Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pasal 1 konvensi Montevideo 1933 salah satu unsur yang harus dipenuhi
suatu Negara ialah adanya wilayah. Menurut I Wayan PArthiana, wilayah adalah suatu
ruang dimana orang yang menjadi warga negara atau penduduk negara bersangkutan
hidup serta menjalankan segala aktivitasnya. Pengertian wilayah menurut Rebecca
M.Wallace adalah atribut yang nyata dari kenegaraan dan dalam wilayah geografis
tertentu yang ditempatnya, suatu negara menikmati dan melaksanakan kedaulatan.
Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang wilayah Negara pasal 1 angka 1
mengatakan bahwa Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya
disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial
beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk
seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Dalam hal ini penulis tertarik untuk membahas wilayah laut yang pada tahun
2011 terjadi penangkapan terhadap dua kapal berbendera Malaysia yang sedang
menangkap ikan, ketika kapal tersebut ditangkap dan hendak dibawa ke pelabuhan
belawan, terdapat tiga helikopter Malaysia yang menghalangi, petugas dalam
helikopter meminta agar melepas kapal tersebut dengan alasan kapal tersebut mengkap
ikan masih berada di kawasan ZEE Malaysia. Alasan tersebut dilatar belakangi oleh
karena Malaysia menganggap bahwa perjanjian landas kontinen 1969 dengan
Indonesia yang pernah ditetapkan sekaligus sebagai perjanjian wilayah ZEE, yang
mana hal tersebut telah melanggar ketentuan yang terdapat pada UNCLOS 1982,
karena pengaturan mengenai ZEE dengan landas kontinen sangat berbeda. Sedangkan
Indonesia menetapkan klaim perbatasan ZEE dengan garis tengah berdasarkan
ketentuan dalan UNCLOS 1982

1
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana cara penyelesaian sengketa selat malaka antara Indonesia dan Malaysia?
2. Bagaimana tahapan beracara dalam International Tribunal For The Law Of The Sea
(ITLOS)?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Penyelesaian sengketa selat malaka antara Indonesia dan
Malaysia
2. Untuk mengetahui tahapan beracara dalam International Tribunal For The Law Of
The Sea (ITLOS)

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen


Menurut UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
tepatnya pasal 2 menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di
luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi
dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus)
mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.1
Sedangkan menurut UNCLOS 1982 pasal 55 menyatakan bahwa Zona ekonomi
eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang
tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana
hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara
lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini.2
Menurut UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, pasal
1 huruf a menyatakan bahwa, Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah
dibawahnya diluar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih,
dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.3
Sedangkan menurut UNCLOS 1982 pasal 76 ayat 1 menyatakan bahwa Landas
kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di
bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan
alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu

1
UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, pasal 2
2
United Nation Convention on the Law OF the Sea 1982, pasal 55
3
UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, pasal 1 huruf a

3
jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur, dalam hal
pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.4

B. Penyelesaian Sengketa Selat Malaka Antara Indonesia dan Malaysia


Dasar hukum yang digunakan atas klaim Indonesia adalah Pasal 3 ayat (2)
UU No. 5 Tahun 1983 Tentang ZEE yang berbunyi “Selama persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang
perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan
negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut
wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah
atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai
persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi
5
Eksklusif Indonesia termaksud.” Sedangkan untuk Malaysia, dasar hukum yang
digunakan adalah bagian 2 pasal 3 ayat (2) Laws of Malaysia Act 311 EEZ Act 1984
yang berbunyi “di mana ada perjanjian yang berlaku tentang masalah antara Malaysia
dan negara dengan pantai yang berlawanan atau berdekatan, pertanyaan yang berkaitan
dengan penetapan EEZ akan ditentukan sesuai dengan ketentuan perjanjian itu."6
Untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih ZEE antara Indonesia dan
Malaysia dapat dilakukan dengan cara delimitasi. Dimana delimitasi batas maritim
antarnegara adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan
negara lain (tetangganya) di laut.7 Menurut Anthony Aust, Delimitation is the process
of determining the land or maritime boundaries of a state, including that of any
continental shelf or EEZ, by means of geographical coordinates of latitude and

4
United Nation Convention on the Law OF the Sea 1982, pasal 76 ayat 1
5
UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, pasal 3 ayat 2
6
Laws of Malaysia Act 311 EEZ Act 1984 bagian 2 pasal 3 ayat (2)
7
I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2007, hlm 1.

