Anda di halaman 1dari 19

Referat Abses Peritonsil

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan ridho-NYA kami dapat
menyelesaikan referat dengan judul “ Abses Peritonsil ”.

Referat yang berjudul “ Abses Peritonsil ” ini bertujuan untuk mengetahui tentang
kelainan dan mengenali tanda-tanda terjadinya abses peritonsilar secara lebih luas melalui
definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis, dan pencegahan.

Kami menyadari dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan dan masih
banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang
membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup Ilmu
Telinga, Hidung dan Tenggorokan, khususnya yang berhubungan dengan referat ini.

Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di Departemen THT RSUD
Tarakan Jakarta Pusat, atas ilmu dan bimbingannya selama ini. Semoga referat ini bermanfaat
bagi para pembaca.

Jakarta, 19 September 2015

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi

1. Pendahuluan…………………………………………………………………..4

2. Anatomi dan Fisiologi………………………………………………………...5

3. Abses Peritonsil ……………………………………………………………..12

4. Diagnosis ……………………………………………………………………15

5. Diagnosis Banding ……………………………………………………...…...

6. Penatalaksanaan ……………………………………………………………..

7. Komplikasi …………………………………………………………………..

8. Prognosis …………………………………………………………………….

9. Penutup ………………………………………………………………………

Daftar Pustaka

2
Pendahuluan

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun
sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada
anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti
menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik
oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsil. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang
per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. 1

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang
terlibat.Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.Abses peritonsil
(Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam
dapat juga abses retrofaring,abses parafaring,abses submandibula dan angina ludovici
(Ludwig Angina) . 2

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsil. Tempat yang bisa
berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior.1 Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran
organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan areolar yang longgar
disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul
tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. 3

Anatomi dan Fisiologi

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. 4

3
Gambar 1. Anatomi Tonsil. 5

Gambar 2. Cincin Waldeyer. 6

Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-
masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak
selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa
supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: 7

1. Lateral  Muskulus konstriktor faring superior


2. Anterior  Muskulus palatoglosus
3. Posterior  Muskulus palatofaringeus
4. Superior  Palatum mole
5. Inferior  Tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan
tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular

4
dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan
tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling
menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal. 8

Gambar 3. Tonsilla
Palatina 9

Fosa Tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini,
pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal. 10

Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu

1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris dan arteri
palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri
tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal. 10

5
Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil 9

Aliran Getah Bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya
mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
ada. 10

6
Gambar 5. Aliran limfe kepala dan leher 11 Gambar 6. Persarafan Tonsil 9

Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B


membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. 10 Limfosit B berproliferasi di pusat
germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim
dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. 12 Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil
dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. 10 Tonsil merupakan organ limfatik sekunder
yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan
efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik. 13

Fisiologi

Tonsil dan adenoid adalah jaringan limfoid pada faring posterior di area cincin
Waldeyer.Fungsinya adalah untuk melawan infeksi. 8 Peran imunitas tonsil adalah sebagai
pertahanan primer untuk menginduksi sekresi bahan imun dan mengatur produksi dari
imunoglobulin sekretoris. Peran tonsil mulai aktif antara umur 4-10 tahun dan akan menurun
setelah masa pubertas. Hal ini menjadi alasan fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada
anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak mengalami perkembangan daya tahan
tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur 7 hingga 8 tahun dan tonsil merupakan salah satu
organ imunitas pada anak yang memiliki fungsi imunitas yang luas. 10

Berdasarkan penelitian, tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase awal


kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke
dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil
mempu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan IgA, yang
menyebabkan jaringan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru

7
lahir, tonsil secara histologi tidak mempunyai sentrum germinativum, biasanya ukurannya
kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid,
yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai
indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi
kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan,
yaitu spesifik dan non spesifik.

Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Mekanisme pertahanan non spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan
limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini
sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kman ke
dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini
dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga
menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel
fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya ke
dalam kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan
bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi
oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H 2O2 yang
bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di
sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel fagosit
terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan
mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga
digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digestif. 10

Mekanisme Pertahanan Spesifik

Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap


udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi
IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Di
samping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat
sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator
vasoaktif, yaitu histamin. Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan IgE,
sehingga permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.
Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe 1,
yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. Dengan teknik immunoperoksidase, dapat
diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi
permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Mekanisme kerja IgA adalah mencegah

8
substansi masuk ke dalam proses immunologi, sehingga dalam proses neutralisasi dari infeksi
virus, IgA mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu IgA merupakan barrier
untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

Abses Peritonsil

Definisi

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di ruang peritonsil,
yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior, biasanya unilateral
dan didahului oleh infeksi tonsil atau jaringan sekitarnya. 14

Epidemiologi

9
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-
anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan
hampir 45.000 kasus setiap tahun. 8

Etiologi

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya
sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak
yang lebih tua dan dewasa muda.Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat
aerob maupunyang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organism anaerob yang
berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena
kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. 14

Patofisiologi

Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling
banyak diterima adalah kelanjutan episode tonsillitis eksudatif menjadi peritonsillitis dan
diikuti pembentukan abses. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan
tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak
dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan
di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus.
Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, abses peritonsil
terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang sebelumnya.
Abses peritonsil dapat juga merupakan suatu gambaran dari infeksi virus Epstein-Barr.

