TONSILITIS DIFTERI
Disusun Oleh :
Ayuni Dina Sawitri (17710078)
Budi Santo (17710079)
Ni Wayan Ika Widyaningsih (17710081)
Arie Setyawan (17710110)
Dosen Pembimbing :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok - Bedah Kepala Leher ini dengan
judul “Tonsilitis Difteri”.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. dr. Moh. Ibnu Malik, Sp.THT-KL sebagai Ka. KSM Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok - Bedah Kepala Leher dan pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan makalah ini.
2. dr. Rini Ardiana Rahayu, Sp.THT-KL sebagai pembimbing selama
kepaniteraan klinik Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di
RSUD Sidoarjo.
3. dr. Puji Kurniawan, Sp.THT-KL sebagai pembimbing selama kepaniteraan
klinik Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di RSUD
Sidoarjo.
3. Perawat dan staf Poli Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher
RSUD Sidoarjo (Ibu Ns. Dien Indharti, S.Kep, ibu Nuryanti, S.Kep, bapak Aris
Setiawan, Amd.Kep, bapak Bambang Amd.Kep, dan mbak Firna
Septiyaningrum, S.Ak) .
Jika dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan atau kata yang kurang
berkenan di hati para pembaca kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Kritik dan saran yang mendukung dari pembaca juga sangat dibutuhkan
guna penulisan makalah yang lebih baik dimasa yang akan datang. Demikian,
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier
atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.1
Infeksi biasanya terdapat pada tonsil, faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 – 5 hari,
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat
penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri
kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak
4
terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan
angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal
jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan
yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.3
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Dan Fisiologi Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat macam tonsil yaitu tonsila
faringeal (adenoid), tonsila palatina dan tonsila lingualis. Tonsil terdiri dari jaringan
limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan
limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsila palatina,
Tonsila Palatina
Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh arkus anterior (otot
6
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma
jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian
penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pusat germinal.4
a. Fosa Tonsilaris
Fosa tonsilaris dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
7
b. Vaskularisasi
Kutub bawah tonsil bagian anterior di vaskularisasi oleh arteri lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
divaskularisasi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil di vaskularisasi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
c. Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
d. Imunologi Tonsil
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (kuren, 2000).
tonsilar.3
8
Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.5
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
9
Tonsila Lingualis
Tonsila lingualis terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.7
B. Definisi
bacterium diphteriae. Bakteri ini termasuk gram positif. Tidak semua orang yang
terinfeksi bakteri ini akan menimbulkan manifestasi klinis sakit, tetapi tergantung
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan
C. Etiologi
ini dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun
1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler
(1852-1915). Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh
tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis,
inter-medius, dan mitis. Ketiga sub spesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni
dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikait kan dengan
kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan
10
Gambar : C.Difteriae dibawah mikroskop
memiliki waktu generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi
sekitar 180 menit. Dalam tenggorokan (invivo), tingkat pertumbuhan yang lebih
cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat
D. Epidemiologi
kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak
terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan
angka kematian yang cukup tinggi. Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan
coverage vaccination) yang tinggi dimana penyebaran penyakit difteri telah dapat
dikendalikan sebelumnya.9 80% kasus difteri terjadi pada anak dengan usia
dibawah 15 tahun, namun dapat juga terjadi pada anak dengan usia lebih dari 15
tahun. Empat puluh tujuh kasus difteri dilaporkan terjadi di Eropa selama tahun
11
2008. Kasus terbanyak (62%) dilaporkan oleh Negara Latvia. Kasus difteri di
mulai muncul kembali di Vietnam. Penyakit dengan gejala klinis difteri di Rumah
5 kasus dan seluruhnya berusia di bawah 15 tahun. Dua kasus terbukti disebabkan
E. Patogenesis
penderita maupun sebagai karier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan karier. Caranya melalui
bersamaan, seperti handuk, sendok, gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-
lain.11
dari saluran nafas atas dan menghasilakan eksotoksin yang kuat menyebabkan
nekrosis dari epitel mukosa di ikuti oleh eksudat fibrinopuluren yang tebal yang
difteri.12
peraturan. Sebagian besar memiliki enzimatis aktif (A) subunit dihubungkan oleh
jembatan disulfida untuk subunit B yang mengikat reseptor pada permukaan sel dan
12
memberikan subunit A ke dalam sitoplasma sel dengan endositosis . Dalam
(NAD) untuk protein EF-2 (suatu faktor elongasi yang sangat penting untuk sintesis
lebih luas dari toksin difteri menyebabkan manifestasi penyakit serius melalui
menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Toksin difteri, yang disekresi oleh strain
racun dari C.diphtheriae, adalah polipeptida tunggal Mr. 58.342. Strain racun dari
dalam genom. Ekspresi gen diatur oleh host dan kandungan zat besi. Dengan adanya
meningkat. Toksin diekskresikan dari sel bakteri dan mengalami pembelahan untuk
merantaikan antara residu sistein pada posisi 186 dan 201. Bersamaan dengan
13
meningkatnya konsentrasi toksin, efek toksin melampaui area lokal karena
distribusi toksin oleh sirkulasi. Toksin C.diphtheriae tidak memiliki target organ
tertentu, tetapi miokardium dan perifer saraf yang paling sering terkena.12
sebuah koagulum nekrotik padat organisme, sel epitel, fibrin, leukosit, eritrosit dan
bentuk, dan menjadi pseudomembran abu-abu kecoklatan yang melekat. Sulit untuk
F. Manifestasi Klinis
Dalam deskripsi klasik dari difteri, fokus utama dari infeksi lebih dari 90%
pada pasien adalah di tonsil atau faring, kemudian diikuti hidung dan laring. Setelah
masa inkubasi rata-rata 2-5 hari tanda lokal dan gejala peradangan mulai
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2- 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan karier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri menyerang terutama saluran pernafasan bagian atas. Orang yang
telah terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orang lain yang non-
apapun.10
Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%) gejala mungkin ringan, hanya
sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat
14
sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih
berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi,
dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih
keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Dapat ditemukan pula
napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stidor insprasi walaupun
belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan oleh paresis palatum mole. Pada
urin mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan. Pada difteri jenis ini juga akan
tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai
G. Pemeriksaan Penunjang
15
dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain ditentukan secara in vitro
dan in vivo.
