Anda di halaman 1dari 34

DEPARTEMEN ILMU THT-KL LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2024


UNIVERSITAS KHAIRUN

HIPERTROFI KONKA, HIPERTROFI ADENOID,


Dan HIPERTROFI TONSIL

Disusun oleh:
Ummuhani Abubakar
10119220088

Pembimbing:
dr. Andre Iswara, Sp. THTBKL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2024

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta sahabatnya dan kluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan kasus dengan judul “Hipertrofi Konka, Hipertrofi Adenoid, Dan
Hipertrofi Tonsil” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik di bagian Ilmu Penyakit THT-KL .
Selama persiapan dan penyusunan laporan kasus ini rampung, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran dan
kritik dari berbagai pihak akhirnya laporan kasus ini dapat terselesaikan
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada dr. Andre Iswara, Sp. THTBKL selaku pembimbing
yang telah memberikan masukan yang sangant bermanfaat sehingga laporan
kasus ini dapat terselesaikan.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan
rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan Laporan kasus ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan laporan kasus ini. Saya berharap sekiranya laporan kasus ini
dapat bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Ternate, 29 Februari 2024


Hormat Saya,

Penulis

PAGE \* MERGEFORMAT 35
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ummuhani Abubakar

NIM : 10119220088

Judul : Hipertrofi Konka, Hipertrofi Adenoid, Dan Hipertrofi Tonsil

Telah menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Hipertrofi Konka,


Hipertrofi Adenoid, Dan Hipertrofi Tonsil” dan telah disetujui serta telah
dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam rangka kepaniteteraan klinik
bagian THT-Kl.

Ternate, 29 Februari 2024

Menyetujui,

Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

dr. Andre Iswara, Sp. THT-KL Ummuhani Abubakar

PAGE \* MERGEFORMAT 35
BAB I
PENDAHULUAN

Hidung memang bukan merupakan penyakit yang berat, tetapi gejala dari
sumbatan hidung itu sendiri dapat mengganggu aktivitas penderita dan dapat
menurunkan kualitas hidup penderita. Etiologi dari sumbatan hidung itu sendiri
dapat berbagai macam. Salah satu etiologinya adalah kelainan anatomi, yaitu
septum deviasi. Deviasi septum hidung merupakan kondisi yang kerap terjadi
dimana kondisi ini dapat menyebabkan sumbatan pada hidung seseorang. Hal in
dapat menyebabkan perubahan yang permanen pada mukosa hidung dan sinus
oleh karena perubahan ventilasi pada rongga hidung.
Hidung merupakan pintu masuk bagi udara, itu sebabnya hidung memiliki
peranan yang penting dalam proses pernafasan. Selain menghangatkan,
melembabkan dan menyaring udara yang masuk, hidung juga dapat menjaga
homeostasis saluran pernafasan. Jika terjadi sumbatan pada hidung, maka akan
memperngaruhi proses pernafasan seseorang. Sumbatan hidung akan mengganggu
aliran udara pada hidung. Aliran udara melalui hidung biasanya asimetris karena
kongesti dan dekongesti sinus vena hidung pada ujung an terior dari konka
inferior dan septum hidung. Jika terjadi pembengkakan turbinate seperti pada
kondisi rinitis alergi maupun non alergi, polip hidung, deviasi septum nasi dan
konka hipertrofi, maka akan terjadi gangguan aliran udara pada hidung.
Sumbatan hidung adalah keadaan dimana hidung tersumbat yang dapat
menyebabkan masalah yang menantang pada seseorang. Keadaan ini sungguh
sangat mengganggu proses pernafasan seseorang. Penyebab dari sumbatan hidung
itu sendiri bisa berbagai macam, yaitu septum deviasi, hipertrofi konka, rhinitis
alergi, polip, dan lain-lain.

PAGE \* MERGEFORMAT 35
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPERTROFI TONSIL
1. Anatomi
Pembentukan tonsil berasal dari proliferasi selsel epitel yang melapisi
kantong faringeal kedua. Tonsil dan adenoid merupakan suatu bagian
terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada
usia pubertas. Tonsil palatina merupakan jaringan limfoid yang terletak
pada fossa tonsil disudut orofaring. Bagian anterior pilar tonsil dibentuk
oleh otot palatopharingeus, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor
superior, pada bagian superior palatum mole, bagian inferior oleh tonsil
lingual, dan bagian medial oleh ruang orofaring. Pada permukaan bebas
tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil dan membentuk
kantong yang dikenal dengan kripte. Epitel kripte tonsil ini bersifat semi-
permiabel, kemudian epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari
pernapasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil.

Gambar 1. Anatomi Tonsil

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Tonsil yang mendapatkan perdarahan yang baik dengan suplai
darah yang berasal dari cabangcabang arteri karotis eksterna. Arteri
tonsilaris memberikan cabang untuk palatum mole dan tonsil dengan arteri
ini berjalan ke arah atas pada bagian luar otot konstriktor superior. Arteri
faringeal asenden memberikan cabangnya ke tonsilyang melalui bagian
luar otot konstriktor faring superior. Pada arteri palatina asenden ini
memberikan percabangannya melalui otot konstriktor faring posterior
menuju tonsil. Sedangkan yang arteri palatina desenden ini membentuk
anastomosis dengan arteri palatina asenden yang memberikan perdarahan
pada tonsil dan palatum mole. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah
dan mengirimkan cabangnya ke tonsil, plika posterior dan plika anterior.

2. Definisi
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsila palatina yang
merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas
susunan kelenjar limfa yang terdapat pada rongga mulut yakni: tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah) tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring /
Gerlach’s tonsil). Sebagai bagian dari sistem imun, tonsil dapat membantu
tubuh untuk melawan infeksi yang ikut masuk Bersama minuman atau
makanan dan udara saat kita bernapas.

