Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIS

Disusun Oleh :

SYARIF MUHAMMAD LUKMANUL HAKIM


NIM I4061202077

PEMBIMBING :
dr. Hj. Eva Nurfarihah, M.Kes, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE THT-KL


RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul :

Tonsilitis Kronis

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase THT-KL
RSUD Sultan Syarif Mohamad Al Kadrie

Pontianak, 20 Mei 2022

Pembimbing Penyusun

dr. Hj. Eva Nurfarihah, M.Kes, Sp.THT-KL Sy.M. Lukmanul Hakim


NIP. 19740527200212001 I4061202077
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Tonsilitis atau radang amandel merupakan penyakit yang umum dialami
masyarakat terutama anak-anak dan merupakan sekitar 1,3% dari kunjungan rawat
jalan. Sebagian besar merupakan hasil dari infeksi virus atau bakteri dan dapat
muncul dengan gejala awal berupa sakit tenggorokan. Tonsilitis akut adalah
diagnosis klinis. Membedakan antara penyebab bakteri dan virus bisa menjadi sulit
Namun, pemahaman ini sangat penting untuk mencegah penggunaan antibiotik yang
berlebihan.1

Sekitar 2% dari kunjungan pasien rawat jalan di Amerika Serikat adalah karena
sakit tenggorokan. Meskipun lebih sering terjadi pada musim dingin dan awal
musim semi, penyakit ini dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun. GABHS ( Group
A beta-hemolytic Streptococcus) menyumbang 5% sampai 15% dari orang dewasa
dengan faringitis dan 15% sampai 30% dari pasien antara usia lima dan lima belas.
Etiologi virus lebih sering terjadi pada pasien balita. GABHS jarang terjadi pada
anak di bawah usia dua tahun.2,3

Tonsilitis umumnya disebabkan dari infeksi, yang mungkin virus atau bakteri.
Etiologi virus adalah yang paling umum. Penyebab virus yang paling umum adalah
virus penyebab Commond cold, termasuk rhinovirus, virus pernapasan syncytial,
adenovirus, dan coronavirus. Virus tersebut biasanya memiliki virulensi rendah dan
jarang menyebabkan komplikasi. Penyebab virus lain seperti Epstein-Barr
(menyebabkan mononukleosis), cytomegalovirus, hepatitis A, rubella, dan HIV juga
dapat menyebabkan tonsilitis.4

Tonsilitis bakterialis dapat disebabkan oleh patogen aerob dan anaerob. Pada
pasien yang tidak divaksinasi, Corynebacterium diphtheriae yang menyebabkan
difteri bahkan harus dipertimbangkan sebagai etiologi. Pada pasien yang aktif secara
seksual, HIV, sifilis, gonore, dan klamidia mungkin sebagai penyebab tambahan.
Tuberkulosis juga terlibat dalam tonsilitis berulang, dan dokter harus menilai risiko
pasien.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsil

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Tonsil merupakan organ kelenjar Limfoid yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfatik yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : Tonsil Faringeal (Adenoid), Tonsil Palatina (Tonsil Faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/ gerlach’s
tonsil). Tonsil palatine atau faucial berada di rongga orofaring lateral. Terletak di antara
lengkungan palatoglossal anterior dan lengkungan palatopharyngeal posterior, yang
dikenal sebagai lengkungan palatine atau pilar. Tonsil atau Amandel terdiri dari jaringan
limfatik dan merupakan komponen cincin Waldeyer bersama dengan kelenjar gondok
(tonsil nasofaring), Tonsil tuba dan Tonsil lingual. Tonsil dan komponen cincin waldeyer
memiliki peran dan fungsi sebagai pertahanan penting terhadap patogen yang terhirup
atau tertelan dengan memberikan penghalang imunologis awal terhadap serangan.6

Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa limfoid yang berlobus


dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau
segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen dengan selah atau kantung
diantaranya. Adenoid bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer. Dilapisi
epitel selapis semu bersilia yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam
hidung dan mukosa sekitar nasofaring. Adenoid mendapat suplai darah dari a. carotis
interna dan sebagian kecil cabang palatina a. maksilaris. Darah vena dialirkan
sepanjang pleksus faringeus ke dalam vena jugularis interna.7
2.2 Definisi Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila fausial), tonsila
lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatina biasanya meluas ke adenoid dan tonsil
lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets) dan kontak langsung
melalui tangan atau berciuman. Tonsilitis terjadi pada semua umur, terutama pada anak.8

2.3 Etiologi Tonsilitis


Tonsilitis umumnya merupakan hasil dari infeksi, yang mungkin virus atau bakteri.
Etiologi virus adalah yang paling umum. Penyebab virus yang paling umum biasanya
yang menyebabkan flu biasa, termasuk rhinovirus, virus pernapasan syncytial,
adenovirus, dan coronavirus. Ini biasanya memiliki virulensi rendah dan jarang
menyebabkan komplikasi. Penyebab virus lainnya seperti Epstein-Barr (menyebabkan
mononukleosis), cytomegalovirus, hepatitis A, rubella, dan HIV juga dapat menyebabkan
tonsilitis.9

