PENDAHULUAN
pemberian
anestesi,
penjagaan
keselamatan
penderita
yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat,
terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya, dalam penatalaksanaan
anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra
anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan
anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta
perawatan pasca anestesi.1,2
Tonsilitis Kronik secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil. Organisme patogen
dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk wktu yang lama dan mengakibatkan
gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan. Radang
kronis yang terjadi pada tonsil ini dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi baik
komplikasi ke daerah sekitar ataupun komplikasi jauh. Pengobatan pasti untuk tonsilitis
kronis dengan indikasi dan prognosis yang buruk adalah pembedahan pengangkatan tonsil
(Tonsilektomi).1
Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil yang
berasal dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan
sepatu serta dari bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus
berkembang mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi
monopolardan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan
tonsilektomi dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal
menggunaka nelektrocauter. Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan
berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta
keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. 2 Di Indonesia, tonsilektomi
masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali
di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan. Mengingat tonsilektomi
merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, komplikasi
yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah
dan anestesi.
tonsilektomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tosil faucial), tonsil lingual ( tonsil
pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding faring / Gerlachs tonsil ).
Tonsilitis Kronik secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina
yang menetap. Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil.1
2.2 ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian
nasofaringterus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama
makanan. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut
yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila
fase resolusi tidak sempurna. Beberapa organisme
dapat
menyebabkan infeksi
pada
tonsil, termasuk bakteriaerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit.1 Pada penderita
tonsilitis kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup
A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun
dapat
menjadi
terdapat
Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B,C, Adenovirus, Epstein Barr bahkan virus
herpes. Dari hasil penelitian dilakukan kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram
positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian
2.3 PATOFISIOLOGI
Tonsilitis berawal dari penularan yang terjadi secara droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksi dapat menyebar ke seluruh tubuh,
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.2,4 Bla epitel terkikis maka jaringan
limfoid superkistal berekasi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
4
kripte melebar. Secara klinis, kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak, proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.5
2.4 GEJALA KLINIS
Tanda-tanda yang bermakna adalah nyeri tenggorokan yang berulang atau
menetap dan nyeri waktu menelan, serta obstruksi pada saluran cerna dan napas. Dapat
ditemukan adanya demam, namun tidak terlalu mencolok. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh
detritus. Terasa ada yang mengganjal dan kering di tenggorokan dan napas yang berbau.
Berdasarkan ratio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :1,6
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
2.5 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorokan yang terus
menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadangkadang demam dan nyeri pada leher.2
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta
tersebut. Pada beberapa kasus, kripta
membesar
dan
suatu
bahan
seperti
INDIKASI RELATIF:
7
1. Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang
memadai.
2. Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
3. Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan dengan
antibiotika.
4. Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan
dengan keganasan (neoplastik)4,6
Penyulit atau kontraindikasi dilakukan tonsiloktomi :8
a. Kelainan komponen darah
- Hemoglobin < 10 g/100 dl
- Hematokrit < 30 g%
- Kelainan pendarahan dan pembekoan (hemofilia)
b. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
c. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
d. Multiple Allergy
e. Penyakit lain, seperti:
- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
- Obesitas, kejang demam, epilepsy
2.8 ANASTESI UMUM
a. Definisi Anastesi umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentraldisertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Obat anestesi yang masuk
kepembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama
8
terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak,
sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit,
dan
sebagainya.
Seseorang yang memberikan anestesi, perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium
terbaik
pembedahan
itu
dan
anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah
memilih anestetika ideal.5,7 Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu
keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat
yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat,
menimbulkan
efek
samping
terhadap
organ
vital
murah,
tidak
jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkanrelaksasi otot yang
cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan.Obat anestesi
umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang aman mempunyai
daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang
cepat dan tidakmempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak
toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamananyang luas.3,6,8
b. Trias Anastesi
1. Analgesia ( Hilangnya nyeri )
2. Hipnotik ( Hilang kesadaran )
3. Relaksasi otot ( Muscle Relaxan )3
c. Macam macam tekhnik anastesi 3,4,5,8
Open drop method:
Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap, peralatan sangat
sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapasyang diletakkan di
depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
Semi open drop method:
Hampir sama dengan open drop, hanya untukmengurangi terbuangnya zat anestetik
masker. Karbondioksida
yangdikeluarkan sering
terhisap kembali
Udara
yang
dihisap
diberikan
bersama
oksigen
pada
murni
vaporizer
yang dikeluarkan
yang
dapat
sehinggakadar zat
akan
dibuang
ke
status
fisik
dengan
klasifikasi
ASA
(American
Society
Anesthesiology):
10
ASA I
ASA II
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
e. Persiapan Praoperasi Anastesi
I.
