117
kecamatan dan ditanda tangani camat pada saat itu Ibu Dra Hj

Yuni Astuti. Kompensasi diketahui sampai tingkat Kecamatan

dibuktikan dengan adanya surat pelepasan hak yang ditanda-

tangani oleh camat pada saat itu Ibu Dra HJ Yuni Astuti.

5) Kompensasi ke Muklis

Kompensasi ke Muklis dengan luasan 35 Hektar dilakukan

oleh PT Mahakam Sumber Jaya pada tanggal 14 Juli 2009

dibuktikan dengan tanggal di kwitansi pembayaran dan adanya

pelepasan hak. Surat tanah ditanda-tangani oleh Pjs. Kepala

Desa Sebuntal Bapak Andi Charmah, ketua RT 028 dan saksi

batas.

Pada saat ini PT. Mahakam Sumber Jaya dalam melakukan

kegiatan penambangan di Blok E Desa Sebuntal Kecamatan

Marangkayu mengalami kendala seperti masih adanya klaim dari

kelompok tani dan anggota masyarakat lainnya yang saling

tumpang tindih. Kurang lebih ada 8 Kelompok Tani ataupun

perorangan yang mengklaim lahan di Blok E yaitu sebagai berikut:

1) KT Legiun Veteran “Fajar Harapan” versi Abdul Wahab

mengklaim seluas 785 Hektar;

2) KT Legiun Veteran “Fajar Harapan” versi Sirajudin

mengklaim seluas 216 Hektar;

3) KT Legiun Veteran “Fajar Harapan” versi Ibat (belum pernah

diukur);

118
4) KT Semoga Jaya mengklaim seluas 806 Hektar;

5) KT Olah Bebaya Wadah Etam (OBWE) mengklaim seluas

3.217 Hektar;

6) Grand Sultan mengklaim hampir seluruh kecamatan

Marangkayu sebagai tanah kesultanan ( 9.000 Hektar);

7) KT Pelita Makmur, belum pernah diukur secara spesifik akan

tetapi mereka sekarang sering melakukan penutupan tambang.

Kelompok tani ini diketuai oleh Sultan Haruna, akan tetapi

anggota KT Pelita Makmur sering melakukan penutupan

secara individu.

Diluar kelompok tani diatas masih ada nama-nama individu

ataupun perorangan dimana mereka mengurus sendiri

permasalahan mereka dan mengklaim memiliki lahan diblok E

Desa Sebuntal seperti: Andi Aziz, Datuk, Mulli, Manahau, Ase,

Anis Palungan, Bahar, Basri, Dwi, Erni, Salman dan tidak menutup

kemungkinan akan muncul nama-nama lain.

Dalam kasus sengketa tumpang tindih lahan di blok E PT. Mahakam

Sumber Jaya, khususnya klaim lahan dan keberadaan dari KT Legiun

Veteran “Fajar Harapan”, atas kronologis kejadian berdasarkan surat-surat

dari KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”, agar dapat diketahui pokok

permasalahan yang sebenarnya bagi perusahaan dalam mengambil

keputusan, yaitu:

119
Berdasarkan atas Surat-surat kepemilikan lahan milik KT Legiun

Veteran “Fajar Harapan” dan telah dilakukan telaah secara yuridis, maka

dalam hal-hal yang tersebutkan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara yang mewajibkan suatu Badan Hukum

memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Wilayah Izin Usaha

Pertambangan (WIUP), juga mempertimbangkan kewenangan dari

UU lainnya dalam hal Penguasaan wilayah tambang yaitu UU No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah yang mengatur Perizinan

Pemakaian lahan Kawasan Hutan Produksi atas izin dari Menteri

Kehutanan dimana dalam UU tersebut jelas diterangkan

mekanisme perizinan pemakaian Kawasan Hutan Produksi dan

perizinan hak atas Penguasaan lahan Kawasan Hutan Produksi

milik Negara Republik Indonesia yang pertanggung jawabannya

diserahkan kepada Departemen Kehutanan;

b. Keberadaan suatu tanah dan atau lahan tidak terlepas dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu UU No. 5 tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada bagian II

(tentang Pendaftaran Tanah) pasal 19 ayat (1-4), bagian III (tentang

Hak Milik) pasal 20-27, dan bagian VIII (tentang Hak Membuka

Tanah dan Memungut hasil Hutan) pasal 46 ayat (1) dan (2) dengan

bertujuan memberikan kepastian hukum, maka pendaftaran itu

diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan

120
maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu.

Sedangkan Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh

wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat

"rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian

hukum;

c. Dengan meninjau Surat Bupati Kepala Daerah tingkat II Kutai

Kartanegara No. 460/029/TT.Pem-C/I/1995 tanggal 12 Januari

1995 perihal “Lokasi penampungan perambah hutan Taman

Nasional Kutai” (bukan merupakan surat dari BPN sesuai

keterangan dari Surat kepemilikan tanah KT Legiun Veteran “Fajar

Harapan”) perlu untuk diterangkan bahwa surat tersebut pada

prinsipnya adalah surat persetujuan dan memberikan Rekomendasi

untuk melakukan kegiatan Pemetaan Tata Guna Tanah Detail

terhadap calon lokasi penampungan penggarap liar Taman

Nasional Kutai;

d. Dasar kepemilikan tanah dari KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”

yang mengacu pada Surat Bupati Kepala Daerah tingkat II Kutai

Kartanegara No. 590/429/TIB.B/I/1995 tanggal 13 Januari 1995,

perlu untuk dikaji kembali, mengingat inti materi dari surat tersebut

adalah sebagai berikut:

1) Lokasi yang dimohon untuk kegiatan KT Legiun Veteran

“Fajar Harapan” di Km.24-Km.33 jalan Bontang Samarinda

termasuk dalam lokasi pengembangan pola PIR lokal

121
kerjasama Pemerintah Daerah Tk II Kutai dengan PT. Pupuk

Kaltim (persero), yang lokasinya sudah mendapat persetujuan

dari bapak Gubernur Daerah Tk I Kalimantan Timur;

2) Pemerintah Kabupaten Dati II Kutai pada prinsipnya

mendukung keberadaan KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”,

untuk itu KT Legiun Veteran “Fajar Harapan” yang sudah

melakukan kegiatan di lapangan atau yang betul-betul sebagai

petani akan diupayakan diikutsertakan sebagai peserta

pengembangan perkebunan pola PIR lokal kerjasama

Pemerintah Daerah Tk II Kutai dengan PT. Pupuk Kaltim

(persero);

3) Ketentuan yang berkaitan dengan keikutsertaan anggota KT

Legiun Veteran “Fajar Harapan” dalam pengembangan

perkebunan pola PIR lokal kerjasama Pemda Tk II Kutai

dengan PT. Pupuk Kaltim (persero) sebagaimana pada point 2

diatas akan diatur kemudian.

e. Merujuk pada surat Bupati Kepala Daerah tingkat II Kutai

Kartanegara No. 590/519/TIB.C/VI/1995 tanggal 27 Juni 1995

perihal “Kegiatan KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”

membuka/menggarap areal perkebunan sengon di Kecamatan

Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara” yang mempertegas

kembali surat Bupati Kepala Daerah tingkat II Kutai Kartanegara

No. 590/429/TIB.B/I/1995 tanggal 13 Januari 1995 perihal

122
“Kegiatan KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”

membuka/menggarap areal perkebunan sengon di Kecamatan

Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara”;

Sehingga dari uraian pada point 3, 4 dan 5 jelas Surat Bupati

Kepala Daerah tingkat II Kutai Kartanegara No.

590/429/TIB.B/I/1995 tanggal 13 Januari 1995 tidak dapat

dijadikan dasar kepemilikan lahan atau dapat diartikan sebagai

surat penunjukan untuk menempati Tanah Negara dikarenakan

dasar yuridis Undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan

tanah adalah UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria yang diatur dalam bagian II (tentang Pendaftaran

Tanah) pasal 19 ayat (1-4), bagian III (tentang Hak Milik) pasal 20-

27, dan bagian VIII (tentang Hak Membuka Tanah dan Memungut

hasil Hutan) pasal 46 ayat (1) dan (2).

Mengenai isi materi dari surat kepemilikan lahan KT Legiun

Veteran “Fajar Harapan” terdapat ketidaklengkapan data-data

sebagaimana layaknya surat kepemilikan lahan yang lainnya,

sehingga untuk dijadikan dasar atas kepemilikan lahan tidak kuat

secara Hukum.

f. Perlu juga dijelaskan secara terpadu kronologis klaim oleh

beberapa orang yang mengaku sebagai kuasa dari KT

LegiunVeteran “Fajar Harapan”, sebagai berikut:

123
1) Permasalahan yang terjadi di Internal KT Legiun Veteran

”Fajar Harapan” adalah masalah kedudukan atas kewenangan

dan tanggung jawab KT Legiun Veteran ”Fajar Harapan”,

sehingga pada kenyataannya ada beberapa pihak baik secara

perorangan maupun mengatasnamakan Organisasi Veteran

mengaku-ngaku sebagai Kuasa dari KT Legiun Veteran ”Fajar

Harapan” dengan bukti lampiran surat-surat baik surat Kuasa

maupun surat keterangan dari Organisasi Veteran dan KT

tersebut;

2) Atas surat dari Markas Daerah Legiun Veteran Republik

Indonesia Propinsi Kalimantan timur No.

