Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

TONSILITIS DIFTERI

Disusun Oleh :
Ayuni Dina Sawitri (17710078)
Budi Santo (17710079)
Ni Wayan Ika Widyaningsih (17710081)
Arie Setyawan (17710110)

Dosen Pembimbing :

dr. Moh. Ibnu Malik, Sp. THT-KL

LAB/KSM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO
SURABAYA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok - Bedah Kepala Leher ini dengan
judul “Tonsilitis Difteri”.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. dr. Moh. Ibnu Malik, Sp.THT-KL sebagai Ka. KSM Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok - Bedah Kepala Leher dan pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan makalah ini.
2. dr. Rini Ardiana Rahayu, Sp.THT-KL sebagai pembimbing selama
kepaniteraan klinik Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di
RSUD Sidoarjo.
3. dr. Puji Kurniawan, Sp.THT-KL sebagai pembimbing selama kepaniteraan
klinik Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di RSUD
Sidoarjo.
3. Perawat dan staf Poli Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher
RSUD Sidoarjo (Ibu Ns. Dien Indharti, S.Kep, ibu Nuryanti, S.Kep, bapak Aris
Setiawan, Amd.Kep, bapak Bambang Amd.Kep, dan mbak Firna
Septiyaningrum, S.Ak) .
Jika dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan atau kata yang kurang
berkenan di hati para pembaca kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Kritik dan saran yang mendukung dari pembaca juga sangat dibutuhkan
guna penulisan makalah yang lebih baik dimasa yang akan datang. Demikian,
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.

Sidoarjo, Maret 2019

Penulis

2
3
BAB I
PENDAHULUAN

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious

disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria

yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,

nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring.

Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier

atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.1

Infeksi biasanya terdapat pada tonsil, faring, laring, hidung dan kadang pada

kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala

lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh

mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 – 5 hari,

penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.1

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan

10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.

Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari

kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat

penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri

sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan

buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.2

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-

kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak

4
terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan

angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal

jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan

yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan

Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.3

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Dan Fisiologi Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat macam tonsil yaitu tonsila

faringeal (adenoid), tonsila palatina dan tonsila lingualis. Tonsil terdiri dari jaringan

limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan

limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsila palatina,

tonsila faringeal (adenoid), tonsila lingualis, dan tonsila tubaria.4

Tonsila Palatina

Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam

fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh arkus anterior (otot

palatoglosus) dan arkus posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval

6
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang

meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,

daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.4

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

 Lateral – muskulus konstriktor faring superior

 Anterior – muskulus palatoglosus

 Posterior – muskulus palatofaringeus

 Superior – palatum mole

 Inferior – tonsila lingualis

Permukaan tonsila palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga

melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah

jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma

jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian

penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur

pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan

pusat germinal.4

a. Fosa Tonsilaris

Fosa tonsilaris dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah

otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau

dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.5 Berlawanan dengan

dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX

yaitu nervus glosofaringeal.6

7
b. Vaskularisasi

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu :

1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris

dan arteri palatina asenden

2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden

3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal

4. Arteri faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior di vaskularisasi oleh arteri lingualis dorsal

dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut

divaskularisasi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil di vaskularisasi oleh arteri

faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk

pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus

vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.6

c. Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus

glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.6

d. Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit

B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilaris. Sedangkan limfosit T pada

tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (kuren, 2000).

Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),

komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan

tonsilar.3

8
Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu

epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat

germinal pada folikel ilmfoid.6

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2

fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;

2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen spesifik.5

Tonsila Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan

limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut

tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau

kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di

bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.

Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring

terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa

Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada

masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal

antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.5

9
Tonsila Lingualis

Tonsila lingualis terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh

ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat

foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.7

B. Definisi

Tonsilitis difteri adalah peradangan pada tonsil akibat bakteri Coryne

bacterium diphteriae. Bakteri ini termasuk gram positif. Tidak semua orang yang

terinfeksi bakteri ini akan menimbulkan manifestasi klinis sakit, tetapi tergantung

dari titer kadar antitoksin seseorang.8

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan

paling banyak pada usia 2-5 tahun.3

C. Etiologi

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman

ini dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun

1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler

(1852-1915). Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh

tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis,

inter-medius, dan mitis. Ketiga sub spesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni

dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikait kan dengan

kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan

kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing.1

10
Gambar : C.Difteriae dibawah mikroskop

Strain gravis memiliki waktu generasi (invitro) 60 menit ; strain intermedius

memiliki waktu generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi

sekitar 180 menit. Dalam tenggorokan (invivo), tingkat pertumbuhan yang lebih

cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat

dalam menyerang jaringan.1

D. Epidemiologi

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-

kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak

terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan

angka kematian yang cukup tinggi. Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan

morbiditas dan mortalitas difteri di negara-negara dengan cakupan imunisasi (total

coverage vaccination) yang tinggi dimana penyebaran penyakit difteri telah dapat

dikendalikan sebelumnya.9 80% kasus difteri terjadi pada anak dengan usia

dibawah 15 tahun, namun dapat juga terjadi pada anak dengan usia lebih dari 15

tahun. Empat puluh tujuh kasus difteri dilaporkan terjadi di Eropa selama tahun

11
2008. Kasus terbanyak (62%) dilaporkan oleh Negara Latvia. Kasus difteri di

Negara Vietnam mengalami penurunan pada tahun 1980 sesuai dengan

meningkatnya cakupan imunisasi difteri. Pertengahan tahun 1990 kasus difteri

mulai muncul kembali di Vietnam. Penyakit dengan gejala klinis difteri di Rumah

Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo sepanjang tahun 2011-2014 dilaporkan sebanyak

5 kasus dan seluruhnya berusia di bawah 15 tahun. Dua kasus terbukti disebabkan

oleh C. diphtheriae dari hasil pemeriksaan laboratorium.10

E. Patogenesis

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai

penderita maupun sebagai karier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan

penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan karier. Caranya melalui

pernafasan atau droplet infection. Kontaminasi barang pribadi yang dipakai

bersamaan, seperti handuk, sendok, gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-

lain.11

Setelah terinhalasi, Corynebacterium diphtheriae implantasi diatas mukosa

dari saluran nafas atas dan menghasilakan eksotoksin yang kuat menyebabkan

nekrosis dari epitel mukosa di ikuti oleh eksudat fibrinopuluren yang tebal yang

membentuk pseudomembran abu-abu kotor yang klasik dan superfisial dari

difteri.12

Kerja dari eksotoxin banyak mengubah sinyal intraseluler atau jalur

peraturan. Sebagian besar memiliki enzimatis aktif (A) subunit dihubungkan oleh

jembatan disulfida untuk subunit B yang mengikat reseptor pada permukaan sel dan

12
memberikan subunit A ke dalam sitoplasma sel dengan endositosis . Dalam

sitoplasma, ikatan disulfida toksin berkurang dan patah, melepaskan fragmen A

enzimatis aktif amino. Dalam kasus toksin C.diphtheriae subunit A mengkatalisis

transfer adenosin difosfat (ADP)-ribosa dari nikotinamida adenin dinukleotida

(NAD) untuk protein EF-2 (suatu faktor elongasi yang sangat penting untuk sintesis

polipeptida), sehingga menonaktifkan . Satu molekul toksin sehingga dapat

membunuh sel dengan ADP-ribosylating lebih dari 106 EF-2 molekul.