Infeksi bakteri biasanya disebabkan oleh grup A beta-hemolytic Streptococcus (GABHS),


tetapi Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus influenza
juga telah dikultur. Tonsilitis bakterialis dapat disebabkan oleh patogen aerob dan
anaerob. Pada pasien yang tidak divaksinasi, Corynebacterium diphtheriae yang
menyebabkan difteri bahkan harus dipertimbangkan sebagai etiologi. Pada pasien yang
aktif secara seksual, HIV, sifilis, gonore, dan klamidia mungkin sebagai penyebab
tambahan. Tuberkulosis juga terlibat dalam tonsilitis berulang, dan dokter harus menilai
risiko pasien.10

2.4 Epidemiologi Tonsilitis


Sekitar 2% dari kunjungan pasien rawat jalan di Amerika Serikat adalah karena
sakit tenggorokan. Meskipun lebih sering terjadi pada musim dingin dan awal musim
semi, penyakit ini dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun. GABHS (Grup A beta-
hemolytic Streptococcus) menyumbang 5% sampai 15% dari orang dewasa dengan
faringitis dan 15% sampai 30% dari pasien antara usia lima dan lima belas. Etiologi virus
lebih sering terjadi pada pasien balita. GABHS jarang terjadi pada anak di bawah usia dua
tahun.
Di Indonesia infeksi saluran napas atas akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan temuan
penderita ISPA pada anak berkisar antara 30%-40%, sedangkan sasaran temuan pada
penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78%-82%; sebagai salah satu penyebab adalah
rendahnya pengetahuan masyarakat. Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia
5 sampai 10 tahun dan anak remaja berusia 15 hingga 25 tahun. Dalam suatu penelitian
didapatkan penderita karier asimtomatik streptococcus grup A didapatkan: 10,9% untuk
usia 14 tahun atau kurang, 2,3 % untuk usia 15 sampai 44 tahun, dan 0,6 % untuk umur
45 ke atas.11

2.5 Patofisiologi Tonsilitis


Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil
berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan
memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi
amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara
klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakunaris.12

Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga berat. Pasien hanya
mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat
menyebabkan nyeri menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah
didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot. Sekresi yang berlebih membuat
pasien mengeluh sukar menelan. Gejala tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel
mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan
limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibula.13
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala tonsilitis akut termasuk demam, eksudat tonsil, sakit tenggorokan, dan
limfadenopati area servikal anterior yang terasa nyeri. Pasien juga dapat mengalami
odinofagia (nyeri menelan) dan disfagia (sulit menelan) akibat pembengkakan tonsil.
Pemeriksaan pasien harus melibatkan anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik yang
terfokus pada orofaring. Status vaksinasi dan aktivitas seksual keduanya harus dilakukan
pemeriksaan. Visualisasi tonsil adalah yang terpenting, dan gambaran seperti
pembengkakan, eritema, dan pemeriksa harus memperhatikan adanya eksudat.
Pembesaran tonsil yang mengakibatkan penurunan visualisasi orofaring posterior dan
penurunan kemampuan untuk menangani sekresi dan/atau melindungi jalan napas harus
menjadi kecurigaan dokter untuk dilakukan pertimbangan pemeriksaan penunjang yaitu
pencitraan lebih lanjut dan menilai kebutuhan untuk pengelolaan jalan napas. Dengan
tidak adanya visualisasi langsung dari abses tonsil, deviasi uvular harus meningkatkan
kecurigaan, dan pencitraan CT scan dapat menjadi pilihan.

Keluhan lokal berupa nyeri tenggorokan, nyeri waktu menelan makanan padat,
rasa nyeri pada telinga, Keluhan sistemik berupa tidak nafsu makan, perubahan suhu
tubuh yang tinggi (demam), rasa nyeri pada sendi-sendi. Rasa nyeri di telinga ini
diakibatkan oleh nyeri alih melalui N. glosofaringeus. Seringkali disertai adenopati
servikalis disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis
dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane semu.
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.13

2.7 Diagnosis Tonsilitis


.Penegakan diagnosis sebagian besar pasien untuk tonsilitis meliputi pemeriksaan
fisik, stratifikasi risiko dengan sistem penilaian, dan pertimbangan pengujian antigen
cepat dan/atau kultur tenggorokan. Pencitraan jarang diperlukan untuk infeksi tanpa
komplikasi. Evaluasi harus dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
menyeluruh, dan informasi ini dapat digunakan untuk menghitung Skor Centor. Sistem
penilaian ini menggunakan kriteria berikut: adanya demam, pembesaran tonsil dan/atau
eksudat, limfadenopati servikal yang nyeri, dan tidak adanya batuk. Setiap temuan
menjamin satu poin. Kriteria ini diperbarui untuk memasukkan modifikasi usia,
memberikan poin tambahan untuk kelompok usia 3 sampai 15 tahun dan mengurangi poin
untuk pasien berusia 45 tahun dan lebih tua. 14