13/MDLV_KALTIM/IV/2008 perihal Pelimpahan pengurusan

KT Legiun Veteran “Fajar Harapan” dan lokasinya di Gng.

Menangis Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai

Kartanegara tertanggal 10 April 2008 dimana wewenang

tanggung jawab diserahkan kepada PUSKOVERI Propinsi

Kalimantan Timur, dan atas surat dari PUSKOVERI Propinsi

Kalimantan Timur No. 10/PUSKOV.KT/I/2009 perihal lahan

KT Legiun Veteran “Fajar Harapan” Gng. Menangis,

Kecamatan Marangkayu tertanggal 9 Januari 2009 menunjuk

Sdr Ibat sebagai Penanggung jawab/Ketua Umum KT Legiun

Veteran “Fajar Harapan”, sehingga hak dalam memegang

jabatan Ketua Umum diserahkan kepada Sdr Ibat bukan

124
kepada Sdr. Siradjoedin Yahya, BA (berdasarkan surat dari

Surat DPC LVRI Kab. Kutai Kartanegara No.

48/MCLV/KK/V-08 perihal posisi Sdr Siradjoedin Yahya, BA

terkait kapasitasnya dalam kepengurusan KT Legiun Veteran

“Fajar Harapan” lokasi Gng. Menangis, Kecamatan

Marangkayu tanggal 29 Mei 2008, Surat H. Hamzah selaku

Ketua/Pembina KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”

Kecamatan Marangkayu No. 17/KT Veteran FH/VIII/2002

tentang Pelimpahan Kuasa tanggal 28 Agustus 2002 dan Surat

H. Abdul Wahab tentang Pelimpahan Kuasa Sdr. Siradjoedin

Yahya, BA tanggal 12 Maret 2009);

3) H. Hamzah (sesuai dengan surat dari PUSKOVERI tentang

Kronologis Proses Administrasi dan Kegiatan Lapangan KT

Legiun Veteran “Fajar Harapan” tanggal 12 September 2008)

pada tanggal 1 September 1997 memberikan Kuasa kepada

sdr. Ibat dan mencabut Kuasa a/n H. Abdul Wahab dan Ali

Zaenal Abidin tanggal 12 September 2005 serta atas surat dari

PUSKOVERI Propinsi Kalimantan Timur No.

10/PUSKOV.KT/I/2009 perihal lahan KT Legiun Veteran

“Fajar Harapan” Gng. Menangis, Kecamatan Marangkayu

tertanggal 9 Januari 2009 (menindaklanjuti surat dari Markas

Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia Propinsi

Kalimantan Timur No. 13/MDLV_KALTIM/IV/2008 perihal

125
Pelimpahan pengurusan KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”

dan lokasinya di Gng. Menangis Kecamatan Marangkayu,

Kabupaten Kutai Kartanegara (pelimpahan kewenangan

diberikan kepada PUSKOVERI Propinsi Kalimantan Timur

tertanggal 10 April 2008)), sehingga sampai dengan tanggal 9

Januari 2009 Sdr. Ibat masih memegang tanggung jawab

sebagai Ketua Umum KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”

tetapi menurut surat dari Sdr. Siradjoedin Yahya, BA yaitu

surat Kuasa dari H. Hamzah tanggal 28 Agustus 2002, surat

pencabutan Kuasa a/n Sdr. Ibat tanggal 5 Oktober 2001

(menerangkan mencabut surat Kuasa tanggal 8 Agustus 1996

a/n Sdr. Ibat) dan surat Kuasa dari H. Abdul Wahab tanggal 12

Maret 2009, terdapat kejanggalan diantaranya:

a) Tanggal surat Kuasa a/n Sdr. Ibat versi Sdr. Siradjoedin

Yahya, BA tidak sesuai dengan tanggal surat yang

diberikan langsung H. Hamzah kepada Sdr Ibat;

b) Kewenangan H. Abdul Wahab untuk memberi Kuasa

kepada Sdr. Siradjoedin Yahya, BA untuk mengurusi

kepengurusan Internal KT Legiun Veteran “Fajar

Harapan”;

c) Surat dari DPC LVRI Kab. Kukar No.

49/MCLV/KK/3/VI/2008 tanggal 3 Juni 2008 dimana

salah satu poin menyebutkan:

126
Untuk kepentingan penambangan Batubara sesuai

ketentuan yang berlaku ditangani/ditertibkan oleh

Pengurus PUSKOVERI Propinsi Kalimantan Timur;

Pihak manapun baik secara perorangan maupun

mengatasnamakan Organisasi Veteran untuk

mengurus lokasi KT Legiun Veteran“Fajar Harapan”

tersebut kepada PT. Mahakam Sumber Jaya baru

kami benarkan jika sudah mendapat

rekomendasi/surat pengantar dari Pengurus

PUSKOVERI tersebut diatas.

d) Pada tanggal 29 Mei 2008 DPC LVRI Kabupaten Kutai

Kartanegara mengeluarkan surat No. 48/MCLV/KK/V-

08 perihal posisi Sdr Siradjoedin Yahya, BA terkait

kapasitasnya dalam kepengurusan KT Legiun Veteran

“Fajar Harapan” lokasi Gng. Menangis, Kecamatan

Marangkayu, sehingga dipertanyakan kapasitas

kewenangan DPC LVRI Kabupaten Kutai Kartanegara

untuk turut serta dalam urusan lokasi KT Legiun Veteran

“Fajar Harapan”;

4) Berdasarkan Berita Acara Rapat antara Muspika Marangkayu

dengan KT Legiun Veteran “Fajar Harapan” tanggal 30 Juli

2007 telah dilaksanakan Musyawarah dengan menghasilkan

point-point kesepakatan, tetapi apakah point-point tersebut

127
sudah dilaksanakan dan dijalankan sampai dengan sekarang,

untuk mendapatkan jalan keluarnya mengenai permasalahan

Internal KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”;

5) Sampai dengan sekarang permasalahan Internal KT Legiun

Veteran “Fajar Harapan” belum ada titik terang sehingga tidak

ada kejelasan atas kewenangan kepengurusan KT Legiun

Veteran “Fajar Harapan”, maka dalam hal ini merujuk kepada

kewenangan atas keberadaan KT Legiun Veteran “Fajar

Harapan” dan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku yang mengatur secara yuridis keberadaan KT

Legiun Veteran “Fajar Harapan” yaitu UU No. 7 Tahun 1967

tentang Legiun Veteran Republik Indonesia serta Keppres No.

14 Tahun 2007 tentang Pengesahan AD/ART Legiun Veteran

Republik Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa

kewenangan Internal KT Legiun Veteran “Fajar Harapan”

diserahkan kepada Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Legiun

Veteran Republik Indonesia Propinsi Kalimantan Timur yang

diharapkan dapat memberikan keputusan Internal KT Legiun

Veteran “Fajar Harapan”.

Dari apa yang tejadi atas kasus sengketa lahan di area konsensi tambang

yang berada di kawasan kehutanan dengan mendirikan sebuah kelompok

tani dan menguasai puluhan bahkan ratusan hektar lahan di kawasan hutan

128
untuk keperluan komersial dengan memanfaatkan keadaan di kawasan

kehutanan yang diketahui memiliki sumber daya alam misalnya batubara.

Dengan berdirinya kelompok tani dengan maksud untuk menguasai

lahan yang didasarkan pada surat keterangan tanah yang dibuat dan

diedarkan oleh pemerintah desa/lurah atau camat, yang seharusnya

diperuntukan sebagai lahan garap, tetapi oleh masyarakat baik secara

individu maupun kelompok tani menjual lahan-lahan garap tersebut tanpa

melakukan dan mengelola lahangarap sama sekali.

Tanaman-tanaman yang berada di lahan-lahan penguasaan masyarakat

kelompok tani merupakan tanaman-tanaman hasil dari hutan itu sendiri dan

bukan tanaman-tanaman hasil dari penggarapan dan pengelolaan

masyarakat. Satu kelompok tani yang memiliki lahan puluhan bahkan

ratusan hektar, dapat dengan mudah menunjukan letak luasan dan batas

patok lahan untuk dapat diambil titik koordinat oleh pihak perusahaan,

sehingga memunculkansebuah skenario dari para spekulan tanah yang telah

berlangsung cukup lama untuk menguasai lahan-lahan kosong, lahan-lahan

yang ditinggal oleh pemiliknya tanpa melakukan aktivitas penggarapan

diatas lahan tersebut, serta tidak memperdulikan peraturan yang berlaku

yang mengakibatkan tidak berfungsinya hukum untuk menindak para pelaku

spekulan tersebut.