C.diphtheriae menguraikan seperti racun untuk menciptakan lapisan sel-sel mati di

tenggorokan, di mana bakteri outgrows kompetisi. Sayangnya, penyebaran yang

lebih luas dari toksin difteri menyebabkan manifestasi penyakit serius melalui

disfungsi saraf dan miokard.11

Virulensi utama organisme terletak pada kemampuannya untuk

menghasilkan eksotoksin 62-kd polipeptida, yang menghambat sintesis protein dan

menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Toksin difteri, yang disekresi oleh strain

racun dari C.diphtheriae, adalah polipeptida tunggal Mr. 58.342. Strain racun dari

C.diphtheriae membawa gen struktural tox ditemukan di corynebacteriophages

lisogenik beta-tox +, gamma-tox +, dan omega-tox +.11

Strain yang sangat beracun memiliki 2 atau 3 gen + tox dimasukkan ke

dalam genom. Ekspresi gen diatur oleh host dan kandungan zat besi. Dengan adanya

konsentrasi rendah besi, regulator gen dihambat, sehingga produksi toksin

meningkat. Toksin diekskresikan dari sel bakteri dan mengalami pembelahan untuk

membentuk 2 rantai, A dan B, yang diselenggarakan bersama oleh ikatan disulfida

merantaikan antara residu sistein pada posisi 186 dan 201. Bersamaan dengan

13
meningkatnya konsentrasi toksin, efek toksin melampaui area lokal karena

distribusi toksin oleh sirkulasi. Toksin C.diphtheriae tidak memiliki target organ

tertentu, tetapi miokardium dan perifer saraf yang paling sering terkena.12

Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, akan tampak

sebuah koagulum nekrotik padat organisme, sel epitel, fibrin, leukosit, eritrosit dan

bentuk, dan menjadi pseudomembran abu-abu kecoklatan yang melekat. Sulit untuk

dipindahkan dan submukosa membengkak dan mudah berdarah. Kelumpuhan dari

langit-langit dan hipofaring adalah efek awal lokal toksin.10

F. Manifestasi Klinis

Dalam deskripsi klasik dari difteri, fokus utama dari infeksi lebih dari 90%

pada pasien adalah di tonsil atau faring, kemudian diikuti hidung dan laring. Setelah

masa inkubasi rata-rata 2-5 hari tanda lokal dan gejala peradangan mulai

berkembang. Demam jarang lebih tinggi dari 39 ° C. 12

Masa inkubasi penyakit difteri ini 2- 5 hari, masa penularan penderita 2-4

minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan karier bisa sampai 6 bulan.

Penyakit difteri menyerang terutama saluran pernafasan bagian atas. Orang yang

telah terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orang lain yang non-

immunized selama 6 minggu, bahkan jika mereka belum menunjukan gejala

apapun.10

Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%) gejala mungkin ringan, hanya

berupa radang pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran

sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat

14
sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih

berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi,

dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih

keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Dapat ditemukan pula

napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak

seperti leher sapi (bull-neck).12

Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stidor insprasi walaupun

belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan oleh paresis palatum mole. Pada

pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis,

polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangakan pada

urin mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan. Pada difteri jenis ini juga akan

tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai

dengan dinding belakang mulut (faring).9

G. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa hal dibawah ini dapat dilakukan sebagai pemeriksaan untuk

menunjang diagnosis tonsillitis difteri adalah sebagai berikut 4 :

1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa

hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab).

2. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk isolasi

primer menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.

3. Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis,

intermedius, atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat karbohidrat

15
dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain ditentukan secara in vitro

dan in vivo.

4. Darah lengkap : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, eritrosit,t rombosit,

LED.

5. Urin lengkap : protein dan sedimen

6. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)

7. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot

jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali

bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.

8. Tes schick :

Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah

mengandung antitoksin. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan

timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang

mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul

warna merah kecoklatan dalam 24 jam.

Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada

tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung

antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein

antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-

kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna.

Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan

intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah

16
dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke - 45, hasilnya positif bila terjadi

indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil

positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).

Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh

reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan

indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena

adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.1

H. Penatalaksanaan

Pemeriksaan bakteriologi berlangsung beberapa hari. Jika diduga kuat

difteri maka terapi spesifik dengan antitoksin dan antibiotik harus segera diberikan

tanpa menunggu hasil laboratorium, terutama pemberian antitoksin difteri

secepatnya.13

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan

serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.14

Terapi antimikroba diperlukan untuk menghentikan produksi toksin,

dengan mengeradikasi mikroorganisme penyebab sehingga dapat mencegah

penyebaran lebih lanjut. Pasien dengan suspek difteri, harus dilakukan tindakan

pencegahan paling sedikit dengan pemberian antibiotik selama 4 hari atau sampai

diagnosis difteri dapat disingkirkan.13

Pada kasus tonsillitis difteri diharuskan istirahat mutlak selama kurang lebih

2 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus difteri pada laring,

17
nafas dijaga agar tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan

nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang

progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.14

Penatalaksanaan tonsillitis difteri terbagi menjadi medikamentosa dan

operatif, berikut penjelasannya :

A. Medikamentosa

1. Anti Difteri Serum (ADS)

Merupakan hiperimun serum yang diperoleh dari kuda. Antitoksin

hanya menetralisir toksin yang berada dalam sirkulasi sebelum terikat

dengan jaringan. Pemberian yang terlmbat dapat meningkatkan resiko

miokarditis dan neuritis. Tes sensitivitas dapat dilakukan sebelum

pemberian antitoksin difteri.13

ADS harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.

Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh

karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi

anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.

Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam

fisiologis 1 :1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi

indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes

larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan

garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis

dan lakrimasi.14

18
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara

desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif,

ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti

diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak

tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000

KI. Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan

200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan

efek samping obat/reaksi dilakukan selama pemberian antitoksin dan

selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi

hipersensitivitas lambat (serum sickness).14

Tabel. Rekomendasi WHO terhadap dosis pemberian ADS pada tipe

Difteri.

Tipe Difteri Dosis (unit) Cara Pemberian

Hidung 10.000 – 20.000 Intramuscular (IM)

Tonsil 15.000 – 25.000 IM / IV

Faring atau laring 20.000 – 40.000 IM / IV

Campuran/ delayed 40.000 – 60.000 Intravaskular (IV)

diagnosis

19
2. Antibiotik

Antibiotik pilihan adalah Eritromisin atau Penisilin. Rekomendasi

pemberian adalah sebagai berikut: 13

a. Penisilin prokain G 25000-50000 unit/kg/dosis (pada anakanak), 1,2

juta unit/dosis (pada orang dewasa). Pemberian intramuskular.

b. Eritromisin 40-50 mg/kg/dosis, maksimum dosis 2 g/dosis, terbagi 4

dosis. Pemberian peroral dan parenteral

c. Penisilin G 125-250 mg, 4 kali sehari intramuskular dan intravena

d. Terapi antibiotik diberikan selama 14 hari, namun penyakit ini biasanya

tidak menular 48 jam setelah antibiotik diberikan.3

Individu yang kontak dekat dengan tonsillitis difteri dari kasus yang

telah terkonfirmasi, harus dikultur dengan sampel yang diambil dari hidung

dan tenggorokan, tanpa melihat status imunisasi mereka atau gejala yang

ada.14

Setelah kultur dikumpulkan, kontak dekat harus menerima dosis

tunggal Penisilin benzatin (IM) (600.000 unit untuk usia < 6 tahun, dan 1.2

juta unit untuk usia > 6 tahun) atau Eritromisin oral (40 mg/kg/dosis untuk

anak-anak, dan 1 g/dosis untuk orang dewasa) selama 7-10 hari, tanpa

melihat status imunisasi mereka. Kontak dekat yang mempunyai hasil kultur

positif harus dilakukan kultur ulang setelah selesai terapi, untuk memastikan

eradikasi terjadi.14

3. Kortikosteroid

20
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran

nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.14

B. Tindakan Operatif

Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh

tonsil palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan

jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil

faringeal.14

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun

terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi

pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik

dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan

hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology-

Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi

menjadi 14 :

a. Indikasi absolut

i. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,

disfagia berat, gangguan tidur, atau terdapat komplikasi

kardiopulmonal.