Pada pasien dengan skor 0 sampai 1, tidak diperlukan pengujian lebih lanjut atau
antibiotik. Pada pasien dengan skor 2 hingga 3 poin, tes radang cepat dan kultur
tenggorokan merupakan pilihan. Pada pasien dengan skor 4 atau lebih, dokter harus
mempertimbangkan pengujian dan antibiotik empiris. Pengujian untuk GABHS dapat
terjadi melalui kultur tenggorokan saja atau bersama dengan pengujian antigen cepat. Saat
menggunakan tes antigen cepat, penting untuk dicatat bahwa meskipun tes ini spesifik
(88% hingga 100%), tes ini tidak sensitif (61% hingga 95%); negatif palsu dimungkinkan.
Dalam pengaturan klinis yang sesuai, dokter harus mempertimbangkan juga untuk
mendapatkan swab faring untuk tes gonore dan klamidia dan HIV. Dalam kasus yang
jarang terjadi, sifilis dapat menyebabkan tonsilitis, dan RPR dapat dikirim untuk
menegakkan diagnosis. Tes spot mononucleosis dapat menjadi pertimbangan ketika
dicurigai virus Ebstein-Barr.

Pada infeksi yang rumit, termasuk pasien dengan tanda-tanda vital yang tidak stabil,
penampilan toksik, ketidakmampuan untuk menelan, ketidakmampuan untuk
mentoleransi asupan oral, atau trismus, evaluasi yang lebih ekstensif mungkin diperlukan.
Contohnya termasuk pencitraan CT leher dengan kontras intravena untuk menyingkirkan
penyebab berbahaya seperti abses, penyakit Lemierre, dan epiglotitis. Pengujian
laboratorium, termasuk hitung darah lengkap dan panel metabolik dasar untuk menilai
fungsi ginjal, perlu dipertimbangkan.15

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk tonsilitis luas dan mencakup faringitis, abses retrofaring,
epiglotitis, dan angina Ludwig. Abses gigi atau peritonsillar juga merupakan
kemungkinan diagnosis banding tonsilitis. Penyakit Kawasaki, virus Coxsackie, HIV
primer, virus Ebstein-Barr, dan Kandidiasis oral juga dapat muncul dengan nyeri
tenggorokan dan diferensiasi dapat melalui riwayat dan gambaran klinis lainnya.16
2.9 Tatalaksana
Bagi sebagian besar kasus, tonsilitis merupakan penyakit yang dapat sembuh secara
sendiri. Mengingat frekuensi etiologi virus, pengobatan utama tonsilitis akut adalah
perawatan suportif, termasuk analgesia dan hidrasi; pasien jarang memerlukan rawat inap.
Obat-obatan seperti NSAID dapat meredakan gejala. Kortikosteroid dapat dianggap
sebagai terapi tambahan untuk mengurangi skor nyeri dan meningkatkan waktu
pemulihan, biasanya diberikan sebagai dosis tunggal deksametason. Sementara penelitian
telah menunjukkan bahaya terbatas dari steroid, penggunaannya memerlukan perawatan
pada pasien dengan komorbiditas medis seperti diabetes. Perawatan holistik dan
pengobatan herbal telah menunjukkan utilitas yang tidak konsisten dan terbatas.
Penggunaan seng glukonat bukanlah terapi yang direkomendasikan.17

Untuk pasien dengan risiko tinggi faringitis bakterial berdasarkan kriteria Centor dan
pengujian antigen atau kultur tenggorokan, antibiotik sering digunakan dalam
pengobatan. Streptococcus pyogenes adalah penyebab paling umum dari tonsilitis bakteri
dan jika pengobatan antibiotik dianggap tepat antibiotik golongan penisilin umumnya
merupakan antibiotik pilihan. Pada pasien dengan alergi penisilin, terapi antibiotik
dengan azitromisin atau sefalosporin menunjukan efektivitas yang setara dengan
pengobatan dengan penisilin. Namun, ketika mempertimbangkan penggunaan antibiotik,
penyedia harus mempertimbangkan risiko terhadap manfaatnya. Penting untuk dicatat
bahwa sebagian besar patogen yang bertanggung jawab untuk tonsilitis termasuk dalam
flora sehat dan tidak memerlukan pemberantasan penuh. Risiko penggunaan antibiotik
termasuk peningkatan resistensi antibakteri, gangguan GI, diare, infeksi Clostridium
difficile, dan biaya. Selain itu, meskipun antibiotik dapat mengurangi komplikasi
supuratif dan durasi gejala, efeknya kecil. 18