2. Permasalahan lahan disebabkan Kompensasi Pembebasan Lahan.

Sebelum melakukan kegiatan operasional, perusahaan selain memiliki

izin eksplorasi maupun eksploitasi, juga melakukan kewajiban atas

129
masyarakat yang melakukan aktivitas penggarapan lahan dengan

memberikan ganti kerugian berupa kompensasi. Kompensasi yang diberikan

oleh PT. Mahakam Sumber Jaya dilakukan dengan cara pembebasan lahan

di area yang masuk dalam rencana kegiatan operasional terhadap pemilik

lahan yang mengakui dan mengklaim adalah pemilik lahan tersebut. Saat

sudah dilakukan pembebasan lahan dan pengerjaan operasional tambang,

terjadi permasalahan dengan masyarakat yang secara tiba-tiba menghentikan

kegiatan tambang karena masyarakat tersebut merasa belum menerima ganti

kerugian atas lahan yang sudah dilakukan pengerjaan oleh pihak

perusahaan.

Masyarakat tersebut meminta pihak perusahaan membayar kompensasi

di lahan yang telah dibebaskan sebelumnya, dan pihak perusahaan tidak

akan membayar kompensasi apapun karena sudah melakukan pembebasan

lahan di area yang sama. Karena disatu sisi masyarakat meminta

pertanggung jawaban kepada pihak perusahaan untuk mengganti rugi lahan

mereka, dan disisi lain perusahaan sudah melakukan pembebasan lahan dan

tidak mungkin membayar kompensasi di lahan yang sama, tidak menemui

jalan perdamaian, maka masyarakat yang merasa dirugikan melakukan

upaya jalur hukum melalui pengadilan, dan hal ini dialami oleh PT.

Mahakam Sumber Jaya sebagai tergugat dengan H. Lawaru dkk dari KT

Bina Bersama sebagai penggugat di Pengadilan Negeri Samarinda.

130
C. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi terjadinya Sengketa Lahan di

Wilayah Konsensi Tambang PT. Mahakam Sumber Jaya

Setiap masalah pasti ada sebab yang melatarbelakangi, termasuk untuk

masalah kepemilikan lahan. Lahan-lahan yang berada di kawasan kehutanan

yang dimiliki oleh masyarakat sebagai hak penguasaan, dengan masuknya

perusahaan-perusahaan yang membutuhkan lahan sebagai sarana akses

kegiatan operasional, dilakukanlah praktek pembebasan lahan melalui

proses jual beli lahan tersebut. Ada 3 Faktor yang memiliki pengaruh besar

terhadap masalah lahan di kawasan kehutanan pada umumnya dan area

tambang pada khususnya, yaitu55:

1. Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT)

Dasar dari dikeluarkannya SKPT adalah Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 tentang

Pedoman Penertiban Surat Keterangan Penguasaan dan Pemilikan

Bangunan/Tanaman diatas Tanah Negara, dan Peraturan Bupati Kutai

Kartanegara Nomor 36 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Administrasi

Penguasaan Tanah atas Tanah Negara di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dasar inilah yang memunculkan SKPT-SKPT di kawasan kehutanan oleh

masyarakat yang hendak memiliki dan menguasai suatu lahan. Baik

Keputusan Gubernur Kalimantan Timur maupun Peraturan Bupati Kutai

Kartanegara ditujukan untuk memberikan seluas-luasnya kepada masyarakat

dalam memiliki lahan yang dapat dipergunakan untuk keberlangsungan

55
Wawancara dengan Bapak Alrianto, S.H., M.H. selaku Kasubbag Penyelesaian Sengketa Tanah
Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Kutai Kartanegara.

131
hidup serta memberikan rasa keadilan. Selama masyarakat yang memiliki

SKPT tersebut mengunakan dan memanfaatkan sesuai dengan

peruntukannya, yaitu sebagai lahan garapan dan mematuhi dan memenuhi

syarat dan aturan yang berlaku baik dari Keputusan Gubernur Kalimantan

Timur maupun Peraturan Bupati Kutai Kartanegara, maka penguasaan lahan

tersebut secara tahapan dan proses dapat dimiliki oleh masyarakat. Sebagai

contoh dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan

Timur Nomor 31 Tahun 1995 tentang Pedoman Penertiban Surat

Keterangan Penguasaan dan Pemilikan Bangunan/Tanaman diatas Tanah

Negara, diatur mengenai syarat-syarat penguasaan lahan yang jelas

aturannya, yaitu: i). Surat keterangan ini bukan merupakan tanda bukti atas

tanah; ii). Surat keterangan ini berlaku untuk jangka waktu 3 (Tiga) tahun;

iii). Surat keterangan ini sebagai dasar pengajuan permohonan hak atas

tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan iv). Dengan diterbitkannya

surat keterangan ini maka surat-surat keterangan yang ada sebelum

diterbitkannya surat keterangan ini merupakan lampiran yang menyatu

dengan surat keterangan ini.

Atau menurut Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 36 Tahun

2013 tentang Penyelenggaraan Administrasi Penguasaan Tanah atas Tanah

Negara di Kabupaten Kutai Kartanegara, sebagaimana diatur dalam Pasal 6

ayat (2) yang mengatur tentang tanah yang dapat dimohonkan SKPT

meliputi: i). Tanah terpelihara dan dipergunakan sebagaimana mestinya; ii).

Tanah yang letaknya diketahui oleh saksi-saksi batas tanah; iii). Tanah yang

132
telah dimanfaatkan dan/atau dikuasai oleh pemohon secara terus menerus

minimal selama 2 (dua) tahun, dan iv). Tanah yang telah dipasang patok

batas, serta Pasal 17 ayat (1) huruf c, yang mengatur tentang tanah yang

dilarang untuk diterbitkan SKPT adalah salah satunya yang berada di dalam

kawasan hutan dan/atau kawasan lindung. Jadi apapun bentuk dari SKPT

itu, tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan dikeluarkannya SKPT

tersebut. Tapi seperti yang sudah dijelaskan diatas, pada kenyataannya

masyarakat dalam memiliki dan menguasai lahan-lahan yang berlandaskan

SKPT, tidak menpergunakan, memanfaatkan dan mengelola lahan tersebut

sebagaimana mestinya yaitu sebagai lahan garapan. Lahan-lahan dikuasai

dan diperjualbelikan secara bebas serta pembuatan SKPT yang sangat

mudah tanpa perlu dilakukan pengecekan lapangan yang mana hal ini sudah

menyalahi aturan yang berlaku (contoh SKPT sebagai lampiran 4).

PT. Mahakam Sumber Jaya menyadari dan mempersoalkan tentang

adanya pembuatan SKPT yang dikeluarkan oleh kepala Desa/Lurah maupun

Camat untuk masyarakat yang menginginkan lahan. Pembuatan SKPT

dalam jumlah yang besar atas dasar pengakuan masyarakat tersebut hanya

agar masyarakat dapat meminta kepada pihak perusahaan atas kerugian

yang dialami jika lahan mereka dipergunakan atau terkena dampak dari

tambang berupa kompensasi, tukar guling lahan atau dibebaskan lahannya.

Perusahaan mulai mempersoalkan hal ini dan berupaya untuk

menyelesaikan masalah SKPT, salah satunya adalah dengan membuat draft

133
surat pemberitahuan yang ditujukan kepada pemerintah daerah Kabupaten

Kutai Kartanegara. Salah satu point dari surat tersebut adalah:

“Selama ini masyarakat setempat maupun masyarakat diluar wilayah


konsensi tambang PT. Mahakam Sumber Jaya memiliki Surat Keterangan
Tanah (SKT) yang mana surat tersebut adalah surat kepemilikan lahan yang
berada di kawasan hutan produksi milik Departemen Kehutanan. Surat
Keterangan Tanah (SKT) tersebut merupakan surat yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Desa setempat yang mana peruntukannya adalah sebagai surat
hak milik atas tanah. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dimana izin mengelola lahan hutan maupun hak menguasai atau
memiliki lahan di kawasan hutan produksi menjadi kewenangan dari
Menteri Kehutanan atau Pejabat yang berwenang, sehingga patut diduga
tidak adanya kewenangan dari Pemerintah Desa untuk mengeluarkan Surat
Keterangan Tanah (SKT) tersebut”.