Anamnesis8,9
1.
2.
3.
11
5.
6.
7.
8.
II.
1.
2.
Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
4.
5.
12
dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah.
Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau
tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i.
ii.
iii.
iv.
6.
7.
8.
9.
III.
Lab rutin :
1.
2.
3.
4.
EKG
2.
3.
4.
5.
AGD, elektrolit.
f. Premedikasi Anastesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :1,2
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu
yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam
operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan2.
Fentanil2
14
nitrogen
oksida
memberikan
suatu
efek
yang
disedut
sebagai
neurolepanestesia1,2.
Midazolam
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi,
induksi
dan
pemeliharaananestesi.
Dibandingkan
dengan
diazepam,
16
g. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium
pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.2
Propofol 4,6
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis
yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah
anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi
karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi
pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam
keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik2,3.
17
18
analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik1.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi,
aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala,
pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.
h. Pemeliharaan
Nampaknya
20
atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan
penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu
dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv
i. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :1
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Persiapan alat meliputi STATICS2
S= Scope: stetoskop dan laringoskop
T= tube: pipa trakea non KK dengan cuff (+) No.30.
A= airway: pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway)
21
T= tape: plester
I= introducer: mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
C= conector: penyambung antara pipa dengan peralatan anestesia
S= suction: penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
Intubasi (ETT) ada dua :
a. Spontan : Nafas sendiri tanpa muscle relaxan
b. Kontrol : Dengan muscle relaxan
Indikasi Intubasi :
- Pasien operasi
- Pasien bukan operasi ( Cth : Stroke, gagal nafas, koma )3
Komplikasi Intubasi :3,4
a. Pada saat intubasi
- Sudah terjadi kompilkasi
b. Selama Intubasi
- Aspirasi
- Trauma ggigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Hipertensi, takikardi
- Spasme Bronchus
22
c. Setelah Intubasi :
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glotis sunglotis
- Infeksi larinng, faring, trachea
23
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :7
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b.Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi
Kesulitan intubasi11,12
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000)
biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental
symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah
yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
24
25
2.
3.
4.
j. Terapi Cairan2,3
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk1.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.2
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml/kgBB/jam
Berat
= 8 ml/kgBB/jam.
26
k. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU.Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya2.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage1,6.
Recovery
Setelah operasi selesai dan pasien dalam keadaan sadar, pasien dipindahkan ke
dalam ruangan recovery dan diobservasi berdasarkan Alderete score. Jika Alderete score 8
dan tanpa adanya nilai 0, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini
didapatkan Alderete score 10.7,9
Program Post Operasi
a.
b.
oksigenasi sungkup
c.
d.
Komplikasi anestesi
27
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan status
kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:5
-
Laringospasme
Kriteria
Skor
.
1
Aktivitas
motorik
Respirasi
Apneu/tidak bernafas
2
1
0
Sirkulasi
28
semula
Kesadaran
Sadar penuh
0
2
1
0
Warna kulit
Pucat
Sianosis
2
1
0
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi.Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.2
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat
ditekan seminimal mungkin.2,3
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.
Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
3. Drake A. Tonsillectomy.
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi,
diakses
tanggal
28
November 2015.
4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
5. Lab/SMFAnestesiologi
&
reanimasi.2010.
Panduan
Kepaniteraan
Klinik
Anestesiologi.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi
ke- 4. Jakarta:Gaya baru.
7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran
FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta:Media Aesculapius
9. Sadina, 2009. Sistem Pernapasan Pada Manusia.
30
http://www.blogunila.ac.id/sadina/2009/10/01/sistem-pernapasan-pada-manusia/
diakses tanggal 28 November 2015.
10. Better Health Channel.2011. Tonsillitis Explaioverment of vixtoria, Australia.
http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles. Diakses tanggal 28 November 2015
11. NHS.2010. Tonsillitis.
http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis, diakses tanggal 28 November 2015 Lauro,
Joseph.2011. Tonsillitis. Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.
12. http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal 28
November 2015
31