Gambar 2. Cincing Waldayer

PAGE \* MERGEFORMAT 35
3. Etiologi
Peradangan pada tonsil ini dapat disebabkan oleh infeksi baik oleh virus
ataupun bakteri yakni infeksi grup A Streptococcus Beta hemoliticus,
Pneumococcus, Stphylococcus dan Haemofilus influenza, hal ini biasanya
menyerang anak-anak pada umur pra-sekolah hingga dewasa. Bakteri
menyebabkan sekitar 16-30 % kasus faringotonsilitis dan grup A
Streptococcus Beta hemoliticus yang merupakan bakteri terbanyak. Pada
umumnya sama dengan tonsilitis akut tetapi terkadangkadang kuman bisa
berubah menjadi kuman gram negatif. Tonsilitis kronis terjadi kejadian
yang berulang daripada tonsilitis akut yang dapat menyebabkan kerusakan
secara permanen pada jaringan tonsil tersebut dan kerusakan ini bisa
disebabkan oleh resolusi tidak sempurna oleh tonsilitis akut.
4. Klasifikasi
1. Tonsillitis akut
a. Tonsillitis bacterial
radang akut tonsil data disebabkan kuman grup A streptococcus B
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, streptococcus
viridian dan streptococcus piogenes. Infiltrasi ba
b. Tonsillitis viral
5. Patofisiologi
Infeksi pada tonsil dapat terjadi jika antigen ingestan maupun
antigen inhalan dapat dengan mudah masuk kedalam tonsil dan terjadilah
perlawanan imun tubuh yang kemudian terbentuklah focus infeksi. Pada
awalnya infeksi ini bersifat akut yang biasanya disebabkan oleh virus yang
berkembang dimembran mukosa kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Setelah peradangan akut ini, tonsil bisa benar-benar membaik seperti
semula. Penyembuhan yang tidak sempurna ini dapat menyebabkan
peradangan berulang pada tonsil. Bila hal ini terjadi maka bakteri pathogen
akan bersarang didalam tonsil yang bisa menyebabkan peradangan yang
bersifat kronis. Akibat dari terjadinya peradangan kronis ini, sampai-sampai
ukuran tonsil yang membesar akibat terjadinya hiperplasia parenkim atau

PAGE \* MERGEFORMAT 35
degenerasi fribrinoid dengan obstruksi kripte tonsil. Sumbatan pada kripte
tonsil dapat mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen
didalam kripte, yang kemudian memudahkan bakteri masuk kedalam
parenkim tonsil.
6. Diagnosis Tonsilitis Kronis
Untuk menegakkan diagnosis dari tonsilitis kronis kita memerlukan
beberapa prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Untuk anamnesis dapat meliputi keluhan utama penderita saat
berkunjung ke puskesmas yakni berupa nyeri tenggorokan, lantas keluhan
yang dirasakan tersebut sifatnya berulang-ulang dirasakan pasien dan tidak
mudah menghilang dengan pengobatan yang adekuat. Selain nyeri
tenggorok pasien pun dapat merasa malaise dan terkadang-kadang pasien
mengeluh sakit pada daerah sendi.
 Pemeriksaan Fisik
Saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien diduga mengidap
tonsilitis kronis, akan didapatkan pasien mengalami demam dan tampak
adanya pembesaran ukuran tonsil. Ukuran pembesaran tonsil pada setiap
pasien itu bisa berbeda-beda, terkadang tonsil dapat bersua ditengah yang
kemudian menimbulkan keluhan kesulitan bernapas dan susah menelan
pada pasien. Pada pemeriksaan akan tampak tonsil mendapati peradangan
berupa warna kemerahan dan kripte yang melebar. Selain itu pula akan
bisa ditemukan bercak-bercak berwarna putih kekuningan didalam kripte
tonsil yang biasa dikenal dengan detritus yakni kumpulan bakteri yang
telah mati dan leukosit. Pada pembesaran KGB (Jugulodigastric nodes) di
daerah servikal, tidak memiliki nafsu makan, dan bau napas yang tidak
sedap. Jika semua keluhan ditemukan maka gejala klinis diatas maka
diagnosis tonsilitis kronis bisa ditegakkan.
 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium salah satunya pemeriksaan mikrobiologi, yakni
melewati swab jaringan inti tonsil maupun permukaan tonsil. Gold

PAGE \* MERGEFORMAT 35
standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Pemeriksaan
kultur pada inti tonsil bisa memberikan gambaran dari penyebab tonsilitis
yang lebih akurat karena bakteri yang menginfeksi tonsil merupakan
bakteri yang masuk kedalam parenkim tonsil, meskipun pada permukaan
tonsil mengalami kontaminasi dengan flora-flora normal disaluran
pernapasan atas kemudian bisa jadi bukan bakteri yang menginfeksi tonsil.
Pemeriksaan permukaan tonsil ini dilakukan setelah pasien sudah dalam
keadaan dibius dan sudah diswab dengan lidi kapas steril. Sedangkan
pemeriksaan inti tonsil dikerjakan dengan cara mengambil swab sesaat
sesudah tonsilektomi.
Selain pemeriksaan mikrobiologi ini, adapula pemeriksaan
histopatologi yang dikatakan dapat dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis tonsilitis kronis. Pada pemeriksaan histopatologi ini, terdapat
tiga kriteria yang dapat digunakan yakni ditemukan ringan-sedang
infiltrasi limfosit, infiltrasi limfosit yang difus, dan adanya abses Ugra.
Kemudian dengan gabungan ketiga kriteria itu ditambah dengan beberapa
histopatologi lainnya dapat diketahui jelas dalam menegakkan diagnosis
dari tonsilitis kronis.
7. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan tonsilitis kronis ini meliputi beberapa terapi
operatif dan medikamentosa. Terapi ini difokuskan untuk menanggulangi
higiene mulut yang kurang bersih melalui pemberian antibiotic. Antibiotik
tipe penisilin masih digunakan pada Sebagian besar kasus. Pada kasus yang
berulang dapat meningkatkan berlangsungnya perubahan bakteriologi
kemudian perlu diberikan antibiotik selain tipe penisilin.
Pada terapi pembedahan pada tonsilitis kronis dapat dilaksanakan
jika terapi konservatif tidak sukses. Tonsilektomi adalah nama dari
Tindakan pembedahan ini. Untuk indikasi tonsilektomi yang dahulu dan
sekarang tidak jauh berbeda, akan tetapi saat ini ada sedikit perbedaan
dalam menetapkan indikasi tonsilektomi. Menurut The American Academy
of Otolaryngology - Head and Neck Surgery Clinical Indicators