Dan draft surat pemberitahuan yang ditujukan kepada Gubernur

Kalimantan Timur yang salah satu pointnya adalah:

“Adapun dasar permasalahan lahan di kawasan hutan produksi yang


selama ini terjadi di wilayah konsensi tambang milik PT. Mahakam Sumber
Jaya yang pada kenyataannya adalah telah terjadi Penguasaan lahan dari
sejumlah Kelompok Tani, dimana masing-masing Kelompok Tani tumpang
tindih satu dengan yang lainnya. Dengan adanya Penguasaan lahan tersebut,
maka penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya terganggu serta tidak
berjalan sesuai dengan rencana akibat terbatasnya lokasi kerja dan hal ini
dapat mengakibatkan terkendalanya Program Back Fill dan Pengelolaan
Lingkungan yang kami lakukan”.

Hak atas tanah yang berada di dalam kawasan kehutanan seperti yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku baik UU

Kehutanan dan UU Minerba meskipun tidak dijelaskan, dimaksudkan

sebagai bukan hak milik untuk dikuasai tanah tersebut kecuali apa yang

diusahakan dan tampak nyata apa yang ada diatas tanah seperti tanaman

atau bangunan/pondok. Menguasai tanah tapi tidak ada aktivitas apapun

yang dilakukan diatas tanah tersebut tidak dapat dikatakan memiliki hak

134
atas tanah. Hak-hak tanam tumbuh atau bangunan pondok yang berada

diatas tanah itulah yang dapat dilakukan ganti kerugian jika memang

terkena dampak dari kegiatan operasional tambang dan tanaman atau

pondok itu memang benar adalah miliknya.

Ada pula lahan-lahan di kawasan kehutanan selain dalam bentuk SKT

ataupun SKPT, juga dapat berbentuk sertipikat tanah yang diterbitkan di

kawasan kehutanan. Hal ini pernah dialami oleh PT. Mahakam Sumber Jaya

pada tahun 2009 atas pembelian Lahan Sertifikat Hak Milik No. M.2785

Petunjuk Peta Situasi Transmigrasi No. DA.77/TLD.SP.IV/TRANS.87-

88/KAP/1988 LEMBAR 424 Kapling 2003 Desa Kerta Buana Kec.

Tenggarong Kab. Kutai Kartanegara Prop. Kalimantan Timur atas nama

Pemegang Hak Masdah.

2. Kepentingan Individu dan atau Kelompok Tani atasKlaim Lahan

Faktor berikutnya adalah adanya kepentingan baik individu dan atau

kelompok tani. SPT ataupun SKPT yang diperoleh masyarakat baik secara

individu maupun kelompok dimanfaatkan untuk suatu tujuan, yaitu: i).

menguasai dan memiliki lahan-lahan yang belum ada pemiliknya alias lahan

kosong atau lahan-lahan yang ada pemiliknya tapi tidak dimanfaatkan dan

dibiarkan terlantar oleh pemiliknya dan ii). memanfaatkan kesempatan dan

keuntungan dari adanya perusahaan-perusahaan tambang dengan menjual

lahan-lahan mereka dan mendapat ganti kerugian serta pihak perusahaan

dapat memiliki lahan tersebut asal dilakukan pelepasan hak atas lahan dari

pemilik lahan kepada pihak perusahaan.

135
Dengan masuknya perusahaan tambang, memunculkan masyarakat-

masyarakat yang memanfaatkan lahan-lahan untuk dijadikan ladang

keuntungan. Masyarakat-masyarakat ini digolongkan menjadi 4, yaitu56:

a. Masyarakat pemilik dan penggarap lahan yang memanfaatkan dan

menggelola lahan sebagai lahan pertanian atau perkebunan;

b. Masyarakat pemilik dan penggarap lahan tetapi tidak melakukan

aktivitas penggarapan sehingga lahan-lahan tersebut menjadi lahan

terlantar;

c. Masyarakat yang mengetahui dan memanfaatkan lahan yang bukan

miliknya yang ditelantarkan oleh pemilik sebelumnya, sehingga

diakui dan diklaim sebagai lahan miliknya dengan menerbitkan

SKPT untuk dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu (para

spekulan lahan);

d. Masyarakat yang tidak mengetahui tetapi mencoba-coba untuk

menguasai dan memiliki lahan lain, sehingga jika lahan tersebut

berhasil diklaim sebagai lahannya akan dimanfaatkan untuk

kepentingan tertentu dan jika tidak berhasil maka mereka akan

mencari lahan-lahan lainnya yang bisa diklaim sebagai lahannya.

Setelah dikemudian hari lahan-lahan tersebut diperjualbelikan, dan pada

akhirnya memunculkan masalah klaim lahan yang terus diperselisihkan

tanpa pernah ada solusi penyelesaiannya. Melihat apa yang terjadi pada PT.

Mahakam Sumber Jaya dengan banyaknya orang maupun kelompok tani

56
Wawancara dengan Bapak Sahirin Mobly selaku bagian Administrasi Pertanahan Dinas
Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Kutai Kartanegara.

136
yang mengklaim memiliki hak atas lahan pada lokasi tertentu berdasarkan

SKT ataupun SKPT, dimana dalam satu lokasi yang diklaim bisa

dikeluarkan SKT ataupun SKPT dari Desa/Kelurahan yang berbeda.

Masalah batas wilayah Desa/Lurah atau Camat yang tidak jelas, minimnya

sumber daya manusia dan sarana prasarana penunjang yang dimiliki oleh

Desa/Kelurahan maupun Kecamatan. Ditambah lagi para aparat

Desa/Kelurahan yang memang sengaja mengeluarkan SKT ataupun SKPT

atas permintaan dari masyarakat baik secara individu maupun kelompok tani

tanpa memperdulikan akibat-akibat yang ditimbulkan atas diterbitkannya

SKT ataupun SKPT tersebut. Belum adanya ganti kerugian, ganti kerugian

diberikan bukan kepada yang berhak, masyarakat yang mengklaim tidak

merasa menerima ganti kerugian, terjadi tumpang tindih lahan,

pembangunan pondok liar oleh masyarakat di dalam kawasan kehutanan

adalah tingkah laku dari masyarakat yang menimbulkan permasalahan

sengketa lahan tidak pernah terselesaikan.

3. Masuknya Investasi di bidang Pertambangan

Sumber daya alam dapat menjadi daya tarik bagi perusahaan-

perusahaan untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi hasilnya. Tentunya

akan banyak keuntungan yang didapat dari kegiatan produksi sumber daya

alam ini sebagai suatu investasi bisnis yang menjanjikan. Bagaikan sebuah

pemanis, tidak dipungkiri dapat menarik minat orang atau kelompok untuk

berupaya memanfaatkan sedemikian rupa agar dapat bersama-sama

menikmati keuntungan tersebut, dari masyarakat, aparat pemerintah desa,

137
pemerintah daerah maupun penegak hukum. Investor-investor pemodal

besar dengan menginvestasikan modal di sektor sumber daya alam, tentu

menginginkan adanya peraturan yang memudahkan bagi mereka, termasuk

pengadaan izin-izin usaha dan penguasan lahan dengan luasan beribu-ribu

hektar. Bagi investasi sumber daya alam disektor pertambangan batubara

selalu dilalui dengan begitu sulit, mengingat permasalahan-permasalahan

yang kompleks tidak hanya berkaitan dengan lahan, tapi juga terhadap

lingkungan, khususnya lingkungan yang berada diluar maupun di dalam

tambang. Tapi dengan masuknya perusahaan-perusahaan pertambangan,

pada kenyataannya dapat meningkatkan dan memajukan perekonomian

masyarakat sekitar meskipun tidak menutup kemungkinan dampak-dampak

yang timbul dari tambang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jalan

dan lingkungan. Masyarakat mengetahui sejauh mana investasi

pertambangan batubara dapat memberikan kontribusi bagi keberlangsungan

hidup mereka dan untuk mencapai keberlangsungan hidup tersebut harus

ditempuh dengan berbagai upaya termasuk dengan melakukan penguasaan-

penguasaan lahan secara berlebihan. Masuknya investasi tambang membuka

peluang masyarakat berbondong-bondong untuk memperjualbelikan lahan-

lahan garap secara terang-terangan.