21
ii. Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik

dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.

iii. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

iv. Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

b. Indikasi relatif

i. Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak

diberikan pengobatan medik yang adekuat.

ii. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap

pengobatan medik.

iii. Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang

tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten

terhadap ß-laktamase.

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,

namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan

tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah


14
:

a. Gangguan perdarahan

b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

c. Anemia

d. Infeksi akut yang berat

e. Asma

f. Tonus otot yang lemah

g. Sinusitis

22
h. Albuminuria

i. Hipertensi

j. Rinitis alergika

k. Demam yang tidak diketahui penyebabnya

Tindakan tonsilektomi memiliki beberapa komplikasi, diantaranya

komplikasi dari anestesi dan pembedahan, berikut komplikasinya 14:

a. Komplikasi anestesi

i. Laringosspasme

ii. Gelisah pasca operasi

iii. Mual muntah

iv. Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

v. Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan

henti jantung

vi. Hipersensitif terhadap obat anestesi.

b. Komplikasi bedah

i. Perdarahan

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).

Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau

dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien.

sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan dalam

jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.

ii. Nyeri

23
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut

saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus

yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot

diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi

iii. Lain-lain

Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara

(1:10. 000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi

velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan

pneumonia.14

I. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus tonsillitis difteri adalah sebagai berikut:15

1. M

Pseudomembran yang menutupi tonsil akan membuat kesulitan bernapas.

Partikel-partikel pada pseudomembran akan jatuh ke paru dan menyebabkan

inflamasi pada paru sehingga akan mengalami gangguan fungsi baik unilateral

maupun bilateral, menyebabkan respiratory failure.

2. Miocarditis

Toksin yang diproduksi oleh bakteri difteri dapat menginflamasi otot jantung,

dikenal sebagai miokarditis. Miokarditis dapat menyebabkan irama jantung

ireguler, paling sering menyebabkan irama blok. Hal ini terjadi ketika denyut

listrik yang mengontrol detak jantung terganggu, menyebabkan jantung

berdetak sangat lambat (bradikardia). Blok jantung dapat diobati dengan alat

pacu jantung sementara/ pacemaker. Dalam kasus miokarditis berat, jantung

24
bisa menjadi sangat lemah sehingga tidak dapat memompa darah ke seluruh

tubuh sehingga akan mengalami gagal jantung.

3. Gangguan sistem saraf pusat

Difteri dapat menyebabkan komplikasi yang mempengaruhi sistem saraf,

seperti polyneuropathy dan neuritis. Ini dapat terjadi berminggu-minggu setelah

mengalami gejala difteri pertama.

4. Difteri malignant

Difteri malignan juga dikenal sebagai difteri hipertoksis atau difteri gravis,

merupakan bentuk difteri yang berat. Penderita dengan difteri malignan akan

mengalami gagal ginjal dan perdarahan.

J. Prognosis

Prognosis dapat tergantung pada virulensi dari bakteri yang menyerang,

lokasi dan perluasan membran, status imunitas, serta kecepatan dan ketepatan

dalam pengobatan dan perawatan. Dari virulensi bakteri, biotipe gravis mempunyai

prognosis yang paling buruk, sedangkan lokasi difteri pada laring dapat

menyebabkan meningkatnya persentasi kematian karena difteri akibat terjadinya

obstruksi saluran nafas.13

Pada status imunitas, prognosis akan menjadi lebih berat pada pasien yang tidak

diimunisasi, sedangkan penderita yang semakin cepat mendapat pengobatan dan

perawatan maka prognosis lebih baik, untuk itu maka perlu juga ketepatan dalam

penegakkan diagnosis, karena keterlambatan dalam pengobatan dapat

meningkatkan kematian hingga 20 kali. Kematian kasus (CFR/cases fatality rate)