Tonsilitis berulang didefinisikan sebagai lima serangan infeksi atau lebih episode
tonsilitis dalam satu tahun. Pertimbangan khusus harus diberikan untuk penyebabnya,
dan, meskipun jarang imunodefisiensi primer memerlukan pertimbangan. Perawatan
mungkin melibatkan tindakan bedah termasuk tonsilektomi atau tonsilotomi. American
Academy of Otolaryngology, Head, and Neck Surgery menguraikan kriteria untuk
pengambilan keputusan manajemen bedah. Tonsilektomi memberikan sebagian besar
manfaat jangka pendek yang tercermin dalam penelitian sebagai penurunan
ketidakhadiran dari sekolah, sakit tenggorokan berkepanjangan, dan infeksi yang
didiagnosis dengan manfaat jangka panjang yang terbatas.19
Pengobatan tonsilitis akut biasanya melalui manajemen suportif rawat jalan, termasuk
analgesia dan hidrasi oral; masuk rumah sakit jarang diperlukan. Obat-obatan seperti
steroid dan NSAID dapat meredakan gejala. Streptococcus pyogenes (GABHS) adalah
penyebab paling umum dari tonsilitis bakteri, dan penisilin adalah antibiotik pilihan; ini
biasanya merupakan rejimen oral 10 hari atau injeksi intramuskular penisilin G benzatin
tunggal. Pada pasien yang alergi penisilin, pemberian azitromisin selama 5 hari atau
pemberian sefalosporin atau klindamisin selama 10 hari juga merupakan terapi pilihan.20

2.10 Komplikasi
Sementara tonsilitis biasanya dikelola secara simtomatik dengan hasil klinis yang
baik, komplikasi memang dapat terjadi. Meskipun jarang, komplikasi dapat berupa abses,
demam rematik, demam berdarah, dan glomerulonefritis akut diketahui merupakan
komplikasi. Abses peritonsil adalah kumpulan nanah antara otot konstriktor faring dan
kapsul tonsil, dan gejala tonsilitis sering mendahului kemunculannya. Perlu dicatat bahwa
perkembangan gejala ini tidak membuktikan sebab-akibat. Sementara dua diagnosis
berbeda secara klinis, pengobatan antibiotik untuk tonsilitis mengurangi risiko
pengembangan abses. Remaja dan dewasa muda adalah yang paling sering terkena.
Perokok memiliki risiko lebih tinggi. Sebagian besar infeksi bersifat polimikroba dan
merespon dengan baik terhadap kombinasi antibiotik, steroid, dan drainase.21

Tonsilitis akut yang disebabkan oleh streptokokus beta-hemolitik grup A, dalam kasus
yang jarang terjadi, menyebabkan demam rematik dan penyakit jantung rematik. Demam
rematik adalah penyakit inflamasi, imunologis yang terjadi setelah infeksi Streptokokus
grup A. Ini paling sering muncul pada pasien berusia antara 5 hingga 18 tahun. Meskipun
jarang terjadi di negara maju, di negara berkembang, insidennya mencapai 24 per 1000.
Penyakit ini mempengaruhi berbagai sistem organ, paling sering menyebabkan artritis,
yang muncul pada persendian besar sebagai migrasi, asimetris, dan nyeri. Karditis
mempengaruhi hampir 50% pasien dan sering menyebabkan patologi katup, dengan katup
mitral yang paling sering terkena.22

glomerulonefritis ost-streptokokus adalah gangguan yang dimediasi kekebalan setelah


infeksi streptokokus Grup A. Pasien datang dengan gejala edema, hipertensi, kelainan
sedimen urin, hipoproteinemia, peningkatan penanda inflamasi, dan kadar komplemen
yang rendah. Ini mempengaruhi sekitar 470000 individu secara global, dengan perkiraan
5000 kematian.

Anak-anak di negara berkembang paling sering terkena; namun, setiap individu


dengan situasi tempat tinggal yang padat memiliki risiko yang lebih tinggi. Ini umumnya
terjadi pada wabah penyakit karena strain nefritogenik dari Grup A Streptococcus.
Sebagian besar pasien akan memiliki resolusi spontan penyakit dan kembali ke fungsi
ginjal normal meskipun prognosisnya lebih buruk pada pasien yang lebih tua. Antibiotik
sebenarnya tidak mengubah perjalanan penyakit tetapi membantu mengurangi penularan
penyakit.23

Penyakit Lemierre adalah komplikasi yang jarang dari infeksi orofaringeal. Ini
biasanya muncul sebagai sepsis setelah sakit tenggorokan dengan trombosis terkait vena
jugularis interna dan emboli septik. Hal ini paling sering dikaitkan dengan Fusobacterium
necrophorum, meskipun juga terjadi pada infeksi Staphylococcal dan Streptococcal. Di
era antibiotik modern, angka kematian rendah meskipun komplikasi dapat mencakup
ARDS, osteomielitis, dan meningitis.24