D. Penyelesaian Sengketa Lahan di Wilayah Konsensi Tambang PT.

Mahakam Sumber Jaya

Meskipun SKT ataupun SKPT merupakan surat keterangan untuk lahan

garap, dan selalu menjadi perselisihan lahan baik masyarakat dengan

138
masyarakat secara individu maupun kelompok dan masyarakat dengan

pihak perusahaan. Perselisihan yang berujung pada sengketa lahan perlu

penanganan khusus dan metode penyelesaian yang baik tanpa perlu

melanggar peraturan yang berlaku, dan metode penyelesaian sengketa lahan

tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara. PT. Mahakam Sumber Jaya

dalam menangani setiap permasalahan yang dihadapi khususnya masalah

lahan yang berkaitan dengan tumpang tindih yang terjadi di wilayah

konsensi tambang dengan beberapa kelompok tani di area Pit M3-34 dan

blok E maupun masalah lahan yang disebabkan oleh kompensasi

pembebasan lahan dengan H. Laawaru dkk, menggunakan metode

penyelesaian yang umum dilakukan. Metode ini dapat digolongkan menjadi

2, yaitu:

1. Metode Penyelesaian melalui Litigasi

Litigasi baik pidana maupun perdata, merupakan metode penyelesaian

sengketa dengan dikeluarkannya putusan pengadilan. Dalam kasus tumpang

tindih lahan dengan kelompok tani di area Pit M3-34 dan blok E tidak

berujung pada proses litigasi tetapi kasus kompensasi pembebasan lahan

dengan H. Lawaru dkk, dimana sengketa ini diselesaikan melalui proses

litigasi di Pengadilan Negeri Samarinda dengan nomor 56/Pdt.G/2007/PN

Smda. Dalam putusan majelis pihak H. Lawaru dkk dari KT Bina Bersama

memenangkan gugatan perdata, dan dari pihak PT. Mahakam Sumber Jaya

melakukan upaya hukum lain yaitu banding ke Pengadilan Tinggi

Kalimantan Timur, sehingga proses penyelesaian pada saat itu memerlukan

139
waktu yang cukup lama. Dan dikarenakan upaya banding masih

berlangsung, pihak PT. Mahakam Sumber Jaya tidak dapat melakukan ganti

kerugian atas lahan-lahan milik H. Lawaru dkk dari KT Bina Bersama.

2. Metode Penyelesaian melalui Non Litigasi

Ada beberapa cara dari upaya non litigasi yang dilakukan oleh PT.

Mahakam Sumber Jaya, diantaranya:

a. Negosiasi dan mediasi

Negosiasi merupakan langkah awal dalam penanganan masalah

yang dilakukan secara langsung, bertemu dan bertatap muka.

Negosiasi bisa berakhir dengan adanya kesepakatan langsung

antara para pihak, misalnya saat terjadi penutupan tambang oleh

masyarakat, pihak perusahaan akan bernegosiasi tentang

bagaimana disatu sisi agar kegiatan operasional tambang tetap

berjalan tanpa ada gangguan dan disisi lain diupayakan untuk

membuat kesepakatan lisan maupun tertulis.

Dalam kasus tumpang tindih lahan di area Pit M3-34 antara PT.

Mahakam Sumber Jaya dengan KT Mekar Indah (Jamri), KT

Mekar Indah (Landoi) maupun dengan kelompok tani-kelompok

tani lainnya atas penutupan kegiatan tambang, pihak PT. Mahakam

Sumber Jaya untuk mengamankan jalannya negosiasi meminta

bantuan pengamanan dari kepolisian baik tingkat Polres Kutai

Kartanegara maupun Polsek Teluk Dalam dengan mengirimkan

surat permohonan pengamanan penutupan tambang (draft Surat

140
Permohonan Pengamanan sebagai lampiran 5). Dan pihak

kepolisian akan memberikan surat perintah pengamanan sebagai

jawaban atas permohonan dari pihak perusahaan (Sprint polisi

sebagai lampiran 6).

Klaim KT Mekar Indah (Jamri)

Pada tanggal 16 Februari 2009 Jamri mengirim surat kepada pihak

Kecamatan Tenggarong Seberang perihal bantuan pengukuran area

lahannya dan ditanggapi oleh pihak Kecamatan beserta pihak PT.

Mahakam Sumber Jaya dengan melakukan pengecekan lahan

seluas 400 Ha pada tanggal 5 Maret 2009. Karena telah memenuhi

kewajibannya, maka Pit M3-34 mulai dikerjakan bulan Agustus

2009 (Surat Permohonan Pengukuran dan Berita Acara Kecamatan

sebagai lampiran 7).

Pada tanggal 3 September 2009 pihak Jamri mengirim surat somasi

akan mengadakan penutupan tambang. Karena diundang oleh pihak

Kecamatan tidak pernah hadir, maka perusahaan meminta

difasilitasi oleh pihak Polres Kutai Kartanegara. Setelah diadakan

beberapa kali pertemuan di Polres Kutai Kartanegara yang dihadiri

kelompok tani, ketua RT, Kepada Desa dan Kecamatan disepakati

untuk pengecekan lapangan.

Berdasarkan pengecekan lapangan yang melibatkan pihak Polres

Kutai Kartanegara dan Polsek Teluk Dalam, pada tanggal 8 dan 11

September 2009 (Berita Acara Pengecekan sebagai lampiran 8) di

141
lokasi tersebut juga diklaim oleh KT Bukit Biru (Mustofa dan

Nanang), KT 24, dan KT Andi Suaib.

Dari hasil pengecekan tersebut, dilanjutkan dengan pertemuan di

Mapolres Kutai Kartanegara pada tanggal 14 September 2009

(Berita Acara Pertemuan sebagai lampiran 9) serta pengecekan

tanam tumbuh di lapangan pada tanggal 15 September 2009 yang

menyatakan kondisi lapangan berupa hutan belukar, hanya ada

beberapa tanaman buah (±15 pohon) milik kelompok Jamri.

Untuk penyelesaian masalah di lokasi Pit M3-34, PT. Mahakam

Sumber Jaya menawarkan kompensasi senilai Rp. 6.500.000,-/Ha,

akan tetapi harga tersebut belum bisa diterima oleh kelompok tani.

Pada tanggal 7 Oktober 2009, KT Mekar Indah Jamri melakukan

aksi penutupan tambang Pit M3-34 dan pada tanggal 9 Oktober

2009 aksi tersebut dibubarkan oleh pihak Polres Kutai Kartanegara.

Untuk tindak lanjut masalah tersebut kedepannya telah

diagendakan pertemuan yang akan difasilitasi oleh Polres Kutai

Kartanegara.

Klaim KT Mekar Indah (Landoi)

Masih dalam area Pit M3-34 antara PT. Mahakam Sumber Jaya

dengan KT Mekar Indah (Landoi) melalui kuasa hukumnya, yaitu

dari KPADK, pada tanggal 9 Desember 2009 KPADK melakukan

penghentian kegiatan PT. Mahakam Sumber Jaya di Pit M3-34 dan

dengan difasilitasi pihak Polsek Teluk Dalam dan Polres Kutai

142
Kartanegara diadakan pertemuan di Polres Kutai Kartanegara.

Didalam pertemuan tersebut PT. Mahakam Sumber Jaya

menyampaikan sesuai dengan surat yang dikirim kepada KPADK

tanggal 5 Desember 2009 yang berisi:

1) PT. Mahakam Sumber Jaya telah melakukan ganti rugi kepada

anggota KT Mekar Indah seluas ± 1.966 Ha, selain itu di lahan

yang diklaim KT Mekar Indah (Landoi) tersebut terdapat juga

klaim kelompok tani lainnya seperti KT Beringin Jaya seluas

991 Ha, KT 24 seluas 381 Ha, KT Rukun Warga seluas 200

Ha;

2) Masalah tumpang tindih tersebut telah ditangani oleh Polres

Kutai Kartanegara dan DPRD Kutai Kartanegara;

3) PT. Mahakam Sumber Jaya telah mendapatkan Izin Pinjam

Pakai Kawasan Hutan karena wilayah tersebut merupakan

Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK).

Pertemuan tidak menemui kesepakatan.

Pada tanggal 10 Desember 2009 KPADK membuka penghentian

kegiatan PT. Mahakam Sumber Jaya dan diadakan pertemuan di

kantor Leighton disaksikan pihak Polsek Teluk Dalam dan Polres

Kutai kartanegara. Hasil dari pertemuan dituangkan dalam Berita

Acara Pertemuan.

Pada tanggal 12 Desember 2009 dilakukan pengecekan lapangan

sesuai dengan pertemuan tanggal 10 Desember 2009. Agenda

143
pengecekan lapangan adalah mengecek luasan yang telah

dikerjakan oleh PT. Mahakam Sumber Jaya di lokasi Pit J2 dan

lahan yang telah dibebaskan KT Mekar Indah Landoi. Hasil dari

pengecekan lahan Pit J2 yang diklaim seluas ±179 Ha dan PT.

Mahakam Sumber Jaya telah melakukan ganti rugi kepada

kelompok Sarimo, KT Rukun, H Kesah, Amran, Arif, tahun 2005.

Sedangkan lahan yang telah dibebaskan dari KT Landoi yang

seluas 250 Ha saat ini diklaim oleh KT Beringin Jaya dan KT Bukit

Biru.

Pada tanggal 13 Desember 2009 dilakukan pertemuan antara

perwakilan PT. Mahakam Sumber Jaya dengan KPADK (Fl.

Agustinus) yang membahas masalah tumpang tindih lahan di area

PT. Mahakam Sumber Jaya.

Pada tanggal 15 Desember 2009 diadakan pertemuan kembali dan

dalam pertemuan tersebut KPADK menawarkan bahwa

penyelesaian tuntutan dapat dilakukan secara bertahap dan harga

yang berbeda tergantung kondisi tumpang tindih di lokasi tersebut.