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Compendium menetapkan:
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial
3) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmunae
4) Sinusitis dan rhinitis yang kronis, peritonsilitis, dan abses peritonsil
yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan
5) Napas bau yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri A Streptococcus
Beta hemoliticus.
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media supuratif / otitis media efusa
Adapun kontraindikasi dari Tindakan tonsilektomi yakni pada risiko
anastesi penyakit berat, anemia, gangguan perdarahan, dan infeksi akut
yang berat. Keadaan itu disebutkan sebagai kontraindikasi tonsilektomi.

8. Komplikasi
Radang kronis dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa berupa rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat timbul endocarditis, myositis, nefritis, artritis, dermatitis,
pruritus, dan furunkulosis. Adapun peradangan kronis pada tonsil yang
dapat menimbulkan beberapa komplikasi lainnya, seperti:
a) Abses parafaring yang terjadi akibat proses supurasi kelenjar getah
bening leher bagian dalam, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal dan
mastoid
b) Obstructive sleep apnea biasanya terjadi pada anak-anak, tetapi tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi pada orang dewasa. Hal ini dapat

PAGE \* MERGEFORMAT 35
terjadi jika terdapat pembesaran pada tonsil dan adenoid terutama pada
anak-anak.
c) Abses peritonsillar, untuk abses ini bisa terjadi karena adanya perluasan
infeksi pada kapsul tonsil sehingga mengenai jaringan sekitarnya.
Pasien biasanya akan mengeluhkan nyeri tenggorok, sulit menelan,
kesulitan membuka mulut, adanya pembesaran tonsil unilateral dan
membutuhkan penanganan berupa pemberian antibiotik dan
tonsilektomi. Biasanya komplikasi ini sangat sering terjadi pada kasus
tonsilitiss berulang.
9. Prognosis
Tonsilitis merupakan sebuah penyakit yang sering ditemukan dan
pada umumnya dapat sembbuh dalam waktu beberapa hari dengan
pemberian terapi yang tepat. Pemilihan terapi antibiotik dalam
penatalaksanaan tonsilitis perlu memperhatikan penyebabnya sesuai dengan
bukti empiris yang sudah ada, sehingga akan dapat mengurangi resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang
tepat dan benar pada penyakit ini.

B. HIPERTROFI ADENOID
1. Anatomi
Adenoid adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada
dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer.
Secara fisiologik ini membesar ada anak usia 3 tahun dan kemudian akan
mengecil dan hilang sama

2. Definisi
Hipertrofi adenoid adalah pembesaran jaringan adenoid. 5 Hal ini

PAGE \* MERGEFORMAT 35
sering terjadi akibat infeksi saluran nafas bagian atas berulang. Hipertrofi
dan infeksi dapat terjadi secara terpisah tetapi sering terjadi bersama.
Struktur adenoid yang lunak dan normalnya tersebar dalam nasofaring,
terutama pada dinding posterior dan atapnya, mengalami hipertrofi dan
terbentuk massa dengan berbagai ukuran. Massa ini dapat hampir mengisi
ruang nasofaring, mengganggu saluran udara yang melalui hidung,
mengobstruksi tuba eustachii, dan memblokade pembersihan mukosa
hidung.

3. Etiologi
Etiologi hipertrofi adenoid dapat diringkas menjadi dua yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami
hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian mengecil
dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Hipertrofi adenoid
biasanya asimptomatik, namun jika cukup besar akan menyebabkan gejala.
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi
kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA. Etiologi
pembesaran adenoid sebagian besar disebabkan oleh infeksi yang berulang
pada saluran nafas bagian atas.

4. Patogenesis
Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas tubuh. Adenoid
merupakan jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin
Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting dalam sistem
pertahanan tubuh lini terdepan dalam proteksi tubuh dari mikroorganisme
dan molekul asing.
Pada anak-anak pembesaran adenoid terjadi karena aktivitas imun,
karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid
pertama dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan
tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus
dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada epitel kripta,