2.11 Prognosis

Prognosis tonsilitis tanpa adanya komplikasi sangat baik. Sebagian besar kasus adalah
infeksi yang sembuh sendiri dan pada populasi pasien sehat yang membaik dan memiliki
gejala sisa yang minimal. Tonsilitis dengan infeksi berulang mungkin memerlukan
tindakan pembedahan namun, tetap pasien ini memiliki prognosis jangka panjang yang
baik. Di zaman penggunaan antibiotik yang luas, bahkan pasien dengan komplikasi,
termasuk abses peritonsillar dan sindrom Lemierre, memiliki hasil jangka panjang yang
sangat baik pula. Dalam kasus dengan komplikasi GABHS, termasuk demam rematik dan
glomerulonefritis, pasien dapat memiliki gejala sisa jangka panjang, termasuk penyakit
katup jantung dan penurunan fungsi ginjal. Entitas ini sangat jarang di negara maju, dan
insiden telah menurun dengan munculnya pengobatan dengan antibiotik golongan
penisilin. Jika gejala tidak membaik, diagnosis lain harus dipertimbangkan, termasuk
HIV, TB, gonore, klamidia, sifilis, mononukleosis, penyakit Kawasaki, abses, dan
sindrom Lemierre. Prognosis keseluruhan dalam kasus ini terkait dengan kondisi yang
mendasarinya.25
BAB III
PENYAJIAN KASUS

3.1 Keterangan Umum


Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir / Usia : 15 Maret 2002 / 20 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Kristen
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Jl. Komp. Surya Kencana Pontianak
Tanggal Periksa : 12 Mei 2022

3.2 Anamnesa
a). Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan dan
sakit saat menelan, Keluhan tersebut dirasakan sejak 6 bulan yang lalu dan memberat
1 minggu Terakhir.
b). Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan adanya nyeri tenggorokan (+), Sakit saat Menelan (+),
Serasa ada yang mengganjal di tenggorokan, disertai nyeri kepala (+), Banyak dahak
(+), Bau mulut (+), Sesak (-).
c). Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit asam lambung (Gerd) dan rutin
mengkonsumsi obat Omeprazole, Dan pasien pernah memilki adanaya benjolan di
bawah dagu yang terasa nyeri saat di sentuh (Limfadenopati) dan sudah berobat ke
dokter 2 bulan lalu. Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Dislipidemia disangkal.
d). Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.
e). Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang mahasiswa aktif di perguruan tinggi negeri dan
bekerja sebagai sales disalah satu perusahaan, pasien belum menikah, pasien datang
berobat k e p o l i THT, RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie dengan
menggunakan pelayanan BPJS.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum : Normal, Kesadaran Compos Mentis
Tanda tanda vital
Kesadaran : GCS E4M6V5
Tekanan Darah :120/78 mmHg
Frekuensi Nadi : 85 kali/menit, regular
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,5oC
Saturasi Oksigen : 98%

Kepala : Normocephal, jejas pada wajah (-), benjolan (-), nyeri tekan wajah
(-), deformitas (-), mata CA (-/-) SI (-/-)
Leher : Jejas (-), deviasi trakea (-), perbesaran KGB (-), perbesaran
kelenjar submandibula (+), nyeri tekan (+), stridor (-)
STATUS LOKALIS
Telinga
Bagian Kelainan Auris
Dextra Sinistra
Prearikula Kelainan - -
kongenital
Radang dan - -
tumor
Nyeri tekan - -
tragus
Aurikula Kelainan - -
kongenital
Radang dan - -
tumor
Nyeri tarik - -
Krusta - -
Retroaurikula Edema - -
Hiperemis - -
Nyeri tekan - -
Fistula - -
Fluktuasi - -
Canalis Acustikus Kelainan - -
Externa Kongenital
Kulit -
--
Sekret -
-
Debris -
-
Serumen -
-
Edema -
-
Jaringan -
-
granulasi -
-
Massa -
-
Kolesteatoma -
Membrana Warna - -
Timpani Intak - -
Cahaya - -

Tes Garpu Tala

Pemeriksaan Auris
Dekstra Sinistra
Tes Bisik/Suara Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Webber Tidak dilakukan

Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Hidung
Pemeriksaan Nasal
Dekstra Sinistra
Keadaan Luar Bentuk dan Ukuran Simetris, normal Simetris, normal
Rhinoskopi Mukosa Tidak dilakukan Tidak dilakukan
anterior Sekret
Krusta
Concha inferior
Septum
Polip/tumor
Pasase udara

Tenggorokan
Bagian Kelainan Keterangan
Mulut Mukosa mulut Licin, Hipermis (+)
Lidah Normal
Palatum molle Normal
Uvula Normal
Halitosis +
Tonsil
Licin, Edema(+), Hiperemis (+)
Mukosa
Besar Ukuran Tonsil : T3-T3

Melebar
Kripta
(+)
Detritus
(-)
Perlengketan
Faring Mukosa Licin, Hiperemis (+)
Granulasi (-)
Nyeri menelan (+)
Laring Epiglotis Dalam batas normal
Kartilago aritenoid Dalam batas normal
Plika ariepiglotika Dalam batas normal