Selain itu KPADK juga menawarkan akan menyelesaikan tumpang

tindih antara kelompok tani asal pembayarannya melalui KPADK.

Jawaban dari perusahaan ditunggu sampai dengan hari Rabu 16

Desember 2009, apabila tidak ada jawaban, maka KPADK

berencana akan melakukan penghentian kegiatan PT. Mahakam

Sumber Jaya pada tanggal 19 Desember 2009.

144
Pada tanggal 17 Desember 2009 dilakukan pertemuan yang

hasilnya adalah KPADK tidak akan melakukan penghentian pada

tanggal 19 dan 20 Desember 2009 akan tetapi mereka minta untuk

lahan unit Oktavianus segera diselesaikan dan mereka memberi

waktu 2 hari untuk PT. Mahakam Sumber Jaya memberi kepastian

pertemuan. Pada tanggal 19 Desember 2009, PT. Mahakam

Sumber Jaya menyampaikan akan diadakan pertemuan pada

tanggal 21 Desember 2009.

Hasil pertemuan tanggal 21 Desember 2009 adalah pihak PT.

Mahakam Sumber Jaya menawarkan kompensasi lahan unit

Oktavianus sebesar Rp. 6.500.000,-/Ha karena PT. Mahakam

Sumber Jaya telah memberikan ganti rugi sebelumnya kepada unit

Subadi dan KT Dayak Jaya, selain itu PT. Mahakam Sumber Jaya

karena beroperasi di kawasan KBK, maka mempunyai kewajiban

menyelesaikan syarat-syarat untuk mendapatkan izin pakai

kehutanan dan ganti rugi dengan pihak ketiga yaitu PT. Sumalindo.

Sedangkan pihak kelompok tani meminta harga Rp. 150.000.000,-

/Ha. Karena tidak tercapai kesepakatan, maka pihak KPADK

menyampaikan surat Perihal denda Adat kepada PT. Mahakam

Sumber Jaya.

Pada tanggal 5 Februari 2010 PT. Mahakam Sumber Jaya pusat

mengeluarkan Surat Pemberitahuan tentang pemberian tali asih

sebagai kompensasi tanam tumbuh sebesar Rp. 6.500.000,-/Ha

145
kepada KT Mekar Indah/KT Setia Kawan (Surat Pemberitahuan

sebagai lampiran 10).

Klaim KT Maruk Tupuh

Pada tanggal 21 April 2010, KT Maruk Tupuh menghentikan

aktivitas kerja di Pit M3-34 dan dibuka dengan kesepakatan

diadakan pertemuan pada tanggal 23 April 2010.

Pada pertemuan tanggal 23 April 2010, KT Maruk Tupuh meminta

agar dibentuk team independent dari Pemerintah Daerah Kutai

Kartanegara. Dengan adanya permintaan tersebut, maka team

penyelesaian sengketa lahan yang ditangani Dinas Pertanahan dan

dibantu Dinas-dinas terkait melakukan inventarisasi dan

identifikasi pada tanggal 10 – 19 Juni 2010 di Pit M3-34 dengan

menghadirkan kelompok-kelompok tani yang mengklaim di daerah

tersebut (KT Setia Kawan, KT 24, Sarimo, Mustofa, Nanang,

Oktavianus, KT Maruk Tupuh). Dari data lapangan team

Pemerintah Daerah tersebut, saat ini masih dalam proses rapat

untuk hasil keputusan.

Klaim lahan di blok E

Untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih lahan daerah

operasional PT. Mahakam Sumber Jaya khususnya di Blok E

Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, PT Mahakam Sumber

Jaya memohon kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara

agar memfasilitasi penyelesaian lahan tersebut. Kemudian

146
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menindaklanjuti dengan

membentuk tim Identifikasi dan Verifikasi (gabungan antar lintas

dinas terkait) yang telah melakukan tugasnya dan menghasilkan

rekomendasi bahwa dilahan tersebut adalah areal KBK dan PT

Mahakam Sumber Jaya berhak melakukan penambangan karena

sudah memiliki ijin pinjam pakai dan sudah memberikan

kompensasi kepada masyarakat.

Peta tumpang tindih lahan diblok E Desa Sebuntal

147
Dalam kasus kompensasi pembebasan lahan antara PT. Mahakam

Sumber Jaya dengan H. Lawaru dkk dari KT Bina Bersama,

negosiasi dan mediasi dilakukan dengan meminta bantuan

Kapoltabes Samarinda untuk memfasilitasi terkait demonstasi

penutupan kantor PT. Mahakam Sumber Jaya di kota Samarinda.

Dalam mediasi pertemuan antara pihak PT. Mahakam Sumber Jaya

dengan Dewan Pertahanan Adat Dayak Kutai Banjar (DPADKB)

Propinsi Kalimantan Timur selaku kuasa hukum dari H. Lawaru

dkk dari KT Bina Bersama, belum menghasilkan kesepakatan

karena tawaran harga yang diberikan oleh PT. Mahakam Sumber

Jaya akan disampaikan kepada H. Lawaru dkk. Setelah pertemuan

di Kapoltabes Samarinda, pada tanggal 9 Maret 2009, pihak dari

Dewan Pertahanan Adat Dayak Kutai Banjar (DPADKB) Propinsi

Kalimantan Timur selaku kuasa hukum dari H. Lawaru dkk dari

KT Bina Bersama mengirimkan surat pernyataan kepada PT.

Mahakam Sumber Jaya yang pada intinya menerima tawaran harga

yang diberikan oleh pihak PT. Mahakam Sumber Jaya dan sepakat

mengakhiri persengketaan kedua belah pihak (Surat Pernyataan

sebagai lampiran 11).

Dengan adanya surat pernyataan dari Dewan Pertahanan Adat

Dayak Kutai Banjar (DPADKB) Propinsi Kalimantan Timur selaku

kuasa hukum dari H. Lawaru dkk dari KT Bina Bersama, pihak PT.

148
Mahakam Sumber Jaya akan dilakukan pembayaran melalui 3

tahap, yaitu:

1) Pembayaran tahap I sebesar Rp. 100.000.000,- pada tanggal 11

Maret 2009;

2) Pembayaran tahap II sebesar Rp. 250.000.000,- pada tanggal

12 Maret 2009;

3) Pembayaran tahap III sebesar 280.000.000,- pada tanggal 16

Maret 2009.

Pada tanggal 11 Maret 2009, pihak PT. Mahakam Sumber Jaya

meminta kepada anggota dari KT Bina Bersama untuk

menguasakan kepada H. Lawaru melakukan dan menandatangani

Surat Kesepakatan Bersama Perdamaian dengan memberikan surat

kuasa. Surat kuasa tersebut bertujuan agar pembayaran dan

kesepakatan yang sudah dicapai masing-masing pihak dilakukan

tanpa perantara dan uang pembayaran benar-benar diterima oleh

para anggota KT Bina Bersama, sehingga peran dari Dewan

Pertahanan Adat Dayak Kutai Banjar (DPADKB) Propinsi

Kalimantan Timur selaku kuasa hukum dari H. Lawaru dkk hanya

sebatas menyaksikan dan mengikuti proses pembayaran tersebut

(Surat Kuasa sebagai lampiran 11).

Pada tanggal 11 Maret 2009 ditandatangani Surat Kesepakatan

Bersama Perdamaian bermaterai antara PT. Mahakam Sumber Jaya

yang diwakili oleh Bapak Abdul Aziz selaku General Affair

149
Superitendent dengan pihak KT Bina Bersama yang diwakili oleh

H. Lawaru (Surat Kesepakatan Bersama Perdamaian bermaterai

sebagai lampiran 11).

Pembayaran tahap III dilakukan oleh pihak PT. Mahakam Sumber

Jaya yang diwakili oleh Bapak Abdul Aziz selaku General Affair

Superitendent dan Budi Harjanto, S.H. selaku Legal Officer dengan

H. Lawaru dkk dari KT Bina Bersama beserta perwakilan dari

Dewan Pertahanan Adat Dayak Kutai Banjar (DPADKB) Propinsi

Kalimantan Timur di hadapan Notaris Siti Aisyah, S.H., M.Kn

dengan melegalisasi 3 surat, yaitu:

1) Surat Kesepakatan Bersama Perdamaian dengan Nomor

416/leg/III/2009;

2) Surat Pernyataan dengan Nomor 417/leg/III/2009; dan

3) Surat Kuasa dengan Nomor 418/leg/III/2009.