PAGE \* MERGEFORMAT 35
folikel limfoid, dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari
jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu
sendiri dan mikroorganisme patogen.
Adenoid dapat membesar yang mengakibatkan tersumbatnya jalan
udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan usaha yang keras untuk
bernafas. Akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid
dapat menyebabkan obstruksi di saluran udara pada nasal sehingga
mempengaruhi suara.
Pembesaran adenoid juga menyebabkan obstruksi pada tuba
eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan
dalam telinga tengah akibat gangguan fungsi tuba eustachius yang tidak
bekerja efisien karena adanya sumbatan.
5. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan utama pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya adalah
hidung tersumbat, rhinore, kualitas suara berkurang (hiponasal), dan
obstruksi nasal berupa pernapasan lewat mulut yang kronis (chronic mouth
breathing), mendengkur, gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli
konduktif (merupakan penyakit sekunder otitis media rekuren atau efusi
telinga tengah yang persisten) dan facies adenoid.
Jika seseorang mengalami infeksi pada saluran napas bagian atas
berulang, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan menyebabkan
sumbatan pada koana dan tuba eustachius. Akibat sumbatan koana maka
pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi;
1). Lengkung palatum durum meninggi dan menyempit, area dentalis
superior lebih sempit dan memanjang daripada arcus dentalis inferior
hingga terjadi maloklusi dan overbite (gigi incisivus atas lebih
menonjol ke depan),
2) Wajah pasien terlihat seperti anak bodoh, yang dikenal sebagai facies
adenoid,
3) Mouth breathing mengakibatkan udara pernafasan tidak disaring dan

PAGE \* MERGEFORMAT 35
kelembabannya berkurang, sehingga mudah terjadi infeksi,
4) Sumbatan tuba eustachius akan memicu otitis media serosa baik rekuren
maupun residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian. Obstruksi ini
juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.
Secara umum anak-anak dengan pembesaran adenoid memiliki
karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal dan
pertumbuhan maksilla akibat mouth breathing. Gambaran wajah ini terdiri
dari postur bibir yang terbuka atas yang lebih pendek; hidung yang kurus,
maksilla yang sempit dan hipoplastik, dan high-arched palate.
Kelainan pertumbuhan ini dikarenakan kelainan oklusi cross bite dan
open bite. Pada sebuah penelitian menunjukkan hubungan yang sangat erat
antara pembesaran adenoid dan kelainan dental, serta maksilla. Alasan
alternatif adalah bahwa kelainan rahang atas ini didapat dari variasi
normal. Hubungan kausatif antara pembesaran adenoid dan kelainan
maxilla tidak pernah diteliti.
Mouth breathing dan rhinitis yang terus menerus merupakan gejala
paling khas. Pernapasan mulut dapat muncul hanya saat tidur, terutama
bila anak tidur terlentang, bila mendengkur, kemungkinan juga terjadi.
Dengan adanya hipertrofi adenoid yang berat, mulut akan terus terbuka,
sehingga membran mukosa mulut serta bibir menjadi kering.
Nasofaringitis kronis dapat terjadi secara konstan dan dapat berulang.
Kualitas suara berubah menjadi suara hidung, serak. Pernapasan terasa
menusuk hidung, indra pengecap serta penciuman pun terganggu. Batuk
yang mengganggu dapat muncul akibat dari drainase nanah ke dalam
faring bawah atau iritasi laring dan udara inspirasi yang belum dipanasi
serta dilembabkan oleh karena masuk melalui mulut. Gangguan
pendengaran juga dapat dijumpai. Otitis media kronis dapat terjadi karena
adanya hipertrofi adenoid yang terinfeksi dan blokade orifisium tuba
eustachii. Pernapasan mulut kronis memberi kecenderungan lengkungan
palatum tinggi, sempit, dan mandibula memanjang. Tidak jarang
ortodontis merujuk untuk melakukan pemeriksaan obstruksi hidung dan

PAGE \* MERGEFORMAT 35
adenoidektomi.
Sejumlah kecil anak dengan pembesaran adenoid (juga tonsil) yang
nyata tidak mampu bernapas dengan mulut selama waktu tidur, sehingga
terjadilah obstructive sleep apnea Mereka mendengus dan mendengkur
keras dan sering menampakkan tanda-tanda kegawatan pernapasan, seperti
retraksi interkostal dan pelebaran lubang hidung. Anak ini berisiko
mengalami insufisiensi pernapasan (hipoksia, hiperkapnea, asidosis).11
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terbagi dua yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung yaitu:
 Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle
waktu mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid,
hal ini disebut fenomena palatum molle yang negatif.
Sedangan secara tidak langsung yaitu:
 Dengan pemeriksaan rhinoskopi posterior, menggunakan cermin
dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah orofaring
 Dengan nasofaringoskop, suatu alat yang mempunyai sistem lensa
dan lampu diujungnya, dimasukkan melalui cavum nasi, sehingga
nasofaring dapat terlihat.
Pemeriksaan klinis yang dilakukan pada anak dengan obstruksi
nasal kebanyakan sulit dipercaya. Pemeriksaan cavum nasi yang
dilakukan dengan rinoskopi anterior dapat terlihat normal atau dapat
menunjukkan peningkatan sekresi, hipertrofi, maupun kongesti
(hiperemis atau kebiruan) di konka. Pada beberapa anak, pemeriksaan
nasofaring dengan kaca laring dapat mengidentifikasi adenoid yang
besar. Akan tetapi, pada beberapa anak pemeriksaan dengan kaca laring
ini tidak mungkin dilakukan. Cara yang paling mungkin untuk
mengidentifikasi ukuran adenoid ini adalah dengan menggunakan foto
lateral. Foto radiologi ini akan memberikan pengukuran absolut dari
adenoid dan juga dapat memberikan taksiran hubungannya dengan
ukuran jalan napas. Hal ini adalah metode terbaik untuk menentukan

PAGE \* MERGEFORMAT 35
apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala obstruksi nasal.
c) Pemeriksaan Penunjang
1. foto Polos
Ukuran adenoid biasanya dideteksi dengan menggunakan foto
polos true lateral. Hal ini memiliki kekurangan karena hanya
menggambarkan ukuran nasofaring dan massa adenoid dua dimensi.
Namun, Holmberg dan Linder- Aronson (1979) menemukan hubungan
yang signifikan antara ukuran adenoid yang diukur pada foto kepala
lateral dan adenoid yang diukur secara klinis menggunakan
nasofaringoskopi.
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena
ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruksi.