Abses peritonsil yang timbul sebagai kelanjutan tonsilitis akut biasanya timbul pada
hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut. Sumber infeksi berasal dari salah satu kripta yang

10
mengalami peradangan, biasanya kripta fossa supratonsil, dimana ukurannya besar,
merupakan kavitas seperti celah dengan tepi tidak teratur, dan berhubungan erat dengan
bagian posterior dan bagian luar tonsil. Muara dari kripta yang mengalami infeksi tersebut
tertutup sehingga abses yang terbentuk di dalam saluran kripta akan pecah melalui kapsul
tonsil dan berkumpul pada tonsil “bed”. Pus yang berkumpul pada fosa supratonsil tersebut
akan menimbulkan penonjolan, pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga tonsil
akan terdorong kearah medial bawah. Walaupun sangat jarang abses peritonsil dapat
terbentuk di inferior.

Abses peritonsil juga bisa sebagai kelanjutan dari infeksi yang bersumber dari kelenjar
mukus weber. Kelenjar ini berhubungan dengan permukaan atas tonsil lewat duktus dan
kelenjar ini membersihkan area tonsil dari debris dan sisa makanan yang terperangkap di
kripta tonsil. Inflamasi pada kelenjar weber dapat menyebabkan selulitis. Infeksi ini
menyebabkan duktus sampai permukaan tonsil menjadi lebih terobstruksi akibat inflamasi
sekitarnya. Hasilnya adalah nekrosis jaringan dan pembentukan pus yang menghasilkan tanda
dan gejala abses peritonsil.1,14

Gejala Klinis

Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar
2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat
diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat
faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang
semakin memburuk. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia yang
menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter
menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi, nyeri telinga (otalgia)
ipsilateral, mulut berbau (foetor ex orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia)karena oedem palatum molle yang
terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan
kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya
inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme
muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Pernafasan
terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat
perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala

11
sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien
sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). 14,15

Diagnosis

Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan


anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis, kemudian pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil.
Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa
kurang nyaman pada faringeal unilateral.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi
terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka
mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan
kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan
terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di bagian superior dari tonsil
yang terkena, di fossa supratonsil. Mukosa di lipatan supratonsil tampak pucat dan bahkan
seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan
peritonsil yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum

12
mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah. Palatum mole asimetris, tampak
membengkak dan menonjol ke depan, serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi. 15

Gambar 7. Abses Peritonsil16

Pemeriksaan Penunjang

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang


mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan
aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan
menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang
biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan
tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita abses
peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit


(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).

13
2. Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme
yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan
efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
3. Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

Gambar 8. Foto lateral soft


17
tissue dengan gambaran abses peritonsil

4. Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di


apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena
disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan
ini dapat membantu untuk rencana operasi.

14
Gambar 9. CT Scan dari Abses peritonsil dextra17

5. Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.


Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %.
Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %.
merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam
membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bisa
menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase
secara pasti.15

Gambar 10.
Ultrasonografi
dari abses peritonsil17

15
Prognosis

Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika
terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu
komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan nyawa pasien.Angka kekambuhan yang
mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%.Kebanyakan
pasien yang dirawat dengan antibiotik dan drainase yang adekuat pada abses mereka dapat
sembuh dalam beberapa hari.

16
Penutup

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerob dan anaerob di daerah peritonsil. Abses
peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah


Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus sp. Penelitian yang dilakukan
merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua specimen harus diperiksa
untuk kultur sensitifitas terhadap antibiotik. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika
dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres
dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera diantaranya
adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian
dalam, riwayat abses peritonsil sebelumnya, riwayat faringitis eksudatif yang berulang.

Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsil berkisar antara
0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsil untuk
mencegah kekambuhan. Pada individu dengan abses peritonsil ulangan atau riwayat faringitis
ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan
tonsilektomi.

Diagnosisdini sangat penting mengingat dapat terjadi beberapa komplikasi yang


mengancam jiwa. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk
itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

17
Daftar Pustaka

1. Tan AJ. 2010. Peritonsillar abscess in emergency medicine. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview. diakses pada tanggal 17
September 2015.

2. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied Anatomy and Physiology Mouth and
Pharynx. Dalam: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a pocket reference.
2nd rev.ed. New York: ThiemeFlexibook 1994:307 -315

3. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, JalaPenerbit, Jakarta, 2004. hal. 38, 55-8

4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2007.
5. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Available at:
http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm . Accessed
on September 23th, 2012

6. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at:


th
http://www.tulip.ccny.cuny.edu . Accessed on September 23 , 2012.
7. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
8. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional.
Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
9. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on
September 23th, 2012.
10. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam
Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby
Inc.; 2005.
11. Staff. Atlas of Human Anatomy. Available at: http://www.anatomyatlases.org .
Accessed on September 23th, 2012.
12. Eibling, D.E. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw Hill Medical
Publishing Division; 2003.
13. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology Assessment (HTA)
Indonesia; 2004.

18
14. Fachrudin D. Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2012. h. 204.

15. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

16. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Methodsfor Peritonsillar Abscess. Journal
of Chinese Clinical Medicine 2006;2:108-11.

17. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.revolutionultrasound.com .


Accessed on September 23th, 2012.

19

Anda mungkin juga menyukai