Surat Kesepakatan Bersama Perdamaian bermaterai dilakukan

revisi perbaikan sesuai petunjuk dari Notaris Siti Aisyah S.H.,

M.Kn yaitu berkaitan dengan komparisi dari pihak H. Lawaru dkk

(Surat Kesepakatan Bersama Perdamaian revisi sebagai lampiran

11), karena pada saat penandatanganan Surat Kesepakatan Bersama

Perdamaian semua para pihak yang terlibat wajib hadir di hadapan

Notaris dengan membawa:

1) KTP suami istri;

2) Kartu Keluarga;

150
3) Surat Kuasa jika salah satu dari suami atau istri tidak bisa hadir

dan diwakili oleh sanak saudaranya.

b. Inventarisasi dan Identifikasi Lahan

Metode penanganan dan penyelesaian sengketa lahan dengan

menghadirkan team independen dari beberapa instansi terkait untuk

melakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi lahan. Team

bekerja berdasarkan surat permohonan dari pihak PT. Mahakam

Sumber Jaya atas klaim dari beberapa kelompok tani yang saling

tumpang tindih di area Pit M3-34 dan blok E. Hasil dari team ini

yang pada akhirnya menjadi rekomendasi bagi perusahaan untuk

menyelesaikan masalah-masalah lahan di area konsensinya. Hasil

ini merupakan hasil dari pengecekan di lapangan yang benar-benar

terjadi atas beberapa lahan garapan masyarakat baik individu

maupun kelompok tani dimana beberapa diantara hasil team

menemukan adanya penanaman tanaman baru maupun tidak

ditemukan tanaman hasil garapan. Ini adalah kenyataan yang

memang terjadi terhadap kelakuan dari masyarakat yang

menginginkan dan mencari keuntungan atas adanya aktivitas

tambang. Hasil dari Inventarisasi dan identifikasi lahan dituangkan

dalam berita acara pengecekan (data invertarisasi dan identifikasi

sebagai lampiran 12 dan 13).

Kebijakan dibidang pertanahan, dibidang kehutanan dan dibidang

pertambangan tidaklah sama untuk memahami konteks mengenai hak atas

151
tanah. Sengketa pertanahan memang memerlukan penanganan khusus

terutama jika sengketa sudah menjadi masalah hukum yang membutuhkan

pembuktian dengan putusan seadil-adilnya. Masyarakat pun tidak mudah

untuk mengakui, mengklaim dan menguasai lahan-lahan kosong atau lahan-

lahan yang ditelantarkan oleh pemiliknya untuk dikuasai tanpa melakukan

penggarapan dan pengelolaan lahan menjadi lahan produktif, terlebih jika

dilakukan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang.

152
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana

dikemukakan pada bab sebelumnya, maka penulis akan menarik

kesimpulan, yaitu:

1. Diterbitkannya Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) ganda oleh

aparat pemerintah Desa/Kelurahan maupun Kecamatan atas permintaan

dari masyarakat di lokasi yang sama dengan lokasi yang telah dilakukan

pembebasan lahan oleh PT. Mahakam Sumber Jaya kepada pemilik

terdahulu berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 tentang Pedoman Penertiban

Surat Keterangan Penguasaan dan Pemilikan Bangunan/Tanaman diatas

Tanah Negara, maupun Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 36

Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Administrasi Penguasaan Tanah

atas Tanah Negara di Kabupaten Kutai Kartanegara.

2. Atas sengketa lahan masyarakat di lokasi yang sama tersebut, PT.

Mahakam Sumber Jaya melakukan negosiasi dan mediasi untuk

menyelesaikan permasalahan lahan masyarakat. Dari negosiasi dan

mediasi tersebut, pihak PT. Mahakam Sumber Jaya mengambil

keputusan untuk tidak melakukan pembebasan lahan yang kedua

kalinya di lokasi yang sama yang telah dibebaskan kepada pemilik

terdahulu. Karena tidak terjadi kesepakatan antara para pihak yang

153
bersengketa, maka ditempuh dan diselesaikan dengan mengajukan

gugatan ke pengadilan dengan nomor perkara 56/Pdt.G/2007/PN Smda.

B. Saran

1. Pengawasan dan tindakan tegas dari pemerintah daerah khususnya

Kabupaten Kutai Kartanegara atas diterbitkannya SKT ataupun SKPT

oleh pemerintah Desa/Kelurahan atau Kecamatan, yang dapat

dimanfaatkan untuk suatu tujuan tertentu yang bukan untuk peruntukan

dari perbuatan membuka lahan. Mudahnya membentuk suatu kelompok

tani dan mudahnya masyarakat mendapatkan lahan-lahan dengan luasan

puluhan maupun ratusan Hektar, tanpa adanya suatu kegiatan atau

aktifitas apapun diatas lahan tersebut. Jika Keputusan Gubernur

Kalimantan Timur Nomor 31 Tahun 1995 maupun Peraturan Bupati

Kutai Kartanegara Nomor 36 Tahun 2013 disalahgunakan oleh

masyarakat untuk menguasai dan memiliki lahan-lahan tanpa

melakukan aktifitas garapan serta lahan-lahan tersebut diperjualbelikan

secara besar-besaran, maka penerbitan SKT maupun SKPT tersebut

yang kewenangannya diberikan kepada pemerintah Desa/Kelurahan

atau Kecamatan juga akan disalahgunakan untuk tujuan dan

kepentingan tertentu, sehingga sengketa lahan baik tumpang tindih

maupun pemberian kompensasi atas pembebasan lahan akan selalu

menjadi perselisihan masalah lahan yang dapat terjadi tanpa memiliki

rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masing-masing pihak yang

bersengketa.

154
2. Perusahaan pertambangan dengan memperoleh Izin Pinjam Pakai

Kawasan Hutan maupun PKP2B atau IUP/IUPK sudah menjadi dasar

legalitas yang kuat untuk membuktikan keabsahan dari kegiatan

eksplorasi maupun eksploitasi tambang tersebut. Selama ini

perusahaan-perusahaan tambang melakukan praktek jual beli lahan

dengan skema pembebasan lahan dengan dikeluarkannya Surat

Pernyataan Pelepasan Hak dari pemilik lahan yang dibebaskan

sebelumnya, yang sudah diatas namakan perusahaan tersebut. Dampak

yang kemudian akan muncul adalah pembebasan lahan diartikan

sebagai pemberian hak kepada masyarakat atas tanah yang

keberadaannya di dalam kawasan hutan dan berdekatan dengan wilayah

konsensi tambang, sehingga saat terjadi sengketa lahan, alih-alih bisa

membuktikan hak kepemilikan perusahaan berdasarkan Surat

Pernyataan Pelepasan Hak sebelumnya, perusahaan dipaksa untuk

memberikan kompensasi lahan kepada masyarakat dengan skema

pembebasan lahan tesebut. Itu sangat tidak mungkin dilakukan

perusahaan tambang untuk melakukan pembebasan lahan 2 kali dengan

pemilik berbeda dilokasi yang sama, apalagi jika terjadi tumpang tindih

lahan yang masing-masing pemilik lahan memiliki kepentingan yang

sama yaitu dengan maksud untuk menjual lahan-lahan di kawasan

kehutanan karena hanya merekalah yang berhak atas pembayaran

kompensasi lahan tersebut. Ujung-ujungnya perusahaan hanya dapat

memberikan tali asih sebagai pengganti kompensasi pembebasan lahan

155
yang tentu saja jumlah penggantian yang diberikan dibawah dari

tuntutan masyarakat atau kelompok tani tersebut yang mengakibatkan

perselisihan sengketa lahan di wilayah konsensi pertambangan tidak

akan pernah terselesaikan.

156
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Gravindo

Persada, 2001)

Soerjono Soekanto, Penegakkan Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983)

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ed. 1,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009)

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2002)

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Jogjakarta: UUI Press, 2004)

Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum:

Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup berlakunya Ilmu

Hukum, (PT Alumni Bandung, 2000)

Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan

Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2007)

MunirFuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bisniss, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000)

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta:

Sinar Grafika)

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar 1945

157
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria

Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara

Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan

Kawasan Hutan

Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian

Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

Permenhut Nomor P.44/MENHUT-II/2012 sebagaimana dirubah dengan

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/MENHUT-II/2013

tentang Pengukuhan Kawasan Hutan

Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016

tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor

31 Tahun 1995 tentang Pedoman Penerbitan Surat Keterangan

Penguasaan dan Pemilikan Tanah Bangunan diatas Tanah

158
Peraturan Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 36 Tahun 2013

tentang Penyelenggaraan Administrasi Penguasaan Tanah atas

Tanah Negara di Kabupaten Kutai Kartanegara

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011

Putusan PN Tanah GrogotNomor : 13/Pdt.G/2014/PN.Tgt

C. Jurnal

Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, (Yogyakarta: Penerbit STPN

Press, 2014)

R. Simarmata, Gejala Informalitas pada Tanah Garapan, LAW

REFORM, Vol. 4, No. 2, pp. 39-60, April 2009

Made Oka Cahyadi Wiguna, Peluang Penyelesaian Sengketa Perdata

tentang Tanah melalui Alternative Dispute Resolution, Masalah-

Masalah Hukum, Jilid 47, No. 1, Januari 2018

Sarah D.L. Roeroe, Penegakan Hukum Agraria dan Penyelesaian

Sengketa Pertanahandalam Proses Peradilan, Vol.I/No.6/Oktober-

Desember /2013.