2) CT Scan dan MRI


CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding dari hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor. Gambaran

PAGE \* MERGEFORMAT 35
hipertrofi adenoid yang terdapat pada CT scan dan MRI adalah
gambaran densitas/intensitas rendah tanpa adanya central midline cyst.
3) Endoskopi
Endoskopi cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi
adenoid, infeksi adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta
untuk menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal. Adapun
ukuran adenoid diklasifikasikan menurut klasifikasi Clemens et al, yang
mana adenoid grade I adalah ketika jaringan adenoid mengisi sepertiga
dari apertura nasal posterior bagian vertikal (choanae), grade II ketika
mengisi sepertiga hingga dua per tiga dari koana, grade III ketika
mengisi dua per tiga hingga obstruksi koana yang hampir lengkap dan
grade IV adalah obstruksi koana sempurna.

6. Penatalaksanaan
Terapi pada hipertrofi adenoid adalah dengan terapi bedah
adenoidektomi menggunakan adenotom. Beberapa penelitian menerangkan
manfaat dengan menggunakan steroid spray intranasal pada anak dengan
hipertrofi adenoid. Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan
pengobatan dapat mengecilkan adenoid (sampai 10%). Tetapi jika
pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut akan terulang lagi.
Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis media yang
rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekurensi. Indikasi
adenoidektomi adalah:
- Sumbatan; Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui
mulut, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan
bentuk wajah dan gigi (facies adenoid).
- Infeksi; adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/kronik,
otitis media akut berulang.
- Kecurigaan neoplasma jinak/ganas.
Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi umum
dan penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat
beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila

PAGE \* MERGEFORMAT 35
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat tetap dilaksanakan dengan
mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Keadaan tersebut antara lain
insufisiensi palatum, gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau
penyakit berat anemianfeksi akut yang berat, penyakit berat lain yang
mendasari.
7. Komplikasi
Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila
pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan
terjadinya kerusakan dinding posterior faring. Bila kuretase terlalu ke
lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi
tuba eustachius dan timbul tuli konduktif.
Hipertrofi adenoid merupakan salah satu penyebab tersering dari
obstruksi nasal dan dengkuran, dan merupakan salah satu penyebab
terpenting dari obstructive sleep apnea syndrome atau OSAS, khususnya
ketika terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi jalan napas
bagian atas, antara lain seperti anomali kraniofasial, maupun micrognathia
akibat sindrom Treacher Collins.
8. Prognosis

Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada


kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat
sembuh sempurna, sleep apnea dan obstruksi jalan nafas dapat teratasi.
Terjadi penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidektomi. Suatu
penelitian menunjukkan adanya resolusi gejala sinusitis setelah
pengangkatan adenoid. Suatu penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30-
50% terjadi penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidectomy.
Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala obstruksi
nasal seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan sendirinya.

C. HIPERTROFI KONKA
1. Anatomi
Kavum nasi berbatasan secara lateral dengan dinding lateral hidung.

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Struktur-struktur penting terdapat pada dinding lateral ini yaitu konka, ostium
sinus dan orifisium duktus lakrimal. Konka terdiri dari konka inferior, konka
media dan konka superior serta suprema. Konka suprema ini rudimenter.
Diantara ketiganya yang terbesar adalah konka inferior. 1
Secara embriologi konka inferior berasal dari prominens maksilofasial.
Panjangnya kira-kira 50-60 mm dengan tinggi 7,5 mm dan lebar 3,8 mm.
Sementara itu konka media berkembang dari etmoturbinal kedua. Panjang
konka ini 40 mm, dengan tinggi rata-rata 14,5 mm dan tinggi 7 mm. Konka
superior berasal dari etmoturbinal ketiga dan konka suprema dari etmoturbinal
kelima. 1

Gambar 1. Anatomi Hidung tampak lateral2


Konka mempunyai peran penting dalam fisiologi hidung. Hal ini
didukung oleh strukturnya yang terdiri dari tulang yang dibatasi oleh mukosa.
Mukosanya memiliki epitel kolumnar pseudostratifed bersilia dengan sel
goblet dan banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar lendir. Konka
terdiri dari bagian mukosa di sebelah luar dan bagian tulang di sebelah dalam.
Bagian medial lebih tebal dari bagian lateral. Konka terutama dilapisi oleh

PAGE \* MERGEFORMAT 35
epitel kolumnar pseudostratified dan mengandung 10% sel goblet.
Epitel dipisahkan dengan lamina propria oleh lamina basalis. Lamina
propria bagian medial lebih tebal dari bagian lateral. Mukosa ini berisi
jaringan penunjang yang mengandung sedikit limfosit, kelenjar seromukus,
banyak sinus venosus pada dinding lateral yang tipis dan sedikit arteri.
Lapisan tulang terdiri dari tulang cancellous. Tulang bagian anterior lebih
tebal dari bagian posterior. Rata-rata tulang ini tebalnya 1,2 mm secara
histologi. Bagian paling anterior dari konka tidak mengandung pembuluh
darah sehingga reseksi pada bagian ini tidak direkomendasikan karena
menghilangkan obstruksi hidung. Konka inferior mempunyai tulang tersendiri
yang melekat di dinding medial sinus maksila. Segmen dari konka dapat
dibagi atas segmen anterior, media dan posterior. Segmen anterior disebut
head, median disebut body dan posterior tail. Konka media mempunyai fungsi
yang sangat besar karena merupakan drainase aliran sinus paranasal sekitarnya
melalui meatus media.