Maksilofasial
Bentuk : Simestris
Parase N. Kranialis :-

3.4 Resume
Anamnesa

Pasien datang ke poli THT-KL dengan keluhan Pasien datang dengan keluhan
nyeri pada tenggorokan dansakit saat menelan, Keluhan tersebut dirasakan sejak 6
bulan yang lalu dan memberat 1 minggu Terakhir. Pasien mengeluhkan adanya nyeri
tenggorokan dan sakit saat Menelan, pasien merasa ada yang mengganjal di
tenggorokannya, disertai nyeri kepala, Banyak dahak (+), pasien mengeluhkan bahwa
mulut dan nafasnya berbau, pasien tidak merasakan sesak (-).
Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit asam lambung (Gerd) dan rutin
mengkonsumsi obat Omeprazole, pasien pernah memilki adanaya benjolan di bawah
dagu yang terasa nyeri saat di sentuh (Limfadenopati) dan sudah berobat ke dokter 2
bulan lalu. Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Dislipidemia disangkal.
Pasien mengatakan sudah pernah berobat untuk mengatasi keluhan nyeri
tenggorokan nya, keluhan sembuh namun beberapa bulan kemudian kambuh kembali,
menurut penuturan pasien, dalam 1 tahun terakhir pasien sudah mengalami kambuh
sebanyak 5 kali. Dan 2 bulan yang lalu pasien mengeluhkan ada benjolan yang terasa
nyeri muncul di bawah dagu pasien. Pasien datang berobat ke poli THT RS Kota dan
dilakukan pemeriksaan Faringoskopi dan diberikan tatalaksana edukasi terhadap
penyakit pasien dan diberikan obat untuk mengurangi gejala nyeri menelan dan
mengurangi radang, serta antibiotik untuk mengatasi infeksi pada tenggorokan pasien.
Status Lokalis:
Mulut dan Orofaring :
Mukosa Mulut : Licin & Hiperemis

Lidah : Dalam batas normal

Palatum Molle : Dalam batas normal

Uvula : Normal (Tidak deviasi)

Halitosis : (+)

Tonsil :
Mukosa : Licin, Hiperemis, Edema
Besar : Hipertrofi (Kriteria Broadsky Ukuran T3-T3)
Kripta : Melebar
Detritus : (+)
Perlengketan : (-)

Pemeriksaan Endoskopi Orofaring


3.5 Diagnosis Kerja
Tonsilitis Kronik
3.6 Diagnosis Banding
Faringitis, Hipertrofi Adenoid
3.7 Usulan Pemeriksaan
Endoskopi Orofaring
Pemeriksaan darah (Hematologi Rutin)
Swab mukosa tonsil & Kultur bakteri
3.8 Penatalaksanaan
Farmakologis
1. Paracetamol 500mg (3x1)
2. Amoxicicilin 500mg (3x1)
3. Metilprednisolone 4 mg (3x1)
Non-farmakologis
- Edukasi pasien mengenai penyakit yang dialami.
- Pasien diminta untuk menjaga makanan dan menerapkan pola diet yang
sehat yaitu dengan tidak mengkonsumsi makanan yang pedas, asam, dan
terlalu dingin yang dapat memperburuk kondisi peradangan.

- Edukasi pasien untuk menerapkan pola hidup yang sehat dan melakukan
istirahat yang cukup.

- Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan mulut (Oral hygien) dengan


rutin menggosok gigi dan berkumur dengan air garam hangat.

- Edukasi pasien untuk dilakukan tindakan tonsilektomi dengan mengangkat


tonsil yang sering terinfeksi (tonsilitis kronik) melalui tindakan
pembedahan.