LED.
7. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
8. Tes schick :
timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang
mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul
Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada
tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-
kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna.
Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan
intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah
16
dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke - 45, hasilnya positif bila terjadi
indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh
reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan
indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena
H. Penatalaksanaan
difteri maka terapi spesifik dengan antitoksin dan antibiotik harus segera diberikan
secepatnya.13
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
penyebaran lebih lanjut. Pasien dengan suspek difteri, harus dilakukan tindakan
pencegahan paling sedikit dengan pemberian antibiotik selama 4 hari atau sampai
Pada kasus tonsillitis difteri diharuskan istirahat mutlak selama kurang lebih
2 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus difteri pada laring,
17
nafas dijaga agar tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
A. Medikamentosa
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 :1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi
larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan
garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis
dan lakrimasi.14
18
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti
KI. Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan
Difteri.
diagnosis
19
2. Antibiotik
Individu yang kontak dekat dengan tonsillitis difteri dari kasus yang
telah terkonfirmasi, harus dikultur dengan sampel yang diambil dari hidung
dan tenggorokan, tanpa melihat status imunisasi mereka atau gejala yang
ada.14
tunggal Penisilin benzatin (IM) (600.000 unit untuk usia < 6 tahun, dan 1.2
juta unit untuk usia > 6 tahun) atau Eritromisin oral (40 mg/kg/dosis untuk
anak-anak, dan 1 g/dosis untuk orang dewasa) selama 7-10 hari, tanpa
melihat status imunisasi mereka. Kontak dekat yang mempunyai hasil kultur
positif harus dilakukan kultur ulang setelah selesai terapi, untuk memastikan
eradikasi terjadi.14
3. Kortikosteroid
20
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
B. Tindakan Operatif
Tonsilektomi
faringeal.14
pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan
Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi
menjadi 14 :
a. Indikasi absolut
kardiopulmonal.
21
ii. Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik
b. Indikasi relatif
ii. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap
pengobatan medik.
terhadap ß-laktamase.
a. Gangguan perdarahan
c. Anemia
e. Asma
g. Sinusitis
22
h. Albuminuria
i. Hipertensi
j. Rinitis alergika
a. Komplikasi anestesi
i. Laringosspasme
henti jantung
b. Komplikasi bedah
i. Perdarahan
ii. Nyeri
23
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
iii. Lain-lain
pneumonia.14
I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus tonsillitis difteri adalah sebagai berikut:15
1. M
inflamasi pada paru sehingga akan mengalami gangguan fungsi baik unilateral
2. Miocarditis
Toksin yang diproduksi oleh bakteri difteri dapat menginflamasi otot jantung,
ireguler, paling sering menyebabkan irama blok. Hal ini terjadi ketika denyut
berdetak sangat lambat (bradikardia). Blok jantung dapat diobati dengan alat
24
bisa menjadi sangat lemah sehingga tidak dapat memompa darah ke seluruh
4. Difteri malignant
Difteri malignan juga dikenal sebagai difteri hipertoksis atau difteri gravis,
merupakan bentuk difteri yang berat. Penderita dengan difteri malignan akan
J. Prognosis
lokasi dan perluasan membran, status imunitas, serta kecepatan dan ketepatan
dalam pengobatan dan perawatan. Dari virulensi bakteri, biotipe gravis mempunyai
prognosis yang paling buruk, sedangkan lokasi difteri pada laring dapat
Pada status imunitas, prognosis akan menjadi lebih berat pada pasien yang tidak
perawatan maka prognosis lebih baik, untuk itu maka perlu juga ketepatan dalam
25
akibat difteri di dunia masih cukup tinggi yaitu sekitar 3–10%. Kematian kasus di
Indonesia berdasarkan laporan kasus difteri dalam beberapa tahun terakhir adalah
26
BAB III
PENUTUP
Tonsillitis difteri adalah infeksi akut yang menyerang tonsil disebabkan oleh
Corynebacterium Diphteriae. Bakteri ini termasuk gram positif. Tidak semua orang
yang terinfeksi bakteri ini akan menimbulkan manifestasi klinis sakit, tetapi
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan
paling banyak pada usia 2-5 tahun. Gejala lokal dari tonsillitis difteri adalah tonsil
terlihat tertutup bercak putih kotor mudah berdarah makin lama makin meluas
nasofaring, laring trachea dan bronkus, dapat menyumbat saluran nafas, kelenjar
pemeriksaan langsung dari bakteri yang di ambil di bawah membran dan ditemukan
kuman Corynebacterium diphteri. Tanda seperti membran di tonsil, dan bull neck
27
tonsilektomi. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain, dapat menyebabkan gagal
DAFTAR PUSTAKA
28
12. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6th Ed.
Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
13. Fitriana., Novriani, Harli. 2014. Penatalaksanaan Difteri. Jakarta: Puslitbang
Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Balitbangkes, Kemenkes RI, halaman 541-
544.
14. Khalid, Naman., Putra, Steven., Widiatuti, Tri., et al. 2011. Tonsilitis Difteri.
Rumah Sakit Karawang, Universitas Trisakti.
15. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
29