2. Definisi

3. Etiologi dan faktor predisposisi


Penyebab hipertrofi konka adalah rhinitis alergi dan non alergi (vasomotor
rhinitis) dan kompensasi dari septum deviasi kontralateral. 5
4. Patofisiologi
Pada edema mukosa nasal berperan sitem saraf simpatis dan
parasimpatis dari nervus vidian yang juga berperan dalam memproduksi
sekret. Nervus vidian berasal dari nervus petrosal superfisial untuk
komponen parasimpatis, sedangkan komponen simpatis berasal dari
nervus petrosal profunda.1,2
Sistem simpatis mengatur aliran darah ke mukosa hidung dengan
mengatur resistensi pembuluh darah. Peningkatan resistensi pembuluh
darah akan mengakibatkan aliran darah sedikit ke mukosa dan
menyebabkan dekongesti. Tekanan simpatis ke pembuluh darah hidung

PAGE \* MERGEFORMAT 35
sebagian dipengaruhi oleh tekanan parsial karbon dioksida (pCO2) melalui
kemoreseptor karotis dan aorta. Sedangkan parasimpatis mengatur volume
darah pada mukosa hidung dengan mempengaruhi kapasitas pembuluh
darah. Rangsangan parasimpatis merelaksasi pembuluh darah dan kongesti
dan bahkan edema pada jaringan lunak. 6
Konka melindungi hidung dengan mengatur temperatur dan
kelembaban udara inspirasi dan menyaring benda-benda asing yang
terhirup bersama udara inspirasi. Peran yang terakhir salah satu dilakukan
oleh sistem mukosilier. Fungsi pembersihan juga dilakukan oleh mucous
blanket yang dihasilkan oleh sel goblet di superfisial epitel dan kelenjar
epitel di lamina propria. Ketika inspirasi, aliran udara masuk ke
vestibulum dengan arah vertikal oblik. Secara aerodinamik keadaan ini
disebut aliran laminar yang artinya tidak ada pembauran lapisan udara
yang berbeda. Ketika udara mencapai nasal valve yaitu antara vestibulum
dengan kavum nasi maka udara pada saat itu melewati daerah yang paling
sempit. Setelah melewati nasal valve, penampang lintang jalan nafas
menjadi sangat luas sehingga menciptakan diffuser effect yang mengubah
aliran laminar menjadi aliran turbulen, yang pada lapisan berbeda berputar
bersama-sama.7
Derajat perubahan aliran udara ini sangat dipengaruhi oleh anatomi
kavum nasi yang setiap individu berbeda disamping kecepatan udara.
Derajat perubahan laminar ke aliran turbulen dianggap karena
melambatnya aliran kecepatan udara yang diinspirasi. Hal ini akan
memperpanjang kontak dengan mukosa, memberikan kontribusi
penciuman, dan memudahkan hidung dalam membersihkan, melembabkan
serta menghangatkan udara yang dihirup. Aliran turbulen mempunyai
energi kinetik yang lebih besar dari aliran laminar sehingga perubahan
antara udara yang diinspirasi dan mukosa hidung lebih efektif dan intens
di daerah turbulen. Reseksi anterior dari konka sebagai bagian dari daerah
nasal valve mengurangi kontak udara-mukosa karena aliran udara laminar
lebih banyak. Perubahan aliran udara dan air conditioning pada reseksi

PAGE \* MERGEFORMAT 35
konka menunjukan gangguan pola aliran udara. Siklus nasal merupakan
fenomena fisiologis yang ditandai dengan perubahan antara lumen yang
sempit dengan lumen yang luas di kavum nasi. Perubahan kongesti dan
dekongesti dari mukosa nasal disebabkan kapasitas pembuluh darah vena
di konka inferior dan konka media yang diatur oleh sistem saraf otonom. 8
Udara yang diinspirasi dihangatkan dan dilembabkan sebelum
mencapai saluran nafas bawah. Aliran turbulen akan menyebabkan kontak
antara udara inspirasi dengan mukosa nasal. Selanjutnya hubungan antara
kavum nasi yang relatif kecil dibandingkan dengan permukaan mukosa
yang luas yang selanjutnya diperluas oleh konka, juga memberikan
interaksi yang penting secara fungsional antara udara inspirasi dengan
mukosa. 8
Humidifikasi dicapai dengan sekresi dan transudasi dari kelenjar di
hidung, sel goblet, dan pembuluh darah di lamina propia. Regulasi
temperatur dikontrol dengan sistem vaskuler intranasal dan khususnya
jaringan venous erectile, yang khususnya banyak terdapat pada konka
inferior. Temperatur pada bagian anterior kavum nasi lebih rendah
dibanding bagian posterior. Gradien temperatur menghangatkan udara
inspirasi secara bertahap, sementara waktu ekspirasi, kelembaban dan
kehangatan dikembalikan ke hidung melalui kondensasi. Kehangatan
kapasitas mukosa nasal sangat efisien bahkan pada suhu disekitarnya
dibawah nol, temperatur udara yang diinspirasi ditingkatkan hingga
mencapai 250C ketika memasuki nasofaring, dengan kelembaban relatif
90%. Gangguan fungsi conditioning dapat disebabkan oleh keringnya
mukosa nasal akibat involusi sel goblet dan kelenjar yang berhubungan
dengan faktor umur. Dapat juga disebabkan oleh proses radang kronik atau
reseksi mukosa yang berlebihan ketika melakukan operasi-operasi
intranasal. Untuk membersihkan udara inspirasi secara fisik diperankan
oleh mukosilier. Mukosilier ini terdiri dari silia dan mucous blanket yang
terdiri dari lapisan dalam, kekentalannya sedikit disebut sol layer dan
lapisan superfisial lebih kental disebut gel layer. Arah gerakan silia dari