3.9 Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanactionam : ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini diagnosis pada pasien berupa tonsilitis kronik ditegakkan berdasarkan
anamnesis gejala klinis dan pemeriksaan fisik pasien. Dari anamnesis di dapatkan bahwa
pasien memiliki keluhan utama berupa adanya rasa nyeri tenggorokan dan nyeri menelan
yang dirasakan hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu dan memberat 1 minggu terakhir.
Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya rasa seperti mengganjal di tenggorokan
pasien disertai adanya nyeri kepala, dahak yang banyak dan mulut serta nafas yang
berbau tidak sedap. Selain itu pasien juga mengalami keluhan pembesaran kelenjar
dibawah rahang (Submandibula) yang terasa nyeri dan muncul sejak 2 bulan lalu disertai
batuk dan demam. Keluhan tersebut disebabkan karena adanya inflamasi (Peradangan)
pada tonsil pasien sehingga menyebabkan terjadinya pembengkakan dan nyeri yang
ditandai dengan mukosa yang berwarna merah dan adanya pembesaran ukuran tonsil.
Hal tersebut akan menyebabkan nyeri menelan pada pasien, selain itu nyeri dan
pembengkakan tonsil dapat menyebar hingga ke telinga dan kepala (Referred pain) yang
melalui saraf N.Glosofaringeus (N.IX). Sedangkan pembengkakan kelenjar limfoid sub
mandibula terjadi akibat adanya respon imunitas tubuh yang berusaha melawan infeksi
yang melibatkan sel limfosit yang berada pada kelenjar limfa yang berada di dekat
sumber infeksi yaitu tonsil. pasien pernah mengalami otitis media yang dibiarkan
sehingga keluhan menetap dan menyebabkan timbulnya perforasi dan keluarnya sekret
berulang. Infeksi yang berkepanjangan (Infeksi Kronik) dapat menyebabkan terjadinya
infeksi sekunder (bakteri) yang ditandai adanya detritus pada tonsil yang biasanya akan
menyebabkan nafas menjadi berbau dan jika terjadi hipertrofi atau pembesaran dapat
mengganggu jalan nafas dan dapat menyebabkan sesak nafas Obstructive Sleep Apnea
Syndrome (OSAS) pada pasien.
Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit asam lambung (Gerd) dan rutin
mengkonsumsi obat Omeprazole. Kondisi Gerd atau asam lambung yang tidak ditangani
dengan baik akan dapat menyebabkan atau memperburuk kondisi nyeri menelan, hal ini
disebabkan adanya refluks zat asam lambung yang bersifat asam dan korosif terhadap
mukosa eksofagus dan orofaring, sehingga dapat memperburuk gejala nyeri menelan
pada pasien.
Pasien mengatakan sudah pernah berobat untuk mengatasi keluhan nyeri
tenggorokan yang dialami oleh pasien. Keluhan tersebut hilang namun beberapa bulan
kemudian kambuh kembali, menurut pasien keluhan nyeri menelan dan sakit
tenggorokannya tersebut dalam 1 tahun sudah lebih dari 5 kali kambuh serta pasien
mengeluhkan adanya nafas yang berbau tidak sedap. Hal ini menunjukan bahwa pasien
tersebut mengalami tonsilitis kronik yang ditandai dengan terjadinya proses radang yang
berulang maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak di isi oleh detritus.
Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar dengan permukaan tidak merata kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh
detritus. Sehingga menyebabkan rasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokan. Selain
itu tonsilitis kronis juga menyebabkan terjadinya napas berbau tidak sedap.
Sehingga pada pasien ini diberikan tatalaksana berupa antibiotik dari golongan
penislin yaitu amoxicicilin, yang cukup sensitif terhadap bakteri agen infeksi penyebab
tonsilitis kronis yang didominasi oleh bakteri gram positif dari Group A streptokokus
beta hemolitikus yang dikenal sebagai Strept throat, Pneumokokus, streptokokus Viridan
dan Streptokokus Piogenes. Antibiotik golongan Penisilin mempunyai mekanisme kerja
dengan cara mempengaruhi langkah akhir sintesis dinding sel bakteri (transpepetidase
atau ikatan silang), sehingga membran kurang stabil secara osmotik. Lisis sel dapat
terjadi, sehingga penisilin disebut bakterisida yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri. Selain itu pasien juga diberikan terapi farmakologi berupa Paracetamol yang
merupakan obat anti nyeri dan anti piretik golongan antiinflamasi non steroid sebagai
anti nyeri pada tingkat ringan hingga sedang yang bekerja dengan menghambat
siklooksigenase-1 dan -2 (COX-1 dan COX-2) yang menyebabkan penurunan sinstesis
prostaglandin dan memberikan efek analgesik. Untuk meredakan gejala peradangan
pasien diberika terapi farmakologi Metilprednisolone yang merupakan golongan obat
anti inflamasi steroid Kortikosteroid adalah kelompok obat yang mengandung hormon
steroid sintesis. Obat ini dapat menghambat produksi zat yang menimbulkan peradangan
dalam tubuh, serta bisa bekerja sebagai imunosupresan dalam menurunkan aktivits dan
kerja sistem imun sehingga inflamasi dapat dihentikan.
Selain terapi medikamentosa pasien juga di edukasi untuk memperbaiki diet dengan
menjauhi makanan yang dapat memperburuk atau memicu terjadinya kondisi nyeri
menelan dan radang tenggorokan seperti makanan pedas, asam dan makanan berminyak.
Serta pasien diminta untuk menjaga kebersihan mulut (Oral Hygien) dengan rutin
menggosok gigi dan berkumur dengan air garam hangat. Serta melakukan pola hidup
sehat dan istirahat yang cukup.
Pada pasien ini juga di berikan edukasi dan saran untuk dilakukan tonsilektomi
dikarenakan infeksi terjadi secara terus menerus secara berulang meskipun sudah
mendapatkan terapi yang adekuat dimana dalam 1 tahun, terjadi lebih dari 5 kali episode
kambuh yang membuat pasien merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk mencari
pengobatan, Pengangkatan tonsil (Tonsilektomi) dilakukan agar dapat menghilangkan
keluhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
BAB V
KESIMPULAN

Pasien laki-laki berusia 20 Tahun, Dengan keluhan nyeri menelan dan merasa seperti ada
yang mengganjal di leher disertai nyeri kepala. Gejala tersebut sudah dialami sejak 6
bulan yang lalu dan memberat 1 minggu terakhir. Pasien dilakukan pemeriksaan
Endoskopi Faring dan didapatkan adanya faring yang hiperemis, serta adanya
pembesaran tonsil T3-T3 disertai adanya detritus pada tonsil. Dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis menderita Tonsilitis kronik sehingga pasien
di berikan tatalaksana medikamentosa berupa anti nyeri, Antibiotik dan Anti radang
golongan steroid. Kemudian pasien direncanakan untuk Tindakan Tonsilektomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Meegalla N, Downs BW. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island


