Klaim Teritorial China: Salah satu permasalahan utama adalah klaim teritorial China
atas sebagian wilayah Natuna sebagai bagian dari teritorialnya, yang bertentangan
dengan klaim Indonesia.
Sumber Daya Alam: Sengketa ini juga terkait dengan potensi sumber daya alam yang
melimpah di perairan Natuna, terutama cadangan gas alam yang signifikan.
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): Natuna berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia, yang menciptakan ketegangan karena klaim China yang melanggar hak
eksklusif Indonesia untuk eksploitasi sumber daya di wilayah tersebut.
Kekayaan Sumber Daya Alam: Pulau Natuna memiliki cadangan gas alam yang
sangat besar, yang menjadi sumber daya ekonomi yang sangat bernilai.
Kedekatan dengan Laut China Selatan: Natuna terletak dekat dengan Laut China
Selatan, yang menjadi wilayah sengketa dengan banyak negara di kawasan, termasuk
China. Kedekatan ini membuat Natuna menjadi penting strategis.
Sengketa Natuna mencakup masalah klaim teritorial, sumber daya alam yang kaya, dan
aspek geostrategis yang menjadikannya sebagai wilayah yang dipersengketakan di
antara Indonesia dan China.
Daya tarik sumber daya alam dan posisi strategis membuat sengketa ini menjadi salah
satu isu yang kompleks dalam hubungan internasional di kawasan tersebut.
Kedua negara mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai milik mereka masing-
masing, sehingga muncul sengketa kepemilikan.
b. Sejarah Kolonialisme
Sengketa ini juga terkait dengan sejarah kolonialisme, di mana Inggris pernah membuat
peraturan terkait perlindungan penyu di pulau-pulau ini dan menagih pajak dari
peternaknya. Sejarah ini menjadi dasar klaim Malaysia terhadap pulau-pulau tersebut.
Meskipun pada tahun 1988 Indonesia dan Malaysia mencapai kesepakatan status quo
terkait kedua pulau ini, keduanya memiliki pandangan berbeda tentang apa yang
dimaksud dengan status quo. Hal ini memunculkan ketidaksepakatan lebih lanjut.
Pada tahun 1998, Indonesia dan Malaysia memutuskan untuk membawa kasus ini ke
Mahkamah Internasional (ICJ) untuk penyelesaian.
b. Keputusan ICJ
Pada tanggal 17 Desember 2002, ICJ mengeluarkan keputusan bahwa Pulau Sipadan
dan Ligitan menjadi milik Malaysia.
Keputusan ini didasarkan pada asas kedaulatan yang pernah dilakukan di pulau-pulau
tersebut sebelum perjanjian Juanda, terutama penarikan pajak oleh Inggris.
Dari 17 hakim ICJ, 16 mendukung putusan ini, sementara hanya satu yang menolak.
c. Penyerahan Pulau
Akibat keputusan ICJ, Indonesia harus merelakan kedua pulau tersebut jatuh ke
tangan Malaysia.
Meskipun demikian, hal ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya menjaga
kedaulatan wilayah negara.
b. Penyelesaian Damai
Kasus ini menunjukkan pentingnya penyelesaian sengketa melalui jalur diplomatik dan
hukum internasional, seperti Mahkamah Internasional, sebagai alternatif dari konflik
bersenjata.
Negara-negara harus tetap waspada terhadap klaim wilayah dari pihak lain dan
berupaya mempertahankan hak-hak kedaulatan mereka dengan bukti yang kuat dan
berlandaskan hukum.
Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan memberikan pelajaran penting tentang
pentingnya menjaga kedaulatan wilayah negara dan penyelesaian damai sengketa
melalui lembaga hukum internasional.
Kerjasama Ekonomi dan Sosial: Zona ini tidak hanya fokus pada aspek ekonomi,
tetapi juga sosial, budaya, dan lingkungan.
Hal ini harus dilakukan dengan itikad baik dan komitmen kuat dari kedua belah pihak.
Pembentukan zona aman batas wilayah yang berfokus pada kerjasama dan
pembangunan bersama adalah langkah penting dalam mencegah sengketa
antarnegara.
Dengan pendekatan ini, kedua negara dapat saling menguntungkan dan meminimalkan
potensi konflik.