4
longitude.8 (Pembatasan adalah proses penentuan batas tanah atau maritim suatu
negara, termasuk landas kontinen atau ZEE, dengan cara koordinat geografis lintang
dan bujur)
Jika mengacu pada pasal 74 UNCLOS 1982, penetapan batas ZEE negara yang
pantainya berhadapan atau berdampingan harus berdasarkan persetujuan atas dasar
hukum internasional,9 dalam penyelesaian penetapan batas ZEE secara garis besar
memperhatikan 3 (tiga) prinsip sebagai berikut: pertama, dalam penetapan batas zona
ekonomi eksklusif dilakukan melalui perundingan. kedua, dalam penyelesaian
penetapan zona ekonomi eksklusif harus berdasarkan pada hukum internasional; dan
ketiga, dalam implementasi penyelesaian penetapan batas zona ekonomi eksklusif
harus mencapai Equitable Result atau mendatangkan manfaat bagi negara-negara yang
bersangkutan. UNCLOS 1982 memberikan pengaturan bagi anggotanya dalam
menyelesaikan suatu sengketa hukum laut, tepatnya pada pasal 279 UNCLOS 1982
yang berbunyi, “negara-negara peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara
mereka perihal interpretasi atau penerapan konvensi ini dengan cara damai sesuai
dengan Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan, untuk tujuan ini, harus
mencari penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam pasal 33 ayat 1
Piagam tersebut”.10 Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa berbunyi
“Semua Anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai
sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, dan keadilan, tidak
terancam”. Sedangkan pasal 33 ayat 1 Piagam PBB berbunyi “Pihak-pihak yang
tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin
membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama
harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan. penyelidikan, dengan mediasi,
konsiliasi, arbitrasi. penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau

8
Anthony Aust, Handbook of International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2002,
hlm.34.
9
UNCLOS 1982, pasal 74
10
Ibid, pasal 279

5
pengaturan-pengaturan regional. atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka
sendiri.”.11 Maka pada intinya bahwa setiap negara yang menyetujui UNCLOS 1982
wajib menyelesaikan sengketa internasional dengan cara damai yaitu perundingan
(negotiation), penyelidikan (inquiry), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation),
Arbitrase (arbitration), penyelesaian menurut hukum (judicial settlement) melalui
badan atau pengaturan regional atau dengan cara damai yang dipilih sendiri.12 Berikut
cara penyelesaian sengketa internasional secara damai.
1. Negosiasi
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara
para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa
melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa
yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat
(1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam
menyelesaikan sengketa. Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan
usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak
melibatkan pihak ketiga.13
Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah
1). Para pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;
Dalam melakukan negosiasi, para pihak yang bersengketa dapat
bertemu langsung. Hal inilah yang membedakan negosiasi dengan cara
penyelesaian yang lain misalnya mediasi, konsiliasi, jasajasa baik, dan
lain-lain, dimana dalam proses penyelesaian sengketa tersebut
melibatkan pihak ketiga. Dalam negosiasi kedua belah pihak dapat
saling bertemu dan berinteraksi untuk mencari penyelesaian bagi
sengketa di antara mereka. Masing-masing pihak dapat mengemukakan

11
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 ayat 1
12
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI Press, 2006, hlm 4.
13
http://www.bphn.go.id/data/documents/mekanisme_penyelesaian_konflik_antar_negara_dlm_pe
ngelolaan_sd_kelautan.pdf