(FL): Jun 18, 2021. Anatomy, Head and Neck, Palatine Tonsil (Faucial Tonsils)
[PubMed]
2. Masters KG, Zezoff D, Lasrado S. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Jul 25, 2021. Anatomy, Head and Neck, Tonsils. [PubMed]
3. Kocher JJ, Selby TD. Antibiotics for sore throat. Am Fam Physician. 2014 Jul
01;90(1):23-4.
4. Bartlett A, Bola S, Williams R. Acute tonsillitis and its complications: an overview. J
R Nav Med Serv. 2015;101(1):69-73.
5. Georgalas CC, Tolley NS, Narula PA. Tonsillitis. BMJ Clin Evid. 2014 Jul 22;2014
6. Jadia S, Chauhan AN, Hazari RS, Maurya AK, Biswas R. An unusual cause of
recurrent tonsillitis. BMJ Case Rep. 2010 Apr 20;2010:2561
7. Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna Restuti. 2007. Tonsilitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 78-85.
8. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
9. Georgalas CC, Tolley NS, Narula A. Tonsillitis. BMJ Clin Evid. 2019 Oct 26;2019
10. Jadia S, Chauhan AN, Hazari RS, Maurya AK, Biswas R. An unusual cause of
recurrent tonsillitis. BMJ Case Rep. 2010 Apr 20;2010:2561
11. Kaplan EL, Top FH, Dudding BA, Wannamaker LW. Diagnosis of streptococcal
pharyngitis: differentiation of active infection from the carrier state in the
symptomatic child. J Infect Dis. 2019 May;123(5):490-501
12. Gottlieb M, Long B, Koyfman A. Clinical Mimics: An Emergency Medicine-Focused
Review of Streptococcal Pharyngitis Mimics. J Emerg Med. 2018 May;54(5):619-
629.
13. ESCMID Sore Throat Guideline Group. Pelucchi C, Grigoryan L, Galeone C,
Esposito S, Huovinen P, Little P, Verheij T. Guideline for the management of acute
sore throat. Clin Microbiol Infect. 2012 Apr;18 Suppl 1:1-28.
14. McIsaac WJ, Kellner JD, Aufricht P, Vanjaka A, Low DE. Empirical validation of
guidelines for the management of pharyngitis in children and adults. JAMA. 2014 Apr
07;291(13):1587-95.
15. Hamlyn E, Marriott D, Gallagher RM. Secondary syphilis presenting as tonsillitis in
three patients. J Laryngol Otol. 2016 Jul;120(7):602-4
16. Gottlieb M, Long B, Koyfman A. Clinical Mimics: An Emergency Medicine-Focused
Review of Streptococcal Pharyngitis Mimics. J Emerg Med. 2018 May;54(5):619-629
17. ESCMID Sore Throat Guideline Group. Pelucchi C, Grigoryan L, Galeone C,
Esposito S, Huovinen P, Little P, Verheij T. Guideline for the management of acute
sore throat. Clin Microbiol Infect. 2012 Apr;18 Suppl 1:1-28
18. Sidell D, Shapiro NL. Acute tonsillitis. Infect Disord Drug Targets. 2012
Aug;12(4):271-6.
19. Morad A, Sathe NA, Francis DO, McPheeters ML, Chinnadurai S. Tonsillectomy
Versus Watchful Waiting for Recurrent Throat Infection: A Systematic
Review. Pediatrics. 2017 Feb;139(2) 
20. Stelter K. Tonsillitis and sore throat in children. GMS Curr Top Otorhinolaryngol
Head Neck Surg. 2019;13:Doc07.
21. Klug TE, Rusan M, Fuursted K, Ovesen T. Peritonsillar Abscess: Complication of Acute
Tonsillitis or Weber's Glands Infection? Otolaryngol Head Neck Surg. 2016 Aug;155(2):199-
207.
22. Binotto M, Guilherme L, Tanaka A. Rheumatic Fever. Images Paediatr Cardiol. 2018
Apr;4(2):12-31
23. Walker MJ, Barnett TC, McArthur JD, Cole JN, Gillen CM, Henningham A, Sriprakash KS,
Sanderson-Smith ML, Nizet V. Disease manifestations and pathogenic mechanisms of Group
A Streptococcus. Clin Microbiol Rev. 2019 Apr;27(2):264-301.
24. Johannesen KM, Bodtger U. Lemierre's syndrome: current perspectives on diagnosis and
management. Infect Drug Resist. 2016;9:221-227.
25. Georgalas CC, Tolley NS, Narula PA. Tonsillitis. BMJ Clin Evid. 2019 Jul 22;2014

Anda mungkin juga menyukai