UNIVERSITAS KHAIRUN
FAKULTAS HUKUM
Kampus II Jl. Jusuf Abdurahman Kel. Gambesi Kota Ternate Selatan
1) Buatlah ringkasan materi terkait macam-macam alat bukti, sebagaimana telah diatur secara
eksplisit dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 BW yang pada intinya
adalah sebagai berikut:
Alat bukti surat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua
macam : akta dan surat-surat lain yang bukan akta. Akta dibedakan menjadi : akta
otentik dan akta dibawah tangan. Fungsi akta secara formil (formalitas
causa) merupakan pengakuan yuridis atas perbuatan hukum serta sebagai alat
bukti (probationis causa) adalah untuk pembuktian di kemudian hari dan sebagai
alat bukti. Kekuatan pembuktian akta meliputi : kekuatan pembuktian lahir yakni
kekuatan pembuktian yang didasarkan pada bentuk fisik/lahiriah sebuah maka
memiliki kekuatan sebagai akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya, bagi yang
menyangkal harus dapat membuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian formil
menyangkut benar tidaknya pernyataan oleh orang yang bertanda tangan di dalam
akta tersebut, kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa
mengenai pejabat dan para pihak benar menyatakan dan melakukan apa yang dimuat
dalam sebuah akta. Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang
peristiwa mengenai pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang
dimuat dalam akta sehingga memberikan kepastian tentang materi suatu akta.
Surat-surat lain yang bukan akta antara lain : register/buku daftar, surat-surat rumah
tangga, catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas
hak/titel yang selama dipegangnya. Kekuatan pembuktiannya adalah bebas
(vide pasal 294 RBG). Salinan grosse adalah salinan asli dan apabila dibubuhi irah-
irah makan memiliki kekuatan eksekutorial dan kekuatan pembuktiannya sama
dengan aslinya. Salinan ekspedisi merupakan salinan otentik yang tidak memiliki
kekuatan eksekutorial. Salinan yang dibuat oleh notaris (copie collatione) dapat
diterima sebagai bukti sempurna, apabila akta aslinya telah hilang (vide pasal 1889
ayat (2e) KUHPerdata). Salinan surat tanpa ada aslinya jika tidak dibantah oleh
pihak lawan maka nilainya sebagai akta bukan akta otentik. Nazegeling/pemeteraian
kemudian seperti surat korespondensi biasa yang kemudian dijadikan sebagai alat
bukti dimuka persidangan harus diubuhi meterai. Kekuatan pembuktiannya sama
dengan alat bukti tertulis yang dibubuhi meterai. Alat bukti surat yang diajukan
dihadapan persidangan wajib dimeteraikan. Surat pernyataan merupakan bukti yang
tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide Putusan MARI No.3428 K/Pdt/1985
tanggal 26 Februari 1990).
2. Alat bukti dengan saksi;
Syarat formil alat bukti saksi antara lain : saksi tersebut tidak dilarang sebagai saksi
menurut pasal 145 HIR/172 RBG, saksi menerangkan sesuai ketentuan pasal 144
ayat (2) HIR/171 ayat (2) RBG, saksi mengucapkan sumpah sesuai ketentuan pasal
147 HIR/175 RBG, saksi diperiksa satu demi satu sesuai ketentuan pasal 144 ayat
(1) HIR/171 ayat (1) RBG. Sedangkan syarat materiil alat bukti saksi adalah :
keterangan yang diberikan saksi bersumber dari penglihatan dan pendengaran
sendiri, serta apa yang dialami saksi, pendapat kesimpulan saksi bukan merupakan
kesaksian (vide pasal 171 HIR/308 RBG), keterangan antara satu saksi dengan saksi
yang lainnya saling berkesesuaian (vide pasal 170 HIR/309 RBG). Batas minimal
alat bukti saksi sekurang-kurangnya dua orang saksi karena kalau satu orang saksi
bukan merupakan saksi. Hal ini sesuai dengan asas unnus testis nullus testis (vide
pasal 169 HIR/306 RBG).