6
apa yang diinginkan atau dapat mengajukan argumentasi atau alasan
yang jelas dan tepat kepada pihak lainnya tentang apa yang ia inginkan
secara langsung. Dengan demikian, pendapat dan keinginan yang
dikemukakan oleh kedua belah pihak akan menghasilkan keputusan
yang mencerminkan keinginan dan kesepakatan para pihak.
2). Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara
penyelesaian melalui negosiasi dilakukan menurut kesepakatan
bersama;
Artinya, para pihak mempunyai kebebasan untuk menawarkan
kemungkinankemungkinan dalam mencari jalan keluar dari sengketa
dengan pilihan atau alternatif-alternatif untuk mencapai kesepakatan
dengan cara kooperatif dan saling terbuka.
3). Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur
penyelesaian;
Hal ini lebih memudahkan para pihak untuk menemukan
kesepakatan karena dapat menghilangkan kecurigaan-kecurigaan.
Dengan demikian, pandangan, pendapat, pengertian, atau maksud yang
berbeda dari kedua belah pihak yang bersengketa akan lebih mudah
untuk dicari jalan keluarnya.
4). Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam
negeri.
Perundingan yang dilakukan secara langsung dapat menghindari
perhatian publik, karena tertutupnya keikutsertaan pihak ketiga dan
dalam perundingan lebih mengutamakan kesepakatan dengan
berdiskusi, dan penyelesaian masalah dilakukan secara tidak terpisah
supaya tidak terjadi salam paham. Selain itu, lebih mengutamakan
pencarian solusi atau jalan tengah bukan perpecahan yang cenderung

7
akan disoroti publik terutama melalui media karena media merupakan
motor dari informasi.14
Segi negatif/kelemahan dari negosiasi adalah:
1). Negosiasi tidak pernah akan tercapai apabila salah satu pihak
berpendirian keras;
2). Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya
kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada pihak yang
membantu
Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak
yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga.
Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral
dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik
pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi
internasional. negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai
yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi
menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai
saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama
kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa.15

2. Pencarian Fakta
Penggunaan pencarian fakta ini biasanya ditempuh manakala cara-cara
konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan
suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat
suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai
kedudukan masing-masing pihak. Cara ini telah dikenal dalam praktik

14
Ummi yusnita, penyelesaian sengketa batas laut antara Indonesia dan Malaysia dalam perspektif
hukum internasional, binamulia hukum, vol.7 no.1, 2018, hlm 103.
15
http://www.bphn.go.id/data/documents/mekanisme_penyelesaian_konflik_antar_negara_dlm_pe
ngelolaan_sd_kelautan.pdf

8
kenegaraan. Di samping itu, organisasi-organisasi internasional juga telah
memanfaatkan cara penyelesaian sengketa melalui pencarian fakta ini. Negara-
negara juga telah membentuk badan- badan penyelidikan baik yang sifatnya ad
hoc ataupun terlembaga. Pasal 50 Statuta Mahkamah Internasional mengatakan
bahwa Mahkamah dapat “entrust any individual body, bureau, commission or
other organization that it may select, with the task of carrying out an inquiry or
giving an expert opinion.” dengan terjemahan “Percayakan badan, biro, komisi,
atau organisasi lain mana pun yang dapat dipilihnya, dengan tugas melakukan
penyelidikan atau memberikan pendapat ahli.”16

3. Jasa-Jasa Baik
jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui keikutsertaan
jasa pihak ke-3. Tujuan jasa baik ini adalah agar kontak langsung di antara para
pihak tetap terjamin. Tugas yang diembannya, yaitu mempertemukan para
pihak yang bersengketa agar terciptanya perundingan. Keikutsertaan pihak ke-
3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk
bersama mempercepat perundingan di antaran mereka. Setiap pihak yang
bersengketa dapat meminta kehadiran jasa-jasa baik. Namun, pihak lainnya
tidak berkewajiban untuk menerima permintaan tersebut. Dengan kata lain,
permintaan tersebut sifatnya tidak mengikat dan tidak boleh dipandang sebagai
tindakan yang tidak bersahabat. Jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk,
yaitu technical good offices (jasa baik teknis), dan political good offices (jasa
baik politis).
a. Jasa Baik Teknis
Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi
internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa

16
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm 671-673.