PAGE \* MERGEFORMAT 35
gel layer menuju nasofaring. 8

5. Diagnosis
Hipertrofi konka dapat dinilai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Gejala pada hipertrofi konka adalah hidung
tersumbat. 11 Penilaian derajat keluhan ini dapat dilakukan secara Visual
Analog Scale (VAS) dengan skala 0-10.2 Pemeriksaan fisik dengan
rinoskopi anterior didapatkan hipertrofi konka. Yanes membagi
pembesaran konka inferior atas A) konka inferior mencapai garis yang
terbentuk antara midlle nasal fosa dengan lateral hidung B) Pembesaran
konka inferior melewati sebagian dari kavum nasi C) Pembesaran konka
inferior telah mencapai nasal septum (gambar 2).9

Gambar 2. Rhinoskopi anterior

Derajat 1, apabila konka inferior tidak ada kontak dengan septum


atau dengan dasar hidung; derajat 2 hipertrofi ringan, apabila terjadi
kontak dengan septum; derajat 3 hipertrofi sedang, apabila terjadi kontak
dengan septum dan dasar hidung; derajat 4 hipertrofi berat, jika terjadi
kontak dengan septum, dasar hidung dan kompartemen superior sehingga
terjadi sumbatan hidung total.

6. Penatalaksanaan
a. Manajemen Non-Operatif1

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Medikamentosa Pada kasus akut dimana pembesaran konka terjadi
karena pengisian dari sinus venosus sehingga pembesaran konka dapat
dikecilkan dengan pemberian dekongestan topikal. Terapi medikamentosa
meliputi pemberian antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, sel mast
stabilizer dan imunoterapi. Dekongestan baik sistemik maupun lokal efektif
dalam pengobatan sumbatan hidung karena hipertrofi konka. 1
Pemakaian sistemik oral dekongestan menimbulkan efek samping
seperti palpitasi dan susah tidur. Pemakaian dekongestan topikal jangka
lama menyebabkan rinitis medikamentosa (rebound nasal congestion) dan
takifilaksis. Kortikosteroid efektif digunakan untuk sumbatan hidung, tetapi
mempunyai efek samping hidung mudah berdarah, mukosa hidung kering
dan krusta. Kortikosteroid mengurangi hiperresponsif saluran nafas dan
menekan respon inflamasi, walaupun demikian mekanisme dan target seluler
pasti tidak diketahui.10
b. Manajemen Operatif
Pada kasus kronik telah terbentuk jaringan ikat yang disebabkan oleh
inflamasi kronik yang tidak respon lagi dengan medikamentosa setelah 2
bulan pengobatan, tindakan bedah dapat dilakukan. Secara garis besar teknik
pembedahan ini dapat dikelompokan atas lateral posisi (merubah posisi),
reseksi dan koagulasi. Diantaranya adalah lateroposisi, turbinektomi total dan
parsial, turbinoplasti inferior, turbinektomi submukosa, reseksi submukosa
dengan lateral out fracture, laser, radiofrekwensi, elektrokoagulasi, koagulasi
argon plasma, krioterapi dan neurotektomi vidian.
Tindakan bedah pada hipertrofi konka pertama kali dilakukan oleh
Hartman tahun 1890-an, setelah itu banyak teknik yang berkembang.5 Tujuan
utama pembedahan adalah memperbaiki pernafasan hidung dan
mempertahankan fungsi fisiologis. Tidak ada teknik yang ideal, masing-
masing memiliki komplikasi jangka pendek dan jangka panjang seperti
perdarahan dan rinitis atrofi. 10

PAGE \* MERGEFORMAT 35
BAB III
IDENTIFIKASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ng. A.F
Umur : 17 tahun

PAGE \* MERGEFORMAT 35
No RM : 557152
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Fitu
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal berobat : 16 Februari 2024
DPJP : dr. Andre Iswara, Sp.THT-KL

B. ANAMNESIS : (Autoanamnesis tanggal 16 Februari 2024)


Keluhan Utama : hidung tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli THT RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate,
dengan keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak sekitar > 1
bulan sebelum masuk rumah sakit. Yang berat hidung kanan.
Keluhan dirasakan terus-menerus, dan semakin memberat. Keluhan
disertai dengan beringus, yang berwarna hijau kental, dan terkadang
berbau. Pasien juga mengalami demam sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien pasien sering bernafas pake mulut, saat tidur
pasien sering mengorok dan terbangun dimalam hari karena sesak.
Sebelumnya pasien mengalami perdarahan dari hidung karena
mendapati ada daging keluar dari hidung sehingga pasien memaksa
untuk membuka dan berdarah. Menurut pasien, pernah mengalami
trauma di hidung saat bermain bola. Selain itu pasien sering
mengeluhkan nyeri saat menelan. Pasien mengaku sering mengalami
batuk dan beringus.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tonsilitis
Riwayat Pengobatan
-
Riwayat Penyakit Keluarga

PAGE \* MERGEFORMAT 35
 Riwayat Hipertensi : Disangkal
 Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat sakit jantung : Disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
 Merokok : Ayah pasien merokok
 Minum Minuman berAlkohol :-

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5
Skala nyeri : VAS 6
Tanda-Tanda Vital
 Tekanan Darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 73 x/menit
 Pernapasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,60C
Status Generalis
Kepala
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Skelera Ikterik (-/-), Pupil
Isokor (3mm/3mm), Refleks cahaya (+/+)
Thoraks
Pulmo
 Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan dada simetris,
retraksi (-)
 Palpasi : Krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak

PAGE \* MERGEFORMAT 35
 Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V midclavicula
line sinistra
 Perkusi : Batas Kanan = ICS III Parasternal line
dextra
Batas Kiri = ICS V Midclavicula line
sinistra
 Auskultasi : S1/S2 murni, reguler
Abdomen
 Inspeksi : Tampak datar, distensi (-), jejas (-)
 Palpasi : Supel , nyeri tekan (-), Defans muskular (-)
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
Akral Hangat, sianosis (-), edema (-)
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Kel. Kongenital - -

Trauma - -

Radang - -
Daun Telinga
Kel. Metabolik - -

Nyeri tarik - -

Nyeri tekan - -

Dinding Liang Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang


Telinga
Sempit - -

Hiperemi - -

Edema - -

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Massa - -

Bau - -

Warna - -
Sekret / Serumen
Jumlah Sedikit sedikit

Jenis serumen Serumen

Membran timpani

Warna Putih Putih

Refleks cahaya + +

Utuh Bulging - -

Retraksi - -

Atrofi - -

Jumlah perforasi - -

Jenis - -
Perforasi
Kwadran - -

Pinggir - -

Tanda radang - -

Fistel - -

Mastoid Sikatrik - -

Nyeri tekan - -

Nyeri ketok - -

Tes Garpu tala Rinne - +

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Schwabach Memanjang Sama dengan
pemeriksa

Weber Lateralisasi ke sisi kanan

Kesimpulan Tuli konduktif telinga kanan

Audiometri

Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Deformitas - -
Kelainan - -
congenital
Hidung luar
Trauma - -
Radang - -
Massa - -

Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -

Rinoskopi Anterior
Vestibulum Vibrise + Tidak bisa dinilai
Radang - Tidak bisa dinilai
Cavum nasi Lapang - -
Sekret Lokasi + +
Jenis mukous mukous
Bau - -
Konka inferior Ukuran hipertrofi hipertrofi
Warna hiperemis hiperemis

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Permukaan Licin licin
Edema - -
Konka media Ukuran hipertrofi hipertrofi
Warna hiperemis hiperemis
Permukaan Licin licin
Edema - -
Septum Cukup Deviasi ke kanan
lurus/deviasi
Permukaan Tidak rata
Warna Merah muda
Abses -
Perforasi -
Massa Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Warna - -
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
Pengaruh - -
vasokonstriktor

Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Koana Cukup lapang (N) N N
Sempit - -

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Lapang - -
Warna Merah muda Hiperemis
Mukosa Edema - -
Jaringan granulasi - -
Ukuran hipertrofi hipertrofi
Warna hiperemis Hiperemis
Konkha superior
Permukaan Licin Licin
Edema - -
Adenoid Ada/tidak Ada Ada
Muara tuba Tertutup secret + +
eustachius Edema mukosa - -
Lokasi - -
Ukuran - -
Massa
Bentuk - -
Permukaan - -

Orofaring dan Mulut


Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Palatum mole + Simetris/tidak Simetris
Arkus faring Warna Merah muda
Edema - -
Bercak/eksudat - -
Dinding Faring Warna hiperemis hiperemis
Permukaan - -
Tonsil Ukuran T4 T4
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Muara kripti Tidak melebar
Detritus - -
Eksudat - -

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Perlengketan - -
dengan pilar
Peritonsil Warna Merah muda
Edema - -
Abses - -
Tumor Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -
Karies/radiks - -
Gigi
Kesan - -
Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normal Normal
Lidah
Deviasi - -
Massa - -

Assesment
1. Hipertrofi Adenoid
2. Hipertrofi konka
3. Tonsilitis kronis
4. Deviasi septum nasi
5. Obstructive sleep apneu syndrome
6. Rhinitis kronis
7. Tuli konduktif kanan

Rencana tindakan : tonsilektomi


BAB IV
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien datang dengan keluhan hidung
tersumbat yang dirasakan kurang lebih 1 bulan sejak sebelum masuk rumah sakit.

PAGE \* MERGEFORMAT 35
Keluhan dirasakan terus menerus dan makin hari makin memberat. Akibat dari
hidung tersumbat, pasien mengalami sesak nafas karena udara yang masuk
melalui rongga hidung menjadi sedikit karena terhalang oleh sumbatan tersebut.
Selain itu, saat pemeriksaan rhinoskopi anterior dan nasoendoskopi didapatkan
bahwa terdapat pembesaran konka, dan pembesaran adenoid. Hal tersebut
merupakan dampak dari sumbatan hidung yang berlangsung lama. Adenoid
merupakan organ limfoid yang harusnya sudah tidak ada di pasien, tertutama
sesuai dengan umur pasien yaitu 17 tahun. Menurut kepustakaan adenoid akan
menghilang setelah umur 14 tahun, namun pada kasus ini masih ditemukan. Hal
tersebut dikarenakan efek samping dari rhinitis yang dialami pasien dan
kemungkinan paparan asap rokok ketika pasien berada di rumah.
Hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior lain juga bahwa pasien mengalami
deviasi septum nasi. Hal ini akan memperberat keluhan hidung tersumbat yang
dialami pasien.
Selain itu juga didapatkan, pasien juga mengeluhkan nyeri menelan. Dan
saat dilakukan pemeriksaan fisik mulut, didapatkan pembesaran tonsil kiri dan
kanan yaitu t4-t4. Menurut kepustakaan, tonsil yang membesar dikarenakan
terpapar dengan infeksi yang berulang.
Pada kasus ini, direncanakan untuk dilakukan tindakan tonsilektomi, karena
hipertrofi yang didapatkan berukuran T4-T4, yang menyebabkan pasien
mengalami sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan. Selain itu
pasien juga mengalami rhinitis kronia dan nafas bau yang tidak hilang dengan
pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

PAGE \* MERGEFORMAT 35

Anda mungkin juga menyukai