Sukresno, Pemberdayaan Lembaga Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa

di Bidang Pertanahan, Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus,

MMH, Jilid 41, No. 1, Januari 2012.

D. Website

Mongabay situs berita lingkungan, Permasalahan Tenurial dan Konflik

Hutan dan lahan, diakses dari:

159
https://www.mongabay.co.id/permasalahan-tenurial-dan-konflik-

hutan-dan-lahan/

Muchlisin Riadi, Pengertian, Jenis, Penyebab dan Penyelesaian Sengketa,

diakses dari: http://www.kajianpustaka.com/2018/10/pengertian-

jenis-penyebab-dan-penyelesaian-sengketa.html

http://www.harumenergy.com/id/about/22/anak-perusahaan

E. Wawancara

Wawancara dengan Bapak Alrianto, S.H., M.H. selaku Kasubbag

Penyelesaian Sengketa Tanah Dinas Pertanahandan Tata Ruang

Kabupaten KutaiKartanegara

Wawancara dengan Bapak Sahirin Mobly selaku bagian Administrasi

Pertanahan Dinas Pertanahandan Tata Ruang Kabupaten

KutaiKartanegara

160
Lampiran 1

Diagram SOP External Relation dan

LandComp Relation

PT. Mahakam Sumber Jaya

i
Diagram Penanganan kasus Diagram Identifikasi masalah dan

penilaian resiko
Pengecekan
Peralatan Dan Mulai Mulai
Dokumen
Pendukung
Klaim Warga Pemetaan Wilayah dan
Pengambilan Data-data
Dokument-
Pertemuan Dengan asi Laporan
Warga dan sebagai Base Identifikasi, Klasifikasi
Dokumentasi Pengecekan Lokasi Data Sumber Masalah dan
LaporanSebag Penilaian Resiko yang akan
ai Base Data Timbul
Mengisi Form
Laporan Klaim
Laporan Identifikasi Masalah
dan Penilaian Resiko Ke
Pimpinan Department
Penyelesaian Laporan Ke Pimpinan Kasus
Kasus Oleh Department ditangani
Perusahaan sesuai
Langsung dengan Distribusi
Prosedur Laporan
Klasifikasi Kasus Penanganan kepada
Kasus Department
Pengum Terkait

Koordinasi Internal pulan


(Dept.Hse,Mining, data-data
Sepakat Tambah
Port, Sec. Land Koordinasi
Comp) an Dengan
Ya Tidak Department
Terkait

Ya
Laporan Pimpinan
Department ke
Pimpinan Manajemen Terjadi Tidak Masalah
klaim ditangani

Penyelesaian Kasus
Melalui Pihak Ya
Instansi Terkait Tidak
SELESAI

Penutupan Ya Tidak
Kasus Sepakat

SELESAI Proses Hukum

ii
MULAI

Permintaan dari
Mine Planning
Tanah yang akan dibebaskan

Inventarisasi Pemilik
Tanah

Pengukuran Lokasi

Input Data

Negosiasi

Pembayaran

Dokumentasi Data

SELESAI

iii
Lampiran 2

Berita Acara KT Mekar Indah

tanggal 2 April 2005

dan

Surat Rekomendasi Kecamatan

Tenggarong Seberang

tanggal 11 April 2005

iv
v
vi
Lampiran 3

Surat Pernyataan Jamri kepada

Oktavianus tanggal 23 Desember 2009

vii
viii
Lampiran 4

Contoh Surat Keterangan Penguasaan

Tanah

ix
x
xi
xii
xiii
xiv
Lampiran 5

Draft Surat Permohonan

Pengamanan Tambang

PT. Mahakam Sumber Jaya

xv
PT. MAHAKAM SUMBER JAYA
COAL MINING
Ruko Juanda, Jl. Juanda No.66-67 RT 02
Kelurahan Air Hitam, Samarinda – 75124
Telp. (0541) 7771307, Fax (0541) 7771308

Samarinda, 7 Februari 2013

No : 015/MSJ-SMD/II/2013
Lampiran : 1 (satu) lembar
Hal : Permohonan Tindakan Pengamanan Polisi
Di Wilayah PT. Mahakam Sumber Jaya

Kepada Yth.
Kapolres Kutai Kartanegara
Di –
Tempat

Dengan hormat,
Dengan ini kami sampaikan bahwa berdasarkan Berita Acara Lapangan
tanggal 6 Februari 2013 prihal Inventarisasi tanam tumbuh dan pondok yang
diklaim KT. Merannu yang berlokasi di Dusun Berambai Desa Bukit Pariaman
Kecamatan Tenggarong Seberang kabupaten Kutai Kartanegara yang sudah
dilakukan pemeriksaan lapangan dengan Instansi-instansi terkait sebagai tindak
lanjut dari hasil rapat di Polres Kukar tanggal 15 Januari 2013 (Berita Acara
Terlampir).
Maka dengan ini kami mohon bantuan pengamanan dan penanganan dari
pihak Kepolisian Resort Kutai Kartanegara dengan menurunkan pasukan
berjumlah 20 personil 24 jam selama 2 minggu agar kegiatan operasional tambang
yang berada dilokasi tersebut dapat berjalan lancar, aman dan terkendali.

Demikian yang dapat kami sampaikan terima kasih atas perhatian dan
kerjasamanya.

Hormat Kami,
PT. Mahakam Sumber Jaya

Hari Aryanto D.P.


General Manager

xvi
PT. MAHAKAM SUMBER JAYA
COAL MINING
Ruko Juanda, Jl. Juanda No.66-67 RT 02
Kelurahan Air Hitam, Samarinda – 75124
Telp. (0541) 7771307, Fax (0541) 7771308

No : 380/MSJ-SMD/IX/2009
Lampiran :-
Hal : Tindak Lanjut Penutupan Jalan Hauling
Oleh KT. Mekar Indah

Kepada Yth :
KAPOLRES KUTAI KARTANEGARA
di
Tempat

Dengan Hormat,

Sehubungan dengan telah dilakukannya pertemuan antara pihak PT. Mahakam


Sumber Jaya dengan KT. Mekar Indah yang bertempat di Polres Kutai
Kartanegara pada hari Rabu, 9 Januari 2009, terkait Penutupan jalan hauling,
maka dengan ini kami PT. Mahakam Sumber Jaya meminta dengan hormat
kepada Polres Kutai Kartanegara untuk menindaklanjuti kasus penutupan jalan
hauling tersebut.

Demikian Surat permohonan ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya kami
sampaikan terimakasih.

Samarinda, 10 Desember 2009


PT. Mahakam Sumber Jaya

Eko Cahyo P.
External Relation Spt

xvii
Lampiran 6

Contoh Sprint Pengamanan Kepolisian

xviii
xix
xx
xxi
Lampiran 7

Surat Permohonan Pengukuran Lahan

Jamri 16 tanggal Februari 2009

dan

Berita Acara Kecamatan tanggal

5 Maret 2009

xxii
xxiii
xxiv
Lampiran 8

Berita Acara Pengecekan

8 September 2009

dan

11 September 2009

Pit M3-34 PT. Mahakam Sumber Jaya

xxv
xxvi
xxvii
Lampiran 9

Berita Acara Pertemuan

tanggal 14 September 2009

Di Polres Kutai Kartanegara

xxviii
xxix
Lampiran 10

Surat Pemberitahuan

PT. Mahakam Sumber Jaya Pusat

tanggal 5 Februari 2010

Tentang Pemberian Tali Asih kepada

KT Mekar Indah/KT Setia Kawan

xxx
xxxi
Lampiran 11

Dokumen Penyelesaian Sengketa Lahan

antara

PT. Mahakam Sumber Jaya

Dengan

H. Lawaru dkk (KT Bina Bersama)

xxxii
xxxiii
xxxiv
xxxv
xxxvi
xxxvii
xxxviii
xxxix
xl
xli
xlii
Lampiran 12

Inventarisasi dan Identifikasi Lahan

Pit M3-34 PT. Mahakam Sumber Jaya

Tahun 2010

xliii
xliv
xlv
xlvi
xlvii
xlviii
xlix
l
li
lii
liii
liv
lv
lvi
lvii
lviii
lix
lx
lxi
lxii
lxiii
lxiv
lxv
lxvi
lxvii
Lampiran 13

Inventarisasi dan Identifikasi Lahan

Blok E PT. Mahakam Sumber Jaya

Tahun 2010

lxviii
lxix
lxx
lxxi
lxxii
lxxiii
lxxiv
lxxv
lxxvi
lxxvii
lxxviii
lxxix
lxxx
lxxxi
lxxxii
lxxxiii
lxxxiv
lxxxv
lxxxvi

Anda mungkin juga menyukai