9
ikut serta terlibat dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi.
Peranannya dalam hal ini adalah sebagai tuan rumah yang memberikan
fasilitas-fasilitas yang diperlukan, menyediakan transportasi dan
komunikasi, memberikan (pengurusan) jaminan dan apabila
memungkinkan, memberikan jaminan keuangan. Yang termasuk dalam
kategori ini adalah menerima tanggung jawab untuk melindungi suatu
pihak tertentu.
b. Jasa Baik politis
Jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara
atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu
perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan
diadakannya suatu negosiasi atau suatu kompensasi. Yang termasuk
dalam kategori ini adalah menerima mandat dari negara lain untuk
menyelesaikan suatu masalah yang spesifik tertentu. Misalnya, jasa
baik dalam hal mengembalikan orang-orang ke negara asalnya,
mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian.17

4. Mediasi
Mediasi sebenarnya merupakan bentuk lain dari negosiasi sedangkan
yang membedakannya adalah terdapat keterlibatan pihak ketiga. Dalam hal
pihak ketiga yang hanya bertindak sebagai pelaku mediasi atau mediator
komunikasi bagi pihak ketiga untuk mencarikan negosiasi-negosiasi, maka
peran dari pihak ketiga disebut sebagai good office. Seorang mediator
merupakan pihak ketiga yang memiliki peran yang aktif untuk mencari solusi
yang tepat untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang
bertikai dan untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung
di antara para pihak. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak

17
http://artikelddk.com/penyelesaian-sengketa-internasional-melalui-jasa-baik/

10
atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu,
dan organisasi internasional Di dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak
tunduk pada suatu aturan-aturan hukum acara tertentu. Mediator juga bebas
menentukan bagaimana proses penyelesaian sengketanya berlangsung.
Peranannya disini tidak semata-mata hanya mempertemukan para pihak saja
agar bersedia berunding, akan tetapi mediator juga terlibat dalam perundingan
dengan para pihak dan bisa pula memberikan saran-saran atau usulan-usulan.
Keberhasilan proses mediasi tergantung pada kemauan para pihak atau
parties willingness to solved issues dan penerimaan serta implementasi
penyelesaian yang disarankan atau approval and implement dispute settlement.
Proses mediasi bisa dikatakan berhasil apabila usulan, penawaran atau peranan
mediator dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Tetapi saran-saran
atau pun usulan-usulan mediator tidak mempunyai daya mengikat dan/atau
binding power. Jadi, mediator hanya berperan untuk mendamaikan tuntutan
kepentingan yang saling berlawanan serta meredam rasa dendam yang mungkin
timbul antara pihak-pihak yang bersengketa. Mediator dapat menggunakan asas
ex aequo et bono atau kepatutan dan kelayakan, karena sifatnya ini, cara
penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat lebih cocok digunakan untuk
sengketa - sengketa yang sensitif. Sengketa tersebut termasuk di dalamnya
adalah sengketa yang memiliki unsur politis, di samping itu sudah barang tentu
sengketa hukum.18

18
Dewa Gede, Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional Termasuk Didalam
Tubuh ASEAN, Perspektif Vol.XVII No.3, 2012, hlm 153-154.

11
5. Konsiliasi
Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak
ketiga (konsiliator) yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya karena
diminta oleh para pihak. Badan konsiliasi dapat merupakan badan yang telah
terlembaga atau ad hoc (sementara). Konsiliasi merupakan proses yang
berupaya mendamaikan pandangan-pandangan para pihak yang bersengketa
meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya
tidak mempunyai kekuatan hukum19