25
akibat difteri di dunia masih cukup tinggi yaitu sekitar 3–10%. Kematian kasus di

Indonesia berdasarkan laporan kasus difteri dalam beberapa tahun terakhir adalah

5,6-27%, untuk tahun 2001 kematian kasus sebesar 11,7-31,9 %.13

26
BAB III

PENUTUP

Tonsillitis difteri adalah infeksi akut yang menyerang tonsil disebabkan oleh

Corynebacterium Diphteriae. Bakteri ini termasuk gram positif. Tidak semua orang

yang terinfeksi bakteri ini akan menimbulkan manifestasi klinis sakit, tetapi

tergantung titer kadar antitoksin seseorang.

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan

paling banyak pada usia 2-5 tahun. Gejala lokal dari tonsillitis difteri adalah tonsil

terlihat tertutup bercak putih kotor mudah berdarah makin lama makin meluas

dengan membentuk membrane, membran dapat meluas ke palatum mole, uvula,

nasofaring, laring trachea dan bronkus, dapat menyumbat saluran nafas, kelenjar

imfe dapat membengkak bila infeksi terus-terusan, pembengkakan kelenjar limfe

disebut Bull Neck.

Diagnosis dari tonsilitis difteri adalah berdasarkan kondisi klinis dan

pemeriksaan langsung dari bakteri yang di ambil di bawah membran dan ditemukan

kuman Corynebacterium diphteri. Tanda seperti membran di tonsil, dan bull neck

sign menjadi penguat diagnosis.

Penatalaksanaan tonsillitis difteri adalah dengan pemberian ADS,

Antibiotik, kortikosteroid, simptomatis, serta dilakukan tindakan operatif

27
tonsilektomi. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain, dapat menyebabkan gagal

napas, polyneuropathy, neuritis, miokarditis, dan gagal ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr.TH.rampengan,DSAK dan Dr,I.R.laurentz,DSA.penyakit infeksitropik pada


anak.jakarta:EGC.1993
2. Dale DC, ed. 16 Infections Due to Gram-Positive Bacilli. In: Infectious
Diseases: The Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. Web MD
Corporation; 2007.
3. Efiaty Arsyad, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan : Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 7. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada: Jakarta.2012
4. Rusmarjono & Kartosoediro, S. Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta. 2000
5. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 9,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2011.
6. Garna Herry, dkk. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.2000
7. Hermani B, Fachrudin D, Syahrial. Tonsilektomi Pada Anak dan Dewasa. HTA
Indonesia, 2004.
8. Kurien,M, Throat Swab in the Chronic Tonsillitis: How Reliable and Valid is it?,
Department of ENT Speech & Hearing, Microbiology, Medicine and Clinical
Epidemiology Christian Medical College & Hospital Vellore, Tamilnadu 632004
India, Singapore Med J 2000
9. Hien TT, White NJ. Diphtheria. In: Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G,
Lalloo D, White NJ, editors. Manson’s Tropical Infectious Diseases. China:
Elsevier Ltd; 2014. p.692–7.
10. Murakami H, Phuong NM, Thang HV, Chau NV, Giao PN, Tho ND. Endemic
diphtheria in Ho Chi Minh City; Viet Nam: A matched case-control study to
identify risk factors of incidence. Vaccine. 2010; 28(51): 8141–6.
11. Dhingra D et al, Diseases of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck Surgery. 7 th
ed. Elsevier, New Delhi, 2016; 291-294.

28
12. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6th Ed.
Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
13. Fitriana., Novriani, Harli. 2014. Penatalaksanaan Difteri. Jakarta: Puslitbang
Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Balitbangkes, Kemenkes RI, halaman 541-
544.
14. Khalid, Naman., Putra, Steven., Widiatuti, Tri., et al. 2011. Tonsilitis Difteri.
Rumah Sakit Karawang, Universitas Trisakti.
15. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.

29

Anda mungkin juga menyukai