Kualifikasi keterangan saksi baru dapat diterima sebagai alat bukti apabila saksi
menerangkan perihal yang dilihat, didengar, dialami (vide pasal 171 ayat (1),(2)
HIR/ 308 RBG). Keterangan saksi yang tidak memenuhi kaidah dalam HIR/RBG
tersebut bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditu/ keterangan seorang
saksi mengenai suatu fakta atau kejadian, bersumber dari kata orang lain). Namun
kesaksian de auditu dapat dipakai untuk mendukung alat bukti saksi batas minimal.
Ketika memberikan keterangan kesaksian seorang saksi dilarang membuat sebuah
kesimpulan, mengemukakan pendapat, memperkirakan sendiri, apabila hal tersebut
terjadi dalam sebuah kesaksian maka keterangannya harus dikesampingkan (vide
pasal 171 ayat (2) HIR/ pasal 308 ayat (2) RBG).
Kualifikasi seseorang yang tidak boleh diajukan menjadi saksi antara lain sebagai
berikut : orang yang memiliki hubungan keluarga sedarah, keluarga semenda
menurut keturunan lurus dari salah satu pihak, suami atau istri walaupun sudah
bercerai, anak yang belum berumur 15 tahun, orang gila walau bersifat temporer
(vide pasal 145 ayat (1) HIR/172 RBG).
2) Berdasarkan Pasal 163 HIR dan 283 RBg disebutkan “barangsiapa mengatakan ia
mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu
atau untuk membantah hak orang itu harus membuktikan adanya hak atau kejadian
itu.
Dari pasal tersebut, telah jelas bahwa yang perlu dibuktikan adalah hak atau peristiwa
yang didalilkan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun tidak semua hak atau
peristiwa dibuktikan, hanya hak atau peristiwa yang dibantah oleh pihak lawan.
Jelaskan secara detail tentang hal-hal yang tidak perlu dibuktikan, sebagai berikut:
3). Buat pula ringkasan materi mengenai notaire feiten dalam hal pembuktian, dan
berikan analisis saudara mengenai perbedaannya dengan beban pembuktian.
NOTOIRE FEITEN Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan.
Penjelasan Pasal 184 ayat (2) KUHAP tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud
dengan “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Namun terkait dengan maksud Pasal 184 ayat (2) KUHAP tersebut, Yahya
Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal.
276), menjelaskan bahwa lazimnya bunyi rumusan Pasal 184 ayat (2) ini selalu
disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally known) yang berarti setiap
hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan
sidang pengadilan.
Selanjutnya Yahya menjelaskan bahwa dalam penerapan notoire feiten harus
memperhatikan hal berikut:
1. majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu “kenyataan” yang
dapat dijadikan sebagai “fakta” tanpa membuktikan lagi;
2. akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, “tidak bisa berdiri
sendiri” membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain,
kenyataan yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten “tidak cukup”
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada
hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Hal ini yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan
penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan “tertentu saja”. Bukan sesuatu
yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.
Jadi secara sederhana, hal yang secara umum diketahui (notoire feiten) tidak perlu
dibuktikan dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP hanya digunakan sebagai penilaian
terhadap hal yang secara umum saja dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti untuk
membuktikan kesalahan terdakwa karena notoire feiten tidak tergolong sebagai alat
bukti.
Perbedaan notoire feiten dengan beban pembuktian menurut analisis saya adalah,
yang kita ketahui bahwa notoire feiten adalah setiap hal yang sudah diketahui oleh
umum, yang tidak perlu lagi dibuktikan dalam pengadilan, sedangkan beban
pembuktian dibebankan kepada pihak yang berkepentingan tidak hanya penggugat
tapi juga kepada tergugat, yakni ketika terdakwa menyangkal dalil gugatan. Beban
pembuktian ini akhirnya menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan tuntuk
membuktikan benar/tidaknya gugatan didepan pengadilan. Jadi, kedua hal tersebut
merupakan hal yang sangat berbeda.