6. Arbitrase
Praktik penyelesaian perselisihan melalui pihak ketiga bukan
merupakan hal baru yang muncul bersamaan dengan munculnya pemerintahan-
pemerintahan modern, karena dalam sejarahnya yang panjang model
penyelesaian arbitrase ternyata sudah dipraktikkan oleh bangsa-bangsa yang
hidup sejak jaman Yunani Kuno. Aristoteles, misalnya menganggap arbitrase
sebagai alternative dari pengadilan karena keadilan bagi filosof besar ini
merupakan sesuatu yang berlaku ebih dari sekedar hukum tertulis. Sangatlah
adil kata Aristoteles memilih arbitrase dibandingkan pengadilan umum, karena
pandangan-pandangan arbiter selalu bertumpu pada keadilan, sementara hakim
hanya terfokus pada hukum. Alasan menunjuk arbiter dalam penyelesaian
perselisihan karena adanya jaminan dipenuhinya rasa adil bagi para pihak.20
Arbitrasi adalah sebuah salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa
yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Dalam penyelesaian suatu
kasus sengketa internasional, sengketa diajukan kepara para arbitrator yang
dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa. Menurut F. Sugeng
Istanto, arbitrasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa dengan mengajukan

19
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: RajaGrafindo,2004, hlm 202.
20
Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Australia,
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007, hlm. 1-2.

12
sengketa kepada orang-orang tertentu, yang dipilih secara bebas oleh pihak-
pihak yang bersengketa untuk memutuskan sengketa itu tanpa harus
memperhatikan ketentuan hukum secara ketat. Sementara itu, Moh. Burhan
Tsani (1990:109), menyatakan arbitrasi adalah suatu cara penerapan prinsip
hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui
sebelumnya oleh para pihak-pihak yang bersengketa. Sementara itu, Konvensi
Den Haag Pasal 37 Tahun 1907 memberikan definisi arbitrasi internasional
bertujuan untuk menyelesai sengketa-sengketa internasional oleh hakim-hakim
pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Dengan penyelesaian melalui jalur arbitrasi ini negara-negara harus
melaksanakan keputusan dengan itikad baik.21
Hakikatnya arbitrasi ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual
dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrasi hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan negara-negara bersengketa yang bersangkutan.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrasi dapat dilakukan dengan perbuatan
suatu compromise, yaitu penyerahan kepada arbitrasi suatu sengketa yang telah
lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrasi dalam suatu perjanjian
sebelum sengketa lahir (clause compromissoire). Penyerahan sengketa kepada
arbitrasi dapat dilakukan dengan menempatkannya di dalam perjanjian
internasional antara negara-negara yang bersangkutan. Perjanjian internasional
itu mengatur pokok sengketa yang dimintakan arbitrasi, penunjukkan tribunal
arbitrasi, batas wewenang arbitrasi, prosedur arbitrasi, dan ketentuan yang
dijadikan dasar pembuatan keputusan arbitrasi.22

21
Dewa Gede, Suatu Kajian…., Opcit, hlm. 151.
22
Ibid

13
7. Penyelesaian secara Yudisial
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dilakukan melalui
suatu pengadilan yudisial Internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya
dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Salah satu organ umum untuk
penyelesaian yudisial yang pada saat ini tersedia dalam masyarakat
Internasional adalah International Court of Justice (ICJ) yang menggantikan
dan melanjutkan kontinuitas Permanent Court of International Justice.
Pengukuhan kedudukan dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan pada
tanggal tersebut pendahulunya yaitu Permanent Court of International Justice,
dibubarkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada waktu sidang terakhirnya.
ICJ terbuka bagi negara-negara (anggota-anggota atau bukan anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa) peserta statuta dan bagi negara-negara lain,
dengan syarat-syarat yang ditentukan Dewan Keamanan PBB tunduk pada
ketentuan khusus yang dimuat dalam traktat-traktat yang berlaku dan syarat
tersebut tidak untuk menempatkan para pihak dalam kedudukan yang tidak
sama di hadapan Mahkamah (Pasal 35 statuta ICJ). Yuridiksi ICJ dapat
dibedakan menjadi 2 macam yakni:
a. Memutuskan perkara-perkara pertikaian (contentious case)
b. Memberikan opini-opini yang bersifat nasihat (advisory opinion).23

C. Tahapan Beracara Dalam International Tribunal For The Law Of The Sea (ITLOS)
Proses beracara dalam ITLOS terdiri dari dua tahapan yaitu tertulis dan oral.
Tahapan tersebut harus dilakukan tanpa penundaan dan beban yang tidak perlu.24
Bahasa yang digunakan dalam ITLOS ialah bahasa Inggris dan bahasa Perancis.25
Proses Beracara dalam ITLOS terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

23
J.G. Starke, Pengantar….., Opcit, hlm. 655.
24
Pasal 44, ayat 1, dan 49 Rules of Tribunal
25
Pasal 43 Rules of Tribunal

14
a. Institution of proceedings and representation of parties
Proses ini dimulai dengan pengajuan aplikasi atau dengan
pemberitahuan tentang special agreement. Setiap aplikasi atau special
agreement diajukan kepada Panitera dengan menggunakan bahasa resmi dari
Tribunal. Jika dibuat dalam bahasa lain, harus disertai dengan terjemahan ke
dalam salah satu bahasa resmi Tribunal. Apabila proses beracara didasarkan
pada suatu agreement dan bukan konvensi, maka salinan yang disahkan
(certified copy) harus disertakan pada aplikasi.26
Ketika proses dilakukan dengan cara aplikasi, Panitera segera
mengirimkan kepada responden salinan disahkan.27 Dalam hal proses
dilakukan dengan pemberitahuan special agreement dari satu atau lebih pihak,
Panitera segera mengirimkan salinan disahkan kepada pihak lain yang
bersengketa.28 Setelah proses dilakukan, aplikasi atau special agreement
diberitahukan oleh Panitera kepada negara yang berkepentingan dan kepada
semua Negara Pihak dalam UNCLOS 1982.29
Dalam suatu suatu organisasi internasional yang salah satu pihaknya
diajukan ke Tribunal oleh pihak yang lain atau proprio motu, harus memberikan
informasi sebagaimana hubungan antara organisasi dan negara anggotanya,
tentang bagaimana kompetensi terhadap pertanyaan spesifik yang muncul.
Proses beracara mungkin ditunda sampai informasi tersebut diterima30

b. Written proceedings
Written proceedings terdiri dari komunikasi pembelaan kepada
Tribunal maupun para pihak. Pembelaan berisi memorial dan counter-

26
Pasal 57 ayat 1 Rules of Tribunal.
27
Pasal 54, ayat 4 Rules of Tribunal
28
Pasal 55, ayat 1 Rules of Tribunal.
29
Pasal 24, ayat 2 dan 3 Statute of the Tribunal.
30
Pasal 57, ayat 2 Rules of Tribunal

15
memorial, dan apabila disetujui oleh Tribunal maka disertai juga dengan
jawaban dan dokumen yang mendukung.31 Setelah penerimaan pembelaan,
salinan pembelaan yang disahkan dan dokumen yang menyertainya
dikomunikasikan oleh panitera kepada para pihak.32

c. Initial deliberations
Sebelum pembukaan oral proceedings, para hakim akan bertemu dalam
rangka bertukar pendapat tentang kasus tersebut.33

d. Oral proceedings
Kecuali dalam kasus pelepasan kapal dan awak kapal serta provisional
measures, tanggal pembukaan oral proceedings dimulai enam bulan sejak
penutupan dari written kecuali ditentukan lain oleh Tribunal.34 Oral
proceedings terdiri dari hearing oleh wakil Tribunal, pengacara, advokat, saksi-
saksi dan para ahli.35 Hearings terbuka untuk umum kecuali ditentukan lain oleh
Tribunal atau atas permintaan para pihak.36
Selama hearings, para pihak dapat memanggil saksi-saksi dan ahli
dengan memberikan daftar kepada Tribunal. Saksi-saksi dan ahli lain dapat
dipanggil selama tidak ada keberatan dari pihak lain dan disetujui oleh Tribunal
sesuai dengan ketentuan Pasal 78, ayat 1 Rules of Tribunal. Oral proceeding
ditutup setelah seluruh presentasi tentang kasus selesai

31
Pasal 44 ayat 2,Pasal 60 dan Pasal 61 ayat 3 Rules of Tribunal.
32
Pasal 66 Rules of Tribunal.
33
Pasal 68 Rules of Tribunal dan Pasal 3 Resolution on the Internal Judicial Practice of the Tribunal.
34
Pasal 69 Rules of Tribunal
35
Pasal 44, ayat 3 Rules of Tribunal
36
Pasal 26, ayat 2 Statute of the Tribunal dan Pasal 74 Rules of Tribunal.

16
e. Joinder of proceedings
Tribunal bisa menjalankan proses peradilan terhadap dua atau lebih
kasus yang digabungkan.37 Hal tersebut pernah dilakukan pada saat Southern
Bluefin Tuna Cases antara Selandia Baru dan Australia melawan Jepang

f. Default
Ketika salah satu pihak tidak hadir atau tidak dapat mempertahankan
kasus, pihak lain dapat meminta tribunal untuk meneruskan proses dan
membuat keputusan. Sebelum membuat keputusan Tribunal harus yakin
mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut dan klaim tersebut didasarkan fakta
dan hukum.38

g. Deliberations
Setelah penutupan oral proceedings, Tribunal akan mengambil
kesimpulan. Kesimpulan masih bersifat rahasia dan berisi rincian pasal dan
perbedaan pandangan dalam pengambilan kesimpulan.

h. Judgement
Keputusan Tribunal bersifat final dan mengikat para pihak pada saat
dibacakan.39 Namun demikian dalam hal terjadi sengketa berkaitan dengan
pemahaman keputusan maka para pihak dapat meminta interpretasi. Permintaan
untuk revisi juga dapat diadakan dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur
dalam Pasal 27 ayat 1. Satu salinan keputusan ditandatangani oleh Presiden
Tribunal dan Panitera kemudian disegel dan disimpan dalam arsip Tribunal.
Salinan lainnya akan dibagikan kepada para pihak, negara pihak UNCLOS,

37
Pasal 47 Rules of Tribunal.
38
Pasal 28 Statute of the Tribunal
39
Ibid

17
Sekretaris Jenderal PBB, dan Sekretaris Jenderal International Seabed
Authority. Salinan keputusan dapat diberikan kepada publik dengan
permintaan.

i. Cost
Setiap pihak beracara dengan biaya sendiri kecuali ditentukan lain oleh
Tribunal.40

40
Pasal 34 Statute of the Tribunal.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih ZEE antara Indonesia dan
Malaysia dapat dilakukan melalui proses perundingan untuk melakukan
delimitasi. Dimana delimitasi batas maritim antarnegara adalah penentuan batas
wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan negara lain (tetangganya) di
laut
2. Proses Beracara dalam ITLOS terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: a.
Institution of proceedings and representation of parties, b. Written proceedings,
c. Initial deliberations, d. Oral proceedings, e. Joinder of proceedings, f.
Default, g. Deliberations, h. Judgement, i. Costs

B. Saran
Menurut penulis, dengan melihat masih banyaknya perkara tumpang tindih
ZEE dengan Negara-negara lain, maka hendaknya proses perundingan
Indonesia dipercepat dan melalui cara delimitasi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anthony Aust, Handbook of International Law, Cambridge University Press,


Cambridge, 2002

Dewa Gede, Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional


Termasuk Didalam Tubuh ASEAN, Perspektif Vol.XVII No.3, 2012

http://artikelddk.com/penyelesaian-sengketa-internasional-melalui-jasa-baik

http://www.bphn.go.id/data/documents/mekanisme_penyelesaian_konflik_antar_nega
ra_dlm_pengelolaan_sd_kelautan.pdf

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta:


RajaGrafindo,2004

I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007

J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2016


Laws of Malaysia Act 311 EEZ Act 1984

Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura dan


Australia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

Resolution on the Internal Judicial Practice of the Tribunal

20
Rules of Tribunal

Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI Press,


2006

Statute of the Tribunal.

Ummi yusnita, penyelesaian sengketa batas laut antara Indonesia dan Malaysia dalam
perspektif hukum internasional, binamulia hukum, vol.7 no.1, 2018

United Nation Convention on the Law OF the Sea 1982

UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia

UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

21

Anda mungkin juga menyukai